Chapter 30 · Hujan
🥨
____________________
"Loh, kok kita kesini?" pertanyaan itu terlontar otomatis dari mulutku, saat kusadari kami telah tiba di lapangan parkir mall. "Kita mau pulang?"
Raka menoleh sekilas sebelum menjawab, "Kamu udah mau pulang?"
Ah ... nggak mau, aku masih mau jalan bareng kamu.
"Saya sih masih belum mau mulangin kamu."
Aku melongo. Chef ini beneran cenayang kayaknya.
"Terus kita mau kemana?" tanyaku.
"Hmmm, pulang aja deh."
"Loh, tapi kan—"
"Ke tempat saya."
Aku berkedip sesaat memproses kalimat itu.
"Nggak mau?" tawar Raka sambil menatap wajahku, penuh harap.
"Mau."
🥨
Motor yang dikendarai Raka melaju, meninggalkan bangunan mall. Angin berderu kencang, membawa hawa basah yang terasa lembab di betisku. Kulirik langit terbuka, peta cuaca semesta—awan cumulonimbus bergerombol disana. Putih, kelabu, gelap menelan biru.
"Ka, kayaknya mau hujan deh!" ucapku lantang menembus deru angin.
"Haaah??" Raka balas berteriak, suaranya tertelan udara.
"KAYAKNYA MAU HU—"
Tes ... tes, tes, tes.
"—JAN."
BRRSHHHHH!!!!
"PEGANGAN, LIS!"
Suara kami benar-benar hilang digado guyuran air langit. Raka mempercepat laju motornya.
"KAAA, JANGAN NGEBUT, BAHAYA."
"APAAAA????"
"BA-HA-YA!!!"
"HAAA???"
Tuhan, lindungilah kami...
🥨
Membawa dua tubuh yang basah kuyup, motor Raka berderu memasuki basement parkiran gedung apartemen, menaungi kami dari terpaan air hujan. Akhirnya.
"Belanjaan kita aman kan?" tanya Raka sesaat setelah melepas helmnya. Aku mengangguk sembari mengecek kantong plastik yang basah sebagian.
"Aman kok."
Raka membantu melepas helmku, dan buru-buru menggiring langkah kami memasuki gedung. Dengan baju basah yang meneteskan jejak air hujan, kami memasuki elevator. Dentingan bunyi menandakan lantai teratas telah dapat dipijaki. Penthouse mewah itu menanti.
"Cepetan mandi, nanti kamu sakit. Ada water heater di kamar mandi utama, kamu kesitu aja," perintah Raka sedetik setelah kaki kami memijak ruang tengah. Aku bergegas menuruti arahannya. Badanku mulai menggigil.
Kukira akan mudah tersesat di penthouse megah ini—tapi ternyata tidak. Tempat ini bagaikan sangkar rumah kaca di puncak gedung pencakar langit, apartemen besar terbuka tanpa sekat dinding membatasi ruangan di lantai dasarnya—open floor, dikelilingi jendela kaca tinggi pada empat sisi mata angin.
Pada ruang tengah yang menjurus ke dapur terbuka, terdapat dinding kaca. Kamar tidur utama di lantai atas (aku curiga ini kamar Raka), juga terdapat dinding kaca. Hingga kamar mandi tujuanku di lantai itu, ternyata juga menyajikan pemandangan luar yang transparan berbatas dinding kaca. Aku buru-buru mencari tuas, tombol, tali atau apapun yang bisa memberikan tabir penutup pada dinding itu. Aku masih butuh privasi, malu cuy.
Satu tarikan tali yang mencurigakan di samping jendela kaca meluruhkan kain penutup hitam yang jatuh dengan ringan. Aku tersenyum puas, ternyata kamu nggak udik-udik amat, Lisa Moel.
Kupandang sekeliling ruangan ini dengan seksama. Lantai marmer hitam-putih dengan motif guratan marble tampak berkilat, dingin. Wastafel dengan desain marmer senada, dilengkapi dengan kaca lebar dan toilet duduk di sudut ruangan. Mewah.
Pada sisi lain, terdapat walk-in shower disandingi bathtub besar yang menggoda. Aku hampir saja menyalakan kran pada bathtub itu, namun buru-buru urung ketika ingat saat ini endometrium-ku sedang luruh mengeluarkan ovum dari dalam tubuh. Kalau nekat menggunakan bathtub, bisa-bisa aku berendam darah sendiri. Huwek!
Tak ada pilihan lain selain shower. Dengan cermat, kulepas jaket Raka yang masih melilit pinggang, lalu rok putih, dan...
Cklek.
"Lis—"
"HUAAA! JANGAN MASUK!!" Aku buru-buru menarik rok yang hampir kutanggalkan. Sialan.
Aku berbalik untuk menemukan tangan Raka terselip dari balik pintu, menadah selipat kain di telapaknya.
"Saya nggak lihat kok, tenang aja. Ini baju ganti sama handuk kamu," ucap Raka dari balik pintu.
Aku meraihnya sebelum buru-buru mendorong tangan Raka keluar dari ruangan.
"Lain kali ketok dulu kek," protesku.
"Iya-iya, maaf."
Dan saat pintu tertutup, aku baru ingat.
"Ka, tunggu," panggilku.
"Ya?"
Aku berpikir sejenak. Oke, kalau habis ini Raka ilfil parah padaku, nggak papa, aku ikhlas. Itu namanya resiko.
"Tolong ambilkan pembalut sama celana dalam di kantong belanjaan, bisa?" pintaku sambil memejamkan mata. Aduh, malu banget sumpah.
"Oh, oke. Tunggu sebentar."
Dan aku pun merosot dibalik pintu. Maluuuuu!
🥨
Hujanan air hangat menyerbu tengkukku. Nyaman. Otot tubuhku terasa luruh dalam relaksasi hakiki. Tuhan, inikah surga dunia?
Bisa dihitung jari berapa kali tubuhku berinteraksi dengan air hangat saat mandi. Jarang sekali. Boro-boro shower dan water heater-kalau mau mandi air hangat di rumahku, ya kita harus masak air sendiri, di panci, lalu menuang di bak mandi dengan resiko kecipratan air mendidih. Sedih.
Momen-momen mandi hakiki seperti ini hanya bisa kunikmati sesekali, seperti waktu study tour SMA ke bali, ada air hangat di kamar mandi hotel mewah yang di-booking oleh sekolahku. Hmmm, kapan lagi ya? Oh, waktu liburan di vila teman Papa di puncak, bareng Windu. Ah, vila itu ya. Aku udah nggak pernah kesana lagi sejak tiga tahun lalu...
Pikiranku melayang, tak luntur diguyur air hangat. Aku melamun.
Saat aku akhirnya keluar dari kamar mandi—mengenakan kaus dan celana training kedodoran milik Raka, langit sudah jingga. Indah sekali, aku bisa melihat dengan jelas dari atas sini. Jendela kaca yang ditetesi rintikan hujan menyajikan panorama langit gerimis. Senja.
Mendadak perutku bergemuruh, keruyukan. Baru kusadari bahwa sudah berjam-jam lalu sejak terakhir kali aku makan sesuatu-soto ayam buatan Mama. Aku lapar.
"Kamu udah selesai?" suara Raka memanggil dari arah dapur. Ah, dapur!
"Iya, kamu masak apa?" tanyaku begitu tiba dengan nada riang gembira, mematai Raka yang sibuk menata mangkuk di atas meja.
"Sup miso." Raka mengulurkan satu mangkuk kecil ke hadapanku. Kuah hangat bertabur potongan tahu dan rumput laut menguarkan aroma sedap.
"Wah?" tanpa disuruh, aku duduk di kursi meja makan. Raka nggak protes, jadi aku rasa nggak masalah kalau aku tidak ber-unggah ungguh menjaga image dalam bersopan santun.
"Ternyata di grocery store tadi lumayan lengkap, ada miso paste instan sama katsuobushi juga."
Aku memiringkan kepala. "Katsu apa?"
Raka meraih sebungkus plastik berisikan serpihan kering berwarna kemerahan.
"Apa itu?" aku masih nggak paham. Kuraih beberapa lembar isi plastik itu, memasukkannya ke dalam mulut.
"Katsuobushi—dried bonito flakes. Ini cakalang kering yang difermentasi, semacam keripik ikan. Fungsinya buat jadi bahan kaldu di sup-nya."
Aku otomatis melepeh lembaran tipis itu seketika. Huwek!
Tawa Raka lepas tak tertahan saat melihat ekspresi wajahku yang mengkerut. Aku buru-buru mencuci lidah dengan seruputan sup miso langsung dari mangkuknya.
"Puehh, panas!" aku menjulurkan lidah seketika, mengipaskan telapak tangan dengan cepat. Raka semakin terbahak. Oh my God! Lisa Moel, kamu bodoh sekali, rutukku dalam hati.
"Hahaha, kamu lucu banget," Raka terkekeh sambil menyerahkan segelas air putih. Aku meraihnya dan menandaskan sepertiga isi dalam sekali teguk.
"Saya bikin ilfil ya?" ucapku setelah menurunkan gelas.
"Nggak tuh, malah kebalikannya." Raka memandang wajahku lamat-lamat. "Di mata saya, apa yang kamu kira bikin ilfil itu malah lucu, menurut saya. Bikin gemes, tambah sayang."
Kata-kata Raka membuat gerakanku terhenti. Aku menatap balik matanya, menemukan secercah ketulusan disana. Aku tau Raka-ku nggak pernah bohong. Namun, garisan senyum yang tergurat di bibirnya terlihat ganjil. Dipaksakan.
Ragu-ragu, aku tersenyum juga. "Makasih, kalo gitu... udah nggak gampang ilfil sama saya."
Ya. Ini momen bahagia. Jangan rusak kebahagiaan ini dengan intuisi oposisi yang nggak masuk akal, Lisa. Dengarkan kata Mama tadi, nikmati saat ini.
Kami melanjutkan makan, dengan aku yang berusaha menelan perasaan mengganjal seiring tiap teguk kaldu miso melumasi tenggorokan. Semuanya baik-baik saja, sugestiku pada diri sendiri.
"Sambil nunggu appetizer turun, saya ngecek main dish kita dulu ya." Raka beranjak kembali ke dapur, menuju oven, menggunakan oven mitts (sarung tangan tebal) untuk membuka celah disana-mengintip mahakaryanya.
"Loh, ada main dish segala? Kamu ngapain repot-repot." Aku bangkit sambil membawa mangkuk miso menuju wastafel.
"Nggak papa lah sekali-sekali, saya jarang banget masak belakangan ini. Lagi pengen juga." Raka melepas oven mitts-nya.
"Lah, saya kira kamu kerjanya masak terus?" Kunyalakan kran air dan mulai mencuci piring.
"Eh, Lis, nggak usah dicuciin. Biarin aja."
"Sssttt, sekali-sekali. Saya jarang banget loh nyuci piring," kilahku. Raka terkekeh mendengarnya.
"Tadi kamu bilang, jarang masak? Kok bisa?" aku melanjutkan obrolan kami.
"Ya kamu tau sendiri, saya udah bukan jadi koki lagi. Di dapur hotel aja nggak pernah megang wajan, ya kan?" Raka berkata sambil mengeluarkan piring besar.
"Iya ya, kerjaannya head chef itu cuma nyuruh-nyuruh doang. Lis, ini. Lis, itu." Aku mulai membilas cucian.
"Hahaha, nggak salah sih. Kamu jadi ngerti kan kenapa saya kangen masak lagi?"
"Iya," jawabku sambil menata cucian bersih. Kulayangkan pandangan ke sekeliling, menikmati suara rintik hujan yang beradu dengan jendela kaca. Cahaya kekuningan dari lampu kristal menguar hangat.
Tempat ini sangat luas, dan indah. Tapi kalau sendirian di tempat seluas ini, pasti terasa sepi sekali.
"Ka," panggilku.
"Hm?"
"Kamu betah sendirian disini? Nggak kesepian?" Aku langsung menyuarakan keingintahuanku.
"Ya, sepi banget sih. Cuman kemarin Mima sempet nginep kok, tapi sekarang dia lagi balik ke rumah."
Dadaku mencelus. "Mima ya," ulangku.
Jamima, adik Raka. Nama itu bagai pemantik rasa nyeri di kerongkonganku, seketika. Aku ingat terakhir kali bertemu dengan dia itu...
"Kata abang, kalau Kak Lisa datang mengganggu kayak sekarang, Mima harus bilang... kalau Kak Lisa harus berhenti. Jangan ganggu Mima lagi. Dan... kata abang... Kak Lisa bukan bagian dari hidup kami lagi. Jadi tolong hidup sendiri. Jangan cari-cari abang lagi."
"Lis?" tegur Raka saat melihat tubuhku yang mendadak beku.
"Mima... apa kabar?" tanyaku dengan suara yang mulai rancu. "Dia sehat-sehat aja kan?"
Raka menghentikan kesibukannya di depan oven, dan melangkah mendekatiku. Ia mulai menangkap gelagat wajahku yang mendadak kaku.
"Lisa..."
"Mima nggak benci saya 'kan, Ka?"
Aku menatap wajah lelaki itu, tanpa sadar akan lelehan air lakrimasi yang merembes di pipi. Hangat. Panas. Mataku panas.
Raka langsung memelukku seketika.
Aku tak bisa menahan tangis itu lagi. Sial. Aku nggak bisa terus berpura-pura kalau aku baik-baik saja.
____________________
🥨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro