Chapter 37 · Emergency
🥨
____________________
Brrr... shh.
Cklek.
Brrmmmm... sshhh.
Batukan starter Vespa berwarna putih polos itu tak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Aku berdecak.
Aku nggak tahu banyak tentang otomotif dan permotoran, tapi yang aku tahu, orang-orang di luar sana sering berkata kalau semakin tua umur motor Vespa, maka semakin mahal harganya.
Menurutku, itu sepenuhnya omong kosong. Pup banteng.
Sebab semakin lama aku menggunakan motor ini, rasanya makin tidak fungsional saja. Makin sering terbatuk-batuk mogok dan berhenti di tengah jalan, makin rewel, dan makin sukses membuatku naik pitam.
Pagi ini, karena panggilan emergency, aku terpaksa harus menjadi doktor Frankenstein yang berusaha menghidupkan kembali monster yang sudah mati.
Ayo dong, Putih, kamu harus nyala. Emergency nih, emergency!!
Brrrr... mm... psshh.
Lagi.
Brrrrrmmmm!! Tretetetet... psssh.
Aaaaaa motor butut sialan! Sumpah nih motor bobrok banget sih. Coba aja yah uang Papa ada banyak, udah aku porotin motor baru dari dulu-dulu!
Aku memandang benda mati itu dengan tatapan menusuk.
Vespa Congo keluaran tahun 1963 ini adalah harta berharga yang dimiliki oleh Kakekku, Kakung Moel, yang diwariskan ke Papa saat beliau kuliah dulu. Setelah pensiun mengabdi pada Papaku, barulah Vespa ini dihibahkan untukku.
Si Congo telah setia melayani tiga generasi keluarga Moelyadi, dan sepertinya sekarang dia sudah mati suri.
"Nyala dong, Putih, plis..." pintaku sambil kembali mencoba starter.
"Brrrssh... ohok, ohok. Kenapa nggak minta jemput pacar kamu yang Chef itu aja, Lisa? Aku udah tua, mau rebahan aja." Kubayangkan suara si Putih menyahut disela mesin yang coba kunyalakan.
"Aduh, Putih... kalau staf kasta sudra seperti aku aja dibikin panik begini, pasti Raka sebagai chef kepala makin ricuh tanggung jawabnya. Aku nggak mau bikin kerjaan dia makin ribet. Aku mau jadi strong independent woman yang nggak nyusahin pacar," kilahku sambil kembali men-starter. Sinting kali aku ya, pagi-pagi ngobrol sama motor.
Putih terbatuk sebentar sebelum mulai menyala.
Brrrrrmm... tretetetet.
Yes!
—Psshh.
Yah... mati lagi.
"Putih! Pokoknya kalo kamu nggak mau nyala, aku pretelin kamu dan aku loakin ke juragan besi tua!"
Ckritt, brmmm... tretetetetet!
Hore! Nyala!
Aku tahan genggaman gas pada kemudi si Putih agar tidak mati lagi, dalam hati aku bersorak riang. Ayo kita berangkat, Putih!
Si Putih Congo melaju keluar dari halaman rumah. Kurasakan letupan janggal saat mulai memasuki jalan raya. Aku coba menepi.
Itu barusan apa ya? Hey Putih, kamu nggak bakal nyelakain aku 'kan?
Kurasakan deruman mesin Putih masih stabil.
Aman lah ya? Amin.
🥨
Ricuh. Dining hall mulai penuh. Dapur rusuh.
"Lisa! Thank God. Cepat bantu Wendy siapkan stok roti. Ahh! Sama itu egg station juga, aduh, kamu bisa jaga kan?" Mas Yus menyambutku dari lobby.
"Ini ada apa sih, Mas?"
"Tengah malam tadi rombongan study tour SD Negeri Malang tiba, dua bus berisi sekitar 80-90 orang. Ditambah lagi satu kru acara televisi juga dateng pas subuh. Kamar fully booked semua, dan sekarang, breakfast..." Mas Yus memandang setengah putus asa ke arah Wendy yang tampak sibuk menata irisan roti tawar di atas buffet.
"Astaga... oke Mas, I'm on it."
Langkah kakiku bergerak cepat, namun buru-buru terhenti ketika aku mengingat sesuatu.
"Oh iya, Mas Yus, Chef Raka ada di..." hilang. Mas Yus sudah beranjak dari tempatnya berdiri semula.
Aku menggeleng. Udahlah, bukan saatnya jadi bucin, Lisa. Ayo kerja!
Breakfast buffet 80% siap. Semuanya tertata rapi di atas meja. Aku bolak-balik memeriksa ulang tatanan makanan disana.
Nasi putih? Cek.
Lauk? Cek.
Sup? Cek.
Buah? Cek.
Minuman? Jus jeruk, teh manis, jus kranberi, dan infused water dengan daun mint dan mentimun yang ditenggelamkan. Cek!
"Sudah semua, Lis?" Ciwen menyerbu dengan irisan baguette di atas nampan. Mentega tertata mendampingi sisinya.
"Kayaknya udah, Ci. Apa ada yang kurang?"
"Nasi goreng??"
"Oh iya!" Gawat.
Dapur menyambut dengan kobaran api. Aku segera menuju station nasi.
"Itu nasgor jawa-nya, Kak Lis. Di tray sebelah situ," tunjuk seorang gadis berseragam koki. Seingatku nama anak ini adalah Wike.
"Oh, iya... eh—tunggu, itu kamu bikin apa?" Pandanganku otomatis tertuju pada kompor di hadapan Wike, terdapat wajan berisi gunungan nasi.
"Menu nasgor yang sama, Kak, batch ke-dua," jawabnya.
"Bumbunya pake apa?"
"Sisa yang tadi..."
"Jangaaannn!! Itu tadi kemasukan... ahh udahlah. Stop-stop, yang di wajan kamu itu nggak layak makan. Kita harus bikin ulang!" pekikku seketika.
Kepanikanku bukannya tak berasalan. Baru saja kuperingatkan anak-anak pengisi dapur pagi, kalau sisa bumbu nasi goreng jawa tadi sempat kejatuhan cicak, jadi harus langsung dibuang. Eh, malah udah dipake aja. Oh Tuhan...
"Yah, terus gimana ini, Kak? Udah mau mateng padahal. Nggak usah dilanjut nih?" tanya Wike dengan lugu.
"Menurut kamu?? Udah, buang aja. Ganti sekalian pake wajan yang baru, biar aku yang garap."
"I--iya Kak." Wike pun berlalu.
Baru beberapa detik kunyalakan kompor dan meletakkan wajan anyar, pintu dapur mendadak terbuka dengan kasar.
"Minta refill nasgor jawa! Tray di buffet udah habis! Oh, Kak Lisa, itu egg stand udah mulai ada yang ngantri..."
Mama, aku mau nangis.
🥨
Matahari mulai merangkak tinggi. Tanpa terasa, jam di lobby sudah menunjukkan angka 8 pagi. Perang mtelah redup, kesibukan larung dalam barisan anak-anak SD yang sedang sibuk sarapan. Aku bisa mengembuskan napas lega, akhirnya.
"Capek, Lis?" Ciwen menumpuk tray kosong di hadapanku. Aku yang sedang meneguk air mineral dibuat sedikit terkejut akan kehadirannya.
"Lumayan, Ci. Kalorinya kebakar sama kayak olahraga pagi."
Ciwen tertawa pelan. "Kamu tuh bisa ae. Masih ada rombongan kru tivi ituloh, siap-siap yo."
Aku mengangguk. "Masih setengah jam lagi 'kan? Ini aku udah siapin menu nasi goreng lagi kok."
"Iyoseh. Nasgor mu memang juara! Oiya, ngomong-ngomong, tebak semalem aku ketemu sama siapa..."
Aku memiringkan kepala. "Siapa?"
"Pak J."
"Siapa?"
"Owner hotel kita ini!!"
"OYAAA???!" Aku tak bisa menahan volume suaraku yang kegirangan.
"Gimana orangnya, Ci? Tajir kah? Necis? Mirip siapa, Bob Sadino? Aburizal Bakrie? Nick Young? Bruce Wayne??"
Ciwen ngakak seketika.
"Yo mosok mirip Betmen sih! Nda, nda... orange humble pol kok! Buaik buanget. Model-modele iku... kayak, apa ya? Ck. Ndak ada contohe. Pokoke dia bapak-bapak sing ndak hobi ngumbar status ambe kekayaane. Ndak ngetok i blas nek sugih soro! (Tidak menampakkan sama sekali kalo tajir banget!)"
Aku memekik kagum. Rasa penasaranku semakin menggebu-gebu.
"Pernah mampir ke hotel nggak, Ci? Makan di dining room, gitu? Atau nongkrong di lobby? barangkali aja kita pernah papasan gitu tanpa sadar?"
Ciwen menggeleng. "Aku yakin ndak pernah. Wajahe iku bener-bener... nggak hotel-able banget! Apa ya... wis talah (sudahlah), aku yakin seratus persen kamu belum pernah ketemu! Aku aja yang hampir tiga taun kerjo juga ndak pernah lihat dia seliweran (lewat) disini."
Aku berdecak kecewa.
"Enak banget ih Ciwen bisa ketemu gitu. Sepupuku, Gita, juga tau sama bapak owner itu-siapa namanya tadi? Pak J ya? Ck... bahkan Chef Raka aja juga tau. Aku doang yang ketinggalan," keluhku.
Mata Ciwen tampak membundar. "Oh, jadi kamu tau kalo si Chef sama Pak J itu..."
"Hm?"
"Kamu tau 'kan?"
"Tau apa, Ci?"
Ciwen tampak menahan kalimatnya. Wanita itu meneliti wajahku.
"Oh, kayake kamu nggak tau."
"Apa sihhh??" Aku makin kepo.
Ciwen menghela napas seakan hendak mengatakan sesuatu yang berat.
Kata-kata yang diucapkan Ciwen selanjutnya membuat seluruh gerakan di ruangan ini menjadi lambat. Slow motion. Bibir berpoles gincu Ciwen yang mengejakan kalimatnya itu tampak bergerak melawan hukum waktu, membuat kesadaranku melambung seketika. Tak nyata.
Cccssssss.... terdengar suara bumbu nasi goreng di wajanku yang mulai gosong.
🥨
"HACHIEMMM!!"
Bersin mengintervensi langkah kaki Raka yang sedang membawa beberapa boks bahan sayuran, baru saja diambil dari punggung mobil pick up belanjaan. Ada yang lagi ngomongin nih, batin Raka.
"Chef, sini biar saya saja." Seorang pemuda berseragam koki mengambil alih, menandakan identitasnya sebagai salah satu staf pengisi shift breakfast.
"Makasih. Gimana buffet-nya, aman?" Raka berhati-hati menyerahkan kotak sayuran sambil sekilas melirik ke arah dining hall. Tempat itu sibuk sekali. Raka bisa melihat meja buffet sarapan yang mulai terisi.
"Aman, Chef. Tadi udah ada Ciwen sama Kak Lisa juga, jadi udah lumayan ke-handle."
"Syukurlah," ucap Raka.
"Ini saya bawa kemana, Chef?"
"Langsung ke coldroom aja, taruh freezer. Jangan dekat daging sama ikan tapi ya! Nanti baunya kecampur. Ada sendiri tempat sayuran disana, kamu periksa ulang."
"Iya, Chef."
Raka melepas kepergian staf pagi itu dengan desahan napas.
Sebutan nama Lisa tadi membuatnya harus menahan diri untuk tidak mlipir ke dining hall, ngapelin egg stand dan meja buffet tempat dimana gadisnya berjaga.
Tidak, tidak. Kerjaan Raka masih banyak sekali. Dia harus menyortir belanjaan bahan seafood yang lagi otewe dan akan tiba sebentar lagi.
C'mon, Raka. Waktunya kerja, jangan ngebucin.
Lelaki itu berbalik dan siap melangkah pergi, ketika satu suara familiar memanggil namanya dari arah lobby.
"Raka?"
Sang empunya nama membeku saat menoleh ke arah sumber suara, pandangannya terpaku.
"Loh... kok bisa disini?" gumam Raka. Dia benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan sosok di hadapannya itu. Seharusnya perempuan ini berada di belahan bumi lain.
Tubuh itu berjalan cepat ke arah Raka, setengah berlari. Cantik, tinggi semampai dengan rambut cokelat tua yang digerai lurus menyentuh bahu.
Perempuan itu tiba di hadapan Raka dengan mata berbinar. Alis lurus yang simetris membuat tatapannya demikian tajam, dipagari dengan bulu mata lentik dengan iris kecoklatan menawan. Bibirnya yang tipis berlekuk tersenyum.
"Hai," sapa perempuan itu. Suaranya soprano hangat, jernih dan empuk didengar. Merdu.
"Hai juga..." jawab Raka.
🥨
Aku selesai mengeksekusi sewajan nasi goreng dengan nyawa setengah dalam raga. Perkataan Ciwen tadi membuat fokusku benar-benar silap bagai kilatan komet. Hilang.
"Kak Lis, ini sudah selesai nasi gorengnya? Saya bawa ke buffet ya?" Suara Wike, gadis berseragam koki menarik kesadaranku kembali.
"Eh, ng--nggak usah deh, Wik. Saya bawa sendiri aja," ucapku sambil sigap mengangkat tray berisi tumpukan nasi.
Aku mulai mencari kegiatan, kesibukan, pelarian, ataupun pengalihan, sebagai bentuk kudeta komando atas emosi sekaligus hati.
Tapi otakku malah dengan kurang ajarnya me-rewind kalimat Ciwen beberapa saat tadi.
"Si Chef itu ternyata calon menantunya Pak J, owner hotel kita ini. Udah dijodohin dari lama, katanya, dari pas si Chef masih berlayar malah."
Hatiku mencelos. Otakku nggak bekerja sama. Bohong kalau aku tidak merasa terkejut, kaget, syok, mencelos. Apapun istilahnya, kurasakan semua. Aku jadi bulan-bulanan tubuh dan jiwaku sendiri.
Coba bayangkan, laki-laki yang pada malam tadi bercengkrama mesra denganmu, tiba-tiba dibilang sudah 'dimiliki' sama orang lain?
Pusat duniamu dan sumber kebahagiaanmu, yang baru beberapa jam lalu meyakinkan hati bahwa masa depan sudah terpatri-masa tiba-tiba jadi calonnya orang lain? Nggak mungkin lah!
Iya, nggak mungkin lah! sugestiku pada diri sendiri.
Pasti Ciwen bercanda. Atau salah denger. Atau salah paham. Apapun itu, pasti ada penjelasan logisnya, mantapku dalam batin. Iya. Semua hal punya penjelasan logis, termasuk masalah hati yang kadang nggak bisa dilogikakan.
Tapi, semesta tak bisa disetir logika.
Saat melangkah memasuki dining hall, entah kenapa intuisi menuntun mataku menjalari seisi ruangan. Bencana.
Pandanganku bersirobok dengan pemandangan yang membuat lututku lemas.
Raka berdiri disana, berhadapan dengan seorang wanita. Cantik. Tinggi. Dan... akrab. Terlalu akrab untuk disebut teman. Wanita itu tak henti menebar senyum ke arah wajah Raka, yang membalas senyuman itu dengan setara. Mereka terlihat dekat.
"... calon menantunya Pak J, owner hotel kita ini..."
"Saya diizinkan untuk nempatin penthouse ini sama bapak..."
"Bapak siapa?"
"Err ... bapak owner hotel kita."
"Wah? Kamu kenal sama yang punya hotel?? Aku aja nggak pernah ketemu!"
"Ya ... kurang lebih."
"Orangnya gimana? Pasti sultan banget ya, punya hotel sama gedung apartemen ini juga."
"Emmm, gimana ya. Dia memang agak tertutup sama status sosialnya, sih. Tapi orangnya baik banget."
Aku membeku. Sekuat tenaga melawan asumsi mentah akan siapa wanita yang bercengkrama dengan Raka.
Ah, mungkin cuma tamu, atau teman yang nggak sengaja ketemu. Nggak pasti juga wanita itu anak owner hotel ini. Walaupun dandanannya mahal dan kelihatan high class begitu. Barangkali cuma artis lewat. Positif, Lisa. Buruk sangka itu dosa.
Namun kemudian wanita itu berjingkat, terpekik senang dan merengkuh Raka dalam pelukan. Lelakiku tak menolak, malah menepukkan tangannya di bahu sang wanita. Jelas sekali, pertemuan mereka ini bukan kali pertama.
Jantungku berdenyut janggal, respon motorik otak terpenggal. Tubuhku kehilangan daya, nampan besi berisi nasi goreng meluncur dari tanganku.
____________________
🥨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro