Bab 6
Zara menyikut lengan Hana, memberi kode supaya segera membantu memberi keputusan. Sementara Prama di belakang mereka tetap berjalan santai sembari sesekali bersiul untuk membunuh suasana lengang di koridor yang mengarah ke tempat parkir sore itu.
"Terserah deh, gue ngikut aja." Hana gantian menyodok pinggang Zara.
Zara menempelkan telunjuknya di depan bibir. "Bisa nggak sih lo ngomong pelan-pelan aja suaranya?" desisnya yang dibalas dengan pelototan Hana yang merasa geregetan.
"Perasaan gue biasa aja kali, kalau ngomong. Lo pikir mulut gue toa masjid?"
"Kalian lagi ngobrolin apa sih, dari tadi? Brosur yang gue buat jelek? Mau direvisi apa gimana, ngomong aja."
Zara cepat berbalik menghadap Prama sambil menggeleng kuat-kuat. "Nggak gitu. Kita berdua habis ini kan mau ke kafe."
"Terus?" Prama menyejajari posisi Zara agar gadis itu bisa mengobrol dengannya dengan nyaman.
"Ya, emm, anu ...."
"Zara mau ngajak lo juga, tapi malu dan bingung ngomongnya gimana."
Zara melempar tatapan tajam pada Hana yang dengan santainya mempermalukannya di depan Prama. Hana sendiri hanya tersenyum simpul meski melihat bahasa tubuh Zara sedang mengomelinya.
"Bener gitu, Za? Jadi lo mau ngajak gue nge-date?"
Zara menautkan kedua alisnya. "Mana ada kencan ceweknya dua tapi cowoknya cuma satu? Ih, mulut lo minta digetok, ya!"
Prama tertawa pelan, begitu juga Hana yang sepertinya puas ketika melihat Zara tampak lucu karena salah tingkah. "Bahasa kencan terlalu berlebihan deh, kalau buat abege kayak kita," canda Prama makin membuat Zara bermuka masam.
"Langsung ke intinya saja, ya, Pak. Bapak ini mau apa nggak makan-makan sama kita?" tanya Zara menjadi gemas.
"Emang di kafe mana?"
"Kafe daerah Jalan Cempaka," sahut Hana.
"Oke."
Zara menghela napas. "Jadi gue debat sama Hana cuma buat denger kata 'oke' dari Prama?" keluhnya pada diri sendiri.
"Lah, emang salah kalau gue jawab gitu?" tanya Prama polos tapi tidak menjawab respon dari Zara yang kini sudah fokus mencari kunci motor di tasnya.
***
Selang sepuluh menit mereka bertiga sudah berada di sebuah kafe yang cukup terkenal di kalangan anak muda khususnya daerah Bintaro. Terdiri dari dua lantai yang memiliki suasana cozy membuat kafe yang bernuansa ungu muda ini selalu menjadi tempat nongkrong favorit.
Lagu Attention milik Charlie Puth menjadi hiburan pengunjung saat itu. Ketiganya memilih tempat duduk di lantai dua. Empat kursi kayu dan meja panjang menjadi pilihan Zara karena terletak di dekat dinding yang di permukaannya terdapat gambar bagus, cocok sebagai latar foto.
"Kalian sering ke sini?" tanya Prama sebagai pembuka sembari menunggu pesanan datang.
"Nggak sih, kadang-kadang aja kalau pelajaran di sekolah sulit-sulit kayak hari ini. Buat ngilangin capek."
Prama mengangguk saat Hana menjelaskan. Kemudian cowok itu mengamati sekeliling, banyak juga anak sekolahan yang sedang berkunjung. Ternyata begini rasanya pergi bersama teman, pikiran penat sementara pergi dari otaknya digantikan dengan rasa rileks. Prama tidak menyesal karena hari ini telah bolos kerja.
"Permisi."
Hana segera mengangkat tangan yang semula ia lipat di atas meja. Juga Zara pun meminggirkan ponselnya agar pramusaji bisa leluasa menghidangkan pesanan mereka.
"Hari ini ada potongan harga untuk brownies loh, Kak. Mau menambah pesanan?"
Hana mengedikkan kepala pada Prama. "Gue nggak suka kue," jawab cowok itu.
Hana menunjuk piringnya yang berisi mi bumbu pedas. "Gue juga cukup pesen ini aja. Lo mau, Za?" tanyanya beralih pada Zara yang sudah mulai menyeruput bubble tea-nya.
"Pesen satu tapi dibawa pulang."
Pramusaji segera mencatat di buku kecilnya lalu beranjak meninggalkan meja nomor 26 itu.
"Katanya diet, nyatanya malah beli cemilan buat di rumah."
Zara mengibaskan tangan di depan Hana. "Kapan coba gue bilang mau diet? Tubuh udah semampai gini kok masih mau ngurangin makan segala. Kata diet nggak ada di kamus kehidupan gue."
Hana memeragakan gerakan mual. "Semampai lo bilang? Idih, percaya diri banget."
Zara mengibaskan rambutnya. "Emang faktanya gitu, kok," paparnya membuat Prama geleng-geleng kepala karena dua temannya itu banyak bicara hingga sempat megundang tatapan mata dari pengunjung lain.
"Udah jangan ribut, makan tuh cepet. Nanti keburu dingin makanannya," suruh Prama sudah seperti seorang ayah yang membimbing dua putri bawelnya.
Zara menurut. Gadis itu langsung meraih satu risoles di piringnya seraya mengedarkan pandang ke arah jendela besar yang ada di depannya. Tetesan air langit terlihat mulai membasahi kaca. Tampak pengendara motor di bawah sana menepi mencari tempat teduh. Zara tersenyum geli. Sudah tahu Indonesia hanya punya dua musim, hujan dan kemarau. Tapi masih ada saja yang tidak mempersiapkan jas hujan saat di perjalanan.
Tapi saat matanya menangkap seorang laki-laki paruh baya yang sedang membantu anaknya memakai mantel, senyum Zara perlahan memudar. Perhatian banget, ya, ayah anak itu.
Prama yang tidak sengaja menatap Zara pun mengernyit samar saat menyadari gadis itu menekuk wajah. Benaknya seketika sibuk merangkai beberapa kemungkinan yang bisa menyebabkan Zara tiba-tiba hilang energi. Tapi kemudian cowok itu tersadar lalu mengerjapkan mata dan tidak memamdang Zara lagi. Ngapain juga gue sok nganalisis. Kayak otak gue pinter aja.
***
Zara keluar dari kamarnya saat mendengar mobil ayahnya datang dan memasuki pekarangan rumah. Kedua orang tua Zara adalah dosen. Keduanya sama-sama bekerja di satu universitas.
Papa Zara langsung bergegas mandi, sementara mama Zara melenggang ke dapur untuk menghangatkan soto yang dibelinya saat perjalanan pulang dari kerja.
"Fis, ini kamu yang beli?"
Zara yang baru sampai di ruang keluarga terkejut saat mendapati mamanya sedang menunjukkan kotak panjang berisi brownies di hadapan Nafis.
"Barusa buka kulkas mau ambil minum malah nemu ini. Makasih, ya. Kamu emang anak paling pengertian. Pulang kerja, capek, paling pas kalau makan yang manis-manis."
Nafis beralih dari televisi yang ditontonya. Ia melihat mama yang mulai memakan sepotong brownies. "Itu yang beli Zara, Ma," koreksinya sambil menunjuk adiknya yang mematung tidak jauh dari mereka.
"Oh ... Zara. Tumben beli-beli makanan buat orang rumah? Pasti ada maunya."
"Kenapa kalau Kak Nafis dipuji anak paling pengertian sedangkan aku dituduh ada maunya? Mama kira aku beli kue itu nggak tulus? Aku tau mama suka brownies makanya aku bungkusin satu. Kenapa sih mama nggak bisa lihat ketulusan aku?"
"Kalau kamu tulus nggak usah diomongin begitu. Kalau udah diumbar jadi nggak ikhlas lagi namanya. Kamu minta dipuji? Oke, makasih Zara. Kuenya enak, puas?"
Zara mengentakkan kakinya ke lantai. Ia seketika balik badan dan berlari memasuki kamarnya kembali. Di dalam kamar Zara merasa dadanya bergemuruh. Baru kali ini ia berani mengutarakan protes pada mamanya. Meski takut mama akan mengadukan perbuatannya pada papa, tidak bisa dipungkiri Zara juga merasakan lega dalam satu waktu.
"Za, gue nggak nyangka lo bisa ngomong gitu ke Mama. Mama kan nggak tau kalau yang beli itu elo. Jelasin baik-baik aja, lah. Ngapain sih main nge-gas aja."
Zara bangkit dan melihat Nafis yang baru saja membombardirnya dengan omelan. "Ya gue refleks aja ngomong gitu. Asal lo tau, Kak. Gue capek ngurusin persiapan jualan terus sampai rumah digituin sama mama. Coba lo bayangin rasanya."
Nafis duduk di sebelah Zara, memintanya untuk tenang dan membujuknya untuk minta maaf. "Kuy, lah. Emang lo nggak mau makan malem?"
"Males. Nggak laper."
Nafis mengalah. Ia segera bangkit untuk keluar dari kamar Zara. Tapi baru dua langkah ia beranjak, didekatinya lagi sang adik. Nafis baru menyadari jika sedari tadi Zara mengeluarkan sisi yang lain dari dirinya. "Coba lo setiap hari gini, Za. Mau ngomong banyak dan lebih blak-blakan ke gue. Kenapa sih lo harus nekan sifat fleksibel yang lo punya? Padahal harusnya lo lebih ngerasa santai saat bareng kuarga."
"Maksud lo apa, sih?"
"Gue liat video pensi SMA Grahita. Di sana ada Zara yang ceria banget, Zara yang nggak malu-malu, nggak jaim, beda lah pokoknya sama Zara pas di rumah."
"Karena kalau di sekolah mau gue ketawa-ketiwi nggak jelas kek, mau teriak-teriak sampai suara serak, mau malakin makanan temen-temen yang baru dari kantin pun gue tetep diterima dan nggak ada yang kasih teguran. Karena temen-temen gue sayang sama gue."
Mulut Nafis terkunci. Apa maksud Zara berkata begitu? Selama ini Nafis rasa Zara juga diterima oleh keluarga. Tapi memang dalam hati orang tidak ada yang tahu. Dari kilatan kecewa yang terpancar dari mata Zara sekarang, Nafis yakin adiknya itu sedang mengatakan hal yang sebenarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro