Chapter 7 · Persiapan
🥨
____________________
"Mbak, satu set treatment Manicure dan Pedicure ya..." Gita berkata dengan lancar sambil mengeluarkan kartu emas dari dompetnya. Pramuniaga dibalik meja kasir menerima uluran tangan Gita dengan sopan, sementara aku yang berada dibalik punggung sosialita ini meringkuk bagai anak kucing dijepit lehernya.
"Git, nggak perlu meni-pedi, deh... aku kan kerja di dapur, pasti nanti kukunya rusak lagi," bisikku sambil berjinjit dekat telinga Gita, yang langsung dibalas dengan desisan galak.
"Sssshh, udah ya Lis. Kamu nurut aja hari ini."
"Tapi kan Git... aku rasa nggak perlu—"
"Udah, percaya aja sama aku. Dah buruan masuk, habis ini kita ke salon. Facial udah, wajah udah glowing begitu, tapi masa itu rambut kamu gondrong sepunggung aja, ujungnya pecah-pecah pula. Gak bisa! Harus totalitas!" Tanpa sempat protes akan kalimat Gita yang melecehkan ujung rambutku, aku sudah terseret ke dalam nail salon itu.
Treatment dijalankan, kedua kakiku direndam air hangat bertabur bath salt sementara tanganku pasrah dikerjakan oleh Mbak-mbak nail technician yang mendorong lapisan kutikula jemariku hingga terlepas. Ouch.
"Kukunya mau di warna apa, Kak?" Sapaan suara Mbak nail tech itu mengakhiri lamunanku.
"Oh, emm... kasi base coat aja mbak," putusku singkat.
10 menit kemudian, aku sudah beranjak menuju sofa tempat Gita sedang meng-scroll iPhone-nya.
"Udah Lis? Mana coba liat..."
Aku menunjukkan jari-jemariku ke hadapan Gita, membuatnya menautkan alis tak puas.
"Pendek amat? Terus itu kok nggak di warnain sih? Disini nail artist-nya bagus loh," protesnya.
Aku mengedikkan bahu.
"Males ah, nanti kalo kuteknya rontok terus masuk ke dalem makanan gimana? Begini aja udah bener, fungsional." Pembelaan itu ku ajukan dengan logis, membuat Gita mengernyit sekilas sebelum menerima kekalahan.
"Yaudah. Yok sekarang buruan cabut, habis ini kita masih harus ke Sephora dan cari sepatu baru buat kamu. Disana pake seragam, jadi nggak perlu baju kan?"
Aku menghela napas seraya ditarik mengikuti langkah kaki Gita.
🥨
Dua jam kemudian, aku dan Gita sibuk memasukkan keranjang belanjaan hasil perburuan. Hanya dua dari tumpukan keranjang itu yang merupakan barang untukku—80% sisanya adalah belanjaan Gita, dan tak satupun isi dari shopping bag itu yang merupakan Kebaya, benda wajib yang menjadi tujuan utama kami menjelajah mall siang ini. Dasar Gita, kalau sudah belanja jadi kalap, lupa daratan.
Suara adzan ashar terdengar sayup-sayup dari parkiran mobil tempat kami berada.
"Git, udah jam segini, kayaknya nggak cukup deh buat aku pulang dan siap-siap." Aku mengencangkan seat belt sambil menatap Gita, gadis itu sedang melakukan hal yang sama, namun segera menghentikan gerakannya.
"Hm, yaudah kalo gitu... ini, kamu pake sekarang aja." Gita membalikkan tubuh dan meraup satu kantong oranye berlogokan tanda centang di tengahnya. Ia menyerahkan benda itu padaku, seraya mengobok-obok kantong belanjaan lain bergaris horizontal hitam-putih.
Aku membuka kotak dalam kantong oranye tadi sambil menahan senyum. Sepatu Nike seri Paul George PG1, berwarna hitam (warna wajib sepatu dapur) dengan motif titik-titik subtle di bagian bawah setara bintang malam, serta logo centang hologram reflektif yang memantulkan warna metalik. Gila, pikirku. Gita memang sepupu terbaik.
Sepatu yang dibandrol harga nyaris dua juta rupiah itu bagaikan cinderamata murah saja bagi Gita, yang kini sedang mengeluarkan beberapa kotak produk makeup dari dalam kantong bergaris itu.
"Lip tint, clear brow gel, blush on, tinted moisturizer... segini aja yang kamu ambil tadi? Beli concealer aja enggak??" Gita mengabsen benda pilihanku dengan pandangan tak percaya.
"Iya, aku butuhnya cuma itu aja... nggak suka tebel-tebel ah. Lagipula tadi kamu kan yang maksa beli." Sibuk memasang sepatu baru yang ternyata supernyaman di kakiku, aku menjawab pertanyaan Gita sambil menunduk.
"Minimalis banget. Yaudah, sini buruan," perintahnya, membuatku bangkit menghadap Gita yang sudah memegang alat tempur di kedua tangan, siap menggarapku.
🥨
Jam menunjukkan pukul 16.20 saat mobil Gita berhenti di lapangan parkir Celestial Hotel. Aku memandang pantulan wajahku untuk yang kesekian kalinya pada kaca rear-view di tengah mobil.
"Ini beneran nggak menor kan, Git?" komentarku saat melihat potongan wajahku.
"Astaga, itu kamu kayak nggak pake apa-apa loh. Hampir nggak beda. Tipiiiiss banget dandanannya!" Gita meyakinkan sambil meneliti wajahku. Aku balik memandang wajahnya lurus, menuntut kesungguhan.
"Nggak menor, Lis. Seriusan. Cakep malah," ia melanjutkan, membuatku tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Makasih ya Git," ucapku tulus sambil meraih handle pintu, untuk kemudian turun dari mobil.
Ruangan loker masih kosong saat aku tiba. Dibalik pintu lemari panjang bertuliskan namaku, aku menatap pantulan wajah di cermin yang menempel. Gita nggak salah, bantinku. Ini natural banget, kayak nggak pake apa-apa.
Tadinya aku mengira dandanan ini berlebihan, tapi itu karena aku melihatnya dari satu potongan tak penuh saja. Bibirku, lebih merona. Alisku, rapih tertata. Pipiku, flushed from within. Semuanya kalau dilihat sepotong-sepotong memang jadi ganjil, namun jika melihat wajahku secara keseluruhan—dandanan ini menjadi genap.
Menyisir rambut dengan jemariku, aku merasakan efek nyata cuci-blow hasil salon tempat Gita membawaku. Tidak banyak perubahan dari gaya rambutku, hanya lebih rapi dengan potongan model layer, tekstur lembut dan bau wangi—pasti karena kondisioner mahal yang mereka gunakan.
Usai mengagumi hasil karya hair stylist salon tadi, aku menalikan genggaman rambut dalam kuncir tunggal, mengamankan dengan ikat rambut bergantungan merah planet Mars seperti biasa.
Aku menatap pantulan diriku sekali lagi, dengan seragam putih yang membungkus torso-ku, aku tampak lebih... bersinar.
"Lis, udah dateng?" Suara Ciwen memecah keheningan, membuatku buru-buru menutup pintu lemari.
"Iya Ci, baru aja." Aku menjawab singkat sambil mengikat apron sepinggang dengan sematan pin roket yang tak pernah absen menemaniku setiap hari.
Ciwen mengaduk tas nya untuk kemudian memberikan sesuatu padaku. Selembar kain hitam berbentuk segitiga yang terlipat rapih.
"Apa ini?" tanyaku sambil menerima kain itu. Ciwen tersenyum seraya menjelaskan.
"Itu namae cravat, kemarin dibagikan sama Mas Yus. Kamu pulang duluan kan? Jadi punyamu dititipno ke aku."
Aku membuka lipatan kain itu, masih tidak mengerti.
"Buat apa ini Ci? Oiya, Mas Yus nggak pa-pa kan semalam aku balik duluan?"
Ciwen mengangguk sambil mengenakan seragam putih-nya diatas tank top.
"Ndak papa kok. Perkenalan sama Chef barunya kan hari ini..."
Deg.
Perkataan Ciwen membuat jantungku berdegup lancang.
"... ini dipakenya buat di sekitar leher, koyok necktie ngunu lho. Sini, biar tak ajarin..."
Suara Ciwen menangkap perhatianku, ia sudah berseragam lengkap dan sedang membeberkan kain cravat miliknya di atas meja kayu ditengah ruangan. Aku buru-buru mengikuti gerakannya.
"Nah, ini kamu lipet-lipet gini sampek jadi panjang..." Ciwen menginstruksikan sambil mempraktekkan kalimatnya.
"... terus kamu kalungno lewat belakang leher, nah. Habis ngunu, eh, ini satu sisi harus lebih panjang yo." ia melanjutkan tutoring-nya sambil melirikku yang mengikuti instruksinya dengan cermat.
"... wis? Nah terus yang satu dikebelakangin... diputer, sett, nahh yang panjang dikedepanin..." Aku berkonsentrasi mengikuti gerak-geriknya, sambil perlahan mulai paham bentuk apa yang hendak dicapai, oohhh ini toh maksudnya.
"... masuk, yakk, buntut yang kecil ini kamu lipat ke dalem. Nahhh, sip."
Aku memandang puas hasil karyaku dari pantulan kaca pintu loker. Ciwen tersenyum di balik punggungku sambil merapikan apron-nya.
"Fungsinya buat apa ini, Ci?" Pertanyaan terlontar ketika aku membalikkan badan, bersamaan dengan pintu yang terbuka disusul Vion dan Pak Seno memasuki ruangan.
"Wey, sudah cantik-cantik saja ini gadis-gadis." Pak Seno berkata lantang sambil tersenyum jahil. Aku menggeleng geli sementara Ciwen memutar mata mendengar kalimat itu.
"Fungsinya biar keringatmu itu ndak netes ke makanan, sama biar ndak dingin pas masuk freezer ndek coldroom," jawab Ciwen lugas.
"Sama buat nandain kasta juga." Vion tiba-tiba menyahut sambil merapikan cravat-nya sendiri. Pemuda itu melirik ke arah Pak Seno yang tersenyum mencurigakan di sudut ruangan.
"Loh? Kok punya Pak Seno warna biru? Oh... berarti, wahh... ada yang naik jabatan nih!" Aku menyadari perbedaan itu ketika melihat Pak Seno memasangkan kain itu disekitar lehernya, seketika aku mengerti apa maksud dari kalimat 'nandain kasta' oleh Vion.
"Kesenengan jadi sous-chef dia." Ciwen menimpali sambil bersiap meninggalkan ruangan, membuat Pak Seno semakin lebar senyumnya.
Aku mengikuti langkah Ciwen disusul Vion yang menutup pintu ruang loker.
"Kok nggak dari dulu ya, kita pake cravat gini?" Aku memegang kain di leherku itu sambil bertanya pada udara.
"Karena dulu kita nggak ada kasta-kastaan." Vion menjawab dengan nada datar, membuatku kicep seketika.
Kasta, ya? Ah... Vion nggak salah sih. Pikirku melayang. Yang jadi masalah sekarang, adalah orang yang ada di kasta tertinggi, yang memakai cravat warna merah di dapur ini.
Langkahku semakin terasa berat saat memasuki dapur. Hatiku mencelos lega ketika hanya terdapat duo kembar P yang sedang melakukan prepare disana—Pram mengaduk kaldu diatas kompor, sementara Pras sesenggukan menahan tangis sambil memotong bawang daun.
Aku melepas napas yang tertahan, tanpa sadar menunduk memandangi jemari yang kupilin-pilin akibat gugup. Kuku-kuku bening berkilau menyambut pandanganku, mengingatkanku akan 'persiapan' yang telah kulalui bersama Gita siang ini.
Aku sudah mengira hari ini akan tiba, cepat atau lambat. Oke Lisa, yuk bisa yuk.
____________________
🥨
a / n
Buat yang nggak ngeh bentuknya 'cravat' itu macam mana, nih...
Dan untuk kasta-kastaan, ada hierarki tingkatan profesi seseorang di dapur yang ditandai dengan warna cravat-nya.
Merah : Chef (atau Chef de Cuisine, Head Chef)—pemimpin dapur, orang nomor satu yang kerjanya lebih condong ke managerial, bertugas memastikan kelancaran eksekusi dapur. Chef adalah orang dengan pengalaman dan skill tertinggi diantara anggota dapur lainnya.
Biru : Sous-chef (Deputy Chef)—wakil atau orang kedua di dapur, lebih terlibat dalam eksekusi memasak, dan bertugas menggantikan Head Chef jika dibutuhkan.
Hitam : Cook (Chef de Partie atau Station Chef)—koki yang bertugas memasak hidangan tertentu, biasanya dikubukan sesuai dengan spesialisasi dan keahlian masing-masing.
Oiya, biasanya di dapur itu cuma ada 1 Chef (Merah), 1 atau lebih Sous-chef (Biru), dan sisanya Cook (Hitam) semua yang jumlahnya paling banyak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro