Bab 3
Zara melipat mukenanya lalu mengembalikannya di tempat semula. Matanya masih terasa berat lantaran semalam ia tidak bisa tidur nyenyak. Ingin rasanya Zara kembali bergelung di bawah selimut selagi matahari belum menampakkan dirinya. Udara dingin sisa hujan dini hari tadi juga makin menguatkan kemauan Zara untuk tidur barang tiga puluh menit lagi.
Zara pun beranjak naik ke tempat tidur yang dilapisi seprai katun warna navy. Setelah mengatur alarm agar membangunkannya jam lima lebih lima belas menit, Zara segera mencari posisi nyaman dalam posisi rebahnya. Tidak menunggu lama, mata bulatnya tertutup sempurna tapi bersamaan dengan masuknya mama ke dalam kamar.
Masih memegang kenop pintu, mama Zara membangunkan putri bungsunya. "Tidur semalaman nggak cukup, ya, sampai nambah lagi setelah salat subuh? Malu kali, Za, sama ayam tetangga."
Zara menggeliat, berusaha membuka mata yang seperti dibubuhi lem terkuat. Disibaknya selimut lalu perlahan bangun dan menatap mamanya yang masih setia menunggu di ambang pintu dengan pandangan masih sedikit kabur.
"Bantuin mama masak. Sekarang, nggak pakai lama."
Zara hanya menjawab perintah mamanya dengan anggukan. Setelah mamanya benar-benar pergi, Zara lantas menyusul dengan menyeret langkah malas. Rambatan sensasi suhu rendah dari ubin belum juga membuatnya melek sempurna.
Tapi saat Zara melewati kamar Nafis yang pintunya setengah terbuka hingga bisa memperlihatkan pemiliknya sedang tengkurap di atas kasur, layaknya diguyur air, kantuk Zara seketika luruh digantikan dengan rasa panas hati. Mengapa Nafis dibiarkan tidur sementara ia ditugaskan membantu di dapur?
Zara mempercepat langkah dan menahan kesal. Kesal pada diri sendiri yang tiap kali selalu merasa iri pada saudaranya. Sebenarnya semakin ia iri, semakin kecewa pula ia pada hatinya yang mudah disarangi rasa cemburu. Tapi mau bagaimana lagi, Zara memanglah seorang anak biasa yang juga ingin sekali-kali dimanja oleh orang tuanya.
"Mama udah nelepon Tante Firda."
Begitu masuk ke dapur itulah kalimat pembuka yang Zara dengar dari mamanya. Sambil mengikat rambut panjangnya dengan asal, Zara menjawab sekenanya. "Oh, kirain Mama lupa."
"Kamu kalau jualan emang bisa bagi waktu buat belajar? Jangan sampai peringkat kamu makin anjlok kalau nanti udah mulai jalan usahanya."
Zara menyambar kentang dalam wadah plastik yang sudah dikupas kulitnya oleh mama. "Bisa. Mama tenang aja. Selama ini aku jualan online, sekolahku juga nggak terganggu, kan?" tanyanya seraya memotong dadu sayuran yang banyak mengandung pati tersebut.
"Buah, gula, susu, cup, sedotan, dan lainnya mau dibeli pakai uangnya siapa? Mama sama Papa nggak mau kasih kamu modal."
Entah karena pisau yang ia gunakan mulai tumpul, atau memang perkataan mamanya yang membuat kentang ini terasa berat kala diiris. "Izin dari Mama udah lebih dari cukup buat aku. Aku nggak minta uang, aku cuma mau dengar Mama bilang 'ya'," harap Zara.
"Ya udah Mama kasih izin."
Zara mengernyit bingung. Pasalnya suara mamanya teredam bunyi khas bumbu yang baru saja dimasukkan ke wajan untuk ditumis. "Apa, Ma?"
"Kamu boleh jualan, Za. Kupingnya, ih."
Zara merilekskan pundak yang semula tegang berikut kecemasan yang menghantuinya semalaman. Senyum lebar pun tercetak dari telinga ke telinga. "Makasih banyak, Ma. Kalau Mama kasih restu pasti nanti jualannya lancar dan selalu laris."
"Hmm, moga aja semangat kamu dari awal sampai akhir penuh terus kayak gini," tanggap mama Zara sembari memindahkan kentang yang sudah terpotong kecil-kecil ke dalam wajan untuk dicampur dengan bumbu yang mulai menguarkan aroma sedap. "Mama sebenernya masih sedikit ragu, jangan-jangan keinginan kamu ini hangat-hangat tahi ayam. Nggak tetap, belum begitu kuat."
Senyuman lebar Zara terhapus lagi dari wajahnya. Mencoba sabar dengan memejamkan mata, Zara kemudian mengahadap mamanya dengan keyakinan maksimum. "Sekarang boleh aja Mama remehin aku. Tapi nanti Mama pasti tersenyum bangga karena aku berhasil buktiin kalau tekadku ini nggak main-main."
***
Tiga puluh penghuni X-4 menyebar hampir di seluruh bagian lapangan basket. Padahal guru olahraga mereka menyuruh untuk melakukan pemanasan sementara beliau masih ada urusan terkait pertandingan futsal persahabatan dengan SMA Puspadana besok tubin.
Zara awalnya juga ikut berlarian main kucing-kucingan bersama teman-temannya. Tapi sekarang ia berhenti dengan alasan bermain seperti itu berarti mirip anak kecil. Padahal tadi yang paling semangat dalam permainan tersebut adalah dirinya.
Sembari duduk berselonjor kini Zara mengamati sisi kanan lapangan yang didominasi teman-teman lelakinya. Mereka sedang bergantian melakukan push-up. Siapa yang paling banyak jumlahnya dalam satu menit, dialah yang menang.
"Tet! Udah semenit, Bro. Lo dapet empat puluh."
Beni yang masih dalam posisi tengkurap segera berdiri lalu berkacak pinggang di hadapan Aldi yang bertugas menghitung hasil push-up-nya tadi. "Gue ngitung dalam hati dapetnya lima puluh, Njir!"
"Hei mulutnya!" seloroh Zara spontan. Lalu gadis itu berdiri, setelah menepuk-nepuk bagian belakang celana olahraganya yang terkena debu lantai lapangan ia mendekat ke teman-temannya. "Pantesan si Caca nggak mau jadi cewek lo. Omongannya suka kasar, sih," lanjut Zara malah meledek.
Caca yang baru saja akan menepi melotot ke arah Zara sambil membetulkan hijab segi empatnya yang miring.
"Ca, kalau olahraga enaknya tuh pakai hijab instan. Di olshop gue ada, loh." Zara menaik turunkan alisnya. Lalu ia beralih lagi pada Beni yang memang menaksir Caca sejak pertama masuk kelas sepuluh. "Ben, cinta itu butuh modal. Beliin tuh, si Caca. Atau kalian mau baju couple? Lagi ada promo soalnya. Beli satu pasang gratis gelang kece."
"Apaan sih, Za. Lo nyamperin gue cuma buat dagang?"
"Ya namanya juga usaha, Ben." Zara menyelipkan helai-helai rambutnya yang diterbangkan angin dengan tatapan sendu.
"Jangan pasang tampang melas kayak gitu, deh. Kejonesan lo makin kentara tau, nggak?"
Zara mendecih. Gadis itu melarikan tatapan matanya dari Beni yang sedang tertawa geli pada sebuah botol air mineral kosong di pinggir lapangan. Ingin ditimpuknya kepala Beni dengan benda itu. Tapi seperti ada sesuatu yang ganjil, Zara kembali memperhatikan Beni. Lebih tepatnya pada cowok yang ada di depan Beni.
Zara makin curiga karena setelah mata mereka bersirobok, Prama segera menoleh ke lain arah. Zara yakin saat ia dan Beni sedang beradu mulut tadi Prama sempat tertawa kecil. Cowok yang biasanya cuek dengan kegiatan teman-temannya itu kali ini merespon. Wow, bahkan dengan tawa.
"Za, katanya lo mau ngomong sesuatu?"
Panggilan Hana membuat Zara tersadar dari keheranannya. "Oh iya, lupa gue," sahutnya lalu menghampiri Hana untuk menceritakan tentang niat berjualan jusnya yang sudah diberi izin mama.
Baru saja Zara akan memulai obrolannya, di kubu anak laki-laki terdengar seruan yang riuh. Rupanya saat Zara berjalan ke tepi lapangan, salah satu dari temannya didatangi siswi dari kelas X-6. Siswi tersebut memberanikan diri memberi cokelat pada Fiki, cowok yang memang paling keren di kelas Zara.
"Nih, buat lo aja Lang."
Gilang melongo. Ditatapnya bergantian Fiki yang mengangsurkan cokelat batang padanya dan siswi X-6 yang terlihat tidak senang dengan tindakan Fiki.
"Ambil, Lang. Gue sih ogah makan cokelat dari cewek jerawatan kayak dia."
Zara dan Hana saling bertatapan satu sama lain. Keduanya kompak menahan geram pada Fiki yang ternyata sombongnya selangit. Sama-sama perempuan mereka paham bagaimana perasaan siswi itu sekarang.
Kemudian tanpa disangka-sangka, Prama berdiri dan mendorong bahu Fiki dengan raut wajah sengit. "Lo nggak berhak ngatain dia! Sebusuk-busuknya sampah, masih lebih busuk cowok lambe turah kayak lo!"
Fiki menepuk-nepuk pundaknya yang tadi disentuh Prama seolah bagian tubuhnya itu baru ditempeli benda kotor. "Selow aja, kali! Lo bapaknya dia sampai nggak terima kayak gini kalau gue ngomong gitu? Padahal kan gue ngomong sesuai fakta."
Siswi tadi berbalik dan segera berlari meninggalkan pertengkaran itu. Prama pun mengeraskan rahang, kedua tangannya sudah mengepal di samping tubuh siap menghajar Fiki. Dia memang terkenal sebagai pembuat onar yang bertemperamen tinggi. Tapi untuk urusan menyakiti hati orang lain, sebisa mungkin Prama menghindarinya. "Bisa jadi kalau dia udah nggak jerawatan, seleranya bukan cowok macam lo lagi, ngerti! Nggak usah sok ganteng!"
"Udah ya, gaes." Bagas, si ketua kelas menyeruak di antara Prama dan Fiki yang sama-sama meradang. "Mending salah satu dari kalian pergi dulu tenangin pikiran. Jangan sampai kita semua masuk BK gara-gara bikin ribut di lapangan."
Prama membuang muka. Tanpa dua kali berpikir ia memisahkan diri dari kerumunan. Tapi rupanya Fiki masih merasa jengkel. Diambilnya salah satu bola basket yang masih tertata rapi di keranjang, lalu dengan sekuat tenaga dilemparnya ke depan hingga mengenai pundak Prama.
Prama yang tersuruk karena hantaman bola tidak bisa membiarkan hal ini begitu saja. Diraihnya bola yang tadi digunakan Fiki, dengan hati mengkal ia juga melempar bola ke arah lawannya itu.
Zara juga sebagian anak perempuan di lapangan menutup mata dengan telapak tangan karena perseteruan semakin tegang.
"Lah! Minggir, Za, minggir!"
Zara membuka mata karena namanya diserukan berkali-kali oleh Bagas. Namun terlambat, di depannya kini sudah meluncur benda bulat oranye itu dengan kecepatan maksimal. Tinggal hitungan detik saja, kepala Zara akan ... Duakk!
Zara terjengkang ke belakang. Hana segera membantu Zara bangun dengan panik. Sedangkan Prama yang masih berdiri di tengah lapangan meremas rambutnya karena gara-gara lemparannya terlalu kuat, bola basket itu jadi salah sasaran.
"Za, lo nggak papa? Kepala lo sehat? Masih inget nama gue, kan?" Hana mengusap-usap kening Zara yang menjadi korban bola nyasar tersebut.
Zara hanya mengangguk dan meringis menahan nyeri. Dalam diam Zara mengingat perkataannya pada tante Firda kemarin yang menyatakan mungkin suatu hari ia akan membutuhkan bantuan Prama. "Ini gue malah jadi korbannya Prama," gumam Zara sambil memijat bagian kepalanya yang sakit.
Prama memutuskan untuk mendatangi Zara. "Mau ke UKS?"
Zara mendongak saat suara khas cowok milik Prama masuk dalam indera pendengarannya. Tapi Zara tidak lekas menjawab, gadis itu malah terpaku pada dua iris cokelat Prama yang tegas. Seperti dihubungkan satu sama lain, dalam posisi saling tatap itu keduanya merasa setelah kejadian ini pasti hubungan mereka akan berlanjut karena suatu hal lainnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro