Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 27

Zara tiba di rumah saat matahari mulai meredup. Ia tidak menemukan mobil papanya yang biasanya sudah ada di halaman pada sore hari seperti ini. Pikirnya papa pasti setelah pulang kerja langsung ke klinik untuk menengok mama. Gadis itu juga mendapati ruang tengah yang biasanya Anin gunakan bersantai sedang kosong.

"Kak Anin udah berangkat juga," gumamnya sembari mulai menuju kamar untuk bersih diri. Keasyikan mengobrol dengan Prama dan Hana di sekolah tadi membuatnya lupa waktu.

Zara sudah memegang handuk saat ponsel yang baru saja diletakkan di meja belajar menyala. Satu pesan dipastikan masuk ke WhatsApp-nya.

Prama: Kak, barang yang ready stock sekarang apa aja?

Zara mengembangkan senyum geli saat membaca sederet kalimat itu. Padahal tadi Prama bisa menanyakan langsung saat masih di sekolah. Tapi mengingat ia harus segera mandi, maka cepat diketiknya balasan.

Zara: Tumben mau beli di olshop gue? Mau cari apa?

Prama: Gamis buat wanita terbaik yang kumiliki.

Zara: Kalau gamis buat ibu-ibu gue nggak pernah nyediain. Nanti gue tanya ke tante Maya deh.

Prama: Kok langsung tau kalau buat ibu gue?

Zara tertawa. Tentu saja ia cepat tanggap.

Zara: Mau buat siapa lagi kalau bukan ibu sendiri? Elo kan masih jones.

Prama: Mau bantuin gue biar nggak jones lagi?

Zara: Lo pikir gue mak comblang? Ogah ya. Gue sendiri aja belum punya pengalaman pacaran.

Prama: Wah sama dong. Kita saling melengkapi.

Zara mendecih. Temannya itu kenapa jadi bicara melantur begitu, sih.

Zara: Huekks! Udah deh lanjut nanti. Gue mau mandi terus jengukin mama lagi.

Prama: Ya ya oke. Jangan lupa nyoba ngomongin unek-unek yang selama ini lo pendam sendiri ke ortu. Pelan, ga pake emosi.

Zara: Lo juga harus minta maaf ke ortu sama keluarganya kak Edgar.

Prama: Makanya, minta maafnya sekalian beliin ibu sama bapak baju couple, Kak. Kalo ke om gue, gampang itu.

Prama: Pokoknya nanti semoga masalah keluarga lo bisa clear.

Zara menghela napas. Cepat atau lambat ia memang harus segera membicarakan hal tersebut dengan keluarganya. Zara tidak mau terus memendam prasangka buruk. Dengan berterus terang tentang apa yang selama ini ia rasakan, mungkin hati orang tuanya bisa terketuk. Keharmonisan keluarga yang ia damba pun bisa terbentuk.

***

Lengkung bibir mamanya yang mengembang, wajah berseri Bang Farhan, dan suara tawa Anin serta Nafis membuat Zara mematung di balik jendela kamar rawat. Entah apa yang mereka bicarakan hingga suasana di dalam sana begitu hidup. Mungkin mama sedang merasa senang karena Nafis tiba-tiba pulang, juga terharu lantaran putri keduanya itu menyempatkan berkunjung di tengah padatnya kegiatan kampus.

Zara memutar tubuhnya. Kaki yang beralaskan sandal kasual itu bergerak menjauh. Melihat kerukunan antara saudari dan mamanya dapat menimbulkan rasa kurang nyaman bagi dirinya. Keberanian yang ia siapkan untuk membicarakan segala curahan yang menyesak di hati seketika buyar, lenyap tergantikan dengan rasa minder.

Zara kini duduk di atas motornya. Gadis itu bimbang. Ingin pulang ke rumah tapi tidak tega dengan mamanya, di sisi lain jika berusaha tetap mendampingi tapi ia takut. Takut apabila kehadirannya hanya akan menjadi pengganggu.

Setelah berpikir-pikir, akhirnya Zara memantapkan keputusan. Menghindar dari keluarganya untuk malam ini saja mungkin tidak akan menimbulkan efek yang berarti. Gadis itu pun menancapkan kunci motor dan bersiap pulang.

"Mau ke mana?"

Zara memandang papanya yang menghampirinya tepat sebelum ia benar-benar pergi. Di tangan laki-laki itu tertenteng dua kresek berukuran sedang yang di dalamnya ada beberapa bungkusan.

"Nasi goreng. Papa beli di depan barusan. Ayo makan bareng," katanya menjelaskan sekaligus mengajak Zara.

Zara harus menguatkan hati. Dimatikannya lagi mesin motor. Dengan langkah pelan gadis itu mengekori papanya kembali ke kamar rawat. Satu-satunya cara untuk mendekatkan diri pada keluarga hanya dengan sering berkumpul seperti ini. Seharusnya Zara siap demi kebaikannya sendiri.

Sampainya di ruang rawat, Zara tidak banyak bicara. Gadis itu langsung duduk di tikar yang sudah terbentang. Menyantap makanan yang dibeli papanya juga dengan diam. Berbeda dari Nafis yang sibuk sekali menanyakan nama calon keponakannya pada Anin.

"Papa lupa nggak beli minum loh, Fis. Air kita sisa yang di botol itu." Papa menunjuk botol mineral yang isinya tinggal seperempat. "Kalau kesedak, habis deh airnya buat kamu doang. Jangan banyak omong lagi."

Nafis mengerucutkan bibir. "Kalau habis beli lagi, lah, Pa. Aku tuh seneng soalnya kita kan jarang bisa kumpul kayak gini. Yah ... meski mama lagi sakit, sih."

Papa mengangguk. "Maafkan orang tua kalian ini yang nggak bisa sering meluangkan waktu untuk quality time."

Nafis yang duduknya paling dekat dengan papa mennggeleng. Ia tidak bermaksud merubah suasana yang tadinya baik menjadi mellow seperti ini.

Tapi sudah kepalang tanggung. Papa tetap melanjutkan pembahasan yang sentimentil itu. Mama yang berbaring juga ikut menambahkan bahwa selama beberapa hari ini kata-kata Zara yang menyatakan bahwa ia merasa dibedakan selalu terngiang.

Anin dan Nafis serempak menoleh pada Zara. Mereka seakan tidak percaya kalimat yang menyakitkan itu keluar dari mulut si bungsu. Zara sendiri tetap diam. Tapi bulir hangat tak bisa ia cegah untuk tidak keluar.

Masa yang ia harapkan akhirnya tiba bahkan sebelum ia mengungkitnya. Tapi mendengar orang tuanya meminta maaf seperti ini membuat Zara tergugu.

Papa menjelaskan bahwa setelah Nafis lahir, rencana untuk menambah anggota keluarga sudah ditutup. Tapi apa daya ternyata ia masih mendapat kepercayaan untuk mendapat momongan lagi.

Maka kehadiran bayi yang tidak lain adalah Zara sudah tidak membangkitkan antusiasme seperti saat anak pertama dan kedua lahir. Tapi tentu saja mereka tetap bersyukur dan akan sepenuh hati merawatnya hingga dewasa.

Tapi ternyata hal yang sudah diawali dengan kurangnya minat itu membawa pengaruh yang luar biasa. Apalagi kesibukan mereka mengakibatkan Zara harus sering dititipkan pada tante Firda.

Waktu itu Zara kecil pun menjadi cenderung lebih merasa nyaman dengan tante yang kerap menjaganya. Zara justru rewel jika diasuh oleh mamanya sendiri. Makan saja tidak mau kalau bukan tante yang menyuapi.

Dari situ, mama Zara tidak bisa memungkiri bahwa ia sedikit merasa iri pada adik yang lebih disayangi oleh anaknya itu. Tapi bukannya mencari cara agar perhatian Zara kembali teralih padanya, mama justru termakan emosi. Zara malah sering ia abaikan. Biar menjadi anak adiknya saja sekalian, pikirnya saat itu.

Maka sampai Zara sebesar sekarang, pola pikir itu masih terus berlaku tanpa ia sadari. Zara yang tampak tidak keberatan juga menguatkan keyakinan bahwa sikapnya itu tidak salah. Apalagj Zara terlihat lebih mandiri dan tidak manja seperti kedua kakaknya. Tapi ternyata selama bertahun-tahun bungsunya itu memendam lara yang sama sekali tidak ia duga.

"Sekarang kita harus mulai memperbaiki hubungan keluarga supaya lebih kukuh dari sebelumnya." Papa merentangkan kedua tangan, Zara pun menghambur ke dalam pelukannya. Hangat dan nyaman langsung merayapi hati Zara yang telah lama merindukan kasih sayang.

Anin mengelus kepala Zara. Sebagai kakak pertama ia merasa bersalah karena juga tidak begitu memperhatikan sang adik. Ia dulu terlalu sibuk mengejar predikat juara kelas hingga tidak peduli pada Zara.

"Udah, ayo makan lagi." Nafis menyahut sembari mengusap pipi yang juga basah dengan air mata. "Besok aku balik ke kampus. Jadi harus banyakin makan sebelum jadi anak kos lagi."

Anin mencubit pipi Nafis yang sebenarnya sudah gembil. "Padahal udah gendut begini masih bilang harus makan banyak."

Zara mengurai pelukan papanya dan tersenyum saat menyaksikan adu mulut kedua kakaknya itu.

"Eh, ada Prama dateng."

Zara spontan menegak. Tanpa pikir panjang diikutinya arah penglihatan Anin yang tertuju pada jendela. Tapi nyatanya di sana tidak ada siapa-siapa.

"Cie ... langsung gercep gitu pas denger nama Prama."

Bahu Zara merosot saat ia sadar bahwa Anin hanya mengerjainya saja.

"Prama siapa, sih?" Nafis menatap Anin dan Zara bergantian. "Gue ketinggalan berapa banyak info, nih? Ayo dong cerita. Jangan cuma masang wajah sok misterius gitu, deh."

Zara dan Anin tetap diam, membiarkan Nafis merengek penasaran. Farhan juga ikut mogok bicara, sengaja supaya Nafis geregetan.

Yang pasti malam itu menjadi malam paling membahagiakan dalam hidup Zara. Benar kata Hana, ia hanya perlu waktu untuk saling terbuka satu sama lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro