Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cerpen : Independence Day Euforia

Independence Day Euforia :

"Apa yang Membuat Kami Berbeda"
Oleh : Aerain F. Lytte ( _yourhighness)

***

Aku berjalan pelan di trotoar tepi jalan. Melihat beberapa anak berseragam putih abu-abu tengah bersandar di gerbang, menunggu jemputan orang tua. Satu-dua asik mengobrol satu sama lain bercanda, tipikal anak perempuan sekolahan. Beberapa yang lain asyik menatap ke arah sekolah, mengamati teman-teman satu sekolahnya yang sedang beraktivitas di halaman. Yel-yel pramuka dan pasukan pengibar bendera bersahutan, juga seruan dari anak-anak beladiri serta teriakan bernada koordinasi dari para pemain sepakbola menghias suasana sore di hari ini.

Aku menoleh ke sebelah kiri, ke sela-sela pagar besi yang membatasi area sekolah dengan kawasan umum. Lapangan nan luas dan hijau yang kurindukan. Orang-orang berkata lapangan ini adalah alun-alun kedua kota. Seringkali upacara hari nasional diselenggarakan di tanah itu, membuat kami--para siswa--mendapat harapan adanya pelajaran kosong setelah upacara karena guru-guru beramah tamah dengan para pejabat. Lapangan yang nyaman, saksi segala kehidupan sekolah menengah atas. Ruang kelas untuk pelajaran olahraga, tempat berlatih sepak bola, panggung bagi pementasan dan acara besar.

Ya ... jika ada yang menanyakan perihal sekolah menengah atasku, ketika kusebut sekolah ini, sudah tak terhitung berapa kali terlontar tanggapan : "Oh, yang lapangannya luas itu ya?"

Namun, aku tak capek-capek berjalan kemari hanya untuk membahas lapangan. Hari ini, tanggal 12 Agustus, aku kembali. Untuk melihat apakah kami masih berbeda seperti dahulu.

Euforia kemerdekaan telah terasa. Bendera merah putih terlihat di seluruh penjuru dengan berbagai bentuk. Entah ia yang terpasang dengan bentuk setengah lingkaran dengan lambang garuda, atau berupa umbul-umbul di sepanjang jalanan, atau pun terikat kencang di tiang bendera. Menyesak di dada, menelisikkan rindu yang menggelora, menggerakkan tubuh ini untuk kembali ke tanah air demi bernapas dalam atmosfer cita akan hari merdeka.

Aku sangat nasionalis? Hmm, tidak juga, kurasa, atau kalian bisa menilainya sendiri nanti.

Hanya saja, kesadaran akan pentingnya cinta pada negara tumbuh dan mekar ketika mengenyam pendidikan di SMA.

Ingatanku berkelana menuju tujuh tahun yang lalu.

***

Satu minggu setelah Pengenalan Lingkungan Sekolah, aku resmi menjadi kelas sepuluh peminatan matematika dan ilmu alam, sekolah menengah atas.

Masih teringat dengan jelas perkataan guru PPKn ku saat itu, Pak Prambudi.

"Bagaimana rasanya kalian sekolah di sini?"

Mayoritas dari kami menjawab, "Senang pak!!"

Aku tidak menjawab. Jujur saja, sebenarnya aku mendaftar di sekolah sebelah, namun peringkatku tak cukup untuk bersekolah di sana dan akhirnya aku diterima di sini. Sekolahku memang sekolah favorit, namun tahun ini, peringkat pertama kabupaten dipegang oleh sekolah tetangga.

"Apa yang membuat kalian senang masuk ke sekolah ini?"

"Favorit pak!"

"Sekolahnya hijau pak!"

"Lapangannya luas pak!"

Lagi-lagi, aku hanya terdiam. Tidak berminat menjawab segala pertanyaan Pak Pram.

"Wah benar. Sekolah ini favorit, hijau, dan lapangannya luas," kata beliau, "tapi, ada hal lain yang membuat kalian harus lebih bersyukur bisa bersekolah di sini."

"Apa itu?"

Bukannya menjawab pertanyaan kami, pak Pram malah menanyakan hal lain. "Ada yang tertarik masuk eskul paskibra atau beladiri?"

Aku tak mengangkat tangan.

"Yang laki-laki berapa orang yang ingin ikut eskul sepakbola?"

Aku. Tapi aku terlalu malas mengangkat tangan, jadinya aku diam saja.

"Memangnya kenapa Pak?"

Pak Pram tersenyum.

"Jika suatu hari nanti kalian sedang berlatih di lapangan hingga sore, perhatikanlah baik-baik apa yang dilakukan kakak kelas kalian. Maka itulah apa yang membuat sekolah ini berbeda dengan sekolah lain."

Aku mengernyit. Maksudnya?

"Melakukan apa sih, Sat?" Arif, teman sebangkuku berbisik.

Aku mengangkat bahu, "Nggak tahu. Suruh merhatiin kakak kelas latihan kali. Kerja keras kali."

"Iya kali ya."

"Dan percayalah, dari sekian banyak SMA di kota ini, bapak hanya melihat siswa-siswa di sekolah inilah yang melakukannya."

Aku jadi penasaran.

Apa sih yang dilakukan kakak kelas di lapangan di sore hari?

***

Aku berjalan melewati pintu gerbang, memasuki area sekolah. Menatap sekeliling, sepertinya tidak ada yang mengenaliku. Wajar saja, aku lulus lima tahun lalu.

Aku mendekati salah satu anak lelaki yang sedang duduk di jogging track lapangan. Ia mengenakan kaus dan sepatu bola. Keringat juga menetes dari pelipisnya.

Aku berjongkok. "Dek, Pak Pram masih jadi pelatih eskul bola?"

"Eh, iya mas." katanya lumayan terkejut karena mendadak ada orang asing yang berjongkok di sebelahnya. Namun keterkejutan itu tak berlangsung lama, sepertinya ia menyadari kalau aku bukan orang lain bagi sekolah ini. "Mau saya panggilkan, mas?"

"Ah, nggak usah, nanti saya sendiri ke sana."

"Mas alumni ya?"

Aku terkekeh. "Iya. Alumni sepakbola juga."

***

Seminggu kemudian, setelah kelas sepuluh direcoki oleh demo eskul yang yang menggoda, aku dan teman sebangkuku, Arif, serta beberapa anak lelaki di kelas, memutuskan untuk bergabung bersama kakak-kakak pemain bola sekolah. Kami memang langsung memulai latihan hingga sore setelah sesi perkenalan singkat. Pak Prambudi tidak bisa ikut mendampingi karena ada urusan. Sementara itu, tak ada kejadian spesial yang dilakukan oleh kakak-kakak kelas hingga latihan berakhir.

Kami berlatih setiap hati selasa, dan telah satu bulan lamanya, tidak ada apa pun yang membuat kami berbeda seperti yang pak Pram katakan. Arif dan yang lain mungkin telah lupa--atau bahkan tidak menganggap serius apa yang pak Pram katakan waktu itu--namun, perkataan Pak Pram belum juga terlihat apa wujudnya. Aku juga malas mengambil pusing lama-lama. Akhirnya kuputuskan saja untuk tak lagi peduli.

Hingga suatu hari di bulan September.

Aku ingat sekali saat itu adalah hari senin. Sesuai kesepakatan kedua pihak, diadakan pertandingan persahabatan dengan sekolah tetangga.

Lepas sekolah, tepi lapangan lumayan ramai. Sekolah sebelah membawa penonton mereka sendiri, beberapa teman kami juga menonton di tepi. Kukira, karena akan ada pertandingan, eskul lain tidak melaksanakan kegiatannya di lapangan. Namun aku salah. Eskul paskibra tetap rutin berlari berkeliling lapangan, begitu juga eskul beladiri, mereka mengambil tempat parkir para guru.

Diantara sebelas orang yang menjadi pemain awal, aku belum termasuk di dalamnya. Kesebelasnya didominasi oleh kelas dua belas, serta beberapa anak kelas sebelas. Kelas sepuluh mah apa, paling maksimal jadi cadangan seperti ini, kecuali kalau dia memang seorang atlet.

Pertandingan sudah dimulai dan syukurlah berjalan dengan lancar. Setelah babak pertama kami mendapat kekalahan dengan skor 1-0, pada babak kedua, kesebelasan sekolah kami berhasil membalik keadaan dengan menendang tepat masuk ke gawang dua kali berturut.

Tepat lima detik setelah peluit tanda berakhirnya pertandingan ditiupkan, ketika kami--pemain dan suporter--larut dalam euforia kemenangan yang sederhana, saat itulah sebuah seruan terdengar membahana.

"Kepada Sang Merah Putih, Hormat gerak!"

Saat itulah, waktu seakan berhenti.

Kakak-kakak kelas yang tadinya tertawa lepas, berlompatan, mengekspresikan kemenangan kecil ini, seketika berdiri tegap dan menghadap tiang bendera. Tangan kanan mereka terangkat membentuk posisi hormat sempurna. Kalau kalian kira anak-anak eskul sepakbola adalah siswa-siswa gaul yang hanya mementingkan permainan dan popularitas, tadinya aku juga berpikiran sama. Kukira, mereka--atau seisi lapangan--tak akan peduli. Toh, ini hanya penurunan bendera, tak istimewa. Namun ternyata, mereka semua hormat. Begitu juga dengan para pebeladiri yang tadi berlatih, semuanya menghadap tiang dan hormat kepada bendera yang tengah diturunkan.

Sementara itu, terdengar pula ungkapan kebingungan dari pihak lawan.

"Lagi pada ngapain sih?"

"Hormat bendera, woy."

"Lah, buat apa?"

"Ngga tau tuh. Lebay bener ya."

Aku mengerti.

Siapa yang dikata lebay? Apakah mencintai tanah air adalah sesuatu yang berlebihan? Apakah bendera merah putih tidak ada artinya?

Tak ada keraguan lagi. Terserah apa kata orang lain tentang kebiasaan sekolah kami. Dengan hati bergetar, aku berdiri tegap, mengangkat tangan kanan, hormat.

Pak Prambudi benar, sekolah kami berbeda.

***

"Kepada Sang Merah Putih,"

Aku menoleh. Upacara penurunan bendera karena hari sudah sore. Bangkit dari posisi berjongkok, aku berdiri tegap. Sambil was-was melihat sekeliling, ke arah anak-anak yang sedang bermain di lapangan.

"Hormat gerak!!"

Ketakutanku tak terbukti.

Anak yang tadi kutanya sudah dengan posisi hormatnya ke arah bendera. Begitu pula yang dilakukan seluruh siswa yang berada di halaman sekolah tercintaku ini.

Aku lega sekali.

Kami masih berbeda.

TAMAT

Dirgahayu ke-73 Indonesiaku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro