Bab 7
Nafis baru saja menjemur pakaian di halaman belakang. Orang tuanya sudah berangkat bekerja lebih pagi dari biasanya, membuat rumah sepi karena Nafis yakin Zara pasti juga sudah pergi ke sekolah tanpa pamit kepadanya yang sedari tadi sibuk.
Kemudian Nafis berniat untuk sarapan. Tapi saat matanya melihat pohon buah naga melalui jendela ruang keluarga yang mengarah ke area samping rumah, ia pun memutuskan untuk keluar karena buahnya tampak siap dipanen. Memang tidak banyak, tapi cukup untuk digunakan sebagai pencuci mulut.
Nafis membuka pintu yang berfungsi sebagai akses ke halaman samping. "Loh, kok sepatu Zara masih di sini?" heran Nafis saat perhatiannya tiba-tiba terpusat pada rak sepatu yang ada di sebelah pintu.
Nafis kembali berjalan memasuki rumah. Dihampirinya kamar Zara seraya memanggil nama adiknya berulang kali. Karena sebelum ia pergi ke lantai dua, sempat diliriknya jam dinding yang mana sudah menunjukkan pukul setengah tujuh kurang sepuluh menit. "Za, kok belum berangkat? Lo sakit?"
Nafis masih mengetuk pintu kamar. Kesal karena tidak juga ada sahutan, gadis itu membuka pintu dan seketika dahinya mengerut saat mengetahui tidak ada siapa pun di kamar. "Za, lo di mana?" Nafis membuka lemari walau mustahil rasanya jika Zara bersembunyi di situ.
Benar saja, di dalam lemari hanya ada baju yang tersusun sedikit tidak rapi. Pemiliknya seolah telah mengambil pakaian dengan asal-asalan hingga membuat tumpukan baju yang tersisa miring.
"Tuh bocah ke mana, sih?" gumam Nafis sambil mendekat ke meja belajar Zara. "Laptopnya juga nggak diberesin, lagi." Nafis menyentuh touchpad yang membuat layar menyala.
"Astaga!" Nafis terbelalak saat melihat laman Youtube di laptop Zara. Di sana terdapat video yang masih terbuka dalam posisi di-pause. Kakak Zara tersebut menutup mulut karena tidak habis pikir adiknya mempunyai pikiran melihat sesuatu seperti itu.
"Apa Zara stres, ya? Kok ngeliatin video orang-orang yang ngelakuin self injury gini? Jangan-jangan tuh anak mau tiru-tiru." Nafis menggigit ujung jari telunjuknya sambil berjalan hilir mudik di depan meja belajar Zara.
"Mana pagi-pagi udah nggak jelas pergi ke mana." Kini Nafis duduk di sudut tempat tidur Zara. Jelas sekali khawatir dan pikirannya sudah melantur kemana-mana. Juga menyesal semalam waktu Zara emosi bukannya menenangkan ia justru ikut menghakiminya.
Nafis tidak bisa diam saja. Gadis awal dua puluh tahunan itu pun beranjak mengambil tas sekolah Zara untuk dibawa ke depan agar saat menemukan keberadaan adiknya, ia bisa langsung menyuruh berangkat sekolah.
Namun saat tas warna peach itu diangkat, jatuh sebuah pisau dari salah satu kantong tempat menaruh botol air minum. Nafis seketika merasakan perutnya mulas karena bayangan sesuatu yang menakutkan mulai mengelebat di benaknya. "Pakek bawa-bawa pisau buat apa, coba? Lo bikin gue parno aja deh, Za."
Kemudian Nafis memeriksa isi tas Zara. Barangkali di dalamnya terdapat barang aneh lain yang juga tidak lumrah dibawa pelajar seusia adiknya. Namun Nafis sepertinya patut bernapas lega karena selain buku pelajaran dan peralatan tulis, isi tas Zara aman.
Tanpa pikir panjang selanjutnya Nafis menyambar ponsel Zara yang ada di dalam ransel dan berdoa dalam hati semoga saja gawai pipih itu tidak disandi. Beruntunglah, lagi-lagi kemujuran berpihak padanya. Zara tidak mengunci ponselnya, maka dengan leluasa Nafis bisa mencari nomor yang sering dihubungi oleh adiknya itu melalui daftar log panggilan keluar.
Nafis menemukan kontak telepon dengan nama Hanadisa yang mana berada di urutan paling atas. "Kayaknya ini deh teman yang paling akrab sama Zara," tebaknya sambil mulai menelepon nomor tersebut.
***
Prama sudah memasang helm dan siap menaiki motornya ketika sang ayah datang dengan diantar oleh seorang teman. Prama menatap ayahnya tidak suka, sudah beberapa hari ini ayahnya suka memancing di pantai dari malam hingga pagi menjelang. Alasannya karena itu adalah hobi dan untuk melepas lelah. Tapi kalau setiap hari bisa membahayakan kesehatannya juga.
"Besok nggak usah mancing lagi dong, Yah. Aku jadi nggak bisa main karena kalau malam Ibu takut di rumah sendirian."
Ayah Prama hanya terkekeh dan menepuk-nepuk pundak putranya. Ia tahu sebenarnya anak semata wayangnya itu mencemaskan kesehatannya. "Oke, besok Ayah nggak mancing lagi."
"Janji?"
"Iya. Asalkan sudah nggak ada laporan dari guru yang bilang kamu buat ulah di sekolah."
Prama mendengkus, lalu keduanya menoleh serempak ke arah gerbang yang mana ada seseorang sedang berteriak-teriak memanggil sebuah nama.
"Lah, itu anaknya Pak Malik, kan? Tumben nyamperin ke sini? Kamu nggak berbuat macem-macem sama dia, kan?"
Prama merotasikan bola mata sedangkan ayahnya tertawa lalu berderap memasuki rumah melalui pintu samping. "Udah sana buruan dibukain," perintahnya sebelum benar-benar lenyap ke dalam rumah.
"Pram!"
Cowok tinggi itu langsung disambut dengan pekikan Hana lengkap dengan napas kembang kempisnya tepat setelah pintu gerbang dibuka. "Lo ngapain ke sini?" tanya Prama merasa ganjil. Karena meskk rumah mereka berada di satu perumahan yang sama dan hanya terpisah dengan perempatan, ini kali pertama Hana bertandang ke rumahnya.
"Gue ditelepon kakaknya Zara. Dia bilang tas sama sepatu Zara masih ada di rumah tapi anaknya udah ngilang."
Prama mencoba mencerna perkataan Hana yang terlampau cepat karena gadis itu panik. Lalu setelah benar-benar paham, Prama mengibaskan tangan. "Alah, paling si Zara lagi keliling komplek nawarin barang-barang dagangannya. Di sekolah dia juga suka ngider dari satu kelas ke kelas lain, kan?"
Hana mendecak. "Pram, ini bukan waktunya bercanda, ya!"
"Ya terus lo maunya gue harus gimana?"
"Kita ke rumah Zara."
Prama membuka mulutnya, agak merasa tindakan Hana terlalu terburu-buru. "Ini udah siang. Kalo kita ke rumah Zara bakal telat sekolah. Gue sih udah biasa. Emang nggak papa buat murid teladan kayak lo?"
Hana mengibaskan tangan. "Bodo amat sama aturan sekolah. Gue kepikiran banget, nih."
"Ya ... kalau itu kemauan lo sendiri sih gue siap." Prama segera berlari ke arah motornya yang terparkir di halaman rumah. "Rumah Zara di mana?" tanyanya saat Hana sudah naik di boncengan.
"Perumahan Melati."
Prama meneguk ludah. Jarak yang harus ditempuh memang hanya sekitar tiga kilometer. Tapi jarak sedekat itu bisa jadi akan memakan waktu lama di saat rush hour seperti ini.
***
Nafis duduk tak tenang di teras rumah. Gadis itu berulang kali mengecek jam di ponsel Zara yang rasanya begitu cepat berganti menit. Nafis sempat berpikir akan lapor kepada Pak RT. Tapi nanti jatuhnya ia akan ditegur karena Zara belum bisa dinyatakan benar-benar hilang.
"Kak?"
Begitu panggilan itu berhasil ditangkap telinganya, Nafis yang sedang menelungkupkan kepala di atas lututnya pun segera mendongak dan berdiri menghampiri Zara yang tampak lusuh. "Dari mana aja, sih? Gue cariin tau, nggak? Kalau mau keluar pamit, jangan ngilang tanpa kabar."
Zara mengerjapkan matanya. Sangat bingung harus berbuat apa saat melihat kakaknya sedang kalut seperti itu. "Kak, anu, tadi gue ...."
"Dari mana?" desak Nafis lagi.
"Dari rumah Mbak Silvi, minta mangga muda." Zara menunjukkan keresek yang di dalamnya terdapat beberapa buah mangga seperti yang dikatakannya. Seragamnya menjadi tidak rapi juga karena mengambil buah mangga tersebut.
"Terus itu ngapain lo nonton video ngeri kayak gitu? Mana bawa-bawa pisau ke sekolah."
"Gue bangun kesiangan. Ada PR Bahasa Indonesia suruh deskripsikan rasa sakit gitu, lah. Jadi gue lihat aja video itu buat referensi."
Nafis mengembuskan napas lega walau sebenarnya ingin memarahi Zara karena sudah membuatnya ketakutan sendiri. Tapi mengingat hari makin siang, Nafis segera menyuruh Zara berangkat sekolah. "Tapi pisaunya buat apa?" tanyanya sekali lagi saat Zara bersiap mengambil sepatu.
"Nanti ada pelajaran kewirausahaan, disuruh buat rujak. Makanya gue buru-buru minta mangga ke tetangga."
Nafis memukul-mukul lengan Zara dengan geregetan. "Besok besok jangan gini lagi. Kalau mau cerita apa-apa ke gue aja. Jangan dipendam sendiri. Lo juga bisa bertingkah selengean meski di rumah. Nggak ada yang negur, kita bisa bertingkah konyol berdua."
Zara mengalihkan pandangan. Gadis itu menggigit bibir, menahan diri agar tidak semakin terbawa perasaan. Bila sudah ada kakak yang menyayanginya seperti ini, terlalu egoiskah jika ia masih mengharapkan perhatian lebih dari orang tua?
***
Hai hai..
Ini a/n pertama yang dibuat mulai dari prolog sampai Bab 7, wkwkw. Soalnya bingung mau ngomong apa tiap kali mau nulis a/n.
Btw makasih banyak untuk yang sudah mengikuti cerita ini.
Buat teman2 Suju VI maaf aku belum bisa main ke cerita kalian 🙏
Sudah, ya gini aja. Selamat malam. (Tuh kan bingung mau nulis apa lagi)
Gif hanya pemanis 😁
Semangat!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro