Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 42 · Jadi, Sebenarnya

🥨

____________________


Udara terasa berat. Bernapas terasa sesak.

"Jadi, Ibu... sudah meninggal?" ulangku dengan bibir yang mati rasa. Raka mengangguk, matanya berkaca. Aku sendiri tak sadar jika wajahku telah banjir oleh air lakrima. Entah sejak kapan.

Raka baru saja selesai menceritakan semua rahasia yang dipendamnya. Otakku mencerna seiring emosi yang meluap seketika.

"Maafin saya, Lisa..." ucap Raka sambil meremas genggaman tangannya pada jemariku.

"T--tapi... waktu itu, saya sempet nganterin ikan lele yang baru dipanen Papa ke rumah kamu... Mima yang nerima. Ada Ibu juga. Masa, waktu itu... terakhir kali, saya... hiks..."

Raka sigap merengkuh tubuhku yang bergetar oleh tangisan.

Aku ingat sekali, dua minggu sebelum Raka menghilang tiba-tiba, Mima sempat menyambutku di rumahnya. Semuanya tampak baik-baik saja. Aku bertemu Ibu Raka, beliau mengucapkan terima kasih dan menitipkan salam untuk Papa dan Mamaku. Aku nggak menyangka bahwa itu adalah momen terakhirku bertemu dengan Bu Lani Mahardika.

"Huhuu... hiks-hiks..." kutumpahkan semua duka. "Saya pingin ketemu Ibu kamu lagi, Ka... saya kangen," pintaku disela isak.

"Iya, besok kita ke tempat Ibu," jawab Raka menenangkan. Aku semakin tersedu.

Raka terlihat tegar, karena dia sudah melalui duka ini selama tiga tahun lamanya. Tapi, duka ini masih baru untukku. Hatiku remuk, tak siap.

"Kalau tau rasanya sesakit ini... harusnya dulu kamu kabari saya, Ka. Kita berdua ada untuk saling berbagi, suka maupun duka. Kenapa kamu maruk, nanggung ini semua sendirian?" bisikku disela isak. 

Raka mengusap pipiku lembut.

"Maaf, saya cuma nggak mau kamu merasakan apa yang saya rasakan waktu itu. Saya cuma ingin kamu baik-baik saja."

"Huuua... k-kamu egois... hu-huu..." Aku makin tersedu.

🥨

Sepanjang dua dekade hidup di muka bumi, baru kali ini aku menangis hampir setiap hari. Mataku bengkak, hidungku beler.

Sepertinya inilah hukum keseimbangan. Kebahagiaan sekian tahun yang kujalani bersama Raka dibalas tuntas dalam beberapa hari belakangan ini. Badai.

Butuh lima belas menit untukku meredakan tangis, meratapi kepergian Ibunda Leni yang dulu sangat sayang padaku seperti pada anak sendiri.

Dia yang dulu selalu menjadi jembatan antara aku dan keluarga Mahardika. Walaupun sampai ujung, tak ada titik terang restu dari kepala keluarga mereka.

Demi menyemangatiku, dulu Ibu Lani sering bilang, 'pokoknya Ibu doakan kamu bakal jadinya sama Raka, Lis. Inget loh, doa ibu itu paling manjur! Nggak ada obat! Dah pokoknya kamu udah jadi anak Ibu!'

Ahh, air mataku jadi menetes lagi. Sial.

"Ka," panggilku. Aku mencoba mengalihkan kesedihan dengan satu pertanyaan.

"Perempuan yang dijodohin ayah kamu itu... anak pengusaha sukses yang katanya pemilik hotel tempat kita kerja itu, apa... kamu sudah pernah ketemu orangnya?"

Raka tertawa pelan. "Sudah."

"Hah?! Terus... gimana? Orangnya cantik nggak?"

Dengan pedenya, Raka menjawab. "Cantik. Pinter lagi, pake banget."

Hatiku mencelos. "Kok..."

"Hahaha!" Raka semakin terbahak. "Seneng banget godain kamu. Orang itu kamu, Lisa! Ternyata pengusaha yang dimaksud ayah saya itu ya Bapak Moel, papa kamu..."

Otakku buffering seketika. "T-tunggu dulu..."

Jadi, sebenarnya selama ini... semua itu dusta? Kemewahan yang 'ditumpangi' keluargaku; liburan gratis, villa di puncak, daging kobe super mahal, susu kambing etawa... semua yang katanya pemberian dari teman-teman sultan Papa itu, hanya fiktif belaka? JADI PAPAKU SENGAJA MENYEMBUNYIKAN KARUNAN HARTA TEPAT DI DEPAN MATA?!

Aku ternganga tak percaya.

"... itu berarti, owner hotel yang namanya Pak J itu sebenernya—"

"BAKSO BAKSOO~! Ayoo, siapa yang mau makan bakso??"

Pintu kamar terbuka, menampilkan sosok pria berkumis yang membawa dua kantong plastik berisi empat porsi bakso.

"PAPA!" pekikku tak tertahan.

"Ya? Kenapa-kenapa?" jawab Papa polos.

"PAPA KOK TEGA BOHONGIN AKU!"

"Hee? Kenapa tho nduk? Papamu baru datang kok sudah diteriak-teriak'i. Ono opo (ada apa)?"

Aku menggeram frustasi. "Papa kok nggak bilang sih kalo sebenernya uang Papa banyak?!"

"Haaaa???"

Papa pura-pura berlagak bodoh. Aku menahan diri untuk tidak menepuk jidat seketika.

"Selama ini Papa nggak dapet barang-barang mahal cuma-cuma kan?? Terus ini, kamar VIP di rumah sakit ini, Papa bohong kan, kemarin bilang sama aku katanya dapet diskonan?? Dan... sebenernya Papa kan yang punya hotel tempat aku kerja, iya 'kan?"

Papa menggaruk kepalanya yang sudah mulai membotak. Persis seperti anak TK yang ketahuan memecahkan kaca.

"Pake sok-sokan bikin nama palsu segala, Pak J..." gumamku kemudian.

"Heh, palsu dari mananya? Coba, kamu masa ndak tau nama papa kamu sendiri?" protes Papa tak terima.

Aku mematung sebentar.

"J-joko Moelyadi..." aku melafalkan nama Papaku setengah tak ikhlas. Lah iya ya...

"Nah kan?" Papa menuntut pembenaran.

"Tapi tetep aja! Papa udah bohongin aku selama ini!"

Mama muncul dari belakang punggung Papa, membawa tumpukan mangkuk dan sendok.

"Lho lho kenapa tho, di rumah sakit kok teriak-teriak?"

"Mama tau?!" tembakku.

"Tau apa, nduk?"

"Kalo kita sebenernya kaya??"

Mama membeku sebentar, lalu terbahak lepas. "HAHAHAHA. Ealah..."

"Mama!" protesku.

Papa ikut terkekeh.

"Kenapa sih? Kenapa Papa sama Mama nggak bilang ke aku??" tuntutku tak terima.

Mama meletakkan mangkuk di atas nakas, lalu menarik kursi untuk duduk di sisi kasurku, berseberangan dengan Raka yang sedari tadi hanya menonton dengan asyiknya. Papa turut duduk di samping Mama.

"Jadi, begini... Papa tanya sekarang, apa pernah kita hidup berkekurangan?"

Aku menggeleng.

"Semua kebutuhan kita selalu tercukupi toh?"

Aku mengangguk.

"Tapi..." protesku tak sampai.

"Iya, kami mengerti, nduk. Asal kamu tau, kami ndak ada niat sama sekali untuk menutup-nutupi," ucap Mama.

Papa mengelus kumisnya perlahan sambil mulai menjelaskan. "Papa rasa kamu memang berhak mendapatkan penjelasan, nduk."

Aku menegakkan posisi dudukku, siap mendengarkan.

"Dulu itu, sekitar delapan tahun yang lalu, Papa membantu seorang kawan yang punya usaha kelapa sawit. Namanya Alfred Tan—dia papinya Wendy Tan, teman sekerja mu itu."

Aku mengangguk paham, sekilas teringat wajah Ciwen.

"Waktu itu, usaha perkebunan kelapa sawitnya hampir bangkrut. Dia minta bantuan Papa untuk meminjam modal. Ya sudah, Papa niatnya mau membantu kawan lama. Eh ternyata malah sukses itu bisnis kelapa sawit keluarga Tan. Karena itu, jadi banyak income berlebih yang masuk. Melejit, inflasi pendapatan, semakin bulan semakin banyak...

... nah karena bingung mau dibuat apa, akhirnya laba itu Papa putar dengan memodali usaha-usaha lain, membeli gedung, menjadikannya apartemen, eh lah dalah malah beranak pinak jadi uang lagi. Yasudah, Papa putar lagi saja, memodali usaha lagi, gitu lagi, muter terus cycle-nya. Sampai sekarang ini."

Papa jeda sejenak untuk membantu Mama membuka bungkusan bakso. Aku mulai tak sabar.

"Sedari dulu, kita sudah terbiasa hidup sederhana dan berkecukupan dari usaha ternak lele. Papa berpikir, keluarga kecil kita yang baik-baik saja ini ndak boleh sampai rusak hanya karena harta. Papa ndak ingin gaya hidup kita berubah menjadi glamor dan borjuis, boros.

... Papa selalu mendidik kamu dalam kesederhanaan, nduk. Papa ndak ingin kamu berubah menjadi entitled dan sombong hanya karena uang. Harta itu bukan segalanya, Papa harap kamu paham itu. Papa ingin kamu masih menghargai uang dan usaha."

Aku mengangguk sambil mendengarkan.

"Nah, apa ada yang mau ditanyakan lagi?" ujar Papa setelah menuang kuah bakso sampai habis.

"Papa, jadi beneran kalau Celestial Hotel itu punya Papa? Dan aku diterima kerja disana itu... apa semata-mata karena status aku yang anak Papa?"

"Yo ndak tho nduk," balas Papa buru-buru.

"Memang benar, dulu Papa beli Celestial itu dengan dalih rebranding, karena dulu itu hotel lama yang manajemennya kaput, ndak sehat. Kebetulan sekali Gita sedang mengerjakan skripsi, mau meneliti perubahan manajerial di sana. Dan kebetulan juga, kamu... butuh kegiatan. Jadi Papa pikir, boleh lah dicoba dulu kamu program internship disana. Dan ndak, pada awalnya Yusuf dan staf Celes ndak tau kalau kamu itu anak Papa—anaknya Pak J. Lha wong Papa ndak pernah nyebar nama, hanya inisial saja. Baru belakangan ini, setelah Raka kembali, Papa mulai open sama Yusuf, Seno, dan staf Celes lainnya..."

Perasaan lega terlepas dari dadaku. "Baguslah," ucapku tanpa sadar.

"Nah iya tho? Itulah pentingnya kamu ndak tau, mereka ndak tau. Sebab yang dipekerjakan itu benar-benar kamu, nduk. Lisa yang ulet dan pekerja keras. Bukan Elizabeth anaknya Pak J. Enak tho?"

Lagi-lagi, aku mengangguk.

"Yowis, enak kan kalau sudah jelas begini," ucap Mama sambil menata mangkuk. Kuah bakso mengepulkan asap tipis.

Aku diam sesaat, memikirkan situasi.

 Sepertinya aku mulai paham, bagaimana manusia merancang kehidupan dengan mengambil pilihan yang terbaik menurut versinya. 

Aku butuh waktu beberapa detik untuk mencerna dan menerima kenyataan. Menyelaraskan diri dengan keadaan.

"Kamu nggak papa?" tanya Raka yang melihatku mulai melamun. 

Aku menatap matanya sungguh-sungguh. Kelegaan berbaur sedikit khawatir berpusat di sana, di iris hitam yang teduh. Cinta, juga bisa kurasa. Lelaki ini, yang telah menyerahkan seperempat umur hidupnya untuk bersamaku, mengabdi pada orang tuaku layaknya orang tuanya sendiri.

"Ka..." bisikku.

"Hm?"

"Makasih."

____________________

🥨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro