Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 12 · Adik

🥨

____________________

Raka melepas helm dengan napas jengah. Langit malam meneduhi gedung apartemennya dengan awan yang menutupi bintang. Cahaya yang berpendar terang berkubah biru langit didominasi oleh lampu-lampu kota yang berkerlip, berdesakan dengan gedung pencakar langit. 

Lelaki usia pertengahan kepala dua itu meninggalkan basement parkiran dan masuk menuju elevator, menekan angka lantai teratas. Chef baru di Celestial Hotel itu menempati penthouse gedung apartemen ini, menuruti titah sang pemilik gedung yang berbunyi...

'Raka, pokoknya kamu harus tempati penthouse-nya. Sudah sekian tahun kamu di laut, kamu harus menikmati hidup di darat juga.'

Ia menghembus, pasrah. Setidaknya ia tidak akan merasa sungkan jika pemilik gedung membiarkannya membayar tempat tinggal ini, instead of memaksanya tinggal dengan cuma-cuma. Tapi, yah... namanya rejeki, masa ditolak?

Pip-pip... ceklek.

Pintu terbuka, bersambut ruangan kosong yang lampunya belum menyala. Raka menghembuskan napas.

"Bisa-bisanya aku hampir cemburu sama driver ojol..." Raka bergumam kepada dirinya sendiri, mengeluarkan pin kecil berbentuk astronot mungil dari saku jaketnya.

Chef muda itu membanting tubuhnya diatas sofa panjang, memandangi langit yang tembus dari jendela kaca tinggi terjurus ke arah balkon.

"... tell me how to do this right, Lis."

Desahan napas itu mengantarnya memejamkan mata, mendengarkan detik-detik jam dinding yang berbunyi teratur.

Sepi, batinnya, tempat ini terlalu sepi.

"ABANG!"

Raka terlunjak mendengar panggilan itu. Suara nyaring yang sudah lama tak hinggap di telinganya membuatnya bangkit dari sofa seketika.

Lampu telah menyala. Di sudut ruangan, depan pintu kamar yang baru saja terbuka, berdiri sosok gadis remaja dengan rambut berantakan -memandang ke arah Raka dengan muka tertekuk.

"MIMA?!" Raka berlari ke arah gadis itu, memeluknya ditempat, mengguncang tubuh mungilnya yang sedetik terbang berpijak lantai.

"Abang kenapa jahat?! Pulang nggak bilang-bilang..." gadis remaja itu masih mengeluarkan nada kesal dari mulutnya,

"Kamu kapan kesini? Kenapa bisa masuk? Ahh..." Raka seakan kehabisan kata-kata.

"Abang diem dulu, jangan meluk-meluk! Mima lagi mau marah nih!" remaja yang dipanggil Mima itu mendorong tubuh Raka sekuat tenaga -hanya untuk semakin didekap tak berdaya oleh kekuatan lelaki dewasa.

"Kamu yang diem dulu, jangan marah-marah. Abang lagi kangen nih..." Raka berucap sambil mengendurkan pelukannya, mendekap wajah bundar adiknya itu sambil menatapnya dalam-dalam.

"... kamu udah gede aja," gumam Raka sambil memperhatikan wajah itu. Bibir Mima bergetar perlahan, matanya mulai berkaca-kaca.

"Mima juga kangen sama Abang... Abang jangan pergi-pergi lagi, ya?" rengek gadis itu sambil perlahan mulai terisak. Raka kembali memeluknya erat, mengusap-usap punggung adik semata wayang-nya yang mulai bergetar karena tangis.

"Iya. Abang nggak pergi-pergi lagi."

Jamima Maheswari, Mima.
18 tahun. INFJ-T. Cancer.

🥨

Jam dua siang.

Aku menyesap teh tarik dingin dari sedotan yang kugigit-gigit ujungnya, pasrah dijagal tatapan tajam Windu dan Gita. Dua perempuan itu seakan mengadiliku dari sisi lain meja Celestial Café.

"Bisa-bisanya ya, si Raka balik terus kerja sedapur sama kamu, dan aku malah dengernya dari Gita duluan. Kamu udah nggak nganggep aku sahabat lagi, Lis?" Windu membuka persidangan siang ini dengan pertanyaan menohok. Aku menelan minuman, mencerna jawaban.

"Kan baru juga sehari, Win... Gita aja tuh yang terlalu gercep ngabarin kamu."

"Lhoh, kok jadi aku yang salah? Heh, udah ya jangan saling blaming gini. Ini nih terus gimana, gimana??" Gita memandang gemas ke arahku, membuatku kembali menyesap minuman dingin.

"Yah... karena posisinya atasan, jadi susah sih. Raka kan istilahnya jadi bos kamu nih, Lis? Jadi ya... nggak tau ya. Susah kalo mau balikan." Windu memberi kesimpulan sepihak.

"Balikan?! Heh, mana ada acara balikan-balikan sama laki brengsek macem gitu. Nggak bisa! Aku udah permak Lisa habis-habisan, dia tuh harusnya balas dendam, ya. Balas dendam!" Gita menyahut dengan argumen pedas, membuat Windu berdecak sedetik.

"Tapi kan Lisa sama Raka itu nggak terpisahkan, Git. Mereka ituh sol-met."  Windu mengeja kata terakhirnya dan membuat Gita bergidik di tempat.

"No-no! Lisa, kamu harus tegas ya jadi cewek. Pokoknya kamu nggak boleh sampe dipermainkan kayak dulu lagi."

Aku mengembuskan napas pelan.

"Yaudah sih biarin aja... udah selesai juga kan. Nggak perlu balikan, nggak perlu 'balas dendam' juga. Nggak ada apa-apa lagi yang perlu di gimana-gimanain," kini aku yang memberi kesimpulan tawar, membuat Windu dan Gita saling pandang mendengarnya.

"Maksudnya? Kamu nggak mau ambil keputusan apa-apa nih masalah ini?" nada Windu terdengar serius, disusul Gita yang menggeleng sedetik sebelum berucap.

"Oke, mungkin balas dendam itu kedengerannya terlalu ekstrim. Aku cuma nggak mau kamu disakitin lagi kayak dulu, Lis. Gemes aja, gitu. Pengen mites si Raka, hiiiihhh!"

Windu melirik Gita sebentar, seakan mengerti apa maksudnya.

"Ato nggak, gini deh... kamu nggak butuh closure apa, Lis? Tanya kenapa Raka dulu... pergi?" Sahabatku itu menata kalimatnya dengan hati-hati, membuatku terdiam sesaat memikirkan kata-katanya.

"Nggak," putusku singkat. Windu dan Gita saling pandang lagi, tidak mengerti arah pikiranku.

"Kalau aku masih gali-gali sesuatu yang udah dikubur dalam-dalam, itu tandanya aku kalah. Dua tahun terakhir usahaku sampe berhasil move on dari Raka bakal jadi sia-sia." Aku menjelaskan sambil menghirup tandas isi gelasku—langsung tanpa sedotan.

Dua perempuan itu terdiam. Aku merasa puas, pasti karena jawabanku yang sudah foolproof, tokcer, maknyus. Tapi aku salah, pandangan Gita dan Windu terarah lurus dibalik bahuku.

"Speak of the devil..." Gita menggumam sambil tersenyum, sementara Windu juga menunjukkan ekspresi wajah yang sama. Detik berikutnya, aku menoleh seketika dan bertatap langsung dengan sosok Raka dan satu remaja perempuan yang sepertinya... hmm, itu Mima kah? Adik Raka?

"Kenapa dia bisa ada disini?" Mulutku mengeluarkan pertanyaan bodoh.

"Ya karena dia kerja disini," jawab Gita sambil menyeruput sparkling water dari gelasnya.

"Kalian sengaja ya??" Aku menatap tajam dua perempuan itu satu persatu.

"Nggak asik nge-ghibah kalo nggak ada orangnya langsung. Hehe..." Windu menjawab sambil mendadak melambaikan tangannya ke arah counter kasir, menarik perhatian seseorang disana.

"Ka... Raka!! Hey, sini..." Suara Windu lantang sampai ke seberang ruangan.

Sialnya, Raka menangkap gestur sosok Windu dan balik melambai, berbicara sesuatu dengan adiknya, dan mulai berjalan ke arah meja kami.

Oh sial. Sial banget. Sialan kamu, Windu!

Mataku mendelik ke arah Windu yang sudah menurunkan tangannya, tersenyum penuh kemenangan.

"Gimana-gimana kemarin? Pas perkenalan dapur, dia pura-pura nggak kenal? Hemm??" Windu berkata sambil melebarkan senyumnya, membuatku menelan kecut dengan terpaksa.

"Hei Win, apa kabar? Lama nggak ketemu..." Suara Raka menyapa dibalik punggungku, membuat Windu tersenyum ramah sambil mengangguk.

"Iyaa... lama banget ya. Kapan sampe sini, Ka?" Cih, Windu. Ratunya basa-basi busuk.

"Baru semingguan lah... eh, ada Gita juga?" Suara Raka membuat Gita tersenyum penuh kepalsuan sambil mengangguk, untuk kemudian menunjuk kearahku.

"Ada Lisa juga nih," ucap mulut laknat sepupuku itu, membuatku beku di tempat. Dengan leher kaku, aku memutar kepala menghadap Raka.

Lelaki itu tersenyum, dengan lesung pipit sialannya.

"Siang, Chef..." sapaku lirih, membuatnya mengangguk sebentar.

"Siang juga. Oke, kayaknya kalian lagi seru nih bertiga. By the way, gabungnya kapan-kapan yah, mau nganter adik dulu ke kampus." Raka segera pamit mengakhiri percakapan singkat itu, membuatku berkesimpulan dalam kepala. Oh ... Mima udah kuliah ya. Waktu berlalu nggak kerasa... dulu pas ketemu dia baru lulus SMP.

Pandanganku tak putus mengantar Raka kembali kedepan counter kasir, memperhatikannya mengeluarkan dompet dan membayar pesanan. Adik yang berdiri disampingnya menerima bungkusan pastry sambil melangkah pergi bersama Raka.

Sedikit cenutan ngilu terasa di sudut dadaku. Melihat sosok Mima dari jauh, walau sekilas, membawa sedikit ingatan pedih yang terkubur 3 tahun lamanya. Tapi aku buru-buru mengusir distraksi itu, bersamaan dengan celetukan Gita yang mengetuk gendang telinga.

"Diliatin terus, awas itu matanya copot." Nada satir Gita membuat perhatianku kembali ke meja ini.

"Udah move on, katanya," cibir Windu sambil menyomot sebiji macaroon pada piring di hadapannya.

"Move on tapi kok ngejomblo bertahun-tahun. Yakin nggak nungguin mantan balik?" Sahabatku itu melanjutkan kelimatnya sambil menggigit kudapan berwarna pastel itu.

"Lisa, the queen of denial and hypocracy." Gita menyahut sambil menggeleng ringan.

"Nggak mau balikan, nggak mau closure juga. Gimana nih, Git?" Windu melanjutkan sambil menepuk tangannya bersih dari remahan gula,

"Gimana ya... ya nggak gimana-gimana. Mau digimanain coba?" Gita menjawab dengan nada menyebalkan, menatap lurus kearahku.

Aku mati kutu. Entah apa yang mereka dapat dari menyiksaku di meja sidang siang ini. Aku nggak paham lagi.

____________________

🥨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro