Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 36 · Biduri Bulan

🥨

____________________

Langit malam yang menaungi Celestial Hotel tampak gelap—bulan baru saja melewati titik apogee, fase dimana posisi lunar berada paling jauh dari permukaan bumi, membuat satelit planet kita itu tampak lebih kecil dan gelap. Tapi, langit masih berbaik hati dengan memberikan sedikit kerlipan bintang yang tersebar, terlepas dari dekapan awan yang minimalis.

Aku menarik napas, sedikit terbatuk karena uapan nikotin yang mempolusi udara.

"Kok tiba-tiba?" tanyaku kearah Vion yang baru saja melontarkan tawaran tak masuk akal.

Pulang? Sama dia? Vion, si koki pasta yang kelihatan cuek, tapi ternyata sableng luar biasa?

"Yah... sekali-kali kenapa nggak? Kapan lagi coba," ucap cowok itu sambil mengangkat bahu. Aku masih gagal paham.

"Lagipula..." lanjutnya, "... gue rasa umur gue di sini nggak bakal lama lagi."

Aku menoleh ke arahnya cepat.

"Vion—kamu... nggak suicidal kan? Kamu mau bunuh diri Vion?! Aduhhh, dosa tau! Ya ampun, padahal selama ini kamu diem-diem aja. Kenapa sih kenapaa?? Cerita sini cerita."

"Bukan, Lis. Maksud gue kerja disini. Di Celes."

"... kamu mau resign?"

"Nggak... gak tau. Gue ada feeling aja."

Aku terdiam sesaat.

"Vion... kamu ada masalah ya?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, cowok itu malah tersenyum simpul, sebelum kembali sibuk berkutat dengan nikotinnya.

Suasana menjadi sunyi kembali. Aku memeluk lututku sendiri.

"Jadi gimana? Mau balik bareng gue nggak?" tanya Vion setelah rikuh beberapa saat.

Aku menatapnya tak tega. "Kayaknya nggak deh, Vion. Maaf ya. Saya sudah sama Raka, nanti dia nyariin."

Vion mengangguk paham. "Yaudah."

Aku bernapas lega karena dia nggak memaksa. Syukurlah.

"Asyik nih, mojok berdua." Suara familiar menjalar dari belakang punggung kami. Aku menoleh seketika.

"Raka!"

"Hey, Lis."

"Udah selesai evaluasinya?" tanyaku.

"Yap, baru aja. Lama ya nungguin?" Lelaki itu duduk disampingku, ia menenteng sekaleng minuman dingin.

"Hoaammm, jadi pengen nyedot darah," celetuk Vion tiba-tiba. "Biar menjiwai jadi nyamuk," lanjutnya.

Aku dan Raka terkekeh bersamaan. Vion kemudian menghisap dalam-dalam rokoknya yang sudah pendek.

"Cabut deh gue." Cowok itu mematikan putung rokoknya, kemudian beranjak pergi.

"Hati-hati di jalan, Vion," pesan Raka. Vion terus melangkah, cuek.

Tanpa sadar, aku tak lepas memandangi punggung Vion. Raka menyenggol lututku pelan.

"Jangan diliatin terus," tegurnya.

"Hm? Kenapa?"

"Saya nggak suka."

Aku melongo mendengar pengakuan Raka.

"Kamu cemburu, Ka?" tanyaku.

"Sedikit."

Aku tertawa pelan mendengarnya. "Cuma Vion loh," gumamku.

Raka menoleh ke arahku.

"Dia naksir kamu kelihatannya," ucap Raka.

Aku menggeleng kuat-kuat.

"Jangan ngaco. Dia cuma temen kerja. Lagipula setahun lebih kerja sedapur sama dia, Vion nggak pernah mepetin saya tuh. Ngajak pulang bareng aja baru pertama tadi—ehh..." astaga mulut.

"Pulang bareng, ya?" simpul Raka.

"Tapi langsung saya tolak kok!"

"Iya, saya denger."

Kini giliran aku yang memandangi Raka lamat-lamat.

"Kamu udah lama berdiri disitu tadi? Kamu nguping ya?"

Raka tersenyum. "Sedikit."

Akupun menggeleng tak percaya. "Bakat banget kamu jadi stalker," pujiku setengah hati.

Lelaki itu hanya tertawa ringan.

"Ka," panggilku.

"Hm?"

"Pulang yuk."

Raka menghentikan gerakannya, lalu menatap wajahku lurus, lama.

"Kok malah bengong?" tanyaku.

"Nggak, saya cuma... seneng. Tadi kamu nolak ajakan laki-laki lain untuk pulang, dan sekarang kamu ngajak saya. Jadi ngerasa istimewa."

"Martabak dong?"

Kami tekekeh bersama. Ditengah-tengah tawa, Raka menyodorkan minuman kalengnya padaku. Aku memiringkan kepala.

"Hm? Apa?"

"Nih, coba deh."

"Tapi saya nggak haus," tolakku.

"Minum aja, enak loh. Seger."

"Iya deh..."biar cepet.

Aku meraih kaleng alumunium itu, membaca merek minuman yang tertulis disitu—peachy punch, minuman isotonik berperisa persik.

Kuteguk sedikit isi kaleng, sampai tiba-tiba—cklak! Sesuatu menatap gigiku.

Apaan itu barusan? Batu? Besi?

Kurasakan benda melingkar yang asing masuk ke dalam mulutku. Buru-buru aku melepehkannya.

Sebuah cincin.

Kuperhatikan benda yang tergeletak di telapak tanganku itu. Lingkaran keemasan dengan mata batu bundar, putih, semi-transparan, dan memantulkan kilauan cahaya susu. 

Aku nggak tau banyak tentang batu mulia dan gemstone, namun seumur hidup ada satu jenis batu yang sangat kuminati sedari dulu, dan Raka juga tau. 

Batu tersebut adalah Biduri Bulan—moonstone.

Mitologi Hindu mengatakan bahwa moonstone adalah cahaya bulan yang termaterialisasi, sementara bangsa Yunani kuno percaya bahwa batu ini berasal dari pecahan rembulan yang sampai ke bumi.

Nyatanya, moonstone merupakan batu mineral yang termasuk kedalam grup feldspar, dengan komposisi unsur pembentuk berupa sodium, potassium, aluminium, dan silicate, dengan skala kekerasan mineral 6–6,5 (Mohs).

"Ka..." Aku menatap lelaki yang ternyata sedang memandangku sedari tadi, ia tersenyum puas.

"Kamu suka?" ucapnya lirih. Senyumnya merekah ketika melihat air mukaku yang mulai pecah.

"S--suka banget! Tapi tadi saya bisa aja mati keselek tau!!"

Aku menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata. Raka tertawa menyambut rengkuhan pelukanku.

"Hahaha. Tadi Gita nanyain cincin, saya jadi inget. Sebenernya ini udah lama saya siapin, sengaja pilih yang minimalis modelnya karena saya tau kamu nggak suka pake perhiasan yang mencolok, jadi—"

Cup!

Kata-kata Raka tak terselesaikan sebab mulutnya telah kubekap dalam kecupan cepat. Singkat, namun cukup untuk menguapkan kata.

"Makasih," bisikku lirih.

Raka tersenyum sambil mencondongkan badan, mengecup keningku lembut. "Kembali kasih."

Aku rasanya mau meleleh. Kupandangi bergantian antara cincin di genggamanku dan wajah Raka. Dua-duanya sama-sama menawan.

"Mau dipakein nggak, biar romantis?" Raka menawarkan seraya merogoh tanganku. Aku mengangguk sambil tertawa pelan.

"Harus moonstone banget, ya?" komentarku saat melihat benda mungil itu melingkari jari manisku dengan pas.

"Kan dulu kamu pernah bilang, kalo ngelamar pengennya pake cincin batu dari Mars atau nggak batu bulan."

Aku tertawa mendengar jawaban Raka. "Iya ya? Saya pernah ngomong gitu?"

Lelaki itu mengangguk. Lesung pipitnya tercetak dalam senyuman manis. Oh Tuhan, aku pengen bawa lelaki ganteng ini pulang.

"Ini bukti keseriusan saya, Lisa. Laki-laki itu yang dipegang bukan omongannya saja, tapi action juga. Dan kemarin, kamu juga bilang saya nggak boleh ambil keputusan sepihak 'kan, masalah ngajak nikah? Jadi ayo... kita ngobrol."

🥨

Rumah ditelan gulita ketika aku tiba. Ruang tamu dan kamarku tak berlampu. Tandanya cuma satu: Gita nggak ada disitu.

"Sudah pulang, nduk?" Mama menyapa dari arah dapur.

"Oh, eh... iya Ma. Tadi nungguin Raka evaluasi, jadi malem selesainya," jawabku.

"Oalah."

"Gita kemana, Ma? Sepi amat."

"Tadi ada urusan mendadak katanya, masalah keluarga."

"Oooh." Hanya itu responku sebelum kembali ke kamar.

Sendiri berbaring di atas ranjang, membuat pikiranku berkelana dengan bebas.

"Kamu... kenapa bisa memutuskan untuk ngajak saya nikah? Apa saya sudah pantas? Apa udah qualified untuk jadi partner hidup kamu?"

Terngiang pertanyaan itu, lebih kepada diriku sendiri ketimbang Raka. Apa aku sudah qualified—pantas?

Raka menggenggam kedua tanganku. "Kita mulai dari mana?"

"Dari kamu," jawabku.

"Oke, kalo gitu saya jelaskan dari sisi saya dulu, ya? Jadi... alasan saya ngajak kamu nikah itu nggak ujug-ujug tiba-tiba pengen kawin aja. Saya udah pikir matang-matang sebelumnya..."

"...pertama, saya cinta kamu. Tapi cinta aja nggak cukup buat jadi patokan 'kan? Masih ada yang lainnya, apa lagi untuk orang yang baru kenal. Tapi disini, saya rasa saya dan kamu sudah kenal lama, saya tau kamu luar dalam bagaimana, saya tau keluarga kamu, karakter kamu, kepribadian kamu, dan saya ngerasa kita berdua cukup kompatibel, hubungan kita sehat, nggak toksik, terlebih lagi... hidup saya jadi lengkap dengan kehadiran kamu."

Aku terdiam. "Itu alasan kamu milih saya, Ka?"

"Iya."

"Oh..." masuk akal.

"Dan yang terpenting, yang jadi pertimbangan saya adalah... saya nggak bisa ngebayangin gimana rasanya kalau menghabiskan hidup dan hari-hari sama perempuan selain kamu."

Napasku tercekat. Aku juga nggak kebayang!

"Saya juga! 100% sama. Saya nggak mau dan nggak mau bayangin gimana kalau harus nikah sama orang lain. Di kepala saya, cuma ada kamu!" ucapku terlampau cepat.

Raka terkekeh ringan mendengar celotehanku. Aku mendadak malu sendiri.

"Baguslah kalau perasaan saya nggak bertepuk sebelah tangan," ucapnya. Aku jadi emosi.

"Padahal kan dulu yang suka sama kamu itu saya duluan. Bertepuk sebelah tangan dari mana coba..." rutukku tak ikhlas. Raka terbahak menanggapinya.

"Iya iya, saya juga suka kamu."

"Nggak! Saya yang lebih suka!"

Dan momen itu melebur bersama kesadaran yang mengabur. Aku hilang ditelan empuk kasur.

Zzzz.

Drrrttt! Drrrttt...

Hm? Gempa bumi?

DRRTTTTTT!!

Aku merogoh sumber vibrasi dibawah bantal. Ponsel, sialan.

Dengan mata setengah terpejam, aku membaca layar datar yang bertuliskan nama Mas Yus dalam incoming call. Sekilas kulihat jam di sudut layar menunjukkan pukul 06.03, pagi.

"Ngg... halo?"

"Lisa! Cepat kesini, ada emergency!!"

____________________

🥨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro