Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9 · Good Egg

🥨

____________________

Service Time saat dinner kali ini berjalan dengan normal seperti biasa, sibuk padat namun tetap berlangsung cepat dan lancar.

Pembeda dari dinner pada malam-malam biasanya adalah kehadiran Chef Raka yang berjalan mengitari ruangan dapur sambil melihat progres para koki dari pundak mereka, sesekali menanyakan satu-dua hal dengan singkat.

Suara kertas printer yang tercetak di chef table menarik perhatiannya, membuat Chef Raka berjalan ke arah meja stainless steel di depan ruangan itu dan merobek pesanan baru untuk membacakan.

"Meja nomor 19, tambahan—satu pasta carbonara dengan special request: poached egg..." Tatapan Raka tertuju kepada Vion yang mengangkat wajah dari kompornya dengan ekspresi buncah.

"... kamu bisa?" ujar Chef Raka dengan nada bertanya ke arah pasta cook muda itu.

"Poached egg kan menu sarapan, Chef?" Terdengar jelas kebingungan dalam suara Vion.

Aku bisa mengerti benar kebimbangan Vion saat ini. Pasalnya, poached egg memang sebuah pilihan umum yang biasa disantap pada pagi hari—telur yang direbus tanpa cangkang dalam air mendidih, membuat kuning telur menjadi fokus utama dari masakan ini. Dengan bentuk final bulat-pipih utuh dan tekstur lumer jika diangkat setengah matang, serta padat-rapuh dan meleleh di mulut jika dimasak matang.

Memang sebuah kombo aneh jika dikolaborasikan dengan pasta carbonara, sebuah masakan pasta creamy bertabur potongan daging yang memang mengandung telur—tapi peran telur disini untuk diaduk dalam parutan keju sebagai saus pasta, tidak berbentuk utuh.

Ditengah kebingungan akan pesanan aneh itu, seorang Waitress yang masih menggenggam buku menu memasuki pintu dapur dengan langkah terburu-buru.

"Pesanan meja sembilan belas, special request..." ucapannya terputus oleh tarikan nafas yang terengah-engah. Vion dan Chef Raka otomatis memusatkan perhatian penuh mereka kepada Waitress itu.

"... itu pesanan spesial untuk anaknya tamu hotel, mereka bilang dia nggak bisa makan kalau nggak ada poached egg nya—mintanya yang runny, setengah matang."

Melihat Chef Raka dan Vion yang saling pandang selama beberapa detik, Waitress itu mendesah dengan nada putus asa.

"Bisa atau nggak? Kalau nggak bisa, saya bilang—"

"Bisa." Chef Raka memotong kalimat itu dengan vonisnya, membuat sang Waitress mengangguk dan berbalik meninggalkan dapur.

"Tapi Chef, saya nggak—" 

"Kamu garap Carbonara-nya, poached egg biar dibuat terpisah. Hemat waktu, efektif. Go!"

"Ya Chef," patuh Vion sambil menjamah pasta pan pada rak besi di hadapannya.

Tanpa kuduga, Chef Raka berjalan dengan cepat ke arahku sambil melihat apa yang sedang aku kerjakan.

"Garden salad?" Suara itu rendah mengenai pendengaranku.

"Ya, Chef..."

"Sudah selesai?"

"Ini tinggal plating, Chef."

"Oke, habis ini kamu buat poached egg-nya."

"Saya?"

"Ya. Saya dengar dari Yusuf kalau kamu sering bantu egg stand di shift breakfast, benar?"

Aku mengangguk samar mendengar penjelasannya. Dia kok bisa se-kepo itu tentang aku?

"Bisa bikin poached egg kan?" tanya Chef dengan nada mendesak. Hatiku menggumam sedikit mendengar pertanyaan itu, kamu tau sendiri jawabannya apa.

"Iya, bisa..." ujarku pelan.

"Kalau begitu, kamu bikin sekarang. Dan jangan lupa siapkan satu tester juga," perintah lelaki itu.

"Ya Chef," jawabku sambil menyendok salad ke atas piring.

Setelah tuntas berkutat dengan garden salad itu, aku segera mengambil panci dan mengisinya dengan air. Kompor kunyalakan, dan tanganku sigap menuangkan vinegar (cuka) dan garam ke dalam panci.

"Pras, telur—dua." Suaraku menjangkau pendengaran salah satu running man yang menjawab dengan 'oke' diiringi langkah seribu. Aku menyiapkan satu mangkuk guna menampung putih telur yang akan dipisahkan, saat Prasetya kembali dengan dua butir telur di tangannya.

"Makasih," ucapku cepat sambil menerimanya.

Bagiku, cooking is science.
Untuk sukses dalam memasak, hanya butuh implementasi logika dan sedikit hukum fisika.

Mari kita mulai dengan rebusan air dihadapanku ini, kenapa aku menambahkan garam dan cuka? Jawaban simpelnya adalah karena aku membutuhkan seasoning atau bumbu bagi si telur itu agar rasanya tidak bland, tawar. 

Tapi, alasan utama aku melakukanya adalah.. Well, pertama, garam dapat meningkatkan titik didih pada air, sehingga membuat air rebusan ini mendidih lebih lama dan stabil. Hal ini dikarenakan larutan garam membutuhkan lebih banyak paparan panas agar bisa mendidih, sebab molekul air yang ditambah garam lebih sulit menguap daripada air tawar biasa—fenomena ini disebut elevasi titik didih. 

Kedua, putih telur merupakan bentuk protein padat yang akan segera mengental jika terkena panas, sementara kuning telur mengandung campuran lemak, protein, dan nutrisi yang membuatnya lebih lama mengental daripada putihnya. Itulah sebabnya, cuka digunakan untuk mempercepat pembekuan putih telur agar tidak bubar dan mengapung di tengah jalan, memberikan kesempatan bagi si kuning untuk mematang dalam pelukannya. 

Kesimpulannya, paduan antara garam dan cuka membuat proses eksekusi poached egg ini lebih efektif.

Aku mengambil kitchen thermometer dan memasukkan ujung besi panjang itu ke dalam air rebusan—82⁰C. Sedikit lagi, dan suhu air ini akan menjadi suhu yang tepat untuk menceburkan pemeran utama dari acara masak-memasak malam ini, si telur.

Aku mengambil salah satu telur dan membenturkan sisinya di meja datar, membelah cangkangnya menjadi dua ceruk dan menuangkan kuning telur di satu sisinya. Putih telur yang bertumpahan langsung ditampung oleh mangkuk yang telah kusiapkan diatas meja, dan dengan perlahan aku menuangkan kuning telur di satu sisi ceruk ke sisi satunya lagi, bergantian mengoper-oper benda licin-rapuh kekuningan itu dari satu cangkang ke cangkang lain, kanan-kiri, kanan-kiri, hingga si kuning minim lendir putih dan siap untuk diceburkan ke dalam panci.

Aku memasukkan telur pertama itu, dan segera melakukan hal yang sama pada telur satunya. Melihat jam bundar di belakang chef table, aku memperhatikan jarum panjang yang menandakan menit disana. Untuk membuat poached egg setengah matang dengan kuning telur yang lumer ketika dibedah, kita tidak boleh memasaknya lebih dari 3-4 menit.

Saat membersihkan sampah cangkang telur dari atas meja, sebuah ingatan tiba-tiba hinggap di kepalaku tanpa permisi...

Waktu itu minggu-minggu Ujian Akhir semester, tanggal tua. Aku dan Raka memutuskan untuk makan siang dengan menu 'White Rice topped with Buffalo-eye styled Egg, sauced with fermented Black Soy'... alias nasi telor mata sapi dengan kecap.

Salah satu permainan jayus yang biasa kami mainkan saat masak bersama adalah 'tabrakan telor', dimana aku dan Raka masing-masing akan memegang satu telur di ujung tangan, lalu saling menabrakkan telur tersebut hingga 'crackk'siapa yang telurnya pecah duluan, dia yang kalah.

"Siap ya? Satu ... dua..."

Prakk.

Telur yang kugenggam berhasil menembus sampai ke telapak tangan Raka, membuat remahan cangkang bercampur lendiran telur mentah tumpah ke atas piring melamin dibawah tangan kami.

Gelegak tawa memenuhi dapur kecil kontrakan Raka, membuat sobatnya, Oky, yang sedang bermain PS di tivi ruang tengah melengok ke arah dapur.

"Pasangan edan," dengus Oky sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Aku masih terbahak penuh kemenangan.

"Ayo, yang kalah bersihin kulitnya ini... nih, nih." Aku segera menyodorkan piring melamin itu ke arah Raka, membuatnya bersungut-sungut memungut pecahan cangkang telur yang paling besarmenggunakannya untuk menyendok potongan-potongan kecil cangkang telur yang pecah dan masuk kedalam telur mentah itu.

"Kalo inimah bukan jadi mata sapi, tapi dadar namanya..." Raka berkata sambil memungut potongan terakhir pecahan kulit telur itu.

"Dadar. Da.. Dar.. da-dar. Jelek banget ya, namanya dadar ... ganti dong, mata sapi. Eh jangan, mata-apa, gitu." Aku berkomentar sambil memecah telur diatas wajan teflon, menaburkan sedikit garam diatasnya.

"Mata-mata? Mata hati?" ujar Raka jayus sambil memasukkan garam kedalam kocokan telurnya.

"Mata keranjang!" pekikku bersemangat diikuti tawa lebar.

"Garing banget sih." Raka berkomentar ke arahku, entah untuk telur yang sedang kugoreng atau untuk humor kriuk yang baru saja ku lontarkan—mungkin keduanya.

"Garing-garing gini kamunya juga sayang," gumamku diiringi senyum terkulum, membuat Raka mengacak pucuk kepalaku dengan gemas.

"Eh eh! Belom cuci tangan ya? Ahhh rambutku nanti bau teloorr!!" protesku itu berbalas tawa lebar oleh Raka.

Beberapa menit kemudian, kami berdua duduk di meja makan sambil menyantap menu sederhana itu.

"Good egg?" aku bertanya sambil menyendok sesuap nasi kedalam mulutku.

"Good egg." Raka menjawab sambil mengangguk.

Ini adalah tradisi yang menjadi kebiasaan kami—setiap kali makan bersama, aku dan Raka selalu menunjukkan rasa syukur dengan cara memuji si makanan.

Jika makan kentang goreng, salah satu dari kita akan menanyakan,

"Good fries?" Yang akan dijawab semi-otomatis dengan, "Mmm, good fries."

Atau jika makan ayam goreng McDono...

"Good chickin?"

"Iya, Good chickin."

Aku mengedipkan mata dan pandanganku terfokus pada panci di hadapanku.
Kesadaranku kembali pada saat ini. Oh sial, poached egg!

Kusempatkan diri melirik jarum jam yang menunjukkan sudah tiga setengah menit aku melamun. Buru-buru aku mengambil saringan besi dan mengangkat telur yang putihnya telah menjadi pekat dan kuningnya membentuk wujud bundar pipih sempurna.

Aku menuangkan dengan hati-hati dua butir poached egg itu pada dua piring kecil terpisah, dan segera membawanya menyeberangi ruangan.

"Ini, Yon." Aku menaruh satu piring poached egg itu di meja station Vion, sementara koki muda itu sedang memasukkan segenggam spaghetti ke dalam pot berisi air mendidih.

"Oke, thanks Lis." Vion menjawab singkat sambil melanjutkan kegiatannya, sementara aku melangkahkan kaki menuju chef table.

Chef Raka sudah menunggu dengan sebuah butter knife di pinggir meja.

"Silahkan, Chef..." ucapku lirih seraya meletakkan satu piring kecil tester poached egg di hadapannya. Dengan gerakan sigap, Chef Raka meraih pisau itu dan mengiris horizontal tepat ditengah lingkaran telur. Cairan oranye kental mengalir keluar seiring pisau tumpul membelah poached egg dengan sukses.

"Oke, pass," vonis Chef Raka sambil mengangguk puas. Senyuman lebar merekah di wajahku. Inilah saatnya.

"Nggak dicoba, Chef?"

Mataku berkilat penuh niat saat melihat ekspresinya. Raka mengangkat wajahnya dan langsung memandangku lurus. Aku menggesturkan lirikan pada tester itu sekilas, membuat Chef itu kembali mengangkat pisau perlahan dan mengambil irisan kecil poached egg—memasukkan potongan itu kedalam mulutnya.

"Mmm. Tidak bland, seasoning kamu sudah cukup. Tekstur-nya juga lembut dan runny, sesuai pesanan." Chef Raka menilai masakan itu sambil kembali mengangguk penuh persetujuan.

"Good Egg?"

Pertanyaan dariku itu membuat Chef Raka membeku sedetik, sebelum kemudian terdengar suara lirih yang begitu familiar di telinga ku, mengucap kata yang kupikir tak akan pernah kudengar lagi.

"Good Egg."

____________________

🥨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro