Chapter 12
Selamat hari senin.
Mari apdet lagi (dan membyuat kerusuhan👀)
-
Anandara
Aku selalu percaya bahwa aku belum setua itu, dan mahasiswaku bilang aku termasuk dosen gaul—dalam artian nggak segaptek dan sok tahu dosen lain. Setelah berurusan dengan perasaan, aku sadar aku bukan hanya kurang pengalaman, tapi juga kolot.
Berdasarkan hasil wawancara singkat bersama Kira beberapa hari sebelumnya, rupanya dekat tanpa status merupakan sebuah hal biasa sekarang.
"Emang orang hobinya gitu sekarang, Mbak. Biar bisa serius, tapi nggak menutup kemungkinan lain di luar. Masa muda kan harus nyoba banyak hal, sebelum keburu tua dan nyesal."
"Bukannya yang kayak gitu malah kesannya belum siap berkomitmen?"
Kira sibuk mengelus Nana, kemudian mengedikkan bahu. "Nggak tahu, Mbak. Pacarku anime."
Aku bertanya bukan karena meminta komitmen siapa pun yang bersamaku—dalam kasus ini, Abi—tapi aku benar-benar buta kali ini, bingung harus melakukan apa. Kata Abi ini akan menjadi proses kami untuk saling mengenal lebih dalam, tapi bagaimana caranya? Nggak mungkin akan ada sesi tukar CV dan riwayat hidup, kan?
Menurut ahli percintaan dari grup gosip fakultasku, Diana, aku terlalu banyak berpikir. "Yang kayak gitu dibawa santai aja kali, Nan. Dari cerita lo, cowok ini kayaknya orang baik-baik. You should be fine."
"Cowok yang kelewat baik juga perlu tetap dipantau," ujar Kayla menambahkan. Kurasa dari empat orang tukang gosip ini, pola pikir kami berdua lebih mirip.
Sejujurnya, aku jarang bercerita soal kehidupan pribadiku pada rekan kerjaku. Grup kecil ini awalnya bermula dari empat orang (termasuk aku) yang bergabung untuk mengurus acara fakultas sama-sama, mengoceh beberapa dosen di atas kami dan tingkah ajaibnya, tanpa direncanakan jadi sering mengobrol. Aku sebenarnya lebih suka mendengar cerita mereka saja, tapi aku butuh arahan dari orang-orang yang lebih berpengalaman.
"Gue rasa nggak ada salahnya sih, Nan. Mungkin awalnya canggung, tapi nikmatin aja prosesnya. Lo juga bilang lo nyaman sama si Abi-Abi ini, kan? Then go for it. Anggap aja semuanya kurang lebih sama kayak sebelumnya. Bedanya lo dan dia sekarang sama-sama tahu tujuan kalian saling kenal bukan cuman temenan doang." Aya, dosen tata wilayah kota sekaligus yang paling tua di antara kami semua, memberi masukan. "Kalau gue ditawarin opsi kayak gitu dulu, gue bakal ambil sih. Lo bakal punya waktu buat mempertimbangkan banyak hal sebelum pacaran, atau bahkan nikah. Karena waktu pacaran itu, pandangan lo udah keburu bias duluan. Lagian kalau dia tiba-tiba nembak, lo bakal nerima emangnya?"
Untuk yang satu itu, sebenarnya aku nggak yakin. Meski sudah beberapa bulan mengenal Abi, aku belum banyak mengetahui apa-apa mengenai cowok itu. He's nice, fine, and funny. Namun itu masih kurang bagiku buat memutuskan sesuatu.
"Just take your time and learn everything you need about this guy, Nan. Kalau hati lo memang mau, ikutin aja. Kayak kata Diana sama Kayla, dibawa santai aja tapi tetap jaga hati dan diri lo. Dinikmatin aja prosesnya."
Jadi, itulah yang kucoba lakukan: menikmati semuanya selagi membuat catatan khusus dalam kepala, sebuah laci mental yang kuberi label "Abimana Bagaskara".
Dari beberapa hari ini, aku menambah lumayan banyak catatan. Abi suka sup Iga (khususnya buatan Tante Laksmi), dia punya sweeth tooth yang lumayan akut, dan dia maniak stroberi. Aku sempat menduganya sewaktu di pernikahan Josh dia terus memilih es krim stroberi, tapi nggak menyangka dia bakal semaniak ini. Seperti sekarang, ketika kami berkunjung ke sebuah patisserie di dekat bandara, banyak menu yang Abi ambil berhiaskan stroberi.
Hari ini dia akan kembali ke Halmahera, jadi aku menawarkan diri untuk mengantarnya ke bandara sehabis mengajar. Awalnya dia menolak, tapi karena ini akan jadi pertemuan terakhir kami sebelum dia balik lagi ke Jakarta enam minggu lagi, akhirnya dia mengiakan. Seenggaknya aku dapat pujian juga sebagai "driver baik, bintang 5 kalau lo jadi jadi abang Gocar". I'm quite proud of my driving skill.
"Kalau bisa gue pengin takeaway deh," kata Abi.
"Dibawa ke pesawat gitu?" tanyaku sambil geleng-geleng. "Emang boleh?"
"Nggak sih. Cuman, di sana mana ada yang kayak gini. Enam minggu nih gue absen dari perstroberian duniawi." Abi menghela napas, tapi kemudian tersenyum padaku. "Kayaknya gue nggak bakal kangen ini doang sih."
So, things didn't change much. Abi masih sama—tetap lucu, kadang tengil juga. Namun, dia jadi lebih terbuka dengan guyonan seperti ini. Dan sekalipun aku tahu itu candaan semata, aku berhasil dibuat malu-malu.
Kualihkan pandangan sekilas ke arah lain, berusaha sambil meredakan rasa hangat di pipi. "Technology exists for a reason."
"Iya sih, tapi tetap beda dong rasanya kalau ketemu langsung." Abi kemudian menyodorkan salah satu kuenya padaku. "Makan nih."
"Nggak lo makan?" Kupandangi kue itu dan pemiliknya bergantian.
"Nope. Yang itu emang buat lo. Coba aja. Cocok nggak di lidah lo?"
Kuterima marie antoinette—macaron dengan isian frambos dan krim—dan kusantap. Aku sempat menduga rasanya akan manis, dan memang iya. Tapi rasa asam dari buahnya ternyata membuatnya manisnya jadi lebih bearable.
"Gimana?" tanya Abi, ternyata sudah memandangiku dengan saksama, seakan-akan komentarku akan mengubah dunianya.
"Enak sih." Aku manggut-manggut. "Kalau dimakan satu doang sih nggak giung."
"Giung?"
"Kemanisan."
"Oh." Abi mengangguk. "Berarti nggak kemanisan?"
"Nope."
"Kalau lo lebih suka makanan yang manis atau asin, Nan?"
Aku mengerjap, berpikir sejenak. "Nggak ada preferensi spesifik sih. Kalau makanannya enak, yah gue makan. Kadang suka diajak nyoba yang ... well, agak unik."
"Unik? Apa tuh?"
Kurapatkan bibirku, menimbang-nimbang bagaimana cara membuat jawabanku terdengar ... manusiawi. "Kayak makan es krim pakai saus?"
Abi kontan mengernyit. "Apa pakai saus? Es krim?"
"I-iya."
"Gimana rasanya tuh?"
"Pedas-manis?" Jawabanku malah terdengar seperti pertanyaan. Abi masih menatapku seakan aku baru bilang kucing bertelur, tapi setelahnya dia malah tertawa.
"That's definitely unique." Abi geleng-geleng. "Kapan-kapan kayaknya gue perlu nyoba juga deh."
"Mending lo makan pastry begini deh, Bi. Selera gue emang ajaib."
"Tapi gue pengin nyoba."
"Pengin nyoba?"
Abi mengangguk, kali ini tampak yakin. "Biar tahu apa yang lo suka, dan kenapa."
Now that is unexpected. Dugaanku soal ledekan atau godaan tengil dari Abi ternyata salah besar. Cowok di depanku ini tersenyum sambil menyangga dagu, pandangannya tertuju padaku. Dia memperhatikanku dan nggak peduli jika aku menyadari hal itu. Atau dia mungkin ingin aku sadar.
Lebih daripada itu, fakta bahwa ada seseorang yang ingin mengetahui sesuatu tentangku, termasuk hal-hal remeh dan konyol sekalipun, ternyata rasanya menyenangkan. To have someone to be that interested in you is ... something. All of these feelings are new and raw, I don't know what to do with it.
"Nan," panggilnya lagi. "Kalau ada yang ngeganggu lo, bilang aja."
"Ngeganggu?"
"Just in case I'm too overboard."
Aku mungkin butuh waktu untuk benar-benar terbiasa akan hubungan ini—apa pun sebutannya. Namun, aku juga nggak akan bilang bahwa aku terganggu. Kepedulian Abi ini hangat, hanya saja aku merasa ketika aku banyak berpikir apa yang perlu dilakukan, dia juga berhati-hati untuk nggak melakukan sesuatu. Kami berdua khawatir atas dua hal berseberangan.
"Abi." Giliranku memanggilnya kali ini. Dia membalas lewat gugaman kecil. "Gue pernah bilang kan kalau gue udah lama nggak dekat sama siapa pun?"
Percakapan ini agaknya di luar tebakannya, sehingga dia sedikit menarik punggungnya. "Yep. Lo bilang."
"Dan gue nggak seberpengalaman itu buat berurusan sama ... perasaan." Kuharap itu pemilihan kata yang tepat. "Tapi, gue berani buat nyoba karena gue nggak sendiri, Bi. I like you too, Bapak Geologist. I like you for being you."
Kini Abi terlihat lebih melunak. Dia menunduk sejenak sebelum menatapku sekali lagi. "Gue cuman nggak mau bikin lo terusik."
"I'm not, Bi. Kalau memang keganggu, gue bakal bilang langsung kok." Aku mencoba meyakinkannya. Sepertinya kami berdua perlu menyamakan langkah. Untuk sama-sama mengembuskan napas dan lebih bersantai. Kenyataannya, kami nggak perlu melakukan banyak hal supaya bisa lebih mengenal satu sama lain. Kuncinya hanya satu: cukup menjadi diri sendiri. That's more than enough.
Senyum Abi kali ini kecil, tapi mengantar kehangatan yang lebih ketimbang sebelumnya, membuatku ikut melengkungkan bibir. "Thank you, Nan. That means a lot."
Ponsel Abi kemudian bergetar, alarm mengenai waktu check in-nya tinggal setengah jam lagi. Kami memang hanya sepuluh menit dari bandara, tapi lebih baik sampai lebih cepat. Kemacetan Jakarta sering memberi kejutan tiba-tiba.
"Mau pergi sekarang?" tanyaku kemudian menunjuk etalase kaca dengan kepala. "Atau mau pesan dulu pastry sekarung buat dibawa ke site?"
"Itu sih bukan bawa lagi, Nan. Mau buka patisserie gue di site." Abi langsung tergelak sembari beranjak, lantas menepuk bahuku. "Lo mulai pintar bercanda, ya."
" What can I say? I am a fast learner." Aku sengaja mengedikkan pundak, lalu Abi merangkulku dengan lengan kanannya. Dia tersenyum padaku.
"Is this okay?"
Kaget? Agak sih. But it's okay. Aku merasa sentuhan kecil ini mungkin kubutuhkan. Selama kurang lebih dua bulan ke depan aku nggak akan bisa sedekat ini dengan Abi. Karenanya aku mengangguk, berjalan dengan Abi di sampingku, menyejajarkan langkahnya denganku.
Apakah konyol jika aku bilang nggak keberatan berjalan begini ke bandara bersama Abi?
Ya, konyol. Banget malah. Tapi membayangkannya membuatku merapatkan bibir, menahan senyuman. Aku juga nggak bakal menawarkan itu sih. Bagaimanapun, dia perlu beristirahat.
"Sekarang gantian nyetirnya—"
"Ah, Abi! It really is you!"
Sapaan itu membuat aku dan Abi sama-sama menoleh ke arah yang sama. Beberapa meter dari tempat kami berdiri, melihat cowok bule berkaus Polo putih berpadu jins abu-abu sebagai asal suara. Cowok itu mendekat dengan senyum sumringah—terkesan kelewat ramah untuk mengusik siapa pun yang melihatnya. Namun anehnya, rangkulan Abi di pundakku mendadak berubah kaku dan keras, seolah-olah tubuhnya tengah menjelma menjadi patung.
"Oh, you two." Abi membalas, tapi dari jarak sedekat ini aku berhasil menangkap getaran samar dalam suaranya. It's not how he usually talk. Terlalu berbeda. Terlalu bukan Abi.
Aku spontan menoleh, memperhatikan bagaimana rahangnya mengeras, jakunnya naik turun sedikit, juga mata yang sedari tadi belum berkedip. Jejak tawa beberapa waktu lalu hilang begitu saja. Dan sewaktu aku menoleh ke arah lain, ada hal ganjil lagi yang kutemukan.
Bukan hanya Abi yang tampak terkejut dengan pertemuan ini. Perempuan di samping cowok bule itu juga. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro