Extra : Kolaborasi Silang
a / n
Chapter ini merupakan kolaborasi silang bersama teman dekat saya, YunitaChearrish.
Dia adalah seorang author yang punya spesialisasi di genre Teen Fiction, cerita-cerita yang dia tulis biasanya berkisar antara usia anak sekolahan, dengan segala permasalahan kehidupan remaja-mulai dari yang ringan sampai yang berat, dari cinta-cintaan sampai drama-dramaan.
Chapter extra ini bersinggungan dengan cerita dia yang berjudul "My Zone is You". Adegan-adegan dalam chapter ini bisa kalian temukan pada part 27 sampai 30 pada cerita di atas.
Semua karakter yang ada di cerita dia sebagian besar masuk ke dalam chapter ini, jadi aku sarankan banget untuk membaca tulisan dia juga yaa-ceritanya tentang anak-anak SMA yang punya trauma serta luka masa lalu, saling mencoba menyembuhkan luka dengan teman-teman terdekat mereka. Bagus deh ceritanya, udah tamat juga!
Di cerita "My Zone is You" itu, ada dua karakter sepasang anak SMA yang ditulis Yunita ini punya hobi makan, dan dari situlah aku ngebayangin, karakter itu pasti bakal seneng banget bisa masuk di ceritaku ini, soalnya isinya masak-masakan semua kann >_<.
Nah, dari situlah ide itu muncul, kita memutuskan untuk mengkolaborasikan cerita ini. Ditambah lagi, aku jatuh cinta dengan karakter Naura yang ada di cerita "My Zone is You" tadi, jadi aku bayangin deh dia ada hubungan sama salah satu tokoh ku dari cerita ini. Hehehe.
Chapter extra ini akan berfokus sama kisah satu tokoh di ceritaku, sang general manager, Joseph Pratama, alias Yusuf, alias Mas Yus. Anggep aja spin off kecil-kecilan lah ya? Hahaha.
Last but not least, semua nama tokoh dan karakter dari cerita "My Zone is You" telah dipergunakan dengan seizin penulis.
Semoga kalian suka dengan bagian ini ya~ dan spesial untuk Yunita...
... terima kasih telah hadir di hidupku dan selalu membantu dengan dukungan penuh cinta dari awal Cooking Space ditulis hingga akhirnya bisa tamat <3. Aku berharap kita bisa tamatkan dan kolaborasi silangkan cerita-cerita lainnya di masa depan <3.
🥨
_______________
4 September, Hari Pelanggan Nasional.
Hari itu, Celestial Hotel mengadakan promo spesial, berupa All You Can Eat Buffet dengan tema Korean Barbeque; menyediakan berbagai daging segar, mulai dari pork belly (samgyeopsal), pork rib (daeji galbi), hingga sesapian—berbagai macam jenis beef yang diiris kotak, dadu, persegi, tipis, melingkar, hingga di marinasi bumbu bulgogi.
Daging sebagai bintang utama hari itu diiris dan ditata rapi memenuhi piring-piring saji yang dilepas bebas diatas meja buffet, berbaris di depan dapur terbuka.
Hebat sekali Mas Yus, general manager Celestial Hotel yang menyulap egg stand pada dining room menjadi dapur dadakan tempat koki-koki Celestial menuntaskan tugas menggarap perdagingan itu.
Saat tamu datang, mereka akan diantar menuju meja yang telah direservasi beberapa hari sebelumnya, dipersilahkan memilih daging se-merdeka-nya memenuhi piring mereka—sementara pelayan akan menyajikan makanan pendamping seperti kimchi, oi muchim, doenjang, bawang, cabai, garam, hingga daun perilla dan romaine lettuce, semua tertata rapi di meja mereka.
Selanjutnya? Bakar-bakaran, panggang-memanggangang, dan bersantap ria. Tamu atau customer akan memasak sendiri hidangan daging mereka sesuka hati, sepuasnya, sampai kenyang.
Sungguh proses yang menyenangkan bukan? Bagi kalian yang tinggal makan, iya. Tapi bagi para staf dapur, koki-koki yang sedang bekerja rodi mengiris daging beradu pisau, well... tidak semenyenangkan itu.
"Stok kimchi menipis, cepat isi lagi—ada dua meja yang belum kebagian itu, Lisa!!"
"Hm?"
"Kimchi, ayo. Jangan bengong, cepat restock bahannya sekarang!"
"Siap, Chef."
Suara menggelegar Raka membuat kaki-kaki Lisa bergerak lincah meninggalkan dining room, demi kembali membawa kotak styrofoam seberat 5 kilogram berisikan frozen kimchi dari freezer room. Dengan langkah tergopoh, gadis itu memasuki dapur terbuka sambil mendongakkan kepala—kotak itu sedikit menghalangi pandangannya.
Sedetik memasuki ruang super sibuk itu, kakinya tersandung tali sepatu dan...
"—Hati-hati." Gerakan tanggap Chef Raka berhasil menyelamatkan kotak raksasa yang hampir tumpah isinya. Benda putih itu berpindah tangan dengan aman, dibantu sepasang lengan kokoh milik sang kepala dapur.
"Makasih, Ka..." Lisa bergumam sambil membenarkan apron-nya.
"Nyaris. Kamu nggak papa?"
Lisa mengangguk sebagai jawaban. Raka kemudian mengacak pucuk kepala gadis itu sebelum melepasnya kembali ke medan perang.
Dining room yang ramai akan hiruk-pikuk pelanggan mulai lengang berangsur-angsur, seiring malam semakin merangkak gelap.
"Fyuh... untung aja magic hour udah kelar. Pinggang udah mulai encok nih, Hyung..." Pras meregangkan badannya ditengah-tengah dapur terbuka yang sudah berangsur tenang.
"Iya Hyung... pinggul rasanya juga mau patah..." Pram dengan wujud identik meniru gerakan saudara kembarnya. Entah karena efek terlalu lama diasapi saus bulgogi, atau terlalu banyak menghidu kuah kimchi, dua kembar ini lidahnya jadi melingkar sok korea-korea-an.
Melihat tingkah laku kedua kitchen porter itu, sang kepala dapur berdecak gemas.
"Masih muda udah encak-encok aja kalian. Lemah." Raka melipat kain lap sambil menyeletuk.
"Ampun deh Chef-hyung..."
"... anda suci, kami penuh busa."
Duo kembar Pram dan Pras saling menyahuti dengan kompak, membuat Chef Raka hampir melemparkan kain lap yang sedang ia pegang.
"Oke, udah bawa-bawa busa, itu tandanya kalian udah kangen sama cucian piring. Cepat bawa dish kotor dan cuci di dapur utama, sekarang!" Nada suara Raka naik satu oktaf, namun bibirnya menyulutkan senyum yang disambut dengan tawa oleh dua kembar kitchen porter itu.
"Siap hyung, kita cuci piring dengan senang hati." Pram menjawab sambil berlari kecil meninggalkan dapur itu, diikuti saudara kembarnya.
Melihat dua bala bantuan utama tenaga dapur itu sudah hengkang, seorang pemuda berdecak. Dia koki muda dengan rambut semi botak, memandang Raka tak terima.
"Rak, kenapa malah disuruh cuci piring? Kalau disini tiba-tiba hectic lagi gimana??"
Raka menoleh sambil melirik pemuda itu, si botak yang sedang membersihkan pisau daging santoku bergagang kayu.
Dia itu selalu membawa pisau khusus miliknya sendiri saat mengeksekusi dapur, tak pernah mau memegang pisau sembarangan. Dialah sobat Raka semasa kuliah, sekaligus koki terbaru di dapur Celestial Hotel—Hazuki Gala Ekawira.
"Santuy lah Gal. Ini tuh event reservasi, nggak akan ada tamu yang datang tiba-tiba menggerombol..."
"—Ka! Ada tamu rombongan VIP datang. Dua meja, sepuluh orang! "
Lisa yang baru tiba memotong ucapan Raka dengan tergesa, membuat sang lawan bicara menaikkan satu alisnya.
"Sepuluh orang??" ulang Raka.
"Nah, mampus kan lo pada." Gala tersenyum sambil menunjuk Raka dan Lisa bergantian dengan pisaunya.
Perhatian mereka sontak tersedot ke arah pintu masuk dining room, yang mendadak ramai dengan hiruk-pikuk dan sambutan staf pramusaji.
Raka, Lisa dan Gala mengarahkan fokus mereka, mengantisipasi.
🥨
"Mas—Mas Yusuf! Cepat, sini... ini tamu VIP dari SMA Berdikari sudah datang..." Seorang waitress berbisik dengan terburu-buru dibalik buku menu, membuat Yusuf, sang general manager yang datang dengan langkah tergesa-gesa, menghela napas terputus sambil memandang sekeliling.
"Sorry, barusan ada meeting sama Pak J. Mereka di mana sekarang?" Yusuf bertanya disela-sela mengatur napas.
"Lagi ngurus reservasi di lobby, mereka VIP terakhir yang datang hari ini. Oh... itu udah!" Sang waitress menunjuk dengan dagunya kearah pintu masuk dining room, membuat Yusuf dengan singkat mengecek arlojinya.
"Terakhir? Wah iya, nggak terasa udah jam segini. Oke, saya kesana dulu." Pria bertubuh tinggi atletis itu buru-buru beranjak lagi, dengan langkah gesit mengarungi ruang santap menuju rombongan yang baru masuk tadi.
"Bapak Rio Harvey, selamat datang." Yusuf menyambut lelaki paruh baya yang memimpin rombongan kecil itu dengan jabatan tangan profesional, tak lupa mengumbar senyum sejuta dolar.
"Pak Joseph, selaku General Manager? Wah terima kasih. Kenapa General Manager harus repot-repot turun ke sini? Saya jadi merasa tersanjung sekali." Pria yang dipanggil Rio Harvey itu menjawab dengan senyum balasan, sopan.
Panggilan formal 'Joseph' yang telah jarang menggelitik telinga manager muda itu membuat sang empunya nama terkekeh dalam hati, mengingat hanya orang-orang penting saja yang memanggilnya dengan nama yang tersemat di name tag-nya itu.
"Ah, ini perintah Bos besar, Pak. Beliau berpesan untuk menjamu rombongan SMA Berdikari dengan baik. Jadi, mari..."
"Pelayanan yang bagus sekali. Alright then, show us the way."
Yusuf memimpin Rio Harvey dan rombongannya memasuki dining room yang sudah mulai sepi. Meja-meja telah bersih, hanya tersisa dua-tiga meja yang berpenghuni. Sedangkan meja buffet yang dipenuhi daging segar masih terisi dan tertata rapi, mengingat koki-koki dapur yang siap siaga mengawasi kebutuhan pokok daging itu dari dapur terbuka.
"Silahkan disini, Pak. Untuk rombongan bapak, kami sudah sediakan dua meja khusus. Nggak masalah kan kalau grupnya jadi terpisah begini?" Manager itu berhenti didepan meja yang dikelilingi kursi-kursi berlapis bantalan sofa, membentuk lingkaran mengelilingi meja dengan satu grill khusus di tengah-tengahnya.
"Nggak masalah. Oke, kalau begitu—" Potongan kalimat Rio Harvey tak terselesaikan sebab mendadak muncul suara gaduh dari kelompok itu, dua anak remaja lelaki saling berebut tempat duduk, beradu tatapan api dan saling meninggikan suara.
"Gue duduk duluan disini!"
"Nggak ada nama elo!"
Dua remaja itu saling menyulut emosi, hingga tiba-tiba...
"Kenapa malah ribut sih?" Suara seseorang memecah keriuhan itu.
Mendadak, perhatian Yusuf tersedot dengan instan. Suara itu sudah lama sekali tidak singgah di pendengarannya. Nada yang familiar, tidak sungkan naik beberapa oktaf ketika sang empunya suara disulut emosinya. Tegas, berwibawa, dan penuh pesona.
Netra Yusuf dengan sigap menyapu padang wajah-wajah di rombongan itu, untuk kemudian berlabuh pada satu-satunya wanita dewasa yang memandang dengan mata garang ke arah dua remaja pericuh tadi. Pandangan yang tak berubah dari ingatan Yusuf.
"Naura..." gumam lirih pria itu, menyebut nama wanita yang selalu menjadi alasan utamanya untuk datang ke acara reuni angkatan setiap tahun. Wanita yang selalu ia cari sosoknya di antara wajah-wajah lama, yang ia nantikan kabarnya, bertukar cerita, obrolan, hingga reminisi masa lalu dengan ringan.
Wanita yang Yusuf kira akan selalu beredar eksistensinya dalam hidupnya untuk waktu yang lama. Tapi ternyata, perkiraan pria itu salah. Naura telah lenyap dari reuni-reuni annual itu sejak beberapa tahun lalu. Hilang tak berkabar, hanya untuk tiba dengan wujud nyata malam ini, tanpa diduga-duga.
"Yusuf?" wanita itu—Naura, menyebut namanya. Konsentrasi manager muda itu buyar seketika.
Sementara itu, di sisi lain ruangan, Raka dan Lisa menatap kearah meja itu dari dapur terbuka dekat buffet.
"Itu mereka?" Lisa menjinjitkan tubuhnya untuk mencapai pendengaran Raka. Chef kepala itu mengangguk menanggapi.
"Nggak salah lagi. Kalau ada Mas Yus yang attend, itu berarti tamu penting. Kamu sudah hafal menu beverage-nya kan?"
"Sudah sih, Ka. Tapi itu... kelihatannya mereka masih pada remaja, masih dibawah umur." Lisa memicingkan mata, memfokuskan pandangan pada sekelompok orang yang datang menempati dua meja VIP sekaligus.
"Namanya juga dari SMA, Lis. Kamu tawarin aja minuman non-alkohol, oke?"
Lisa mengembuskan tawa tipis sambil mengangguk paham.
"Oke, Chef. Yuk?"
"Yuk."
Mereka berjalan mendekati meja itu, hanya untuk mendapati pemandangan unik yang belum pernah mereka lihat sebelumnya: general manager mereka yang karismatik dan ahli sosialisasi, kini sedang berdiri kaku bagai dikutuk menjadi batu di hadapan seorang wanita.
"Long time no see. You're so elegant with your suit till I hardly recognized you, Joseph Pratama."
Saat Lisa dan Raka tiba disana, mereka bisa menangkap potongan kalimat yang diucapkan wanita itu kepada Yusuf. Orang yang biasa mereka panggil dengan nama terjagal Mas Yus itu tidak memberikan respon apa-apa, selain pandangan yang terpaku dan kerjapan mata bisu.
Disaat-saat seperti ini, kemampuan telepati Raka dan Lisa menyala seketika.
"Ka, itu... wah, Mas Yus kena sihir apa ya?"
"Saya nggak tau. Baru lihat dia begini juga."
"Mantan pacarnya kali ya, Ka?"
Raka menahan senyum saat menangkap potongan pikiran Lisa.
"Kayak kita dong?"
Lisa membelalakkan mata.
"Ah elah, Ka! Serius.. Ini terus gimana? Do something."
Raka dengan sigap maju selangkah dan menyambut tangan wanita dihadapan Yusuf yang masih terapung di udara.
"Perkenalkan, saya Raka, chef kepala dapur Celestial Hotel. Dan ini Lisa, asisten koki dapur kami..."
Lisa buru-buru bergantian menyalami tangan wanita yang baru saja dijabat oleh Raka, ia menyuguhkan senyum teratur.
Sejenak Lisa bisa menangkap bisik-bisik gadis remaja dekat mereka, berdesis lirih pada teman sebelahnya.
"... yang ini jauh lebih kece. Kok mirip banget ya sama T.O.P Bigbang?"
"Sssssttt! Nggak usah ngadi-ngadi deh. Kalo dia mirip sama T.O.P Bigbang, gue mirip sama ketuanya The Boyz..."
Lisa mengulum senyum tertahan seiring Yusuf yang mulai tersadar, akhirnya membuka kalimat.
"Oh, iya... mereka berdua akan membantu melayani sekaligus membimbing proses grilling malam ini."
Raka mengangguk mendengar potongan penjelasan manager-nya.
"Baik, sebelum saya mengantar kalian ke meja daging, asisten saya disini akan membantu menerima order minuman dari kalian. Karena daging adalah makanan dengan rasa gurih yang bold, juicy, dengan temperatur tinggi, maka kami sarankan untuk memasangkan minuman dengan sesuatu yang dingin dan segar..."
Lisa tak berkedip memperhatikan lelakinya menjelaskan perpaduan minuman yang mendukung kombinasi menu daging, sementara Raka meneruskan penjelasan.
"... di meja buffet sudah ada free-refill iced tea, infused water, dan air mineral yang bisa kalian ambil sepuasnya. Dan karena kalian tamu VIP, kalian juga mendapat akses minuman di beverages bar di seberang ruangan sana. Untuk menghemat waktu, asisten saya disini bisa bantu menerima order jika ada yang ingin pesan minuman lain. Silahkan, Lis."
Mendengar namanya disebut, gadis itu lantas membuka bicara.
"Ya, Chef."
Lisa mengarahkan pandangan ke sekeliling meja sambil melanjutkan kalimat, "... jadi, dari list beverages yang tersedia di bar kami ini ada enam macam minuman yang bisa di-order. Pertama, ada..."
"Kalo mau minum bir, boleh nggak ya?" Kata-kata Lisa terpotong oleh kalimat yang diajukan seorang remaja lelaki berkaos oranye. Asisten koki itu berkedip gugup, membuka mulut sedetik hanya untuk dipotong kembali.
"Kalo di Korea minumnya soju untuk mengimbangi daging-daging kayak gini. Kalo disini, minum bir mungkin usul yang bagus."
Lisa kembali mengerjapkan mata, bingung harus menjawab apa.
Duh, peraturan Celestial Hotel soal minuman beralkohol itu ketat banget, apa lagi buat anak remaja...
"Kamu masih dibawah umur, Harris Evanesco." Suara lantang bernada tajam menyelamatkan kegundahan Lisa seketika.
Ah, wanita itu! Penyihir yang tadi sukses membuat Mas Yus membeku. Kini suaranya juga menyihir remaja yang dipanggil Harris tadi, membuat siswa SMA Berdikari itu kicep seketika.
Woh, gila...pantesan aja Mas Yus klepek-klepek gini, dia kayak Medusa, bisa bikin orang beku! Lisa tak bisa menahan otaknya berkelana menarik kesimpulan.
"Maaf ya karena udah menyela penjelasannya. Silahkan dilanjutkan lagi, Dek Lisa."
Suara yang tadi bernada tegas, kini melunak bertabur pandangan memohon maaf ke arah Lisa, membuat asisten koki yang baru saja menyematkan gelar 'Medusa' pada wanita itu tersenyum sejenak sebelum melanjutkan.
"Yang pertama, ada air soda, Kedua, matcha. Lalu, lemon tea. Juga ada Squash, variannya bisa lemon, stroberi, atau kiwi. Selanjutnya, ada Virgin Mojito dan yang terakhir Virgin Cocktail," tandas Lisa menyebutkan menu-menu yang aman dikonsumsi anak dibawah umur.
"Virgin apa?" Seorang remaja lelaki melambungkan pertanyaan, air mukanya dipenuhi rasa keingintahuan.
"Kedengarannya rancu, ya? Jadi, Virgin dalam minuman itu artinya tanpa campuran alkohol..." Lisa menjelaskan dengan sabar. Remaja yang bertanya tadi mengangguk paham, diikuti teman-temannya yang mulai menyerukan jawaban akan pilihan mereka.
"Tidak perlu ribet. Gue air soda aja. Yang mau samaan dengan gue, langsung kasi tau aja sama asistennya biar nggak kelamaan."
"Gue sama Nevan sama aja, air soda juga," ujar seorang gadis dengan wajah cantik yang duduk bersebelahan dengan pemuda cakep—alisnya berkerut, tapi tidak protes. Dia kali ya yang namanya Nevan? Pacaran kali ya mereka, sampe minuman bisa samaan juga, pikir Lisa sambil memperhatikan.
"Saya matcha saja."
"Satu matcha..."
Dua suara mengudara bersamaan. Milik si Medusa, dan bapak berdandan borju yang Lisa curigai sebagai kepala sekolah.
"Err... oke, jadi dua matcha, ya?" Lisa tersenyum, melihat dua orang dewasa itu menjadi kikuk seketika.
Hmm... apa nona Medusa dan pak kepsek juga ada romansa-romansa nya ya? Wah... menarik. Pikiran Lisa melayang kemana-mana, senyumnya tersulut sambil menyembunyikan kesimpulan di dalam kepala, memperhatikan dengan bisu bagaimana Mas Yus yang masih belum beranjak juga, mematai wanita itu dan kepala sekolah bergantian.
"Virgin Moji—apa tuh namanya, itu apa sih?" Gadis remaja lain menanyakan pesanan.
"Virgin Mojito, itu minuman dengan campuran mint dan lemon. Kalau Virgin Cocktail, pink lemonade dengan campuran mint sama cherry." Lisa kembali menjabarkan.
"Aku Virgin Cocktail aja," putus remaja tadi.
"Gue mau Virgin Mojito aja." Gadis lain menyahut.
Lisa menghitung kilat dalam kepalanya.
"Oke, tinggal tiga pesanan lagi." ia menatap bergantian wajah tiga orang yang belum menyebutkan pesanan.
"Gue kurang suka minuman manis, jadi sori ya Kak. Gue nggak pesen aja." Satu remaja cowok menolak dengan senyuman manis, membuat Lisa tanpa sadar sedikit kagum. Bujug lah anak SMA jaman sekarang, mirip-mirip idol korea gini perawakannya.
"Wah, sayang banget. Kalo gitu bagian elo kasih gue aja ya. Biar gue pesen dua minuman." Remaja laki-laki lain menyerobot dengan senyum lebar.
"Lemon tea-nya dua gelas deh ya. Biar dagingnya ngimbangin sama asem-asem jadinya gimanaaa gitu." Ia melanjutkan dengan semangat.
"Aku squash lemon aja deh, mirip-mirip sama Harris." Remaja cewek yang duduk di sebelahnya berkata. Lisa mengangguk sementara dua remaja yang baru memesan tadi mulai berdebat ditengah udara.
"Palingan mirip rasa lemonnya doang," kata si cowok.
"Oh jadi lo mau kita perbanyak persamaan diantara kita?" balas si cewek.
Serunya cinta remaja, batin Lisa sambil lalu.
"Baik, saya ulangi pesanannya ya. Jadi, tiga soda, dua matcha, satu Virgin Cocktail, sama satu Virgin Mojito, trus yang terakhir dua lemon tea sama Squash rasa lemon. Ada yang ketinggalan?" Asisten koki itu mengabsen ulang pesanan yang ia catat dalam ingatan kilat, membuat seisi meja tercengang takjub seketika memperhatikan sosok mungil Lisa mengedar pandang.
"Tidak, terima kasih. Ingatan Anda bagus sekali, Dek Lisa." Suara bapak kepala sekolah menyentuh telinga Lisa, membuatnya tersenyum sembari menjawab.
"Terima kasih, Pak."
Remaja-remaja murid SMA Berdikari itu pun mulai beranjak menuju meja buffet di dampingi Lisa, Chef Raka bersiap berdiri tak jauh dari sana. Sementara murid-murid mengantri di meja buffet, terdapat dua orang dewasa yang berdiri mengawasi—kepala sekolah SMA Berdikari, Rio Harvey, dan guru wanita yang memiliki pandangan tajam sedingin es. Si Medusa, alias Naura.
Sang manajer, Yusuf, berdiri tak jauh dari sana, menunggu momen kesempatan sempit untuk bersinggungan dengan wanita yang menyimpan rahasia masa lalunya.
Saat wanita dengan aura es itu melewati sosok Yusuf, pria itu membisikkan kalimat lirih.
"Kamu... kemana aja selama ini?"
Langkah kaki wanita itu terhenti.
"Aku khawatir, Ra. Kamu hilang begitu aja tanpa jejak," lanjut Yusuf, membuat Naura bergeming. Wanita itu menyajikan ekspresi yang tak terbaca—tersembunyi dengan sempurna dalam air muka yang tertata.
"As you see, I'm really fine." Suara Naura mendesis menjawab keheningan itu, sebelum langkah kakinya mulai melaju kembali. Yusuf buru-buru menggeser tubuhnya menghalangi gerakan wanita itu.
"Ada sesuatu yang terjadi, kan?" Yusuf masih mengejar. "Tell me, please. Consider me as an old friend."
Naura menyuguhkan tatapan dingin sebelum menjawab.
"Not anymore, because I don't have any since three years ago."
Yusuf bergeming, menatap Naura lekat-lekat sementara wanita itu kembali melanjutkan.
"Tidak hanya anak-anak dan remaja yang mengalami perubahan, kita orang dewasa juga sama. Kita yang dulu tidak akan sama dengan kita yang sekarang. Mau tiga tahun, lima tahun, sepuluh tahun? Waktu yang kita lewati nggak akan bisa kita ulang kembali. Jadi, ayo kita kembali ke dunia kita masing-masing." Penjelasan pahit itu membuat lidah Yusuf kelu, air muka Naura tampak sungguh-sungguh
"Ra..." Suara Yusuf parau, merasakan matanya mulai memanas.
Naura melangkahkan kakinya dengan cepat, bergabung dengan anak didiknya tanpa mengubah ekspresi dingin di wajahnya, meninggalkan Yusuf yang menatapnya dengan putus asa. Hati pria muda itu ngilu, setiap debaran jantung yang berdegup terasa sakit.
Tanpa dua sejoli itu sadari, sang kepala sekolah—Rio Harvey, berdiri tak jauh dari sana, mendengar percakapan mereka sayup-sayup.
🥨
Butuh waktu satu jam yang heboh untuk rombongan dari SMA Berdikari itu selesai menuntaskan santapan mereka.
Tampak sang kepala sekolah, Rio Harvey, berjalan mendahului rombongan untuk melakukan pembayaran. Anak-anak didiknya tampak lebih dulu keluar dari lobby hotel, meninggalkan Rio Harvey yang dengan gerakan mencurigakan, mencondongkan tubuh ke arah staf dibalik meja kasir.
"Permisi, Bu. Apa saya boleh menitipkan sesuatu ke Bapak Joseph Pratama?"
Staf itu tampak berpikir sejenak. "Oh, Mas Yus? General manager itu ya, maksud Bapak?" tanya staf tersebut sambil tersenyum ramah. "Tentu saja. Nanti akan saya serahkan langsung ke Pak Joseph."
Rio mengeluarkan kartu nama dari dompetnya, lantas mencatat deretan nomor telepon yang sudah dihapalnya di luar kepala, lengkap dengan sebaris nama.
"Terima kasih, Bu. Mohon serahkan secepatnya ya, terutama sampaikan ke Bapak Joseph untuk perhatikan pesan yang saya tulis ini."
Ketika Rio Harvey berbalik, tubuhnya hampir bertabrakan dengan salah satu muridnya—Nevan Anindira, adik kandung dari si Medusa, Naura Anindira.
"Nevan... kok kamu disini?" tanya Rio Harvey.
"Saya disuruh Kakak untuk jemput Bapak, soalnya kita tungguin dari tadi, Bapak nggak keluar-keluar."
🥨
Malam telah larut, dua jam lewat sejak Naura menginjakkan kaki di Celestial Hotel. Ponselnya yang tergeletak di atas meja ruang tamu berdering. Ketika mengetahui kalau nomor tersebut asing dan juga ini sudah larut, wanita itu memutuskan untuk mengabaikannya.
"Angkat aja, Kak. Aku yakin dia itu Kak Yusuf." Sebuah suara membuat Naura berjengit kaget, karena sedari tadi dia sendirian di ruang tamu redup yang minim cahaya.
"Kamu belum tidur?" tanya Naura datar, tidak mengira kalau adiknya, Nevan, masih bekeliaran di luar kamarnya jam segini. "Dan juga, kenapa kamu bisa tau ini Yusuf?"
"Karena Kepala Sekolah kita yang tercinta telah berbaik hati untuk menyumbangkan nomor Kakak ke Kak Yusuf," jelas Nevan blak-blakan. "Sayangnya aku melihat sendiri aksinya, jadi aku merasa harus bertindak juga."
Tepat pada saat itu, deringan penggilan tersebut berhenti.
Naura mulai kesal akan penjelasan Nevan. "Kenapa Pak Rio harus ikut campur?"
"Oh, I'm pretty sure you know what's exactly the reason," jawab Nevan sambil menyandarkan dirinya di ambang pintu ruang tamu. "Even you choose to ignore all this, just like a loser."
Ponsel Naura berdering lagi, tetapi wanita itu terlanjur marah atas perkataan Nevan hingga ia memutuskan untuk mengabaikan ponselnya.
"A loser?" ulang Naura dengan kekesalan bak siluman singa.
"Yes, a loser. Should I spell it?" tanya Nevan menyindir, mengabaikan ekspresi marah kakaknya seakan mengajaknya bercanda. "Aku sadar sesuatu waktu liat Kakak natap Kak Yusuf seperti tadi di restoran hotel itu. Sadar kalo rupanya kita sama, Kak. Kita sama-sama adalah orang pengecut yang menghindari akar masalah yang membuat kita kayak gini, meski kasusnya sedikit berbeda. Kalo akar masalahku tentang tidak bisa menerima kepergian Nathan, saudara kembarku, dan menyalahkan Tamara—cewek yang aku cintai, atas semuanya, akar masalah Kakak adalah membuang kebahagiaan Kakak sendiri yang berefek pada kesalahpahaman Kak Yusuf."
Naura bungkam, untuk pertama kalinya. Jika biasanya dia yang bisa menundukkan Nevan dengan perkataannya, sekarang keadaan berbalik 180 derajat.
Meski kesal, Naura harus mengakui kalau apa yang dikatakan adiknya benar. Itulah sebabnya ia tidak berkilah atas perkataan Nevan.
"Menurut aku, Kakak masih bisa memperbaiki sebelum semuanya terlambat, karena mungkin ini adalah kesempatan terakhir," ucap Nevan. "Selesaikan semuanya, kalo Kakak memang mau Kak Yusuf lepas dari benang yang terhubung sama Kakak, maka Kak Yusuf berhak tau apa yang terjadi tiga tahun yang lalu. Selebihnya, hanya Kakak yang bisa mutuskan sendiri apakah masih mau melanjutkan hubungan Kakak sama dia atau tidak."
Maka, disinilah Naura kemudian. Duduk di hadapan Yusuf yang menatapnya berbatas meja kecil.
"Makasih, Ra. Kamu sudah bersedia menemui aku," ucap Yusuf bersungguh-sungguh. Tatapan lelaki itu sedikit banyak berhasil membuat Naura terlempar pada nostalgia semasa muda, dulu, saat eksistensi Yusuf masih ada di hidupnya.
Naura adalah anak pertama keluarga Anindira. Selisih umur antara dirinya dengan adik kembarnya yang terlampau jauh secara tidak langsung membentuk karakternya untuk menjadi orang tua tunggal pengganti papa dan mamanya yang selalu sibuk dengan bisnis mereka. Itulah mengapa, karakter Naura menjadi galak dan lebih dewasa dari usianya seiring berjalannya waktu.
Saat kuliah, Naura memilih jurusan Manajemen di Universitas Ekonomi Indonesia, dimana Yusuf juga menempuh pendidikan yang sama. Sama-sama mempunyai orang tua yang sibuk dengan bisnis keluarga, Yusuf dan Naura menjadi mandiri ada usia muda, meskipun bedanya, Naura menjadi panutan untuk kedua adiknya, sedangkan Yusuf cukup memikirkan dirinya sendiri.
Walau tidak banyak berbicara satu sama lain, Yusuf senang menjadi teman Naura. Entah karena usahanya membuahkan hasil, yakni Naura yang lambat laun luluh dengan sikapnya, yang jelas mereka berdua menjadi akrab seiring berjalannya waktu. Bahkan Yusuf juga dekat dengan Nevan dan Nathan, adik kembar Naura, saking seringnya pria itu mengunjungi rumah mereka, dulu.
Yusuf juga paham tentang eksistensi Nathan yang jarang keluar rumah karena fisiknya lemah, terutama fakta bahwa anak itu mempunyai penyakit bawaan sejak lahir. Oleh karenanya, Yusuf juga sering melibatkan dirinya untuk membantu menjaga kembaran Nevan itu di rumah sakit, bolak-balik keluar UGD, disela-sela kesibukannya menjadi mahasiswa.
Hingga keduanya wisuda pun, Yusuf masih ingin terus dikaitkan dengan kehidupan Naura. Dia memilih magang di tempat kerja yang sama dengan wanita itu, hingga status mereka menjadi pegawai tetap selama bertahun-tahun.
Naura menghela napas panjang. Ekspresi kakunya tampak melunak ketika duduk berdua dengan Yusuf. Atmosfer mencair, rasanya seperti mereka kembali menjadi mahasiswa.
"Aku yang makasih sama kamu, karena bersedia untuk bertahan selama ini. Dari dulu hingga sekarang, kamu ternyata masih sama." Kalimat Naura membuat Yusuf tersenyum.
Lelaki itu menopang dagu. "Karena aku yakin dan percaya kalo kamu punya alasan khusus sampai mengabaikan aku kayak gini. Jadi, sekarang kamu mau cerita kan?"
Naura tampak berpikir. "Oke. Tapi sebelumnya, aku mau minta maaf sama kamu. Nggak seharusnya aku pamit tanpa mengucapkan selamat tinggal dengan benar. Aku salah fatal karena mengira dengan mengabaikanmu, kita akan sama-sama melupakan semuanya dengan alami seiring berjalannya waktu."
"Meski begitu, toh akhirnya kita bertemu lagi," ucap Yusuf dengan senyum yang kentara. "Aku percaya sama takdir, Ra. Dan aku juga percaya kalau takdirku itu kamu. That's why I never stop, aku nggak pernah sekalipun melupakan kamu."
Tanpa diduga-duga, Naura menggeleng. Tatapan hangatnya berubah menjadi dingin. Matanya kembali menatap tajam, berjarak. "Aku ke sini hanya untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi tiga tahun lalu, Yus. Tidak untuk hubungan kita yang selanjutnya."
Yusuf tampak seperti baru saja tertampar. Mulutnya terkatup, bungkam. Sorot matanya sarat akan luka, tetapi Naura tampak sengaja mengabaikan. Termasuk juga mengabaikan rasa sesak yang mulai terasa di dadanya sendiri.
"Alasannya adalah kepergian adikku—Nathan, secara mendadak tiga tahun lalu karena kecelakaan," ucap Naura tanpa ekspresi seakan dengan begitu perasaannya akan bisa tertutupi. Sementara Yusuf, tampak jelas membelalak dengan rasa syok yang pasti.
"Dan pelakunya adlaah anak Kepala Sekolah SMA Berdikari. Kamu udah ketemu sama dia kemarin," lanjut Naura.
"Pak Rio Harvey?" tebak Yusuf yang masih berusaha bangkit dari keterkejutan.
Naura mengangguk. "Nama anaknya adalah Vio Harvey. Saat itu anaknya masih di bawah umur dan itu murni kecelakaan yang nggak disengaja. Kecelakaan itu nggak hanya melibatkan Nathan saja, tetapi juga teman dekatnya Nevan. Ceritanya cukup panjang, tapi yang paling penting adalah, kecelakaan itu memberikan efek yang besar pada kami semua.
"Nevan berubah total 180 derajat; karakternya jadi mirip Nathan versi pemberontak. Kedengarannya mungkin seperti mencari-cari alasan, tetapi aku mengira jalan yang terbaik adalah membuka lembaran baru dengan melupakan semuanya meskti ternyata itu adalah kesalahan besar, dan baru kusadari belakangan," lanjut Naura.
"Sama kasusnya dengan aku." Naura menghela napas. "Aku, yang memilih untuk pamit tanpa menjelaskan semuanya padamu adalah kesalahanku. Ini murni kesalahanku, jadi kuharap kamu bisa melepaskan beban dalam hati kamu mulai sekarang."
"Beban? Kamu sama sekali bukan beban buat aku. A-aku—"
"Ya, apapun itu," potong Naura cepat, tak memberikan Yusuf kesempatan berbicara. Wanita itu melakukannya demi menutupi nyeri di hati, dia merasa harus segera menyelesaikannya secepat mungkin.
"Seperti yang aku bilang sebelumnya. Waktu yang nggak akan bisa kembali lagi. Mau tiga tahun atau bahkan sepuluh tahun sekalipun, masa itu nggak akan bisa terulang lagi. Jadi, karena kamu udah tau kebenarannya seperti apa, bukankah udah saatnya kamu fokus ke kehidupan kamu yang sekarang?" tanya Naura dengan senyuman. Senyum yang pertama kali dilihat Yusuf pada wajah wanita itu, setelah tiga tahun berlalu.
"Then, let me ask you one question," kata Yusuf, masih menahan sedihnya. "Have you ever—even for a brief while, had that thing, feeling, the way I feel it?"
Naura tampak sudah menduga momen ini akan tiba. Mereka telah terlalu dekat selama ini, sangat mustahil jika tidak ada sesuatu di antara mereka. Bukankah persahabatan di antara lawan jenis akan selalu berujung ke sana?
"Munafik kalau aku bilang nggak ada." Naura memutuskan untuk berkata jujur, tak mau ada yang ditutupi lagi. Naura merasa harus menuntaskan semuanya.
"Tapi kalau kamu mau bertanya apakah aku menyesal dengan pilihanku tiga tahun lalu? Mungkin aku bakal jawab nggak. Mau tau kenapa? Karena kebahagiaan adik aku adalah segalanya meski pada akhirnya aku harus mengorbankan diriku sendiri."
Naura mendengus, memaksakan tawa. Mata Yusuf mulai terasa panas. Inilah Naura yang dia kenal, Naura yang kuat.
"Karena pada detik aku kehilangan seorang Nathan Anindira, aku juga takut bakal kehilangan seorang Nevan Anindira. Bagaimana dia begitu frustasi hingga membentuk pribadinya yang lain, bagaimana dia begitu desperate hingga menyalahkan dirinya sendiri, dan bagaimana dia hidup seperti layaknya mayat hidup tanpa kebahagiaan, hanya aku yang bisa merasakannya. Itulah sebabnya, aku minta maaf padamu karena melibatkanmu terlalu lama hingga sekarang.
"Jadi, apakah kita udah boleh saling melepaskan benang di antara kita?" tanya Naura yang kini mulai tampak lirih, matanya terluka. Wanita itu begitu hebat dalam menyembunyikan ekspresinya, tetapi kali ini sepertinya Naura sedikit goyah. "Makasih buat semuanya, Joseph Pratama. Seumur hidupku, kamu memang teman terbaik yang pernah aku punya. Kita tidak tahu takdir apa yang menanti kita kedepannya, tapi aku berharap, kamu sama sepertiku untuk terus melangkah ke depan tanpa menoleh ke belakang lagi. Will you promise me?"
Setelah menunggu Yusuf mengangguk tanpa suara, Naura akhirnya bangkit meninggalkan meja mereka.
Tepat ketika Naura telah membuka pintu cafe, tangan Yusuf sigap menariknya dari belakang, membuat Naura berbalik ke arahnya.
Yusuf meremas kedua bahu Naura, air mata telah menggenang tanpa bisa dicegah.
"At least, let me do something for one last time," lirih Yusuf yang tanpa menunggu persetujuan, langsung merengkuh tubuh Naura dalam satu pelukan.
"Kamu bilang kamu paling bisa merasakan bagaimana penderitaan adikmu. Tapi aku, setidaknya aku yang paling bisa merasakan penderitaan kamu. Kamu juga pasti menderita selama ini. Maaf karena aku telat mengetahui kebenarannya. Andai waktu bisa terulang kembali, aku tetap akan mencarimu, bahkan sampai ujung dunia sekalipun."
Yusuf bisa merasakan tubuh kaku Naura bergetar. Wanita itu sesenggukan sekarang, untuk pertama kalinya mencurahkan emosi yang tidak pernah dikeluarkannya dengan bebas.
Jika pelukan adalah obat dari luka, wanita itu akan setuju kalau efeknya benar-benar seluar biasa ini.
_______________
🥨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro