Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 18 · (Hancur)

🥨
____________________

3 tahun lalu...

'Nomor yang Anda tuju tidak terdaftar, silahkan periksa kembali dan cobalah beberapa saat lagi.
The number you are calling is not available, please try again later.'

Lisa mendesah pasrah sambil menekan tombol berwarna merah di layar ponsel. Gemuruh dalam keningnya tersulut, menghasilkan kerutan vertikal di antara alis yang terpaut, gusar.

"Lho, yang lagi ulang tahun kok mukanya malah ditekuk-tekuk begini?" Pak Moel mendatangi putri semata wayang-nya, meneliti air wajah anak gadis itu.

"Nomor Raka nggak bisa dihubungi lagi, Pa." Sang putri mengadu.

"Ah, palingan di tengah laut nggak ada sinyal." Papanya mencoba menenangkan, membuat Lisa mengerutkan hidung skeptis.

"Iya kali ya," jawabnya, menyembunyikan gundah yang berusaha ditelan pahit-pahit.

"Sudah, berangkat yuk? Windu sudah datang, tuh..."

Mendengar nama sahabatnya disebut, Lisa kembali mencurahkan senyum tegar. Sesaat berselang sebelum suara cempreng Windu menggerakkan gendang telinga bapak-beranak itu.

"Cieeee yang ultah!!! 19 taun nih yeee~" Kalimat itu diselingi pelukan bertubi-tubi oleh sosok Windu Saraswati. Lisa menerima gestur itu sembari tersenyum lebar.

"Hehee... iya, makasih Win." Lisa mengeluarkan tawa, coba menawar gundah.

"Brangkat yuk, aku udah download film-film bagus nih. Disana masih ada TV flat yang guede itu kan? Nggak sabar nihh, akhirnya bisa nginep di vila keluargamu lagi..." cerocos Windu tak putus.

"Ada kok. Dan ini vila punya temennya Papa loh ya, bukan punya kita."

"Iya-iya aja deh. Yang penting kita bisa liburan gratisan, hehehe."

Dua pemudi itu berjalan beriringan menuju mobil Kijang hijau tua, bersemangat menghabiskan akhir pekan di puncak gunung dengan kadar oksigen jernih—siap memanjakan paru-paru yang sesak akan polusi.

🥨

Vila yang ditempati oleh keluarga Moelyadi terletak di daerah Batu, Malang. Merupakan bangunan bercat putih megah yang dikelilingi pepohonan kamboja dengan dahan meliuk manja. Lapang halaman terbentang dengan hiasan rumput gajah, dengan balkon di bagian belakang rumah yang menyajikan panorama pegunungan luas membentang, beralaskan jurang hutan dedaunan.

Lisa selalu merasakan kontradiksi magis yang menyenangkan di tempat ini—suhu satuan derajat celcius yang sejuk, membuat tempat itu selalu dingin tanpa instalasi AC, berpadu dengan kaus kaki tebal, teh hangat dan cemilan manis, serta water heater bertenaga surya yang selalu siap tugas mengalirkan air hangat kuku lukewarm di tempat itu—belum lagi, TV datar selebar 55 inch yang digadang-gadang Windu, lengkap dengan persenjataan hardisk eksternal berisi belasan film HD hasil pirasi ilegal (hehe), membuat siapapun yang menghuninya merasakan kenyamanan duniawi yang hakiki.

Mobil Kijang tua hijau lumut yang sudah berusia beberapa dekade memasuki halaman vila—kaca jendela belakang diturunkan lebar-lebar, akses bagi kepala Windu yang melongok keluar untuk menghirup udara segar dalam-dalam, mencoba menawar mabuk darat.

"Akhirnyaaa sampai juga!" Windu adalah orang pertama yang turun dari badan Kijang, menggenggam minyak kayu putih yang ia hirup sesekali. 

Penderitaannya menumpangi mobil angker keluarga Lisa selama hampir tiga jam akhirnya terbayar, dimulai dengan sambutan sepasang suami-istri penjaga vila di depan gerbang.

"Selamat datang, Ibu, Bapak Moel. Vila sudah kami bersihkan, siap ditempati. Silahkan, Pak, Buk, Non..." Ibu Penjaga berujar dengan ramah, tersenyum sopan sementara suaminya, Bapak Penjaga, sigap menghampiri mobil dan mulai menurunkan tas-tas bawaan.

"Makasih ya, Buk." Mama Melda menjawab dengan anggukan, membuat Windu merapatkan dirinya ke arah Lisa sambil berbisik.

"Psst, Lis... sampe disambut sebegini nya, kamu yakin ini vila bukan punya papa kamu?"

Lisa menoleh sebentar mendengar desisan suara itu.

"Enggak Win. Inituh karena kita keseringan numpang disini aja, sampe mereka hafal. Yakali papa aku punya vila, mobil aja udah mau rontok dibawa ke puncak gini..." Mendengar jawaban itu, Windu mengangguk-angguk sendiri. 

Benar juga, kalau memang keluarga Lisa mampu membeli properti senilai em-em an begini, kenapa mereka nggak mampu beli mobil yang lebih layak, coba?

Malam menjelang, senja memetang. Meja makan dipenuhi sayuran dan lauk pauk hasil masakan Ibu Penjaga—featuring Mama Melda dan Lisa sih. Windu dan Pak Moel kompak mematai berbagai makanan yang tersaji sambil menelan air liur.

"Senangnya, Mama tadi dibantu masak sama Lisa. Yang dulunya anti banget sama dapur, sekarang malah bisa bikinin sayur begini-gini. Yuk, makan yuk..." Kalimat penutup familiar yang keluar dari mulut Mama Melda membuat napsu makan Lisa menguap seketika. Raka selalu mengajak makan dengan kalimat itu.

Murung masih merundung putri keluarga Moelyadi saat ia dan Windu menonton di ruang tengah. 

Layar TV gigantis memancarkan adegan Bella dan Edward si vampir dalam film Twilight, saling tatap dengan cinta menggelora. Lisa paham betul sahabatnya yang hopeless romantic paling senang dengan film beginian, namun gadis itu tak bisa menikmati aktivitas itu dengan maksimal. Bukan, bukan karena Lisa tidak ngeh dengan pesona si vampir seksi melawan manusia serigala ganteng. Sama sekali bukan. 

Lisa hanya tak bisa mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel yang gelap, berharap suatu keajaiban muncul disana. 

Ajaib, sebab dengan sinyal penuh di pusat kota saja, tak ada kabar dari Rakaapalagi di gunung begini. Kulari ke laut, tak ada sinyal. Kulari ke gunung, apa lagi. Lisa mendesah gerah.

"Kenapa, Lis?" Windu menangkap gelagat resah gadis yang duduk disampingnya, berpeluk selimut.

"Raka..." Hanya satu potong kata itu, dan gundah Lisa jelas sudah. Windu bisa membaca keadaan ini sejelas dan setajam gambar TV dihadapan mereka.

"Hari ini harusnya kamu lagi seneng-seneng loh. Ngerayain ulang tahun, liburan weekend begini ke puncak bareng..." Windu menyerahkan secangkir teh hangat kearah Lisa, yang meraihnya dengan dua tangan telungkup.

Lisa menunduk memandangi cairan tembaga didalam cangkirnya sembari merangkai kata.
"Iya. Harusnya. Tapi mau gimana lagi, Win... otak aku kan nggak bisa ngatur apa yang dirasain hati."

Kini giliran Windu yang terdiam, memikirkan jawaban.

"Kita harus ngelakuin sesuatu. Nggak bisa kamu diem aja digantungin gini, udah berapa lama?"

"Tiga minggu..."

"Buset! Oke fix, kita harus cari kejelasan!" Windu berujar penuh semangat, membuat secercah cerah timbul di wajah Lisa. Akhirnya, ada yang tidak denial masalah menghilangnya Raka.

"Oke," Lisa tersenyum penuh arti.

"Sekarang, kita quality time dulu aja, ya? Pusing-pusingnya besok-besok aja, pas udah balik ke kota. Oke?" Windu membalas senyum Lisa,

"Oke, oke," beo Lisa sambil meraih sebotol kecil minyak kayu putih dari atas meja, melarutkan satu-dua tetes cairan bening itu kedalam cangkir tehnya. Windu menyaksikan seluruh aksi tersebut dengan pandangan horor.

"Masih aja demen ngoplos teh sama kayu putih begitu... edan kamu, Lis."

Lisa melengos sesaat sebelum mengeluarkan tawa ringan.

"Perut aku kembung ah. Kamu diem aja, nikmati badai kentut dari aku nanti malam... katanya mau quality time kan? Hehehe."

"Gilak! Ogah ah aku bobok sama kamu. Aku disini aja, begadang sama Edward."

Lisa tergelak sambil menyeruput teh spesial racikannya, sementara Windu terkekeh seraya lanjut mengagumi wajah tampan si vampir di TV.

🥨

Senin, Lisa memarkir motor vespa-nya dekat gerbang sebuah sekolah SMP swasta favorit. Windu berjaga dari jok belakang, mengamati keadaan.

"Jam segini sih harusnya udah pulang, ya..." Lisa menggumam sambil melirik jam mungil yang tersemat di tangannya. Dengan anggukan pasti, ia menghampiri pos satpam tak jauh dari sana.

"Siang, Pak. Saya mau cari murid disini, namanya Mima. Jamima Maheswari. Ada?"

Pria berseragam putih-dongker menyambut tatapan Lisa sambil mencondongkan badan,

"Kelas berapa ya, mbak?"

"Em... kelas tiga. Kalau nggak salah, tiga A."

"Oooh, yang anaknya polisi itu ya? Yang ayahnya Komisaris Jenderal bintang tiga itu?"

"Eeeh... iya, bener."

"Hari ini nggak masuk, mbak. Tadi ajudan ayahnya datang ngantarkan surat."

"Oooh..." Lisa menelan kekecewaan. "... yaudah Pak, makasih ya."

Gadis itu berjalan kembali sambil menggeleng ke arah Windu. Misi mereka hari ini gagal.

Selasa, di tempat yang sama, jam yang hampir sama. Seperti reka ulang hari sebelumnya, Lisa menghampiri pos satpam dan bertatap langsung dengan bapak yang sama.

"Jamima, anak Komjen Pol. Ada, pak?"

"Udah dijemput tuh, mbak. Baru aja."

"Oooh... yaudah Pak, makasih."

Rabu, Kamis, nihil. Kini Lisa dan Windu tiba 30 menit lebih awal. Hari Jum'at.

Taktik baru. Lisa dan Windu memarkir si vespa Putih agak jauh, sementara mereka berdua berhimpitan di balik pohon beringin, meringkuk dekat gerobak es cendol. Windu mengenakan kacamata hitam dan topi baseball polos, sudah cocok jadi oknum penculik bocah SMP.

Lisa memicingkan mata, mencoba meneliti sosok remaja tanggung yang keluar dari gerbang sekolah itu satu persatu. Pandangannya berhenti ketika tubuh familiar adik Raka Mahardika nampak di balik gerbang. Dengan tarikan napas, Lisa menguatkan hati dan berjalan dengan cepat meninggalkan markas persembunyiannya.

"Mim... Mima! Tunggu!" Lisa menghadang bocah yang tingginya hampir menyamainya itu. Raut pucat bercampur syok menghiasi wajah bundar sang adik.

"Kak Lisa..." Hanya bisikan lirih itu yang keluar dari mulut Mima.

"Nomor kamu ganti juga ya? Ah... ini, aku mau nanyain Raka.. dia udah nggak ngontak aku hampir sebulanan, kamu tau dia kemana, Mima?"

Pertanyaan itu berbalas dengan gelengan kepala Mima keras-keras. Senyum Lisa pudar setengah melihat gelagat adik Raka yang mulai memundurkan langkah, memperlebar jarak diantara mereka.

"Ayolah, Mim. Dia abang kamu, pasti kamu tau—"

"Stop, Kak!" Mima memotong, "Mima tau Kak Lisa udah ngintai Mima seminggu ini, nungguin di depan sekolah. Tolong berhenti. Mima takut. Kak Lisa udah beneran jadi stalker!"

Air muka Lisa buncah seketika. Matanya menelisik tubuh Jamima yang berdiri kaku, memasang air muka yang keruh, tak terbaca.

"Mima... maksudnya apa? Bukan gitu..."

"Tinggalin Mima sendiri!" Jamima hendak melangkahkan kaki, namun Lisa dengan sergap kembali menghadang tubuh bocah SMP itu. Pandangan mereka beradu, dalam. Lisa dapat melihat kalutan emosi di mata Mima.

"Tolong, Mim... aku cuma butuh kejelasan..." Lunak, nada suara Lisa membuat lawan bicaranya membuang muka.

"Kalau Mima jelasin, apa Kak Lisa bakal berhenti ngejar-ngejar Mima?" Lirih, suara Mima timbul dengan getaran isak tertahan.

"Iya, Mim, janji... ada apa sebenernya?" Lisa meraih kedua tangan bocah itu, menggenggam dalam telapak tangannya sendiri.

"Kata Abang, kalau Kak Lisa datang mengganggu kayak sekarang, Mima harus bilang..." Adik itu mengangkat wajahnya, menatap lurus kearah Lisa, "Kalau Kak Lisa harus berhenti. Jangan ganggu Mima lagi. Dan... kata Abang... Kak Lisa bukan bagian dari hidup kami lagi. Jadi tolong hidup sendiri. Jangan cari-cari Abang lagi."

Petir bagai menyambar, gemuruh menggelegar. Lisa pasrah saat Mima menghempaskan tangannya, membiarkan lengan lemas terjatuh di kedua sisi tubuhnya tanpa tenaga. Lisa hanya bisa memandangi sosok Jamima Maheswari yang melangkahkan kaki menjauh, terburu-buru, sambil menundukkan wajah.

Windu menyeruput es cendol yang sudah setengah isinya, mengobati panggangan sinar mentari yang tak tau ampun. Dari kejauhan, ia dapat melihat Lisa berjalan gontai ke arahnya. Semakin dekat, wajah sahabatnya itu semakin jelas terbentuk. Aliran kering cairan lakrima membekas di pipi Lisa, dengan mata sembab semerah saga. Bibir gadis itu bergetar, digigit tanpa sadar sambil melayangkan pandangan kosong. 

Hari itu, Elizabeth Moelyadi hancur. 

____________________
🥨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro