Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 40 · (Rumah Sakit)

🥨

____________________

Raka benci tempat ini. 

Lorong semacam ini, putih dengan pintu-pintu dan jendela berbaris di sisinya. Benci juga bau ini, campuran bau antiseptik dan obat-obatan yang pahit dihirup. Itulah sebabnya tadi Raka hanya mlipir ke klinik saat memeriksakan dirinya, untuk membeli obat. Tidak sampai menjarah begini dalam ke dalam bangunan Rumah Sakit.

Bukan, bukan karena Raka takut jarum suntik, phobia melihat darah, atau alasan remeh lainnya—heck, dia biasa mainan pisau dan ngedel-ngedel perut angsa. Tidak, bukan karena semata tempat ini adalah Rumah Sakit, tapi lebih ke... trauma terpendam yang ia simpan di lubuk sanubari. Ingatan-ingatan yang terjadi di dalam tempat seperti ini. Raka nggak suka.

.
.
.

3 tahun lalu...

Desingan suara pesawat menebas pendengaran Raka Mahardika. Pemuda itu berjalan terburu-buru dengan tas ransel bertengger di punggung, tanpa membawa koper luggage seperti penumpang lainnya.

Raka Mahardika memandang sekeliling, mencari tanda-tanda orang yang akan menjemputnya. Matanya tertuju pada seorang pria berpakaian kasual yang mengangkat papan karton bertuliskan balok : 

'TN. MAHARDIKA' 

Raka segera menghampiri sosok tersebut, ia bisa mengenali wajah ajudan setia ayahnya yang hari itu tak berseragam polisi.

"Saya di sini, Pak, ayo cepat berangkat."

Melihat anak sulung dari Komisaris Jenderal telah muncul di hadapannya, ajudan pribadi itu buru-buru menurunkan papan dan menggiring Raka keluar dari lobi domestic arrival. Mobil dengan mesin menyala menyambut mereka. Dengan tergesa-gesa, dua orang itu memasuki mobil ,untuk kemudian melajumeninggalkan bandara Juanda.

Kepala Raka berdengung akibat efek jetlag, ditambah 46 jam penerbangan dari Miami International Airport, dengan tiga transit melelahkan yang terasa sangat mengulur waktu; O'Hare, Narita, dan Soekarno-Hatta. 

Perjalanan panjangnya terasa lelah berganda, sebab keletihan fisik Raka ditumpuk dengan beban pikiran, membuatnya tak bisa tidur dengan tenang selama di pesawat, dua malam berturut-turut. Mata Raka keruh dan berkantong, raut wajahnya tertekuk dengan air muka yang keruh.

Rasa pahit timbul di belakang lidahnya ketika Raka mengingat telepon mendadak yang ia terima beberapa hari lalu. Untungnya, kapal pesiar Blue Crystal tempatnya bekerja sedang menepi di homeport kota Miami untuk mempersiapkan trip selanjutnya, sehingga Raka bisa lekas cabut dengan alasan 'family emergency'. Tak lebih dari lima hari, waktu yang diberikan kapten Blue Crystal kepada Raka sebelum kapal mereka lepas, meninggalkan daratan Amerika menuju laut Karibia.

Dengan satu tarikan nafas, Raka mencoba menenangkan diri dan mengalihkan perhatiannya, memandang keluar jendela, menembus awan, berharap langit bisa mendengar doanya yang tak putus ia rapal dalam hati sepanjang perjalanan pulang.

"Tuhan, tolong jangan lakukan ini padaku..."

Lorong putih itu bagaikan tak habis-habis, dengan penampakan pintu seragam di kanan kiri jalan, membuat perasaan Raka semakin tak karuan.

Ajudan setia ayahnya yang memandu jalan berhenti di salah depan satu pintu, membuat jantung Raka berdegup tak karuan. 

Satu detik, dua detik... Raka menarik napas, pemuda itu membuka pintu ruang ICU.

"Akhirnya... anak Ibu... pulang juga..." Suara lemah dan parau yang sangat Raka hafal menggelitik telinganya, seketika membuat hatinya remuk karena pandangan yang ada di hadapannya.

Ibunya terbaring dengan selang selang infus yang terpasang di punggung tangan, matanya sayu dan wajahnya pucat, mengernyit sesekali karena rasa nyeri dan sesak di dadanya. Walau dalam keadaan demikian, wanita itu memandang Raka dengan sedikit cahaya yang tersisa di matanya.

Adiknya, Mima, duduk di sebelah ranjang sang Ibu dengan mata merah yang sembab. Kelihatan sekali gadis itu telah terlampau kenyang menangis. 

Sementara Ayah mereka tak tampak kehadirannya.

"Abang," bisik Mima lirih. Suaranya serak. Mima memperhatikan saat abangnya dengan putus asa mencoba merengkuh Ibu mereka, mengusahakan pelukan dengan penuh kehati-hatian.

"Iya Ibu, Raka pulang."

Anak lelaki itu bersimpuh terduduk di samping ranjang Ibunya, menggenggam tangan wanita yang telah melahirkannya, yang tak putus mendukung segala keinginannya, dan yang sangat Raka rindukan selama berlayar jauh.

Raka menciumi jemari Ibunya. Dingin. Rasa sesak memenuhi dada Raka, membuat air matanya tak dapat dibendung lebih lama lagi.

"Ibu sakit? Sakit banget ya, Bu?" lanjut Raka dengan suara bergetar.

"Sudah ngak apa-apa... obat, tadi sudah... mendingan." Penjelasan tak runtut itu tetap berusaha diucapkan oleh Bu Lani, terputus oleh napas pendek-pendek dan kernyitan dahi yang semakin menjadi.

"Ibu, Raka panggilkan dokter sekarang, ya." Melihat gelagat Ibunya, Raka hendak bangkit, namun dicegah dengan satu gerakan lemah genggaman tangan Ibunya.

"Anak... Ibu sayang... Ibu kangen..." Suara parau Ibunya kembali terdengar, membuat tangis raka semakin menjadi. 

Tangan lemah Bu Lani yang bebas mulai membelai pucuk kepala Raka, Ibu dua bersaudara itu berkedip dengan sisa-sisa tenaga yang habis terkuras menahan rasa nyeri menjalar tepat di atas kiri ulu hatinya. Jantung.

"Raka juga, Bu... kangen sekali... Ibu disini aja makanya, jangan pergi." Disela isakan tertahan, Raka meluapkan kata-kata yang berhasil dikeluarkan oleh lidahnya yang kaku.

Hatinya semakin kelu seiring belaian di pucuk kepalanya terasa melemah.

"Bu..." bisik Raka sambil mengangkat wajahnya, menatap wajah Ibunya yang telah menutup sebagian mata, menampakkan bagian conjunctiva putih akibat iris yang terarah ke atas kepala.

"La... ilaha... illallah..." Bisikan parau keluar dari mulut Bu Lani yang sedikit terbuka.

"Ibu?" Mima mulai memanggil Ibunya. Tangisan gadis itu pecah, sesenggukan.

"Lha... illa... ha..."

"Bu? Huhuhuu..."

"Ibu!!"

Tak ada jawaban dari pekikan Raka dan tangisan Mima. Tak ada pula lanjutan potongan kalimat tahlil yang keluar dari mulut Ibu mereka.

Detik itu juga, dunia Raka terasa gelap.

Mima menjerit tertahan, air mata deras membanjiri pipinya.

"... Ka... Raka. Le?" suara itu bagai gema, menarik Raka kembali kembali ke masa kini.

Joko Moelyadi memandangi pemuda itu dengan raut wajah khawatir. Kumis tebalnya bergerak pelan saat ia kembali membuka bicara. "Wajah kamu kenapa?"

Raka tercenung. Entah pertanyaan Pak Moel bertuju pada lebam di rahangnya, atau ekspresi wajahnya yang kosong tanpa cahaya.

"Saya habis jatuh." Raka memulutkan alasan paling basi sedunia. Pak Moel tampak mengangguk paham.

"Lisa dimana, Pak?" tanya Raka buru-buru. Bapak dari gadisnya itu menjawab dengan satu tunjukan ke arah pintu kamar VIP. Raka mengangguk mengerti.

Tangannya terhenti saat hendak menyentuh knop pintu. Dejavu sialan, batin Raka. Lelaki itu mempersiapkan jantungnya saat akhirnya mendorong pintu terbuka.

Lisa terbaring di sana, dengan satu kaki terangkat bertumpu tumpukan bantal, celana tergulung sampai betis. Seorang nenek-nenek bergelung konde dan berkebaya sederhana tampak tekun mengulirkan minyak kental pada pergelangan kaki Lisa.

Seragam koki berwarna putih Lisa terhias cipratan lumpur. Gadis itu sedang membaca buku—Fraktur dan Dislokasi, karya Bernard Bloch.

Raka mengembuskan napas lega.

"Hey," panggilnya.

Lisa mengangkat wajah dari atas buku. "Hai."

Pak Moel memasuki ruangan tepat di belakang Raka.

"Kecekluk (terkilir) kakinya anak ini. Habis akrobat tadi di jalan raya, HAHAHAHA," jelas Pak Moel diiringi derai tawa. Raka menggeleng-geleng setengah tak percaya.

"Kok bisa?" tanyanya seraya duduk di sisi ranjang Lisa. Gadis itu tampak sedikit tak terima melihat sang Papa menertawakan keadaannya. Anak kena musibah kok malah diketawain.

"Jadi tadi tuh, si Vespa Putih remnya blong. Biar nggak celaka, aku belokin tajem aja ke pinggir jalan, masuk selokan. Lebih baik nabrakin diri kan dari pada tabrakan sama orang," tutur Lisa panjang lebar.

"Dan kakiku ini nggak kecekluk biasa loh, Pa! Tulang navicular aku dislokasi setengah senti keluar jalur. Untung aja gak ada yang fraktur, jadi tinggal reposisi tertutup tanpa harus operasi. Pusing nanti Papa biayanya mahal lagi."

Raka menggelengkan kepala, takjub. Gadisnya ini memang luar biasa.

"Terus, ini? Kamu jadinya diurut?" Raka memperhatikan nenek yang masih berkutat dengan kaki Lisa. Pergelangan di antara tulang kering dan punggung kaki gadis itu tampak menojol, berkilat dilapisi minyak. Raka meringis, ngeri.

"Bukan diurut, tapi direposisi tertutup. Dokter Ortopedi di sini lagi kunjungan ke Singapur, katanya. Jadi kita pake opsi tradisional aja; ahli sangkal putung, Mbah Tum!" ucap Lisa sambil menunjuk nenek-nenek di sisinya. 

Mbah Tum tersenyum lebar, menampakkan gigi-gigi kemerahan hasil menyirih pinang bertahun.

"Meniko sampun saget dipun wiwit nggih, (Ini sudah bisa untuk dimulai ya)," ucap Mbah Tum kalem.

 Raka terkesima seketika, baru kali ini ia mendengar kalimat Jawa berkasta tinggi, kromo inggil—level bahasa tingkat bangsawan, yang diucapkan dengan luwes oleh native speaker.

"Nggih pun, Mbah. (Baiklah, Nek)," jawab Pak Moel mengambil suara, merebut porsi persetujuan putrinya. Lisa tampak tidak terima, namun tidak protes.

Tangan keriput Mbah Tum tampak laur meruntut pergelangan kaki Lisa yang bengkak. Raka merasakan lengannya dicekal. Ternyata tangan Lisa, menggenggam dengan erat.

"Sakit, ya?" bisik Raka.

Lisa membalas dengan anggukan kecil. Alis gadis itu bertaut dan keningnya berkerut. Lisa menggigit bibir, menahan ngilu.

Raka membiarkan lengannya tunduk dalam cengkeraman jemari Lisa. Naluri lelaki itu menuntunnya untuk menggenggam jemari gadisnya yang terasa pias, menguatkan.

Mbah Tum menekan satu sisi punggung kaki Lisa dengan kuat.

Klek--klotak!

"AAAAAAAAARRGGHHH!!"

Teriakan Lisa menggema di langit-langit RS Siloma. Raka bisa merasakan lengannya diremas hingga kebas.

Karma ternyata bisa matang dengan instan juga...

____________________

🥨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro