Chapter 16 · (Kembali)
🥨
____________________
"Hah?!"
Hanya satu suku kata yang berhasil keluar dari mulutku.
"Nggak-nggak, becanda. Hahahah, kaku amat kamu ini."
Oh, bercanda? pikirku.
Lucu ya, perasaan dan hatiku ini memang bahan komedi yang layak untuk dibercandakan. Humor sekali.
"Hehee... hehehahahaha..."
"Lis?"
"HAHAHAHAH."
"Eh, kayaknya saya salah ngomong ya. Bercandaan saya nyakitin hati kamu, maaf ya..." Raka dengan peka bisa menangkap nada terluka dari tawaku. Tapi entah kenapa, aku malah semakin terbahak.
"BAHAHAHAHAH!!"
"Elizabeth? Kamu sehat?"
"Hati? HAHAHAHAHA! Ngomongnya enteng banget, kayak kamu punya hati aja. HEHEHE... "
Gelak tawaku menggema dari meja kami, membuat Chef Raka dengan sigap menempelkan punggung tangannya di keningku.
"HAHAAA—aaah, aduh!" Aku mengernyit sakit, ternyata tawa tidak bisa menyembuhkan benjol secara instan.
"Eh, maaf-maaf. Nggak sengaja..." Chef Raka kembali menarik tangannya.
Interaksi terputus detik itu karena pramusaji datang membawakan pesanan kami. Aku menghembuskan sisa-sisa tawa sambil menatap dua kebab berbungkus itu disajikan di atas meja. Disampingnya, ada beberapa porsi roti canai dengan sides madu.
Aku menyandarkan dudukku di punggung kursi. Tawaku sudah menguap entah kemana, membuatku fokus memilah-milah pikiran yang bertumpuk, siap meledak.
"Meskipun nggak sengaja, tapi masih sakit loh." Kalimat itu lolos dari mulutku, membuat Chef Raka melabuhkan tatapan menyambut netraku.
"That's why I said I'm sorry... saya menyesal sudah bikin kamu sakit, Lis."
Rancu. Entah kalimat itu ditujukan untuk apa, namun aku bisa menangkap kejujuran dalam nada bicaranya, dan itu membuat selejit rasa ngilu timbul di atas ulu hatiku. Napasku memberat tanpa bisa kutahan.
"Saya kira babak hidup dengan kamu itu sudah selesai, Ka." Bibirku kelu menyebut potongan nama Raka yang biasa kurapal sedari dulu.
"Lis..." Lelaki itu menggantung namaku, memberi ruang sunyi untuk mengintegrasi serpih-serpih pikiran.
"Harusnya kamu konsisten kalau jadi bajingan. Pergi ya pergi, jangan balik-balik lagi."
"Lis, ada alasan—"
"Apa? Kenapa? Kamu nggak sengaja? Nggak sengaja lupa ngasih kabar berminggu-minggu? Nggak sengaja, karena di tengah laut nggak ada sinyal?"
"Bukan, saya—"
"Nggak sengaja ganti nomor? Hape kamu jatuh ke laut? Kapal kamu nabrak balok es? Iya? Kamu dimakan ikan paus dan kemah di dalem perutnya, gitu??"
Mulut Raka bungkam seketika, napasku beradu.
"Kamu tau apa yang saya lakukan setelah kamu tiba-tiba menghilang tanpa kabar, waktu itu?" Suaraku kembali mengudara, berbalas dengan Raka yang menundukkan kepala,
"Saya melanjutkan hidup." Aku menutup monolog itu dengan hembusan napas yang sedari tadi tertahan.
Meluapkan emosi ternyata membakar begitu banyak energi. Dapat kurasakan lenganku terkulai lemas, kepalaku pening, dan sebuah perasaan kosong menggerogoti perutku.
Makan. Aku harus makan agar tidak mati sekarang juga, pikirku.
Tanpa minat, aku meraih satu bungkusan kebab, untuk kemudian menggigit isinya.
Sialan, ini enak.
Perpaduan rasa asap dan savory daging cincang bercampur segar potongan sayuran, gurih dan lumer saus mayonaise, berbalut gulungan roti dürüm yang menetralkan rasa—semua itu bagaikan kembang api yang meledak-ledak di langit-langit mulutku. Detik itu juga aku baru menyadari bahwa reaksi tubuhku merupakan hal yang wajar, alamiah sebab ... aku lapar, benda terakhir yang masuk ke dalam perutku adalah potongan macaroon yang dipesan Windu siang tadi.
Atmosfer meja kami masih mencekam, juga bungkam menyajikan sunyi. Tanpa peduli akan tatapan Raka yang meneliti gerak-gerikku dengan air muka masam, aku lanjut mengunyah dengan sepenuh hati, memfokuskan perhatianku pada indra perasa. Semakin dikunyah, dapat kurasakan daging yang mendominasi itu mulai mengeluarkan rasa lebih: gurih, asin, sedap ... ah, sepertinya mereka memberi seasoning rahasia pada cincangan daging kebab ini.
Melihatku yang lahap tanpa jeda, Raka ikut meraih satu kebab di atas meja. Sambil menghela napas, ia menggigit hidangan itu. Beberapa detik ditekuk kebisuan kaku, Raka berinisiatif meraih sebotol saus tomat pedas dan melirik sekilas padaku.
"Mau saos?" tawarnya.
Hah, palate lidahku sudah penuh dengan berbagai rasa gurih sampai manis hingga tekstur campur aduk begini, dan kamu masih menawari tambahan rasa tomat dan gelitik pedas cabai di kebab-ku?
"Nggak," tolakku pendek, melanjutkan makan.
Chef dihadapanku itu tersenyum kecut sebelum melanjutkan gigitannya.
Beberapa menit berlalu tanpa mulut kami mengeluarkan kata-kata, sibuk mengunyah dan menandaskan kebab yang kami pesan. Setelah menghabiskan porsinya, Raka meneguk air mineral botol dan melirik ke arahku lagi.
"Tau nggak, Lis?" Lelaki itu membuka suara.
"Nggak," jawabku ketus sambil mengunyah potongan yang belum habis.
"Kamu makin cantik kalo lagi makan pas marah."
"OHOK—"
Aku tersedak, Raka buru-buru menyerahkan botol minumannya yang langsung kuteguk tanpa pikir panjang.
Melihatku yang megap-megap memasok oksigen, Raka menahan tawanya.
"Maaf Lis, nggak sengaja."
Mendengar kata itu, emosiku tersulut dengan cepat.
"Aaarghh, stop saying that! Nggak ada yang nggak disengaja. Semuanya sengaja. Otak kamu yang merintah tangan kamu, mulut kamu, untuk bikin saya jadi begini. Own your action, Raka!"
Nadaku yang naik beberapa oktaf itu berhasil membuat tawa kecil di bibir Raka tersapu bersih seketika.
"Maaf, saya..."
"Stop minta maaf terus! Kamu bikin kuping saya sakit. Jidat saya sakit. Otak saya sakit. Hati saya sakit..."
Air kaca hampir pecah di pelupuk mata, membuat suaraku bergetar tak beraturan.
"Apa sih yang kamu mau dari saya, Raka?"
Lelaki itu menatap wajahku lamat-lamat, sebelum akhirnya berkata...
"Masukkan tangan kamu ke saku jaket saya."
Aku termenung, apa?
Melihat responku yang membatu, lelaki itu merapatkan kursinya ke arahku, mencondongkan torsonya.
"Disini, yang sebelah kanan."
Aku menggeleng tak percaya sambil memasukkan jemariku ke sisi jaket itu, mengaduk irisan kantung kain yang menempel di pinggangnya. Aku dapat merasakan sesuatu. Dingin, solid.
Dengan gerakan ragu, aku menarik tanganku lagi. Disana, di pucuk jariku, terdapat sebuah pin astronot kecil, bertengger beku.
Tanpa suara, aku mengalihkan pandangan dari benda mungil itu menuju wajah Raka. Matanya menyambutku, tak putus memandang. Aku membalas fokus mata itu, tenggelam dalam iris gelap yang memantulkan sebersit luka. Hatiku serasa tercabik—detik itu, aku tersadar bahwa dia juga merasa sakit melihatku terluka seperti ini
"Kamu inget itu apa?" ucapnya.
Otakku tak bisa berjalan dengan normal mendengar kalimat itu. Desiran darahku mendadak mengalir lebih cepat, debaran jantungku berdegup lebih gesit, dan mulutku tak bisa kutahan saat bertanya,
"Setelah selama ini?"
Raka menyuguhkan senyum lesung pipitnya sebelum mengangguk,
"Selalu."
Perutku tergelitik kupu-kupu, namun otakku yang sempat beku kembali memberi sinyal alarm nyaring pada detik berikutnya.
"Kamu tau kan, itu nggak ngebuat semuanya otomatis jadi baik-baik aja?" suaraku menemukan kesadaran, membuat Raka tercenung beberapa detik mendengarnya.
"I know. Mustahil untuk berharap kamu bisa langsung menerima saya kembali seperti dulu, layaknya nggak terjadi apa-apa."
Aku termenung sejenak, mencerna keadaan kami saat itu.
"Chef," ujarku lirih. "Saya nggak bisa. Nggak lagi."
Aku mengembalikan si astronot mungil kedalam telapak tangan Chef Raka yang terbuka, meninggalkan jejak pandangan sarat arti oleh pemiliknya.
"Saya ngerti, Lis," ujarnya, meloloskan hembusan napas lega keluar dari paru-paruku.
"Lagian, saya nggak ngajak kita balikan kok." Raka kembali berucap, membuatku memiringkan kepala seraya bertanya.
"Maksudnya?"
"Iya. Kita kan nggak pernah nyebut kata putus." Lelaki itu menyuguhkan senyum jenaka, membuatku dengan lancar terbahak sambil meluncurkan tinjuan bertubi ke lengan dan perutnya.
"Hahaha, ampun ampun, geli..." Raka berseru disela tawanya.
"Geli? Nggak sakit?" protesku.
"Tangan kamu kecil gitu, nggak ada powernya."
Aku menatapnya tak percaya sambil terkekeh sedetik.
"Oke, kalo gitu. Tadi kamu bilang kita nggak pernah putus kan? Yaudah, sekarang saya minta putus," ujarku seringan kapas diselingi tarikan tawa.
"Eh, kok gitu... tega banget kamu Lis, saya kan masih cinta, malah minta putus..." Raka berkata sambil menyuguhkan senyum memelas.
"Ha-ha, lucu. Untungnya saya sudah move on, Chef."
"Eh kok gitu?" Nada suara Raka terdengar tak terima.
Aku tersenyum ke arahnya. "Suka-suka saya dong. Chef kan dulu juga seenak hati pergi gitu aja. Fair kan?"
Raka tampak berpikir sejenak.
"Kamu nggak benci saya, kan?"
"Kalo mau saya benci, bisa kok."
"Eh-eh, jangan! Yaudah truce dulu—gencatan senjata. Dinner is a battle and we're fighting on the same side. Kita berada dalam kubu yang sama di dapur, so no hard feeling, oke?"
Chef kepala itu menjulurkan tangannya di atas meja.
"Oke, truce. No hard feeling." Aku menyambut tangan itu dalam satu jabatan, yang entah mengapa tak segera dilepas oleh Raka. Tanganku di sandera, dalam genggamannya.
___
3 setengah tahun lalu...
Deruman suara pesawat dan hiruk pikuk kesibukan mewarnai suasana Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dua pemuda dan dua perempuan muda disertai wanita paruh baya berdiri didepan pintu masuk bertuliskan 'International Departure'.
Raka berdiri disana, ditemani orang-orang paling berarti dalam hidupnya: Ibunya, Lisa, adiknya—Mima, dan Oky. Selejit perasaan sedih menghimpit hati Raka saat tau ayahnya lebih mementingkan pekerjaan daripada meluangkan sedikit waktu melepas kepergian putranya.
Mima mengisakkan tangis didalam peluk sang Ibu, Oky tersenyum menyimpan emosi, sementara Lisa terlihat paling tegar diantara semuanya—padahal Raka tau, gadis itulah yang sebenarnya paling hancur hatinya.
"Kamu udah siap boarding? Tiket-nya udah di cetak 'kan?" Suara Lisa menggelitik pendengaran Raka, membuat pemuda itu tersenyum penuh arti.
"Siap semua, tuan putri. Aku bisa minta sesuatu?"
"Hm?"
"Titip jagain Ibu sama Mima, ya?"
"Hahaha, siap yang mulia. Nggak usah ditanya juga aku jagain. Mereka udah kayak keluargaku sendiri," jawab gadis itu sambil mengerling singkat kearah dua wanita yang masih sesenggukan dalam pelukan, Ibu dan Mima.
Raka mengikuti pandangan gadisnya diiringi timbulnya satu tanya.
"Kamu kok ngga sedih sih?"
Lisa kembali menatap lelakinya, kali ini pandangan itu sarat makna.
"Sedih kok, dikit, tapi kan kamu bilang kemarin, 'perpisahan itu sementara..."
"... tapi kita itu selamanya'. Masih inget ternyata, good." Raka menyelesaikan potongan kalimat Lisa sambil menggosok lengan gadis yang sedang dirangkulnya itu. Ia memasukkan tangan kedalam saku untuk mengeluarkan sesuatu,
"Ini, Lis." Raka menyodorkan sepasang pin mungil berbentuk astronot dan spaceship di atas tangannya yang terbuka. Mata Lisa terbelalak lebar melihat benda itu.
"Lucunya... apa ini?" gadis itu otomatis memungut kapal luar angkasa spaceship yang ada di atas telapak Raka.
"Kalo di luar negeri namanya promise ring, karena aku nggak punya cincin, jadi promise pin aja. Nggak papa kan?"
Mata Lisa berbinar melihat benda itu.
"Ini sih lebih baik dari cincin!" bisiknya penuh arti. Raka menggenggamkan kedua tangannya diatas tangan Lisa.
"Kurang dari setahun lagi, kamu bakalan nyusul aku kan? Kita keliling dunia sama-sama." Raka meyakinkan kalimatnya dengan nada pasti, membuat Lisa mengangguk-angguk setuju.
"Iya iyaa. Kita nanti berlayar bareng, mampir ke segitiga bermuda, jalan-jalan ke area 51 juga." Lisa melambungkan imajinasinya dengan menyebut lokasi markas mahluk astral di bumi, membuat Raka terkekeh sekejap.
"Mampir aja ya? Jangan mau diculik alien, nanti aku nggak punya siapa-siapa lagi."
Gadis itu mengangguk lagi sambil menerima pelukan dari lelakinya. Entah pelukan ke berapa yang mereka luncurkan hari ini.
"Kalau ini promise pin, berarti kamu janji bakal kembali kan, Ka?" Suara Lisa melambung dekat diantara jarak mereka.
"Nggak usah ditanya lagi, Lisa. Aku pasti kembali."
Dua sejoli itu pun larut diantara peluk hangat mereka. Perpisahan hari itu menjadi ungu, sebab sedihnya biru tercampur dengan rona merah jambu.
____________________
🥨
PS : Masih inget pin ini, dari Chapter 1? Hehe...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro