Chapter 28 · Bersemi
Tak dapat aku tahan lagi
Harus ku akui
Kau membuat hati ini
Percaya lagi
Hati yang tersakiti
Sembuh kembali
Saat dirimu hadir
Cinta bersemi kembali
♪
Eclat — Bersemi Kembali
____________________
Aroma segar teh melati menguar syahdu, menutup santap siang kami dengan hangat. Soto ayam buatan Mama dinilai 'juara' oleh Raka. Mamaku senang betul, karena dia paham bahwa Raka sudah bertahun-tahun tidak menyentuh comfort food berupa masakan nusantara itu. Lidahnya pasti kangen. Aku setuju, melihat betapa lahapnya Raka menandaskan mangkuk sotonya.
Kembali pada teh.
Aku menyesap gelasku dengan sepenuh hati, memperhatikan Raka yang berkisah tentang petualangan mengarungi lautan kepada Papa dan Mama.
"Oalah... jadi kamu toh apprentice yang sering disebut-sebut sama Chef Faris? Bapak ndak dong (nggak paham) kalau ternyata anak itu kamu. HAHAHAHA." Gelegar tawa Papa masih menggema seperti dahulu kala, tak pernah berubah. Raka juga ikut tertawa.
"Saya juga baru tau kalau sobat karib beliau semasa kuliah itu ternyata Bapak... dunia itu sempit ya?"
Aku kembali menyesap teh sambil mendengarkan, sedikit banyak menarik kesimpulan. Jadi, Chef Faris ini pembimbing Raka semasa berlayar? Dan dia adalah teman kuliah Papa? Okay.
"Bakal jadi calon besan juga itu," lanjut Papa. Aku hampir menyemburkan tehku.
"Maksud Bapak?" Raka menanyakan hal yang ingin kutanyakan.
"Faris Santosa itu papinya Eva Sania, calonnya si Bastian... ituloh, kakaknya Gita. Jadi nanti sodaraan kita, HAHAHAHA."
Raka tampak mencerna fakta itu, begitu juga denganku. Ada apa ini, semesta sedang berusaha menautkan tali silaturahmi kita dengan keluarga sentosa-sentosa itu kah?
"Wah... nggak nyangka saya Pak, benar-benar bisa pas gitu," simpul Raka.
"Lhoiya! Makanya le, kamu kalau menikah sama Lisa, bakal fix jadi menantu-iparnya Chef Faris nanti. Mantep tho? HAHAHAHA."
Aku mendelik mendengar celetukan Papa, sementara Raka tampak berusaha menahan tawa.
"Sudahlah, kita ndak usah mikiri masa depan yang kejauhan. Sekarang saja, nikmati. Kamu sendiri gimana le, betah di tempat kerja yang sekarang?" Mama mengubah haluan obrolan dengan santai, sambil menuang teh kedalam cangkirnya yang hampir kosong.
"Betah, Ma. Tempatnya enak."
"Alhamdulillah, baguslah. Mama titip Lisa yo, le."
"Siap Ma, nggak usah disuruh mah kalo itu." Raka terkekeh sambil melirik kearahku. Entah kenapa aku mendadak merasakan déjàvu.
"Jangan berantem lho kalian di sana," pesan Papa sambil meraih toples tembakau di sisi meja. Mama melemparkan pandangan tak setuju, namun Papa cuek saja.
"Nggaklah Pak, mana pernah kita berantem. Iya kan, Lis?" Pertanyaan terakhir Raka terlontar padaku. Aku menyeringai mendengarnya.
"Kalo mau berantem sih ayok aja. Aku nggak takut."
"Hehh, kebiasaan. Jangan suka cari gara-gara lho ya kamu!" Mama mendesis mendengar jawabanku.
"Bercanda, Ma," ralatku buru-buru. Raka tertawa ringan melihatku yang ditegur instan oleh Mama.
"Ngomong-ngomong, orang rumah gimana Ka? Kamu masih nggak akur sama Ayah kamu ya?" tanyaku.
Raka mengangguk dengan ekspresi wajah kecut—sudah menjadi rahasia umum kalau Tuan Mahardika itu orangnya super keras, punya cangkang yang nggak bisa ditembus, bahkan oleh anak sulungnya sendiri.
"Ahhh sudah ndak apa. Kamu jadi anaknya Bapak saja," celetuk Papa sambil melinting kertas papir berisi tembakau.
"Waduh, makasih Pak, saya mau banget," jawab Raka dengan senyum tulus. Aku terkikik memperhatikan kedekatan dua lelaki tercintaku ini.
"Kalau Ibu, gimana? Sehat kan? Aku belum tau kabar Ibu kamu nih," ujarku kearah Raka. Aku benar-benar penasaran, dan kangen.
"Eh, itu..." Raka menggantungkan jawabannya sekilas. "Baik," gumam lelaki itu akhirnya.
Aku mengangguk paham sambil perlahan merasakan perubahan atmosfer di ruang makan ini. Mama mendadak sibuk menyeruput gelas tehnya, dan Papa terlampau khusyuk menggulung lintingan tembakaunya. Sementara Raka, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ada apa ini?
"Oh iya, Pak..." Sebelum aku sadar, Raka sudah kembali membuka suara.
"Lisa-nya boleh saya pinjam kan, habis ini? Mau saya ajak keluar," ucap Raka memohon restu.
"Oooo iya boleh-boleh, bawa saja," jawab Papa ringan seakan melakukan transaksi benda tak berharga. Aku melayangkan pandangan tajam ke arah Raka.
"Mau kemana emangnya?" tanyaku skeptis.
"Kencan."
Jawaban Raka itu membuat Papa dan Mama sontak terkekeh seketika. Aku sendiri tersenyum setengah hati.
Lelaki ini kalau ngebucin beneran nggak lihat sikon ya?
🥨
Deru angin terasa membelai betisku. Aku sibuk menahan agar rok yang kukenakan tidak terbang melebihi atas lutut. Dibonceng motor gede saat menggunakan rok begini memanglah sebuah konsep yang wow sekali.
Lampu lalu lintas berkedip merah, motor yang dikemudikan Raka berhenti mendadak. Dahiku hampir menghantam punggung Raka dengan keras jika saja aku tidak menggunakan helm.
"Chef," panggilku. Tak ada respon.
"Raka!" Kali ini diselingi tepukan pelan di pundaknya.
"Hem?" Ia menoleh sekilas, melirik wajahku dari kaca spion.
"Kita mau ke mana sih?"
"Sebentar lagi sampai," jawaban abstrak itu terlontar bersamaan dengan lampu hijau. Aku mendengkus, tak puas.
Gedung itu bertingkat, gigantis, dengan jendela-jendela kaca dan papan reklame iklan bertebaran dimana-mana.
"Mall?" tanyaku saat Raka menekan tombol tiket parkir.
"Iya."
"Tapi kenapa?"
Motor kami kembali melaju, menuju parkiran.
"Saya kangen Bapak sama Mama, tapi saya juga mau quality time sama kamu, berdua." Raka melepas helm-nya dengan gerakan mulus.
Melihatku kesulitan membuka lock pada helm-ku, ia terkekeh dan segera meraih tanganku, mengambil alih. Helm-ku terlepas beberapa detik kemudian.
"Kita kan udah ketemu tiap hari di dapur, masih kurang?" ucapku saat Raka memimpin langkah kami keluar dari parkiran.
"Ya beda lah," jelasnya seraya menggenggam tanganku. Kami mulai memasuki mall.
"Iyasih, tapi kenapa mall?" protesku.
"Lho, bukannya kamu dulu suka jalan-jalan ke mall?"
"Itu kan dulu, bareng Windu—sebelum ketemu kamu."
"Ohya? Memangnya ada apa dengan saya?" Atensi Raka tertuju penuh padaku.
"Yah... dulu kan tujuan saya sama Windu ke mall buat cuci mata..." Aku mengaku setengah hati.
"Ohhhh, jadi sekarang nggak pernah cuci mata nih?"
Aku menatap lelaki itu sejenak. "Nggak."
"Kenapa?"
Senyum terkukum di bibirku seraya jawaban terkurasi didalam kepala.
"Standar saya udah tinggi, nggak banyak cowok yang bisa nyuci mata saya."
Raka tertawa puas mendengarnya.
"Saya masuk kedalam standar kamu nggak nih?" Ia bertanya seraya menuntun langkah kami menaiki eskalator. Aku menatapnya tak percaya.
"Malah patokan standar saya itu kamu! Astaga, masa kamu nggak sadar sih kalau wajah kamu itu..."
Raka tampak menanti potongan kalimatku.
Sialan, aku nggak pandai muji orang. Aku harus bilang apa? Cakep? Ganteng? Tampan? Sempurna? Aghhh!
"Makasih," ucapnya tiba-tiba, seraya mengeratkan genggaman di tangan kami. Tanpa sadar, senyumku mengembang. Nggak, batinku, makasih karena kamu sudah bisa baca pikiran saya.
"Eh tapi apa bener nih, nggak ada yang menarik perhatian kamu selama saya nggak disini?" Raka bertanya dengan nada ingin tahu.
Aku tersenyum sambil menggeleng pasti. "Nggak."
"Satu pun? Di kampus, di dapur?"
"Nggak ada."
"Masa sih? Vion, nggak? Mas Yus? Pram? Pras?"
"Enggak lah!"
"Oh jangan-jangan Pak Seno nih?"
Aku bergidik sendiri membayangkannya. "Dih, amit-amit!"
"Hahahahahah." Tawanya melambung, renyah. Baru kusadari betapa telingaku rindu akan suara tawa itu.
"Kamu sendiri, selama di kapal nggak ada yang..."
"Hm?" Raka memperhatikanku yang lagi-lagi tak sanggup menyelesaikan kalimat.
Kenapa aku mendadak jadi bodoh begini sih?
"Kamu nggak... dekat, sama... siapaa, gitu?" Nadaku berantakan.
"Lisa, di galley itu 90% staf nya laki-laki."
"Galley?" tanyaku.
"Dapur kapal."
"Ooooh..." Aku mengangguk paham. "Tadi kata kamu 90%? Berarti masih ada 10% perempuan dong, dan kamu kan 24/7 di kapal terus, gak mungkin pergi-pergi. Masa sih nggak ada satupun teman spesial?" lanjutku mengikis kemungkinan.
"Ada nggak ya..." Raka memainkan nadanya, menggoda.
"Ada ya??" tuduhku.
"Mungkin," ucapnya, diselingi senyum jenaka.
Jawaban itu membuat hatiku berdenyut seketika. Sakit. Cemburu.
"Kok nggak sama dia aja kalo gitu?!" Ucapku kasar, sambil melepas paksa genggaman tangan kami.
Raka terbahak seketika.
"Kamu ini susah banget dibikin jealous, tapi sekalinya kena, langsung keluar tanduknya. Becanda Lis, becanda..." Raka berusaha menggandeng tanganku kembali.
"Terus aja bikin perasaan saya jadi bahan becandaan kamu!" desisku, menghindari tangan Raka yang gesit menggenggam jemariku. Aku tertangkap.
"Maaf..." ucapnya, sambil mendekatkan genggaman tangan ke wajahnya, lalu dengan lembut mengecup buku jariku. "Maaf, ya?"
Sialan, makiku. Mata Raka tertuju lurus padaku. Dia terlihat benar-benar merasa bersalah.
Aku memalingkan muka. "Gak lucu, tau!"
"Iya, saya salah banget, nggak peka sama sekali. Nggak akan gini lagi, nggak bikin perasaan kamu jadi bahan bercandaan lagi. Janji. Maafin saya, ya?" Raka memulutkan permintaan maaf berkali-kali.
Aku menghela napas, luluh.
"Y-yaudah," ucapku akhirnya. "Tapi seriusan... apa kamu nggak ada teman spesial selama berlayar?" Aku memastikan.
"Lis," ucapnya sungguh-sungguh. "Dari dulu tuh cuman ada kamu. Nih, kalau emang nyangkut sama orang lain, nggak mungkin kan sekarang saya ada di sini sama kamu?"
Aku memikirkan kata-kata Raka sejenak. Iya juga ya, simpulku.
Belum lagi dia selama ini diam-diam menabung di rekening masa depan denganku. Harusnya tanpa dia bilang pun, aku paham akan kesungguhann dia. Kenapa malah ngambul (ngambek) nggak jelas gini coba?
"Beneran?" ucapku akhirnya.
"Beneran." Raka menjawab pasti.
Aku menghela napas. Capek juga ya, ngeluapin emosi gini.
"Udah?" tanya Raka.
"Apa?" jawabku.
"Udah ngambeknya?"
Mau tak mau aku terkekeh.
"Udah kok."
Raka tersenyum lega mendengarnya, dengan sigap menarik genggaman tangan kami ke dekat wajahnya, mencium punggung tanganku sekali lagi.
Tanpa terasa langkah kaki beriring drama ringan telah membawa kami ke lantai teratas gedung mall ini. Satu-satunya tempat yang bertengger megah disitu adalah ruang kaca dengan lambang XXI besar tersemat disana. Bioskop.
"Kamu nggak capek jalan? Mau nonton?" tawarnya.
Aku mengangkat bahu dan menjawab, "Boleh".
Poster film yang disiarkan berjajar disana. Aku dan Raka memperhatikan judul-judul tersebut dengan pandangan skeptis. Rata-rata adalah film romansa tanah air, yang menurutku terlalu menye-menye dan nggak banget. Raka juga setuju.
Pilihan yang bisa kami toleransi jatuh pada film Black Panther yang sedang premiere hari itu. Tapi aku masih menimbang ulang, sebab satu-satunya series superhero dari Marvel yang kusuka adalah Guardian of Galaxy.
Ditambah, Raka juga nggak terlalu suka film superhero. Nggak masuk akal, katanya.
Ya iyalah nggak masuk akal, orang genre-nya aja sci-fi.
Ditengah kebimbangan itu, aku merasakan sensasi aneh yang berpusat di perutku. Panas, nyeri, ngilu, mulas. Rasanya menusuk sampai pinggang belakang.
Melihat ekspresi wajahku yang berubah drastis, Raka segera bertanya khawatir. "Kamu nggak papa, Lis?"
"Perut saya aneh..." keluhku. "Saya mau ke kamar mandi bentar."
Raka mengangguk seraya melepas kepergianku. Feelingku nggak enak.
Toilet mewah dengan lantai dan wastafel marmer itu menyambutku, yang segera memasuki salah satu biliknya.
Benar saja dugaanku. Sebercak noda merah terpampang basah pada celana dalamku. Darah.
Aku buru-buru mengambil tisu toilet, melipatnya menjadi persegi panjang sebagai pengganti pembalut emergency.
Sialan, umpatku.
Keluar dari toilet, aku dapat melihat sosok Raka yang berdiri di sudut ruangan bioskop, menunggu, setia. Dengan langkah tak nyaman, aku mendekat kearahnya.
"Ka..." lirihku sambil berjinjit, berusaha meraih telinganya untuk membisikkan sesuatu.
"Saya mens."
____________________
🥨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro