Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 41 · (Rumah Duka)

🥨

____________________

'They say that every day, the universe expands,
and we discover certain things that we don't understand...'

Suara narator saluran Going Spaceward berkumandang dari TV layar datar yang tertempel di dinding.

Kamar steril itu bernuansa putih dan beige, dengan dengungan pendingin ruangan yang mengembus konstan.

Elizabeth Moelyadi terbaring di atas kasur dengan tumpukan bantal dan selimut yang membungkus tubuhnya. Seragam koki bernoda lumpur sudah berganti menjadi piyama yang dibawakan oleh Mama Melda beberapa jam lalu. 

Disampingnya, terdapat Raka yang sibuk memperhatikan sesuatu di layar ponsel. Pemuda itu tampak fresh setelah pulang untuk mandi dan ganti baju juga. Kini, kaos abu tua dan celana jogger berwarna dongker tampak santai memeluk tubuh si sulung Mahardika.

Lisa berusaha menggerakkan kakinya, perlahan. Gadis itu bisa merasakan denyutan ngilu dari otot yang baru terbenahi posisinya. Tapi tidak seberapa parah dibandingkan beberapa jam lalu, saat cedera kaki itu masih segar.

"Masih sakit?" tanya Raka yang duduk di sisinya. 

Lelaki itu melirik sesekali dari atas ponselnya yang terbuka. Kepala dapur itu masih sibuk dengan gadget-nya.

"Udah nggak terlalu. Kata Mbah Tum, besok harusnya 'dah bisa jalan."

"Oh, baguslah."

Dan Raka pun kembali menekuri layar datar itu.

"Kamu lagi ngapain sih?" Lisa mulai kepo.

"Ini, ngecek rekapitulasi harian resto hotel. Pak Seno tadi pagi belanja scallop banyak banget. Untung kejual semua." Raka mengembuskan napas lega sambil memasukkan ponselnya kedalam saku.

"Oooohh." Lisa mengangguk paham.

"Kenapa? Kamu nggak suka dicuekin ya?" Raka mulai memperhatikan gadisnya.

Pemuda itu duduk menghadap Lisa dan mulai mengambil sejumput rambut gadis itu, memilinnya di antara jemari telunjuk dan ibu jari. Kebiasaan lama. Lisa yang sudah paham, membiarkan rambutnya disandera.

"Bukan. Aku cuma gabut banget, bosen..."

"Mmmm."

"Ka."

"Ya?"

"Ceritain dong."

"Cerita apa? Dongeng si Kancil?"

"Bukan. Ceritain apa yang belum sempet kamu ceritain, semuanya. Alasan kamu ngilang—dulu, terus jodoh-jodohan absurd ini, hubungan kamu sama owner hotel... pokoknya se-mu-a-nya."

Raka terdiam sedetik, pilinan jemarinya terjeda.

"Oke," jawab Raka akhirnya. "Saya juga udah berencana ngasih tau kamu semuanya, cuma timing-nya kacau terus..."

.
.
.

... 3 tahun lalu.

Langit diteduhi mendung saat Raka dan Ayahnya melangkah meninggalkan pemakaman. Dalam hati, Raka menghitung setiap langkah kakinya yang berjalan menjauh dari makam Ibunya.

"Lima... enam... tujuh..." Raka hendak meneteskan air mata kembali, mengingat dirinya adalah orang terakhir yang berjalan di belakang.

Kepercayaan mengajarkan raka bahwa setelah tujuh langkah peziarah terakhir, Malaikat akan menghampiri jenazah yang dikuburkan. 

Ibu, Raka berdoa semoga Ibu diberi tempat terbaik di sana, batin anak lelaki itu sambil melafalkan al-fatihah tanpa suara.

Sepanjang perjalanan pulang, pandangan Raka tertuju keluar jendela mobil. Mima yang duduk di samping Raka di kursi belakang, masih terisak dan sesekali sesenggukan tanpa berkata-kata. Ayahnya yang duduk di kursi depan tak membuka suara sama sekali.

Menit-menit berlalu dengan berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepala Raka. Campuran emosi juga membanjiri gemuruh dadanya; sedih, putus asa, hampa, dan... marah.

Raka merasakan luapan kemarahan yang berangsur-angsur seiring keheningan itu tak kunjung berakhir.

"Ayah," panggil Raka dengan suara dingin.

"Hm," respon ayahnya berupa sahutan bunyi saja.

"Kenapa... Ayah nggak bawa Ibu berobat dari dulu?" Suara Raka memantul di langit-langit mobil.

Butuh beberapa detik sebelum Yohan Mahardika, sang ayah, menjawab.

"Ayah nggak tau kalau ibumu punya angin duduk."

Ingatan Raka terhempas pada momen dimana dokter menjabarkan diagnosis ibunya.

Angin duduk (angina pectoris) yang diderita ibunya disebabkan oleh pembuluh darah jantung (koroner) yang mengalami penyempitan. Walaupun tanpa gejala signifikan dan memang terkesan mendadak, tapi setidaknya keadaan jantung Bu Lani masih bisa dipantau jika saja keluarganya sering memeriksakan dengan rutin.

Mengingat proses panjang dan menyedihkan di rumah sakit, batin Raka mencelos tak terima.

Raka terpaksa membayar biaya administrasi rumah sakit menggunakan uang tabungannya sendiri—yang disimpan untuk membeli tiket pesawat kembali ke Miami, sementara ayahnya bahkan tak hadir di sana. Tak bisa dihubungi.

"Ayah nggak tau, atau nggak mau tau?" sindir Raka.

"Penyakit ini memang mendadak, Raka. Kemarin-kemarin ibumu kelihatan sehat-sehat saja..."

"Terus karena kelihatan sehat, Ayah nggak pernah check-up keadaan Ibu?! PADAHAL AYAH TAU KAN IBU PUNYA JANTUNG LEMAH DARI DULU!!"

"RAKA!"

"HUAAAA... huhuhuu..." Teriakan Raka dan Pak Yoh memancing tangis Mima. Gadis itu mulai sesenggukan memanggil ibunya.

_ _ _

Mendung merundung di rumah duka keluarga Mahardika.

Raka mengenakan setelan jas hitam, Mima dengan dress selutut, juga hitam. Ayah mereka tampak sibuk menyambut tamu-tamu dan kerabat dekat.

Raka berduka. Satu-satunya hal yang membuat hati terpuruknya sedikit cerah adalah penampakan sepasang suami-istri yang begitu dikenalnya. Pak Moel dan Mama Melda, baru saja turun dari Kijang hijau tua mereka di halaman rumah Raka. Pemuda itu berlari kecil menyambut orangtua Lisa.

"Bapak, Mama..." sapanya. Pemuda itu langsung luruh dalam pelukan Mama Melda yang menyambut.

"Sabar ya le..." bisik wanita itu sambil mengelus belakang kepala Raka.

"Mama sama Bapak kok bisa kesini?" tanya Raka sambil menyeka wajahnya.

"Mama dapat kabar dari grup wasap arisan Ibu kamu. Kaget sekali kita. Turut berduka ya, le. Inna Lillahi wa inna ilayhi raji'un."

"Amiin, Ma... iya, makasih."

"Kamu ndak apa-apa, le?" tanya Pak Moel kemudian.

"Iya, Pak." Raka kemudian menebarkan pandangannya. "Lisa mana?"

"Lisa lagi ngunjungin sepupunya di Jakarta, baru pulang besok lusa. Kamu mau ngomong sama dia, le? Bisa Mama telponkan sekarang"

"Nggak usah, Ma. Lisa jangan tau dulu."

Pak Moel dan Mama Melda saling pandang sedetik, sebelum akhirnya mengangguk bersamaan. 

"Yasudah, kalau itu mau kamu. Kami mengerti."

Sementara dari seberang halaman, di depan pintu rumah yang terbuka, seorang lelaki diam-diam memperhatikan putra sulungnya yang tampak akrab menyapa pasangan tersebut. Yohan Mahardika kemudian membalikkan badan, masuk kedalam rumah.

"Jaka," panggil Pak Yoh pada ajudan pribadinya.

"Siap, Pak." Jaka yang hari itu berkemeja hitam, sigap menghadap.

"Cari tau tentang pasutri yang sedang berbicara dengan Raka. Saya tunggu 10 menit dari sekarang. Laksanakan."

"Siap, Pak."

_ _ _

Pak Yohan menepi ke sudut ruangan ketika melihat Jaka, ajudannya, memberikan kode dengan membawa selembar tablet layar sentuh.

"Apa yang kamu temukan, Jaka?" tembak Pak Yoh langsung.

"Yang perempuan itu ternyata rekan arisan Bu Lani, Pak. Namanya Imelda Cokro."

"Cokro?" ulang Pak Yoh.

"Iya, Pak. Dari keluarga Cokro yang 'itu'. Tapi yang menarik, bukan Bu Imelda-nya Pak, melainkan suaminya."

Pak Yoh mengerutkan kening, semakin penasaran. "Siapa memang?"

"Joko Moelyadi. Dia pengusaha sekaligus pemodal kasat mata, Pak. Asetnya dimana-mana. Gedung, hotel, perkebunan, dan lain-lain. Kalau kita bilang, keluarga Cokro ini old money, mereka sudah berada sejak jaman Orde Baru, tahun 60-an. Kalau Moelyadi ini, new money, entrepreneur asli. Tapi ya pintarnya gitu, dia asetnya bagai balok es, Pak. Jadi nggak banyak yang narget. Net worth mereka saat ini diperkirakan mencapai 210 juta US Dollar, atau hampir 3 triliun rupiah. Itupun kebanyakan berupa aset berkembang, Pak, seperti perkebunan, gedung apartemen, hotel... jadi masih bisadan akan, terus bertambah seiring waktu."

Pak Yoh mengelus jenggotnya. "Saya nggak menyangka istri saya satu circle dengan orang berpengaruh macam ini," gumam Pak Yoh pelan.

"Pak, tapi ada lagi..."

"Apa?"

"Keluarga Cokro-Moelyadi ini punya anak perempuan, usia baru tamat SMA, anak satu-satunya. Namanya Elizabeth."

Pak Yoh mengerutkan kening. "Elizabeth? Saya nggak pernah dengar nama itu. Ah, lagipula apa maksudmu memberi info begini, Jaka? Kamu mau saya menjodohkan Raka dengan putri pewaris tahta Cokro-Moelyadi itu, iya?"

"Ya menurut saya eman (sayang) saja, Pak, kalau ada aset berharga seperti ini dibiarkan lewat begitu saja. Bayangkan saja, bebet, bibit, dan bobotnya bukan main-main. Nggak cuman masalah materi saja, tapi juga keturunan dan nama baik keluarga Bapak bisa terjamin..."

Pak Yoh tampak berpikir sebentar. "Benar juga kamu."

Malam itu, saat semua tamu telah pergi, Pak Yoh memanggil putra sulungnya untuk menemuinya di ruangan khusus berupa kantor pribadinya.

"Ada apa, Yah?" tanya Raka sambil duduk di kursi kosong seberang meja. Pak Yoh meneliti Raka dari atas kebawah.

"Kamu... tidak usah balik berlayar lagi."

Raka tertegun seketika. "Kenapa??"

"Tak ada faedahnya. Pernah tidak kamu berpikir jenjang karir kamu kedepannya, Raka?"

"Tapi ini mimpi Raka, Yah."

"Untuk apa sih, kamu hidup jauh dari keluargamu, hah? Mau sampai kapan? Mau dibawa kemana karirmu? Tak ada ujungnya pekerjaan begini, benar-benar tak ada faedahnya!"

"Ayah"

"Dengar! Ayah punya kenalan pengusaha, sukses. Dia kenalan ibu kamu, ternyata. Keluarganya punya nama, tersohor. Prospek bagus untuk kamu berkeluarga kedepannya."

"Oh my God! Please don't..."

"Ayah rasa itu lebih baik dari pada kamu kelayapan ke negara-negara jadi tukang masak tidak jelas..."

"Cukup, Yah. Raka nggak mau dengar lagi." Sulung itu bangkit dari kursinya, tak berniat melanjutkan pembicaraan dengan ayahnya.

"Raka! Berhenti kamu. Berani kamu melawan Ayahmu sekarang?"

Raka terus berjalan.

"Apa ini karena gadis itu? Pacar kamu itu? Misa, Risa, siapa namanya itu? Kamu memberatkan dia, iya?"

Langkah kaki pemuda itu berhenti. Raka berbalik.

"Tolong jangan bawa-bawa Lisa kedalam omong kosong ini, Yah. Ayah bahkan nggak mau kenal dia."

"Lalu? Kamu mau apa? Mau pergi? Kembali berlayar, memasak? Mau naik apa kamu, Raka? Ayah tau kamu sudah tidak ada uang lagi untuk membeli tiket kembali."

Raka membeku. 

"Ayah sengaja?" gumam pemuda itu, tangan terkepal menahan emosi. Ayahnya telah sukses mengurungnya di negara ini.

"Kamu harus paham, mana yang jadi prioritas," ucap Pak Yoh tegas.

"Prioritas saya ya pekerjaan saya, Yah! Bukan nurutin ide gila Ayah main jodoh-jodohan!"

"Raka!"

Pemuda itu telah beranjak meninggalkan ruangan Pak Yoh.

Mesin motor menyala, helm teropong terpasang. Langit mengabu dengan gulungan awan yang meresahkan.

"Abang! Abang mau kemana?" panggil Mima dari teras rumah, berlari menyusul Raka yang siap mengendarai motornya.

Raka memandangi adik perempuannya itu baik-baik. Mima tumbuh dengan cantik. Dia sudah masuk tahun pertama SMA.

"Mima... kamu baik-baik disini, ya?"

Hanya itu yang mampu Raka ucapkan, seraya membelai pipi adiknya yang lembab oleh air mata. Mima mengangguk tertahan.

Deruman mesin motor memecah malam, meninggalkan halaman kediaman keluarga Mahardika. Mima memandang kepergian abangnya hingga jauh, sementara Pak Yoh melihat semuanya dari balik jendela tertutup.

Tok-tok-tok

Ketukan pintu menggema di sebuah rumah dengan halaman luas.

Lelaki paruh baya dengan kumis tebal membuka pintu. Matanya membulat ketika melihat Raka berdiri disitu.

"Raka, ada apa, le?" tanya Pak Moel dengan mata khawatir.

"Maaf, Pak, saya... nggak tau harus kemana lagi," jawab Raka dengan nada putus asa.

Mama Melda muncul dari balik punggung Pak Moel. "Sini-sini, masuk dulu kamu..."

Raka lalu menceritakan semuanya kepada Bapak Moel dan Mama Melda. Mereka mendengarkan dengan seksama.

"Sudahkah kamu bicarakan baik-baik dengan ayahmu, Raka?" tanya Pak Moel.

"Percuma, Pak. Dari dulu, Ayah memang nggak pernah mendukung impian saya. Beliau nggak setuju kalau saya memasak. Selama ini, Ibu yang selalu membela saya. Sekarang rasanya... sudah nggak ada harapan lagi. Tabungan saya habis, kapal saya mau berangkat, kontrak saya terancam hangus kalau saya nggak kembali ke Amerika dalam 2x24 jam," jelas Raka.

Pak Moel dan Mama Melda berbagi pandang, seakan merundingkan satu pemikiran yang sama.

"Tunggu sebentar," ucap Mama Melda sembari bangkit.

Wanita itu kembali beberapa saat kemudian, memberikan Raka sebuah buku kecil dan kartu. Tabungan.

"Itu sebenarnya untuk biaya resepsi pernikahan kamu sama Lisa, sengaja kami sisihkan. Kamu pakai dulu untuk beli tiket kembali, le. Kita nggak bisa bantu apa-apa lagi selain memberimu ini sama do'a."

Raka memandang tak percaya. "T-tapi Ma, Pak..."

"Sudah, cepat. Kamu ndak punya banyak waktu toh? Kami disini kok le, ndak akan kemana-mana. Bapak yakin Lisa juga ndak keberatan nunggu kamu. Dia juga ndak akan kemana-mana."

Rasa haru menyeruak di dada Raka, seiring air mata mulai melelehi pipinya. 

Mulai detik itu, Raka sadar bahwa mereka bukan lagi orang asing berstatus orangtua sang pacar. Raka sadar mereka telah menjadi orang tuanya yang sesungguhnya, keluarganya; Bapak Moel dan Mama Melda.

____________________

🥨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro