Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 24 · Filsuf

🥨
____________________

'Lisa, Lisa! Cepat terima cintaku, kalau tidak... Wendy akan membawaku pergi!' Raka dengan pakaian serupa Princess Peach berteriak dari atas menara batu. Aku panik seketika, mencoba melompat setinggi-tingginya, tapi menara itu begitu tinggi tak terjangkau.

'Ha-ha-ha! Kau tidak akan pernah bertemu Prince Raka lagi, Elizabeth! Dia sekarang sudah menjadi milikku! MUAHAHAH!!" Ciwen dengan pakaian overall berkaus hijau serupa kostum Luigi tiba-tiba muncul dari atap kastil, mengendarai naga kura-kura. 

'Oh tidak! Prince Raka, tunggu aku!'

Aku semakin panik, melompat lagi, dan kembali gagal. Baru saat itu kusadari ada kumis melingkar di wajahku, dengan pakaian overall biru berkaus merahaku menjadi Mario! Detik itu juga muncul jamur merah bertitik di hadapanku. 

Yes, Power Up! Aku segera mengunyah jamur itu, dan lompat tinggi-tinggi. Berhasil, aku terbang!

Sesampainya di puncak menara, tak kutemui adanya Prince Raka dan Ciwen berkostum Luigi. Hanya satu catatan yang muncul dari udara kosong, berbunyi :

'Selamat, Lisa! Tapi sayang, kamu terlambat!
Prince Raka telah berada di kastil yang lain!'

Teret-tet-tet-terereet.. GAME OVER!

Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Mimpi sialan!

🥨

Mereka bilang, mimpi adalah bunga tidur. Mimpi tidak bisa menyakitimu. Tapi, ada yang bilang juga bahwa mimpi adalah projeksi alam bawah sadar yang terpendam dalam-dalam. Apa yang tidak kamu ungkapkan di dunia nyata, akan timbul dengan sendirinya ketika kamu terlelap.

Apapun itu, bodo amat!

Pagi itu aku terbangun dengan mood berantakan, sebab matahari belum genap terbit, tapi kantukku sudah hilang sepenuhnya. Aku mengalami sleep deprivation seketika, kekurangan tidur. Jam istirahatku kacau karena belum genap terlelap selama 6 jam. 

Lantai dapur yang dingin menyambut telapak kaki telanjangku. Aku menuangkan air panas kedalam gelas, mencelupkan teh berbenang dan mengaduknya pelan. Warna kecoklatan menyeruak dalam beberapa detik, membuatku tak tahan untuk menghirup aromanya sejenak. 

Satu kebiasaan yang sering muncul mengusik kesadaranku. Segera, aku mencari minyak kayu putih dan meneteskan tiga-empat tetesan kedalam tehku. Kuhirup lagi, aromanya. Hmmm, segar. 

Aku menyeruput minuman ajaibku itu. Hangat. Tak ada rasa pahit atau getir dari minyak kayu putih yang kucampur, hanya sensasi hangat dan aroma yang unik. Sejauh research-ku di jagad maya, minyak kayu putih memang berbahaya jika diteguk langsung, tapi jika hanya beberapa tetes begini, okelah. Buktinya aku masih hidup, kan?

Langkah kakiku kembali menuju kamar terhenti saat melewati ruang tengah. Semarak bunyi instrumental gitar berpadu genderang dan bunyi-bunyian 'heyyyaaaa eyeee' panjang menyentuh telingaku. Itulah potongan intro dari lagu yang belakangan sering didengarkan oleh Papa. 

Ah, Papa! Dia pasti sudah bangun. Kebiasaannya adalah duduk pagi-pagi sambil meminum teh dan membaca surat kabar, menghadap halaman belakang yang luas. Tanpa pikir panjang, aku melangkahkan kaki menuju pintu belakang. Papa duduk disana, di tempat favoritnya. Sambungan lirik lagu menyambut saat aku mendudukkan bokong di kursi kosong sebelah Papa.

'Wahai kau budak dunia
Cintailah bijaksana
Dengan penuh kesadaran pahami dirimu sendiri'

Papaku menghirup tehnya, terpekur menghayati lagu yang keluar dari speaker bluetooth bekas yang ia dapat dari pasar loak.

"Papa beneran mirip anak senja, deh," komentarku sambil menyesap tehku sendiri.

"Senja? Tapi kan ini masih pagi, Lis." Papa mengangkat wajah menyambut celetukanku.

"Bukan-bukan, maksudnya, suka dengerin lagu indie begini. Duduk, merenung, minum teh, sambil nikmatin pemandangan kolam lele."

Papa terkekeh sejenak.

"Itu namanya anak senja, ya?" tanyanya.

"Iya," jawabku.

"Oke, kalau gitu kamu beruntung dong punya papa keren bergelar 'anak senja', ya kan?"

Kini giliran aku yang terkekeh. Aku meng-iya-kan saja, biar cepet.

Beberapa detik kami terpekur menikmati 'suasana senja pagi hari' yang dingin, berpadu hangatnya minuman kami, dan pemandangan luas halaman belakang yang dipadati pepohonan dan rerumputan tinggi, dimana ada kolam lele yang luas di ujung sana. Aku menghembuskan napasuap putih mengudara dari mulutku.

"Pa," panggilku.

"Hm?" responnya.

"Papa dulu gimana pas pertama ketemu Mama? Pasti dulu waktu muda Papa lebih 'nyenja', deh."

"Nyenja?"

"Iya. Lebih... akustik. Papa suka bikinin puisi buat Mama, kan?"

Papaku terkekeh sejenak, mengingat-ingat memori indah yang mulai ia gali. Sedikit kutahu, tiap tahun saat mereka merayakan anniversary pernikahan, Papa selalu menuliskan puisi untuk Mama. Puluhan lembar, disimpan dengan rapi dalam album foto.

"Bener kata kamu, Lis. Cuma dulu belum ada istilah anak senja atau nyenja gitu, sih. Tapi, iya. Papa dulu kuliah di jurusan Sastra, dan Mama kamu di jurusan Ekonomi. Kita satu kampus."

"Hah? Kok jauh banget, Pa?"

"Jauh apanya, orang gedungnya sebelahan. Kantin kita bahkan jadi satu."

"Maksud aku disiplin ilmunya. Kayaknya papa emang beneran nyenja banget, ambil sastra. Sedangkan Mama... ekonomi. Tipikal Cokro banget, yakan?" Aku meraba kata-kata yang tepat.

"Cokro banget, iya. Sangat. Keluarganya elit, dari dulu sudah borju. Tapi Mama kamu jatuh cinta waktu pertama lihat Papa manggung di pelataran kantin, bacain puisi sambil digitarin sama teman UKM Kesenian Papa. Hehehe."

Aku tersenyum membayangkan Mama-Papa muda dengan latar kehidupan bertolak belakang, saling terpikat di kantin kampus.

"Terus-terus?" Aku menuntut.

"Papa juga suka. Lha wong Mama kamu cantik begitu." Papa tertawa pelan, membuat kumisnya bergerak-gerak. Aku ikut tertawa mendengar pengakuannya.

"Terus kalian nikah?" simpulku.

"Iya. Tapi susah, dulu kakek dari Mama kamu nggak setuju. Papa kan bukan orang berada."

"Ah iya... Eyang Cokro, ya?"

"Heheheh, iya."

"Terus gimana kok bisa nikah sekarang?"

"Papa 'nyogok', ngelamar Mama kamu dengan jaminan rumah sama tanah ini." Aku melongo, menghitung dalam kepala berapa hektar luas properti yang dimaksud Papa.

Rumah kediaman keluargaku ini merupakan unit satu lantai dengan luas sekitar 380 meter persegi. Cukup luas. Tidak, luas sekali. Keterlaluan luasnya. Aku paling malas kalau sudah ditugaskan menyapu lantai seisi rumah. Capek!

Halaman depan berperan sebagai 'garasi' dan lapangan parkir bagi mobil siapapun yang bertamucukup untuk menampung sekitar 9 mobil. Dan halaman belakang... ah, ini sih lebih cocok kusebut hutan belakang.

Halam belakang rumah ini tersebar sepanjang mata memandang, bagai lapangan bola. Kolam lele ternakan Papa membentang di satu sisi, dengan hamparan rumput panjang tak terawat dan pepohonan berbagai buah-buahan yang tumbuh sembarangan di sisi lainnya. Durian, mangga, kelapa. Aku berdecak, kagum.

"Kukira ini rumah warisan dari keluarga Cokro, Pa," gumamku pelan.

"HAHAHA, Papa nggak semiskin yang kamu kira! Ini properti warisan keluarga Moelyadi, Lisa. Yah, memang nggak se-wah apa yang dimiliki sama keluarga Cokro, sih, lha wong mereka punya nya gedong-gedong di Jakarta sana. Tapi hanya ini yang Papa punya, dan Papa serahkan untuk meminang Mamamu seluruhnya. Disitu sepertinya hati mereka tergerak, Lis. Ternyata keluarga Cokro masih punya hati." Papa menyebarkan pandangannya seluas pekarangan belakang. Aku memandangi horizon jauh yang berlapis kabut tipis.

"Mama beruntung, ya, bisa dapet Papa," bisikku kearah udara kosong.

"Hmmm." Papa menggumam sambil meneguk isi cangkirnya.

Satu potongan lirik yang dinyanyikan mulai menarik perhatianku. Kudengarkan sungguh-sungguh, lantunan suara Mr.Sonjaya dalam lagunya bagai menghipnotis telingaku.

'Lusinan jurnal puisi
Zaman berkembang mengikuti
Mencari jawaban ilmu tentang satu dunia yang baru'

"Pa," panggilku lagi.

"Ya, nduk?"

Aku menimbang sejenak sebelum berkata akhirnya, dalam satu tarikan napas.

"Raka kembali."

Papa terdiam sejenak sebelum merespon, "Sehat dia?"

"Sehat, Pa. Dia jadi Chefkepala dapur di tempat aku kerja sekarang."

"Alhamdulilah kalau begitu. Ada yang jagain kamu di tempat kerja juga." Papa kembali menyesap tehnya.

Aku ikut meneguk tehku dengan gugup.

"Dia mau ngajak Lisa balikan, Pa," ucapku. Kulihat Papa ber-'hmm' sendiri, menimbang pernyataanku.

"Apa menurut Papa, Raka orang yang baik?" Pertanyaan itu terlontar setelah aku menandaskan setengah isi gelas. Kulirik Papa sekilas, matanya menerawang jauh.

"Papa kenal Raka, dia anak yang langka. Baik dan berbakat, kuat dan bertanggung jawab walaupun tumbuh di keluarga yang kontra sama passion dia."

Aku merenung sejenak. Sependek pengetahuanku, apa yang dikatakan Papa benar adanya. Ayah Raka, si Komisaris Jenderal bintang tiga, mati-matian menentang keinginan Raka untuk jadi koki. Laki-laki nggak pantas ada di dapur, katanya. Tapi toh, ada Ibu Raka yang selalu meloloskan keinginan anak sulungnya. 

Ah, aku jadi ingat. Otakku tanpa sadar mereminisi sejenak akan momen-momen saat Raka hendak wisuda, ia menjadi supir yang mengantar aku dan Ibunya belanja ke mall, mencari kebaya untuk dikenakan saat foto keluarga.

"Masa baru lulus udah jadi supir sih, Bu." Raka mendengkus dari balik roda kemudi. Aku dan Ibu yang duduk di kursi belakang terkekeh mendengar protesnya.

"Nggak apa, sekali-kali. Ibu mau quality time dulu di belakang sini sama Lisa. Kita nanti makan juga bertiga di resto keluarga Krisna, ya? Langganan Ibu itu. Oh iya, Lisa, bilangin ke Mamamu juga, minggu depan ada arisan sama teman-teman Ibu, ya?" Wanita paruh baya berambut pendek itu merangkulkan lengannya di pundakku. Aku tersenyum.

"Siap 86, Ibu Komandan!" Acungan jempol kuberikan dengan mantap.

"Kamu nanti jadi cobain baju-baju buat Mima, kan? Ibu mau beli, tapi takut salah ukuran. Badan kalian kan ukurannya hampir sama. Ya? Mau ya?"

"Iya iya, Ibu." Aku terkekeh pelan, sementara Ibu yang gemas langsung mencubit hidungku perlahan. 

'Bukanlah suatu tragedi
Jika kamu jatuh cinta lagi'

Potongan bait lagu itu kembali membawaku ke masa kini. Papa yang duduk di sebelahku, menyesap teh. Cahaya matahari mulai hangat menyentuh wajah kami. Akupun menarik napas, mengisi paru-paruku dengan oksigen segar.

"Jadi menurut Papa, Raka orang baik? Aku harus nerima dia lagi?" Otakku mengkurasi kesimpulan dari percakapan kami.

"Dia laki-laki hebat, Lisa. Coba dengarkan hati kamu, kalau disana Raka masih ada, terima. Kejar, genggam, jangan lepas."

Kata-kata Papa membuatku merenung sejenak. Aku hanya menjawab petuah Papa dengan tegukan gelas tehku hingga tandas.

"Papa jadi kangen. Ajak dia kesini ya, Lis? Kita makan-makan lagi seperti tempo dulu," pinta Papa. Aku mengangguk sambil tersenyum mendengar itu.

"Iya."


____________________

🥨

Masa depan lima benua
Manusia alam semesta
Tak akan kau ketahui
Namun Tuhan bukan pembenci

Lupakanlah masa lalu
Dan dia yang telah pergi

Bukanlah suatu tragedi
Jika kamu jatuh cinta lagi

https://youtu.be/Q1qU0i8GGqA

🎶 Mr. Sonjaya Sang Filsuf

_____



a / n :

 Hai sayang! 

Aku lagi masa genting mau sidang nih. Kayaknya off dulu nggak up sampe akhir bulan ini. Hopefully I left you at a good place, ya?

Kita ketemu lagi sama Lisa dan Raka di bulan November. 

Luv, Z.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro