Bab 29
Zara belum bisa bertanya tentang remote proyektor pada Hana meski acara sosialisasi sudah selesai. Karena dalam perjalanan dari aula sampai ke kelas teman-teman ikut berjalan beriringan bersamanya. Jika ditempeli begitu tentu saja Zara tidak bisa membahas hal rahasia tersebut secara terbuka dengan Hana.
Sebenarnya bisa saja Zara mengajak Hana menjauh dan mencari tempat aman untuk mengobrol berdua. Tapi ia juga tidak mau meninggalkan teman-teman yang mulai mau membaur lagi padanya. Kesempatan kedua ini harus ia manfaatkan dengan sebaiknya.
Penjelasan dari kepala sekolah secara tidak langsung membuat teman sekelas Zara luluh. Mereka mencoba memandang dari sudut pandang yang berbeda. Mereka kini menyadari bahwa Zara hanya digunakan sebagai batu loncatan agar Prama bisa melakukan aksinya.
"Sekarang kalau lo nyanyi lagi terserah, dah. Mau sampek suara sumbang lo itu makin jelek juga gue izinin."
Beni yang sedang mengikat tali sepatu di tempat duduknya mendongak lalu mendecap pada Bagas. "Lo jangan ngeraguin kemampuan tarik suara gue," sanggahnya mengunggulkan diri sendiri.
"Sini Ben, bantu siapin presentasi. Elo tuh jangan cuma numpang nama di cover tugasnya."
Beni menganga. Ia menatap bingung pada Vinta yang sedang berusaha menghidupkan proyektor dengan cara menekan tombol yang terletak di bagian bawah alat itu menggunakan gagang sapu. Posisi proyektor yang menggantung di atap ruangan membuatnya kesulitan.
"Pakek remote, dong, Vin."
"Kalau nggak hilang gue mana mau susah begini!"
Beni mendesah. Dengan ogah-ogahan ia mendekat pada Vinta untuk membantu. "Kalau tinggi badan nggak mencukupi, lo harus naik ke kursi kayak gini. Harus sadar diri, ngerti?"
Vinta menabok Beni yang baru saja menyeret salah satu kursi kayu. "Rasanya gue mau musnahin lo tau, nggak!"
Zara mengibaskan tangan di depan wajah Hana yang sedang fokus menekuri Instagram di ponselnya. "Han, remote proyektornya bener-bener hilang."
Hana mengernyit. "Ya terus kenapa? Tuh udah bisa dihidupin."
Tatapan Zara mengarah pada dinding di samping papan tulis yang mulai tersorot lampu kekuningan. Memang masalahnya sudah teratasi, tapi ....
"Hana kali yang ngumpetin kayak waktu itu."
Baru saja dikhawatirkan, ucapan yang tidak mau Zara dengar telah mengudara dan kini menimbulkan anggukan setuju dari sebagian penghuni kelas.
Hana sendiri meneguk ludah tidak percaya karena ia dicurigai seperti ini. "Gue bener-bener nggak tau, Za," bisiknya tapi lebih terdengar seperti permohonan untuk percaya padanya.
"Bukan lo yang ambil?" tanya Zara lirih.
Hana segera membantah. "Enggak, lah!"
"Nggak bohong?"
Hana memutar bola mata. Ia menggeleng dan mengangkat jari peace untuk menekankan kesungguhannya.
"Woi, malah arisan berdua gitu."
Zara dan Hana lekas memandang Beni yang sedang memicingkan mata. Cowok itu berusaha mengulik fakta dari gerak-gerik yang Hana ciptakan.
"Cari dulu yang bener. Kemarin kan proyektornya dipakek buat nonton film tuh sama si Gilang. Kali aja dia yang ngilangin. Main tuduh aja lo, Ben." Tanpa diperintah Zara menjadi tameng untuk Hana.
"Yang nonton hampir sekelas, kenapa gue doang yang di-notice?" Gilang merasa keberatan.
Zara akan menyahut lagi tapi dihentikan oleh Dafa yang baru masuk ke kelas. Cowok itu baru dari area belakang sekolah untuk membuang sampah. "Maafin nih, ya. Tadi gue bersih-bersih laci meja guru. Banyak kertas-kertas nggak guna, jadi gue angkut semua. Remote proyektornya ternyata nggak sengaja ikut kebuang," jelasnya sembari mengangkat benda yang ada di genggamannya. "Untung ketahuan jadi gue pungut lagi."
Vinta langsung menyodok pinggang Dafa dengan sapu yang berhasil ia rebut dari Beni.
"Tuh kan, Za. Gue nggak ngambil."
Zara merangkul Hana dan meminta maaf karena sempat tidak mempercayainya. Bukan bermaksud selalu menuding, tapi Zara hanya khawatir jika kebiasaan mencuri Hana belum juga berkurang.
"Gue maklum kok. Jadi, kalau lo liat gerak-gerik gue kayak mencurigakan gitu, cepet kasih teguran, ya? Biar gue sadar dan nggak jadi nyuri."
Zara mengangguk. Demi kesembuhan Hana, ia tulus melakukan apa pun untuk temannya itu.
***
Sudah rapi dengan cardigan cokelatnya, Zara menunggu datangnya Prama dan Hana di depan pos satpam klinik. Sepulang sekolah tadi Zara sudah menceritakan pada kedua temannya itu jika kini keadaan keluarganya mulai membaik.
Maka dari itu Prama ingin datang menjenguk mama Zara untuk meminta maaf karena sudah menghancurkan usaha jus putrinya. Prama harap iktikad baiknya ini bisa membuat orang tua Zara makin menyayangi anaknya. Semoga saja anggapan mereka tentang Zara yang katanya asal dalam memilih teman bisa berubah.
Maunya tadi dari sekolah langsung ke klinik saja, tapi Prama bilang dia ingin pulang dulu karena harus salat Jumat bersama ayahnya yang baru saja benar-benar pulih dari sakit jantungnya.
Jadilah sekarang Zara menanti mereka di luar. Karena saat ia baru datang tadi, di dalam kamar rawat mamanya sedang ada beberapa mahasiswa yang datang menjenguk. Maka Zara pun lebih memilih diam di luar saja.
Bunyi klakson yang dinanti-nanti akhirnya terdengar. Zara langsung berdiri dan seketika itu ia terperangah dengan penampilan Prama. Cowok itu mengenakan kaus polos tanpa kerah dipadu dengan celana jeans belel. Zara menjerit dalam hati. Tidak bisakah Prama berpakaian sedikit lebih sopan?
Hana yang ada diboncengan motor Prama menjentikkan jari. "Zara, halo ... mau sampek kapan bengong kayak gitu?"
Zara mengerjap lalu dengan keki ia bersedekap. Matanya tidak bisa berhenti memperhatikan penampilan Prama. Diamati sedemikian rupa begitu akhirnya Prama merasa grogi juga. Dari gestur tubuh Zara, Prama bisa memahami jika gadis itu sedikit kurang suka dengan apa yang dia pakai sekarang.
"Di lemari gue semua bajunya juga begini. Biarin gue tampil apa adanya. Orang tua lo harus kenal sama Prama yang yang emang aslinya kayak gini."
Zara mengembuskan napas. Ia hanya takut jika orang tuanya nanti makin menolak kehadiran Prama karena penampilan cowok itu yang terkesan urakan. Mayoritas orang kan selalu menilai apa yang terlihat diluar dulu sebelum benar-benar memastikan dalamnya baik atau buruk.
"Lo bener juga, sih. Kita harus jadi diri sendiri."
***
Zara yang memimpin teman-temannya menyilakan masuk setelah ia membuka pintu. Lima mahasiswa mamanya yang terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan serempak menoleh pada mereka.
"Ini anak bungsu saya, namanya Zara."
Zara spontan tersenyum saat mama menunjuk dirinya. Baru kali ini mama mengenalkannya pada orang lain dengan nada bangga seperti itu. Rasanya Zara ingin terbang saking tersanjungnya dia.
"Bu Winda mewariskan kecantikan yang luar biasa pada putrinya," salah satu mahasiswa laki-laki dengan enteng menyeletuk. Ia langsung mendapat pelototan dari teman yang lain. Masa merayu anak dosen di depan dosen? Begitulah maksudnya.
Mama hanya tersenyum memaklumi. Zara sendiri acuh tak acuh di samping Hana yang juga tersenyum, tapi bedanya senyum Hana bermakna meledek. Sedangkan Prama tiba-tiba berdeham sembari matanya tidak lepas dari mahasiswa yang berceloteh tadi.
"Udah ada pawangnya, Bro. Sono lo mundur teratur aja." Mahasiswi yang menurut Zara mirip dengan Nafis menyahut yang seketika membuat ruangan dipenuhi tawa.
Pawang apa sih? Memangnya dia ular ada pawangnya segala. Zara pun hanya mengernyit pura-pura tidak paham hingga membuat Prama tersenyum karena sebenarnya pipi gadis itu sedikit bersemu.
Lima menit berselang, semua mahasiswa mama Zara pamit. Setelah itu Anin pun segera menanyakan siapa teman yang adiknya ajak itu. Mama juga tampak ingin mengetahui nama dua remaja yang datang bersama Zara tersebut.
Dengan hati-hati Zara menjelaskan siapa kedua temannya itu. Awalnya mama dan Anin terkejut saat dikenalkan dengan Prama. Tapi setelah Prama mengutarakan penyesalan dibantu dengan kata-kata persuasif dari Hana dan Zara, mama akhirnya berkenan memberi Prama izin untuk tetap berteman dengan Zara.
"Terika kasih, Tante. Saya akan berusaha jadi teman yang baik buat Zara."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro