Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4

Zara berusaha menggapai ponsel yang diacungkan tinggi oleh Tamara. Bagi seorang anak perempuan dengan tinggi mencapai 160 senti seperti Zara masih belum cukup untuk bisa memenangkan perebutan itu. Pasalnya teman sekelas Zara yang menjabat sebagai bendahara itu mempunyai perawakan seperti anak laki-laki.

"Tamara ... hapus, please." Zara menjinjit sampai jari-jari kakinya pegal. "Jangan disebarin, dong. Gue kan malu," rajuknya kian memelas.

Zara mendecak karena Devi kini justru berlari menjauh sembari terkikik puas. Jika Hana masih bersamanya pasti sekarang siswi pintar itu akan menjadi penengah yang menguntungkannya. Sayang sekali Hana sudah kembali ke kelas.

Pelajaran jam terakhir di kelas Zara hari ini adalah Seni Budaya. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, guru mereka tiba-tiba menggiring seluruh siswa agar ke aula. Setelah itu dibentuk kelompok sesuai urut absen untuk diberi tugas membuat gerakan tari dan langsung harus dipraktikkan. Kelompok yang selesai tampil boleh kembali ke kelas untuk mengevaluasi gerakan tari yang mereka ciptakan.

Karena itulah Zara mengejar Tamara yang tanpa sepengetahuannya telah merekam saat ia menari. Kalau divideo untuk disimpan sendiri, sih Zara tidak keberatan. Tapi dengan tengilnya Tamara berencana mengirim video tersebut ke grup WhatsApp angkatan kelas sepuluh.

"Trisya Zara Damaris!"

Zara sontak berhenti lalu berbalik untuk memandang satu persatu gerombolan teman laki-lakinya yang selesai berdiskusi dan kembali ke aula untuk melihat sisa kelompok yang tampil. "Ngapain panggil-panggil gue?"

"Oh, kirain lupa sama nama sendiri gara-gara habis ketimpuk bola," canda salah satu dari mereka.

Zara meniup poninya dengan kesal. "Apa sih? Nggak usah dibahas lagi, deh!" ketusnya lalu kembali beranjak membuntuti Tamara. Huh, anak laki-laki itu memang selalu suka memancing emosi.

"Za, tadi sama Prama diajak ke UKS kenapa nggak mau?" celetuk Daffa masih berani mengusik Zara.

Zara tidak menyahut. Gadis itu tetap pada jalannya tapi sambil mengangkat kepalan tangan ke udara.

Prama meninju bahu Daffa pelan. Bermaksud agar berhenti menggoda Zara. Daffa hanya bisa menyeringai seraya menggaruk belakang lehernya.

Di kelas Prama ini tidak dekat dengan siapa pun. Anak-anak juga berinteraksi sewajarnya dengan Prama.

Prama lebih senang bolos pelajaran sendiri, berbuat jail sendiri, sesekali mencoba merokok di kamar mandi walau selalu gagal karena ketahuan anak OSIS juga sendiri. Prama tidak mau mempengaruhi temannya untuk menjadi nakal sepertinya. Jadi walau sering keluar masuk BK dan seantero sekolah menilai Prama sebagai siswa badung, teman sekelas tetap mau berhubungan dengannya karena sudah tahu prinsip Prama.

Di sisi lain Zara sudah memasuki koridor kelas sepuluh. Meski anak laki-laki sudah tertinggal jauh di belakang, bibir gadis itu masih manyun. "Kenapa sih mereka ngira gue nggak mau diajak ke UKS itu karena salting sama Prama? Cuma kena bola aja gitu, kan. Nggak perlu berlebihan," dumelnya membuat beberapa pasang mata siswa-siswi yang akan pulang sekolah meliriknya aneh.

"Janji. Kalau earphone gue ketemu, video Zara tadi nggak jadi disebar. Tuhan, tolong bantu tunjukkan di mana benda kesayangan itu sekarang."

Bibir cemberut Zara terurai saat baru saja memasuki kelas, terdengar ratapan dari Tamara. "Kenapa deh, Tam?" tanyanya.

"Earphone yang gue taruh di laci nggak ada, Za. Pasti disembunyiin sama anak cowok, nih!"

"Nah, tuh. Azab seorang teman yang suka diam-diam merekam kegiatan seseorang tanpa izin. Rasain." Zara meleletkan lidah lalu bergerak ke tempat duduknya. Menghiraukan Tamara yang sibuk membongkar isi tasnya demi menemukan benda yang ia cari. Dengan panik begitu, sepertinya Tamara sudah melupakan rencana penyebaran video tadi.

"Han, jangan pulang dulu, ya? Gue mau cerita tentang tadi yang ketunda."

Hana yang baru saja selesai menutup ritsleting ranselnya menoleh dengan sedikit terperanjat. "Ngegetin aja, lo," ucap Hana sambil memakai ransel hitam polos miliknya. "Gue tunggu di depan, deh," lanjutnya lalu tanpa menunggu lama langsung meninggalkan Zara.

"Eh, Han! Lo nggak ada liat earphone gue? Kan kelompok lo yang balik ke kelas duluan. Kali aja lo liat anak cowok makai dan nggak mau ngembaliin," cecar Tamara tapi hanya dijawab gelengan cepat dari Hana.

Zara mengernyit, heran dengan Hana yang tampak ingin segera pergi dari kelas. Beda dari biasanya. Seorang siswi teladan seperti Hana pulang sekolah bukanlah sesuatu yang terlalu menggembirakan seperti anggapan siswa penghuni peringkat dua puluh besar macam dirinya.

"Udah kali, Tam. Harga earphone juga nggak sampai buat lo harus jual rumah, kan? Beli lagi dah, sono."

Bahu Tamara merosot ke bawah. Lalu masuknya anak laki-laki ke kelas membuat Tamara sedikit kembali bersemangat. "Siapa yang ngumpetin earphone gue?" berangnya.

Mereka hanya mengedikkan bahu, menganggap gertakan Tamara biasa saja.

"Pram, elo ya yang minjem?" tanya Tamara hati-hati.

Ditanya langsung begitu membuat Prama seketika menegak. Dimasukannya kedua tangan ke dalam saku celana. Lalu tanpa melihat lawan bicaranya, Prama menjawab singkat. "Bukan."

Zara mengurut dagunya sambil mulai keluar dari kelas. Kenapa Prama kayak bersikap mencurigakan gitu, ya?

"Yuk, Za. Langsung ke parkiran. Cepet."

Tarikan Hana pada lengannya otomatis menyadarkan Zara dari lamunannya. "Lo kenapa buru-buru sih, Han?"

"Gue mau cepet pulang. Cuma karena itu, kok."

Zara beralih menggamit lengan Hana. "Ya ampun, kirain kenapa," katanya menanggapi sambil sesekali membalas sapaan beberapa pelanggan online shop yang berpapasan dengannya. "Tapi tempat parkir pasti juga masih antre. Rame banget kalau baru bel gini," terangnya kini dengan perhatian penuh pada Hana.

"Nggak papa, asal udah jauh dari kelas."

Zara memiringkan kepalanya karena tidak paham dengan maksud Hana. Tapi ketika ditanya teman sebangkunya itu hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala sebagai tanda bahwa ia enggan membahas perkataannya tadi.

Zara lekas menurut. Tidak penting juga baginya. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju lahan parkir motor khusus siswa yang terletak di selatan gedung sekolah. Benar saja, saat sampai di sana tampak siswa-siswi bergantian menunggu giliran mengambil kendaraan masing-masing. Zara dan Hana memutuskan untuk menunggu sampai keadaan berangsur sepi.

"Lo tadi mau cerita apa?"

"Tuh, kan hampir lupa lagi." Zara menepuk keningnya. "Jadi gini ...," katanya sengaja mengulur kata sambil cengengesan membuat Hana menaikkan alis semakin ingin tahu. "Gue ... mau jualan jus buah."

Hana berseru tidak percaya. Digoyangkannya tubuh Zara untuk menuntut penjelasan lebih detail hingga mengakibatkan Zara semakin tergelak karena terlewat antusias.

"Iya, jadi sepulang sekolah gue mau jualan jus di depan rumah tante Firda. Lo nggak lupa rumahnya di mana, kan?"

Hana menangkup pipi Zara dengan gemas. Tentu saja ia masih ingat di mana letak rumah tante Firda karena mereka juga sering mampir ke sana untuk bermain bersama si imut Kinzi. "Wih ... jiwa dagang lo nggak habis-habis ya, Za. Sip, dah! Gue dukung seratus persen."

Hati Zara menghangat. Ia sangat bersyukur bisa mempunyai teman sesupel Hana. Tuhan memang Maha Adil. Di saat orang tuanya sendiri meragukan semangatnya, di lain sisi ada seseorang yang selalu bersedia memberinya dukungan hingga bisa membuat percaya dirinya memancang kuat. "Makasih, Hana," katanya tulus.

***

Sampai di rumah, Prama melempar tasnya asal di salah satu kursi meja makan. Lalu tanpa ada niat mengganti seragamnya dengan pakaian santai,  Prama langsung mendudukkan diri di kursi lain yang kosong dan mulai membuka tudung saji.

Tumis kangkung dan udang yang digoreng dengan tepung seketika menggugah selera makan Prama. Sepertinya ayah dan ibu sudah makan. Tak perlulah ia menunggu mereka lagi.

"Pram, ada yang mau Ayah bicarakan sama kamu."

Prama melirik ayahnya yang baru memasuki ruang makan. Dihelanya napas pelan. Padahal ia ingin menyantap makan siang dengan tenang tanpa terlibat dengan obrolan dulu.

"Ayah mau bahas apa?"

Ayah Prama duduk di hadapan putra tunggalnya. Membiarkan dulu sampai Prama selesai mengisi piringnya dengan lauk-pauk, baru membuka percakapan. "Mending kamu berhenti kerja. Ayah bisa membiayai sekolah tanpa bantuan kamu. Bahkan untuk biaya kuliah, juga sudah Ayah siapkan."

Prama meletakkan lagi sendoknya. Ia lebih senang diceramahi agar tidak berbuat ulah lagi daripada harus diperintahkan untuk berhenti bekerja di toko Omnya. Bukan apa-apa, Prama bekerja hanya untuk mematahkan opini keluarga dari ayahnya yang menganggap bahwa dirinya adalah tipe orang yang tidak mau susah.

Prama memang suka membuat masalah, tapi bukan berarti ia tidak mau berusaha untuk meraih kesuksesan di masa depan. Posisinya sebagai anak semata wayang dan keadaan ayahnya yang mempunyai bengkel motor besar menyebabkan adanya desas-desus bahwa nanti ketika dewasa Prama tidak perlu susah mencari pekerjaan.

"Anak bandel biasanya masa bodoh soal karier. Itu si Prama bakal langsung dikasih warisan. Enak, kan? Cuma leha-leha bisa langsung kaya." Begitu salah satu bunyi perkataan yang membuat ubun-ubun Prama mendidih.

"Ayah harap kamu mau nurut."

Prama tidak menjawab satu patah kata pun. Ia hanya diam memperhatikan ayahnya yang perlahan meninggalkannya sendiri.

Salah satu tangan Prama yang ada di atas meja mengepal. Pasti ada sesuatu yang mempengaruhi ayahnya hingga beliau menyuruh Prama berhenti bekerja sepulang sekolah.

Ingatan Prama pun kembali pada malam Minggu belum lama ini. Saat itu Prama bersiap pergi untuk menghabiskan malam panjang tersebut. Om Ruli--adik ayah kebetulan sedang bertandang dan tampak mengobrol serius dengan ayahnya di teras rumah.

Prama yang akan keluar berhenti sejenak dan bersembunyi di balik jendela. Melalui celah korden, Prama mengintip dan mencuri dengar pembicaraan dua orang dewasa itu.

"Kamu sewaktu Bapak sama Ibu masih ada, kenapa bilang nggak mau diberi warisan dan hanya meminta modal untuk dibangunkan toko?"

Prama bisa melihat ayahnya naik pitam. Memicingkan mata lebih fokus, Prama kembali memantau.

"Pokoknya aku minta sebagian tanah ini, Mas."

Ayah Prama menyandarkan punggung di kursi tempatnya duduk. "Kalau dihitung-hitung, harga tanah yang diberikan Bapak pada Mas dan modal untuk membuat toko kamu itu sama besar, Li. Orang tua kita sudah adil."

Om Ruli menggeleng. Ayah Prama mencengkeram lengan kursi. Tidak pernah ia sangka bahwa adiknya akan menuntut seperti ini. "Lagipula tanah ini sudah kubangun rumah untuk tempat tinggal. Bagaimana mau dibagi lagi?"

Om Ruli memandang Ayah Prama sinis. "Aku tidak mau tahu. Bagaimana pun caranya, aku minta tambahan warisan."

Prama mendorong piringnya menjauh. Ingatannya tentang obrolan itu membuat selera makannya hilang ditelan kekesalan. Pasti masalah tersebut yang membuat ayahnya ingin ia tidak berurusan lagi dengan Om Ruli.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro