Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 24

"Kamu kalau belum dapat omelan Mama rasanya masih ada yang kurang, iya?"

Zara yang sedang duduk berselonjor di atas tikar mendongak menatap mamanya. "Hmm? Aku dari tadi diem aja, loh. Kenapa harus diomelin?"

"Iya, diem sampai nggak sadar kalau udah waktunya berangkat sekolah. Contoh dong Kak Nafis itu, dia dulu rajin berangkat pagi nggak kayak kamu sukanya lelet."

Zara yang memang sudah berseragam rapi itu mengulaskan senyum tawar. Ia harus berterima kasih pada mama yang sudah memberinya sarapan pagi spesial berupa omelan. "Bentar, Ma. Nunggu Kak Anin sama Bang Farfan dulu. Kalau udah ada yang gantiin jaga aku kan nggak kepikiran. Jarak rumah kita ke klinik kan deket, pasti bentar lagi mereka dateng."

Mama Zara hanya menghela napas saat mengetahui alasan putrinya. Ia tidak punya sanggahan lagi. Yang bisa dilakukannya saat ini hanya memandangi Zara yang sedang melipat tikar bekas alas tidurnya semalam.

"Nanti pulang sekolah aku bawain jus jambu, ya, Ma. Katanya bagus buat penderita demam berdarah."

Pandangan Winda masih terkunci pada kegiatan bersih-bersih yang Zara lakukan. Mulai hari pertama diopname sampai sekarang, hanya Zara yang rela menginap di klinik untuk menjaganya.

Sebenarnya sang suami juga ingin menamani, tapi Zara bersikukuh menyuruh papanya pulang karena beliau pasti lelah setelah seharian bekerja. Mama Zara perlahan menyadari, kalau tidak ada anak itu pasti semua terasa susah bahkan untuk ke kamar mandi sekalipun.

"Jusnya nggak usah pakai es, ya? Masa sakit minum es?" Zara malah sibuk bicara sendiri sembari melipat selimut.

"Kamu berangkat aja, nggak usah nungguin Kak Anin. Paling juga kakakmu itu kalau pagi-pagi gini masih mual."

Zara terlihat menimbang-nimbang saran tersebut. Dugaan mama kemungkinan besar benar adanya. Tapi jika ia memutuskan berangkat sekolah dan membiarkan mamanya sendirian, sudah pasti ia tidak akan tenang di sepanjang perjalanan.

"Kita bikin perjanjian aja, deh. Kalau kamu bisa dateng di sekolah sebelum bel, Mama bolehin kamu tetap berteman sama Prama."

Tentu saja mata Zara kontan membulat. "Syaratnya segampang itu?"

"Bisa dibilang mudah kalau kamu cepet berangkat," jawab Winda sembari menunjuk jam dinding dengan dagunya, bermaksud menyadarkan Zara bahwa sekarang sudah pukul tujuh kurang lima belas menit."

Zara langsung menyambar ransel, diciumnya tangan mama dengan kilat lalu mengucap salam dan segera berlari keluar. Gadis itu siap memacu motornya, berebut jalan dengan pengendara lain agar cepat sampai tujuan. "Buat siapa pun yang nanti ngeliat gue ngebut, please jangan dicontoh," gumamnya seakan benar-benar mengatakan itu di depan orang-orang yang akan ia lewati.

***

"Woi, Zara!"

Zara melotot pada Bagas. Gadis itu lalu lanjut memotret jam dinding kelas dengan rasa lega luar biasa. Ia berhasil sampai di sekolah tiga menit sebelum bel.

Zara: Kak, tolong ini nanti dikasih liat ke mama. Aku nggak terlambat masuk sekolah.

"Terniat. Ngirim foto kayak gitu emang di rumah lo kagak punya jam?"

Zara mendekap ponselnya karena tahu-tahu Bagas mengintip aktivitasnya saat mengetik pesan untuk Anin. "Awas mata lo bintitan!" seru Zara mengancam ketua kelasnya itu.

"Bintitan. Binar perhatian datang lagi dari mantan. Uhuy!" Gilang tiba-tiba menyahut dan membuat kelas heboh seketika.

Bagas mendecak lalu tanpa mengulur waktu lagi ia menggebrak papan tulis untuk menenangkan situasi. "Ayo cepet ke lapangan, kita latihan upacara lagi," intruksinya lantang yang langsung mendapat seruan senang dari anak-anak. Iya, senang kalau latihan berarti mereka tidak pelajaran.

"Lo manggil-manggil gue tadi mau apa?" Zara mencolek bahu Bagas.

"Gue mau kasih tau kalau lo yang jadi pembaca Undang-Undang Dasar. Kemarin kan lo nggak masuk, dan hari ini kita mau latihan untuk yang kedua kali."

Zara langsung terdiam. Menjadi pembaca UUD sama saja menarik perhatian seluruh siswa Grahita karena pastinya ia akan mengeluarkan suara lantang pada saat bertugas nanti. Jika nanti penampilannya akan membangkitkan gosip tentang jusnya lagi bagaimana?

"Jaga suara lo, jangan sampai pas hari-H nanti malah serak," ujar Bagas. Kemudian setelahnya ia kembali mengarahkan teman-temannya untuk segera bersiap latihan.

"Gue cabut."

Suara itu menyadarkan pikiran Zara yang melantur. Gadis itu lalu melirik Bagas yang menyaksikan kepergian Prama dengan geleng-geleng kepala. Tersebarnya video CCTV kemarin membawa dampak pada hubungan Prama dengan teman sekelas yang baru saja terjalin. Antara Prama dan X-4 kini hadir lagi sebuah pemisah yang meski tak kasat mata tapi jelas memberikan pengaruh yang berarti.

"Ck! Dia nggak mau ikut latihan lagi," kata Bagas.

Zara yang mendengar hanya diam. Bagas tidak tahu bahwa Prama akan melakukan sesuatu untuk membersihkan namanya dari segala tuduhan.

"Gas, gue nggak bisa ikut latihan," ucap Hana yang tiba-tiba mendekat.

Bagas sedikit terkejut. Zara juga segera memasang wajah heran agar akting Hana meyakinkan.

"Kenapa?"

"Sakit perut, Gas," aku Hana yang tentunya hanya alibi.

Zara memekik cemas. Cepat-cepat ia menyuruh Hana istirahat di UKS hingga Bagas hilang kata karena Zara heboh sendiri. Akhirnya si ketua kelas itu memberi izin setelah beberapa saat kebingungan harus berbuat apa.

Zara berbisik sebelum temannya itu pergi melakukan rencana mereka, "Semoga berhasil ya, Han."

***

Tim paduan suara sudah mulai menunjukkan peningkatan. Vokal mereka terdengar lebih indah jika dibandingkan dengan hari pertama berlatih. Bagas yang menjadi pemimpin upacara juga minim kesalahan.

Yang tidak berjalan lancar hanya pada tim pengerek bendera. Sesuai perkiraan Zara, Daffa yang tergabung dalam tim tersebut lebih suka melawak yang mengakibatkan latihan tidak kondusif.

"Kalau kayak gini terus kita harus panggil Kak Angga." Zara langsung mendapat tatapan penuh tanya dari teman-temannya yang kini menjaga jarak dengannya.

"Kak Angga ketua ekskul paskib?" Bagas bertanya.

"Iya. Kan Pak Putu sendiri yang bilang, kalau salah satu kelas kesulitan latihan upacara, boleh panggil anak paskib buat ngelatih. Kalau lo capek, biar gue deh yang ke kelas Kak Angga."

"Bilang aja lo mau PDKT."

Zara hanya tersenyum asal-asalan agar bisa cepat ke kelas XI IPA 5. Karena baru saja Hana mengirim pesan agar Zara bersiap melakukan bagiannya dalam rencana penangkapan Pak Hartadi. Tapi pertama ia harus ke ruang guru terlebih dahulu.

"Kamu mau ajak saya ke mana?" Pak Putu memandang Zara dengan tidak mengerti.

"Ke kelas XI IPA 5, Pak," jawab Zara dengan napas tersengal-sengal. "Mari Pak, kita cepat ke sana. Ada hal penting yang harus kita lihat."

"Kalau ini ternyata cuma main-main awas kamu, Za."

Zara menggeleng tegas. Tidak ada yang namanya bercanda untuk saat ini. "Sebaiknya kita cepat menuju ke sana."

Tinggal beberapa langkah lagi mereka berdua sampai di kelas yang di dalamnya sedang berlangsung pencurian yang dilakukan oleh Pak Hartadi bersama Prama dan Hana.

"Kelas itu sekarang kosong." Pak Putu membaca jadwal pelajaran tiap-tiap kelas yang ada di ponselnya. Sepertinya baru mendapat ide untuk mengecek. "Mereka ada pelajaran TIK yang pastinya berlangsung di laboratorium komputer. Ngapain kita melihat kelas yang tidak ada penghuninya?"

"Silakan Pak Putu buka pintunya," ujar Zara tepat setelah kakinya berhenti di depan kelas. "Bagian ini Pak Putu yang lebih berwenang untuk mengadili."

Pak Putu membuka pintu walau dengan tatapan yang masih mengarah pada Zara. Beliau tetap waspada, jangan sampai anak didiknya itu menjailinya.

Tapi begitu pintu terbuka, Pak Putu langsung mengetatkan geraham. Mata yang menangkap perilaku tercela itu seketika membara. "Kalian sedang apa di sini?" bentak Pak Putu dengan suara besarnya.

Walau sudah tahu bahwa akan ada Pak Putu yang Zara bawa untuk memergoki aksi gila ini, tetap saja Hana berjengit kaget hingga ia jatuh terduduk. Prama segera membantunya berdiri sembari menenangkan.

"Jadi benar kamu yang selama ini mencuri di sekolah? Jawab, Pram!"

Zara meneguk ludah. Baru pertama kali ini ia melihat Pak Putu benar-benar marah hingga urat-urat menyembul di leher tiap kali beliau berucap.

"Pak Hartadi juga terlibat? Dan ... Hana? Siswa yang akan mewakili sekolah dalam olimpiade biologi?" Pak Putu menajamkan pandangannya. Hana yang ditatap hanya mampu menunduk.

Sedangkan Zara dan Prama terhenyak. Hana tidak pernah bercerita jika ia akan mewakili sekolah dalam ajang bergengsi tersebut. Mau-maunya Hana terlibat dalam penangkapan yang bisa saja menghancurkan reputasinya ini.

"Saya cuma diajak kerja sama dengan mereka berdua." Pak Hartadi mengutarakan pembelaan dengan suara terbata.

Prama menepis tuduhan Pak Hartadi dengan segera memutar rekaman yang ada di ponselnya.

"Mending lanjutin nyuri bareng kita daripada dipecat kan, Pak?"

"Sepertinya kalian benar-benar niat kerja sama. Karena kita sekarang bertiga, target barang yang harus diambil harus lebih banyak."

"Gampang lah itu, yang penting pembagiannya adil."

"Besok, sasaran pertama kelas XI IPA 5."

"Hana sama Prama hanya pura-pura. Mereka harus ikut mencuri agar bisa mendapatkan bukti." Zara buru-buru menjelaskan sebelum kepala Pak Putu semakin mengepulkan asap berang.

"Bohong! Dia, gadis rambut pendek itu punya penyakit!"

Bisa Hana rasakan sekarang kakinya gemetaran. Kenapa kemarin ia dengan mudah menceritakan rahasianya pada orang itu? Sekarang baru ia sadari bahaya yang akan mengancam dirinya. Bisa saja Pak Hartadi mengebarkan informasi itu ke seluruh warga sekolah karena balas dendam.

"Pak Hartadi yang punya penyakit! Penyakit hati yang udah mengakar di dalam diri Bapak. Udah ketahuan mencuri bukannya malu malah nyalahin orang lain!" Zara mengeluarkan amarahnya agar Pak Putu terkecoh. Jangan sampai kleptomania Hana tersebar.

Pak Putu menatap petugas kebersihan itu lagi. "Mari kita selesaikan ini sesuai hukum yang berlaku di sekolah ini. Pak Hartadi, silakan tulis surat pengunduran diri jika Bapak tidak mau diberhentikan kerja dengan tidak hormat!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro