Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2

Setelah mencuci piring, Nafis menuangkan air dingin ke gelasnya hingga separuh. Lalu setelah menenggaknya hingga tandas, gadis dengan setelan kaus dan celana sebatas lutut itu beranjak ke kamarnya lagi tanpa semangat. Liburannya sangat membosankan karena ia tidak ada rencana pergi kemana-mana. Apalagi rumah selalu sepi karena orang tuanya bekerja dan Zara juga sekolah.

Di kamarnya, Nafis memikirkan hal apa yang kira-kira bisa dilakukan untuk mengusir bosan. Karena di jam-jam setelah makan siang seperti ini ia selalu dilanda rasa kantuk. Nafis harus berusaha tidak terlelap. Karena jika ia tidur siang, malamnya ia pasti akan terus terjaga.

Netra dibalik kacamata minusnya itu pun menangkap ponsel yang tergeletak di atas bantal. Nafis meraihnya lantas duduk bersila di lantai yang tidak beralas.

Segera Nafis membuka aplikasi Youtube. Ia baru ingat jika masih punya stok kuota internet yang melimpah. Daripada terbuang sia-sia, Nafis berniat menghabiskannya dengan mencari video atau film seru. Tapi sebuah pemberitahuan dari channel Youtube yang bernama OSIS SMA Grahita langsung memikat atensi Nafis.

"Apa kabar nih, SMA gue? Zara jarang cerita kegiatan di sekolah, sih. Sebagai alumni gue kan jadi kudet," dumelnya seraya meng-klik video yang dalam keterangannya sudah diunggah sejak satu bulan lalu itu.

Video tersebut berisi dokumentasi kegiatan pensi yang diadakan setelah Ujian Akhir Semester 1. Dalam menit-menit pertama video, ditunjukkan penampilan grup band sekolah yang sedang tampil di atas pentas. Semangat semua personelnya membuat Nafis seketika merindukan masa sekolah.

Berlanjut memasuki menit pertengahan, kamera ditarik mundur lalu berbalik pelan untuk menyorot siswa-siswi yang memenuhi lapangan. Semua terlihat antusias dan menikmati setiap dentuman musik. Nafis mengembangkan senyum, ia mulai bernostalgia dengan membayangkan dirinya dulu juga seperti itu.

Namun perlahan senyumnya memudar, berganti kerutan dahi yang perlahan muncul seiring dengan layar yang kini menampakkan segerombolan siswi sedang tertawa lepas dan sesekali menggerakkan badan mengikuti irama lagu.

Bukan karena kelakuan mereka melewati batas, tapi pasalnya salah satu dari kumpulan siswi itu adalah adik satu-satunya yang selama ini ia kenal sebagai gadis pendiam. Zara yang ia yakini selalu menyukai ketenangan dan memilih untuk tidak begitu atraktif nyatanya bisa seceria itu jika berada di luar rumah.

Nafis memutar berulang-ulang bagian video yang menayangkan Zara. Dilihat sampai berulang kali pun wajah yang ia lihat tetap sama. Nafis bisa dengan mudah mengenali wajah oval cantik yang Zara dapat dari mama.

Nafis merasa perlu meredakan keheranannya dengan bertanya langsung pada sang adik. Tapi seolah mengejek, detik jam yang dipandangnya kini terlihat berjalan lambat. Ia masih harus sabar menunggu sekitar satu jam lagi hingga Zara pulang sekolah.

***

Zara bisa mendengar tangisan bayi saat ia baru saja mendudukkan diri di kursi rotan yang ada di teras rumah minimalis itu. Setelah benar-benar melepas sepatunya, Zara menyeruak ke dalam rumah lewat pintu depan yang ia yakini tidak akan dikunci seperti biasa.

"Kinzi ... kenapa kok rewel? Nggak diajak main, ya, sama Kak Arsa?"

Bocah SMP yang sepertinya juga baru pulang sekolah itu terperanjat saat namanya tiba-tiba disebut. Terlebih karena si tamu dengan seenak jidatnya masuk tanpa permisi tentunya membuat tingkat kewaspadaan Arsa otomatis langsung bekerja.

"Gini deh kelakuan remaja di negara berkembang. Masuk rumah orang nggak pakai salam dulu."

Zara menyebikkan bibir. Dilemparnya tas sekolah hingga mengenai kaki sepupunya yang sedang rebahan di sofa ruang tamu itu. "Hilih, sok ngajarin salam," Zara menimpali sembari melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya. "Tante Firda mana?"

"Mama gue lagi berada di tempat yang teduh, damai, dilingkupi semilir angin, dan sejauh mata memandang hanya ada hamparan bunga."

"Sa, please. Gue serius." Zara mendekati Arsa sembari berkacak pinggang. Berharap gertakannya mampu membuat cowok jangkung itu segera berkompromi.

"Ini gue serius. Coba deh Kak Zara terjemahin petunjuk tadi."

Zara melipat tangannya di depan dada. Gadis itu beranjak pergi dari hadapan Arsa dengan sedikit geregetan. "Gue nggak suka kode-kodean. Suka yang to the point."

Arsa terkekeh dan menyusul Zara. "Mama lagi di teras samping, Kak. Bisa denger Kinzi nangis tapi nggak bisa nebak mereka di mana," cibirnya sembari menyenggol pelan lengan Zara. "Di kelas peringkat berapa, sih? Tebakan kayak gitu aja nggak mudeng."

Zara hanya bisa melirik Arsa tanpa berniat menyahuti. Ia tidak mau membuang tenaga untuk perdebatan yang sia-sia. Dengan acuh tak acuh Zara mendahului Arsa untuk menemui tantenya yang sedang bersenandung pelan. Bayi tiga bulan dalam gendongan wanita dewasa itu tampak mulai tenang dalam dekapan sang ibu.

Terbesit rasa iri dalam benak Zara. Seandainya mamanya adalah ibu rumah tangga yang benar-benar menyibukkan diri untuk mengurus keluarga seperti tante Firda, Zara tentunya akan sangat bersyukur.

"Ma, Kak Zara udah dateng, nih."

Tante Firda berbalik dan langsung menyunggingkan senyum saat melihat sosok Zara sedang berdiri di belakangnya. "Tante kira kamu pulang dulu, ganti baju terus baru ke sini."

"Aku harap tante nggak lupa kalau jarak sekolahku ke sini itu deket. Sekolah, apotek, koperasi, rumah tante," papar Zara sudah seperti Dora. "Mending langsung mampir. Lagian tante waktu telepon tadi kayak serius banget. Ada apa, sih?"

"Kamu makan siang dulu, ya, sama Arsa. Tante mau ke kamar dulu ngurus Kinzi."

Zara cukup mengangguk dengan segenap rasa penasaran yang masih menjejali pikirannya. Sementara tante Firda sudah berjalan masuk dengan santai.

Setelah makan siang Zara menunggu tantenya di ayunan yang ada di halaman sembari menikmati udara panas bercampur sepoi-sepoi angin. Jika area samping banyak ditanami aneka tanaman hias mulai dari anggrek hingga mawar, di pelataran depan Zara hanya bisa menemui rumput gajah yang menghampar layaknya permadani dengan pohon mangga yang tertancap kokoh di tengahnya.

"Kirain kamu udah pulang. Taunya nongkrong di sini." Tante Firda mengambil posisi duduk di bagian bangku ayunan yang kosong.

"Kalau ngobrol di dalem takutnya jadi berisik dan ganggu Kinzi yang udah tidur."

Tante Firda mengangguk. Lalu dengan penuh perhatian ia membelai rambut panjang Zara. Gadis itu sudah ia anggap seperti anak sendiri karena waktu kecil Zara sering dititipkan padanya. Hingga dewasa pun Zara sudah terbiasa merasa nyaman jika bersama tante, Zara selalu menceritakan banyak hal pada tante daripada mamanya sendiri. Maka tidak heran jika tante Firda memahami setiap keluh yang Zara adukan.

"Gini, tante sebenernya ada niat mau jualan jus di depan rumah. Biar ada kegiatan, kan bosan kalau di rumah diem terus nggak ada kerjaan. Selain nyuci, masak, sama bersih-bersih, loh, ya."

Zara mendengarkan dengan saksama. Tidak menyela sampai tante Firda kembali melanjutkan.

"Tapi kalau Kinzi masih kecil begitu kayaknya bakal repot. Sedangkan peralatan jualan udah siap semua. Jadi untuk sementara kamu dulu yang jualan. Nanti kalau Kinzi udah besar, tante ambil alih."

Zara melebarkan matanya. Bibirnya tidak mampu menanggapi apa pun seakan hilang kata. Tapi raut penuh permohonan yang tercetak di wajah tante Firda mendesak Zara agar cepat memberikan kepastian. Menerima tawaran tersebut atau menolak dan mengabaikannya.

"Kamu mau kan, Za? Ini bisa jadi cara biar kamu kelihatan lebih unggul dari Anin dan Nafis. Mbak Winda pasti tersentuh kalau kamu bisa belajar usaha di usia muda. Kamu nanti akan punya nilai plus yang beda dari kedua kakakmu."

Zara menggigit bibir. Ada keraguan juga keinginan kuat sedang beradu dalam batinnya. Gadis pekerja keras itu berpikir cepat dan akhirnya sisi bimbang yang sempat membelenggu rasa percaya dirinya bertekuk lutut. Zara mengangguk mantap, "Baik, ayo kita mulai pembuktian ini."

Tante Firda menggenggam jemari Zara. "Kamu pasti bisa. Nanti tante akan bantu ngomong ke mbak Winda biar kamu didukung."

Zara mengucapkan terima kasih. Timbul secercah harapan di hatinya. Memang jika ingin diperhatikan, ia harus melakukan aksi yang mampu memikat dan dapat menimbulkan kesan.

"Ngomong-ngomong itu siapa ya, Za? Dari penampilannya aja kayak anak badung. Kamu nanti harus semangat, jangan sampai frustrasi. Tante takut kamu jadi kayak dia. Melampiaskan kekesalan dengan jadi siswa nakal."

Zara mengikuti arah pandang tantenya. Terlihat siswa laki-laki dengan seragam tak rapi berjalan sendiri. "Itu Prama, Tan. Temen sekelas aku. Emang terkenal bad boy, sih. Tapi nggak suka gangguin cewek, kok."

"Jadi kamu nggak kenal deket sama dia?"

Zara mengedikkan bahu. "Sekarang sih nggak begitu akrab. Cuma saling tau nama aja. Tapi enggak tau nanti, mungkin aku bakal butuh bantuan dia."

"Hus! Kalau bisa jangan berurusan sama cowok nakal."

***

"Kamu dari mana aja? Sore gini baru pulang sekolah."

Zara melepas helm dan menghampiri mamanya yang baru saja selesai mandi. "Aku dari rumah tante, kita tadi bahas sesuatu. Jadi aku tuh mau jualan jus sepulang sekolah. Tante udah punya perlengkapannya, kok, Ma. Aku cuma modal beli bahan-bahan jusnya."

Mama Zara melipat tangannya di depan dada. "Kamu udah punya online shop, masih kurang?"

Zara menghela napas. Ditangkupkan tangannya demi memohon izin. "Aku mau cari pengalaman baru. Kalau aku sukses kan Mama sama Papa juga yang bangga."

"Mama pusing dengernya. Besok aja kita bahas lagi."

Pandangan Zara mendadak buram. Sekuat tenaga Zara menahan diri untuk tidak menjatuhkan bulir bening yang sudah menggantung di pelupuk mata. Harapan yang baru bersemi seketika padam dihempas kata-kata mama yang sama sekali tidak menunjukkan antusias.

"Mama mau diskusi sama tante dulu, Za. Besok kita bicarakan lagi."

Rongga dada Zara perlahan terasa ringan. Ternyata mamanya masih mempunyai sisi peduli. Jadilah sore hingga malam kian larut diisi Zara dengan rasa cemas akan keputusan mamanya. Gadis itu bolak-balik menghampiri kamar orang tuanya. Tapi hanya mampu berdiri di depan pintu kamar tanpa berani mengetuk.

Nafis yang melihat hal itu jadi mengurungkan niatnya untuk bertanya perihal video yang ia lihat tadi siang. Dalam hati ia mendoakan semoga Zara mendapat jawaban yang melegakan di esok hari.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro