Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9

Akhirnya update lagi.

Dari Januari aku fokus di fizzo buat ngejar tamatin cerita (plus aku lagi revisian mwehehe). But now setelah udah mulai kosong, aku baru bisa balik Wattpad lagi. Aku juga mulai nyoba aktifin Twitter lagi, so ... yeah.

But anywayy, selamat membaca!

---


Anandara

It's easier to judge something when you aren't part of it.

Aku suka geleng-geleng kalau teman kantorku—kebanyakan cewek—cerita seberapa waswas dan degdegannya mereka sebelum jalan bareng gebetan. "Enaknya gue make up gimana, ya? Jerawat gue lagi parah banget nih," atau "parfum gue baunya nggak nyengat, kan? Nggak bakal bikin dia kabur?" bahkan bisa juga sampai ke "menurut kalian gue enaknya pakai dalaman model apa?"

Cinta bukan hanya buta, tapi juga bisa membuat kewarasan seseorang menurun drastis. Dan sepertinya aku perlu menjilat ludah sendiri sekarang.

Kemarin sore Abi mengabari dia sudah tiba di Soetta, dan besok pagi—alias hari ini—akan menjemputku dan menagih janji. Aku sudah menandai beberapa tempat untuk dikunjungi, hanya saja begitu sadar realisasinya akan dilakukan besok membuat kepanikanku terpancing. Tiap mau tidur, otakku secara kurang ajar memutar berbagai skenario memalukan.

Teman-temanku boleh saja panik karena ingin memberikan kesan baik kepada orang yang mereka taksir. Lalu aku? Apa alasanku? Buat apa aku bertingkah seperti remaja kasmaran? Lagi pula, ini bukan pertama kalinya aku bertemu Abi. Di bereberapa video call kami, dia juga sudah melihat aku tanpa make up atau rambut yang masih dililit handuk sehabis keramas. What can be worse that that?

Sialnya, sekeras apa pun aku mencoba mengingatkan diri supaya nggak perlu terlalu memikirkan hari esok. Ketemu doang, Nan. Tinggal haha-hihi sambil makan enak.

"Gue bakal pastiin lo nggak pernah ngerasa kesepian."

Blessed be hidup miris Anandara Jovanka.

Semalaman, grup WhatsApp Paguyuban FAPP—Fakultas Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan—berisikan rekan-rekan gosipku jadi ramai setelah aku mengirim pertanyaan singkat: kalau jalan santai pas weekend enak pake baju apa?

Jawabannya nggak membantu sama sekali. Bukannya mendapat jawaban, aku justru panen sejumlah godaan dari teman-temanku.

Akhirnya weekend pergi bukan buat ngisi acara kampus ya, Nan? Pecah telur nih

Sama siapa tuh jalannya?

Spill cowok yang berhasil bikin Anan nggak jomlo

Senin nanti siap-siap wawancara ya, Ibu Anandara.

Lo jalan sama cowok modelan gimana, Nan? Perlu riset lapangan nih biar pancingannya pas.

Group chat itu malah menambah beban pikiran. Pertama, jalan bareng Abi nggak punya konteks lain. Aku hanya jalan bareng teman, yang kebetulan lawan jenis. Kedua, statusku masih sama seperti sebelumnya. Dan ketiga ... pancingan apa?

Terlalu banyak berpikir sukses membuatku terjaga sampai tengah malam. Mungkin aku bakal tetap melek andai saja nggak ketiduran saat mencari referensi di Pinterest. Aku terbangun pukul 9 pagi, itu pun karena Nana melompat ke kasur sambil mengigit tempat makannya.

Aku bangun supaya Nana ikut turun, kemudian pergi ke dapur untuk mengambil dog food dan kubawa ke teras. "Harusnya bangunin aku lebih cepat, Na. Pagian dikit—"

"Anan?"

Aku langsung menoleh ke arah pagar. Ternyata sudah ada mobil terparkir di depan, dan seorang cowok berkemeja putih dan celana pendek khaki berdiri di sana, tersenyum geli.

Bukan "seorang". Itu Abi.

Aku berkedip beberapa kali, memastikan pemandangan ini bukan efek kantuk. Abi masih berdiri di sana, dan kali ini sebelah alisnya terangkat. Dia bahkan sampai menoleh ke belakangnya. "Ada yang aneh di belakang gue?"

Manusia di depan lo yang aneh, Bi.

"Baru bangun, ya?" tanya Abi lagi. Percayalah, satu pertanyaan itu saja sudah membuatku ingin berlari masuk kembali ke rumah dan menggulung diri dalam selimut. Penampilanku dan dia begitu kontras. Kesannya aku bukan baru bangun lagi, melainkan pasien rumah sakit jiwa yang melarikan diri.

"Kita janjiannya sepagi ini, ya?" Aku bertanya pelan. Yah, pasti malu dong!

"Kan lo bilang enakan pagi, biar nggak macet-macetan kalau perginya siang." Abi memberitahuku dengan nada bingung. Ketika dia merogoh saku dan memeriksa ponsel, barulah aku sadar. Tadi malam aku memang sempat mengirim pesan padanya setelah melihat berita akan ada demo siang ini.

Aduh, ampun deh. Aku malah makin malu-maluin diri.

"Bi, aduh. Gue baru bangun," akuku sungkan.

"I can see it pretty well. Belum sarapan berarti, ya?" Aku mengangguk pelan. "Gofood aja gimana? Gue pesanin deh, biar lo bisa siap-siap aja."

Kurang ajar nggak sih kalau aku suruh dia pulang saja? Oke. Memang kurang ajar.

"Sorry banget, Bi." Aku meringis, sedikit mempertimbangkan opsi buat berlutut minta pengampunan. Tapi ketika dia tertawa, aku merasa opsi tersebut bisa dicoret. "Padahal gue yang nyaranin."

"Habis begadang lagi, ya?" kata Abi. "Ibu Dosen rajin banget."

Aku menoleh ke jendela di belakangku dan bercemin sekilas. Buru-buru kubenarkan ikat rambutku—walaupun aku ragu itu akan membuat penampilanku membaik—sebelum membuka gerbang. "Masuk dulu aja, Bi. Biar gue siap-siap."

Nana juga ikut mendekat, mendengus di dekat kaki Abi. Kalau orang biasanya ciut karena ukuran Nana, Abi malah berjongkok dan mengelus kepala dan telinga anjingku itu. Dia kemudian menyodorkan tangannya sambil melirik dog food di tanganku. "Siap-siap dulu aja sana. Gue sekalian pesanin makanan. Nana juga baru mau lo kasih makan, ya? Sama gue aja sini."

Duh, Abi. Jangan terlalu baik dong! Aku jadi makin malu-maluin!

Ragu-ragu kuberikan makanan Nana, sementara Abi menerimanya tanpa beban, lalu menuangkan makanan itu ke mangkuk oranye di dekatnya.

"Udah, gih. Siap-siap aja," katanya lagi.

"For your information, gue kalau siap-siap bisa sambil bangun candi," akuku sebelum menekan bibir. "Sumpah, Bi. Maaf banget. Udah guenya lupa, lo malah harus nunggu. Marahin aja guenya, nggak apa-apa—"

"Marah? Buat apa?" Abi berdiri, lantas menelengkan kepala seolah kalimatku barusan membingungkannya.

Dia berhak marah kok. Kalau aku ada di posisinya, pasti aku sudah mendumel sejak awal melihat temanku baru bangun tidur dan malah pamer kejelekan alih-alih menepati janji.

"Lo udah nungguin berminggu-minggu," kata Abi lagi. Kendati aku merasa bersalah, dia justru kelihatan nggak tersinggung sama sekali. Dia kemudian berdiri. "Cuman nunggu satu jam doang bukan apa-apa."

"Cewek bisa siap-siap lebih dari satu jam, tahu. Keburu berkarat entar lo," aku menimpali, setengah bercanda dan setengah memperingatkan.

Namun, cowok di hadapanku ini tetap menyengir. "Nggak masalah. Bakal tetap gue tunggu."

Perasaanku saja atau hari ini ... sedikit lebih panas, ya?

*

Abimana

Jalan berdua bukan berarti kencan.

Biar gue ulangi lagi. Jalan berdua bukan berarti kencan.

Kayaknya gue perlu mengingat itu berulang kali, terlebih buat diri sendiri.

Gue nggak bisa mengelak kalau hari ini gue cukup bersenang-senang. Kemacetan Jakarta sama seperti biasa, matahari pun nggak tiba-tiba berpindah ke planet lain. Harga barang maupun makanan di sini masih sering bikin meringis. Meski begitu, gue tetap menikmati ini semua.

Tujuan perjalanan gue dan Anandara sebenarnya nggak banyak. Begitu selesai bersiap dan sarapan, gue dan Anan pergi ke Ganara Art Space di Plaza Indonesia. Awalnya kami mau mengambil beberapa kelas, tapi karena baru sampai di sana mendekati jam makan siang, akhirnya kami cuman mendaftar ke satu kelas, acrylic panting for beginner.

Sebagai orang awam yang cuman tahu warna mejikuhibiniu, gue cukup belajar banyak. Cat yang gue kira hanya cat air—dan cat tembok—ternyata punya banyak variasi. Tiap cat juga punya sifatnya masing-masing, seperti akrilik yang ternyata lebih pekat, cepat kering, dan susah digeser begitu menempel di kertas atau kanvas.

Dan dari semua itu, gue tahu harusnya Anan nggak ikut ke kelas beginner. She's definitely not a beginner.

Anan membuat ilustrasi rumah tinggal dua dengan desainnya yang kelihatan agak ... victorian style? Begitu bukan sih menyebutnya?

Jangan tanya gue gambar apa, gue juga nggak tahu—plan awalnya sih mau gambar paus dan laut, tapi paus ini lebih cocok disebut plastik super besar yang mengambang di laut. Kalau lo lihat juga, gue nggak yakin lo bakal mengira itu paus.

"Waktu kecil, gue mau punya rumah kayak gini nih." Dia menjelaskan sumringah. "Maunya sih satu mansion gitu ya, tapi apa daya. Punya rumah di masa kayak gini aja udah syukur."

"Lo pernah nggak dapat permintaan buat desain mansion atau ala-ala tahun 1800-an gitu?" tanya gue.

"Sekarang udah jarang sih orang yang minta begitu. Banyakan lebih suka desain eco-minimalist. Gue pernah bantu buat revitalisasi museum di London, tapi itu bukan proyek gue. Waktu itu hanya ngebantu dosen yang jadi supervisor proyeknya."

The more I hear about her, the more she amazes me.

"Now to think of it, gue juga punya rumah."

Dia langsung menoleh. "Rumah?"

Gue mengangguk santai sambil menyelupkan kuas ke cat warna biru di palet. "Belum diapa-apain sih. Pembangunannya gue berhentiin dulu. Sekarang juga gue masih tinggal bareng Ibu sama Dwi. Sempat kepikiran buat jual tanahnya aja, tapi kayak sayang banget. Pas belinya padahal susah."

"Nyokap selalu bilang kalau tanah itu tuh investasi," Anan menimpali sambil tersenyum. Tapi tiap kali obrolan soal ibunya muncul, gue selalu merasa suara cewek ini jadi sedikit lemas. "Gue juga nggak dibolehin jual rumah itu, peninggalan katanya."

"Makanya lo bela-belain dari Sudirman ke Alsut?"

"Seratus buat Bapak Geologis." Dia menyengir, dan gue juga spontan balik tersenyum. "Terus rumah lo itu mau diapain?"

"Kalau gue hire lo buat desain lagi, gimana?" Ide itu spontan dan random banget sebetulnya, tapi nggak gue sangka Anan mengiakan langsung.

"Boleh nih, mumpung gue lagi nggak ngambil proyek gede. Lo udah kepikiran mau rumahnya kayak gimana?"

"Um ... bebas sih, Nan."

"Ini gue disuruh eksperimen atau gimana nih?" kelakarnya sambil menyikut gue. "Atau mau sekalian bikin mansion? Harga teman deh kalau buat lo."

"Biaya pembangunannya mau lo bayarin juga?" Gue balik menggoda.

"Kalau habis kita pulang tiba-tiba ada hujan uang, gue kumpulin dulu duitnya deh. Gue pinjamin ember di rumah buat lo ikut nampung hujan uangnya."

Cerocosan itu sukses memancing tawa gue, mungkin lebih besar dari yang seharusnya hingga peserta kelas lain menoleh ke arah kami. Walaupun malu, gue berdeham dan pura-pura bertebal muka.

"Kalau betulan mau, gue mau deh lihat rumah lo, Bi," ujarnya lagi. "Pengin lihat pembangunannya udah sejauh apa. Barangkali gue nggak perlu desain dari nol banget. Sayang juga kalau ternyata udah jadi kerangka terus dihancurin lagi."

"Gue nggak keberatan sih," celetuk gue, dan Anan langsung mengangkat kedua alisnya.

"Nggak keberatan? Dananya kayaknya banyak nih, ya."

Yah, gue memang sudah menyiapkan budget buat pembangunan rumah itu. Sudah dari lama. Dan sama seperti bangunan yang terbengkalai itu, uangnya pun sama sekali nggak gue sentuh. Ibu pernah bilang gue bisa saja menggunakan uangnya untuk hal lain, atau tanah itu gue serahkan pada orang lain.

Gue membiarkannya bukan karena gue mau berinvestasi. Gue cuman menghindar. Awalnya gue malas berurusan dengan lokasi itu dan semua cerita di baliknya. Gue sendiri sudah nggak ingat kapan terakhir ke sana.

Oke, gue ingat. But it doesn't matter anymore. It's not like anything will change.

Namun, bersama Anan di sini, gue merasa mungkin ada kesempatan bagi gue buat melakukan sesuatu. Membangun rumah itu lagi, juga melupakan apa yang nggak perlu gue ingat.

"Apa lo nggak punya gambaran mau rumahnya kayak gimana? Atau dulunya mau kayak apa?"

Suara Anan menarik gue kembali. Terlepas dari candaannya, matanya benar-benar menyiratkan seberapa besar ketertarikannya atas ide gue barusan.

"Menurut lo rumah kayak apa yang cocok buat gue?" tanya gue balik. "Gue penginnya sih rumah yang kalau orang lihat, orang bakal ngerasa rumah itu cocok sama pemilknya."

Anan menekan bibirnya, gumaman kecil lolos dari sana. "Hm, so ... mau rumah yang cocok sama lo. Itu aja? Nggak ada keinginan lain, Bi?"

"Nope."

"Kalau ternyata desain gue nggak cocok sama lo, gimana?"

"Then try to know me better," kata gue. Kalimat itu tiba-tiba sekali, gue tahu. Tapi buat alasan yang kurang gue pahami, semua ucapan itu terasa benar untuk dilontarkan. "I trust you, Nan."

Karena gue nggak yakin apakah gue boleh percaya sama diri sendiri setelah semua yang terjadi dengan rumah itu. []



[1] revitalisasi museum: sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas museum, biasanya untuk meningkatkan sisi otentik perpustakan dari sisi sejarah dan budaya untuk meningkatkan minat berkunjung masyarakat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro