Bab 13
Entah sudah keberapa kalinya Zara menengadahkan kepala ke langit. Mendung yang membawa hujan saat pulang sekolah tadi tetap menggelayut meski sudah berselang satu jam. Desiran hawa dingin yang membelai lengannya membuat Zara memutuskan untuk duduk lagi di kursi panjang belakang stan jusnya.
Berada di tengah-tengah Hana dan Prama cukup membuatnya merasa hangat. Hatinya yang meredup juga perlahan ia paksa untuk kembali bergelora. Hari pertama berjualan tidak mungkin jika langsung mendapat banyak pelanggan. Apalagi cuaca yang sedari pagi tampak cerah tiba-tiba saat menjelang siang berubah berawan gelap yang mana di waktu seperti itu makanan hangat lebih cocok untuk menemani waktu santai.
Zara melirik Prama di sebelah kirinya. Gadis itu mencoba mencari gurat penyesalan yang mungkin diam-diam Prama selipkan pada wajahnya. Mungkin saja dalam hati kecilnya cowok itu sedang merasa bosan karena terjebak dalam stan jus Zara yang sejak dibuka hanya dikunjungi oleh tawon madu yang mengerubungi cairan gula.
Tapi sejauh apa pun Zara melacak, di wajah berahang tegas itu hanya tampak raut kesabaran yang menenangkan. Zara sangat berterimakasih karena Prama sangat banyak membantu persiapan hari ini. Prama yang sekarang sangat berbeda dengan Prama saat istirahat pertama tadi yang ketahuan mengempiskan ban motor milik guru olahraga hingga membuatnya lagi-lagi mendapat hukuman.
Sementara Hana, teman paling setia yang ia miliki itu duduk di sebelah kanannya sembari mengikuti lagu yang terputar dari ponsel. Satu dua kali tampak samar sedang menggoyangkan badan pada musik-musik yang bertempo cepat. Sama-sama tidak lekas gusar seperti Prama, Hana juga menjadikan Zara lebih tenang lagi.
"Makasih ya, kalian mau nemenin gue di sini."
Prama mengibaskan tangan sedangkan Hana lantas menjatuhkan lengannya pada pundak Zara untuk memberi temannya itu sebuah rangkulan. Keduanya kompak menyuruh Zara agar tidak mellow seperti kehilangan asa.
Zara pun berinisiatif membuatkan kedua temannya jus sebagai hadiah atas kontribusi mereka.
"Mau rasa apa? Bebas pilih."
Hana memantau buah-buahan yang dipajang di lemari kaca kecil. "Boleh jus wortel dicampur apel?"
Zara mengangkat jempol tanda menyanggupi. Lalu perhatiannya beralih pada Prama yang masih belum menentukan pilihan. "Lama bener jawabnya. Lo milih jus aja kayak milih jodoh. Hati-hati banget mikirnya."
Prama mendecih. "Alpukat, deh. Tapi ... esnya dikit aja."
Zara terkekeh. Masih heran saja cowok sebandel Prama nyatanya tetap manusia biasa yang takut pilek. "Oi, Pram. Gue mau minta struk belanjaan kemarin, dong. Buat data pembukuan," celoteh Zara sembari mulai mengiris apel dan wortel.
Prama refleks melebarkan mata. "Struknya, emm ... gue taruh di saku jeans terus kena cuci," jawab Prama tapi terasa gamang dan ragu.
Zara mendesah kecewa. Tapi mau bagaimana lagi jika struknya sudah terlanjur lenyap. "Uang yang gue kasih lebih atau malah kurang?"
"Eh, itu, lebih. Sisa sepuluh ribu. Dari kemarin mau balikin ke elo gue lupa mulu."
Zara menolak pemberian Prama. Gadis itu memberikan Prama insentif untuk ganti ongkos bahan bakar motor yang digunakan saat belanja. Tapi Prama juga tidak mau menerima bonus tersebut.
"Pram, please."
Prama meletakkan kembali satu lembar alat pembayaran itu di meja stan. "Za, please." Cowok itu membeo.
"Gaes, please. Jus gue udah terlalu lama diputer." Hana merengek sembari menunjuk blender yang masih terus melumatkan buah.
Zara meringis. Gadis itu segera mematikan blender dan mengemas jus spesial untuk Hana yang menunggu dalam duduk manisnya.
***
H
ari semakin sore, dan Zara masih mendapat dua pembeli. Itu pun teman Arsa yang sedang belajar kelompok di rumah tante Firda. Tapi gadis itu memantapkan hati untuk tetap membuka stan sampai jam lima, sesuai kesepakatan awal bersama kedua temannya. Masih ada waktu sekitar satu jam lagi untuk benar-benar menutup lapak.
Sepi mereka habiskan dengan saling bercanda, membicarakan cita-cita, bahkan karena sudah kehabisan bahan obrolan Zara dan Hana niat mengingat-ingat kenakalan Prama selama satu semester kemarin.
"Lo berdua gosipin orang yang jelas-jelas ada di depan kalian. Nistain aja, terus."
Zara mencolek dagu Prama, bertingkah genit yang dibuat-buat untuk membujuk cowok itu supaya tidak menggerutu. Dengan pura-pura merajuk pula Prama menepis tangan Zara hingga membuat Hana tergelak.
Keramaian tiga anak manusia di pinggir jalan itu pun menarik perhatian serombongan kelas dua belas yang baru pulang sekolah karena masih harus les persiapan Ujian Nasional.
Murid-murid perempuan yang membawa buku tebal berisi kumpulan soal-soal menoleh, membaca banner yang terbentang di depan booth portable, saling berbisik kemudian memutuskan untuk mendatangi stan dan memesan jus sesuai selera masing-masing.
Memang betul jika menunggu yang diracik dengan kesabaran hasilnya akan senikmat ini. Zara sampai keluar keringat dingin karena diserbu lima kakak kelasnya. Dia gugup dan exited dalam satu waktu.
"Ini aman kalau ada dia di sini?"
"Apaan sih, lo. Nggak usah nyinyir, deh."
Kerutan di dahi Zara yang sedang mengupas mangga muncul satu persatu. Roman-romannya kakak kelasnya itu sedang membicarakan Prama yang sedang memecahkan es batu. Meski dengan berbisik, tidak membuat Zara kesulitan mendengar.
"Ya ... lo pada tau kalau dia biang ribut, kan? Bukannya dapet jus entar kita malah diisengin."
Hana mengelus pundak Zara. Berharap temannya itu tidak menghiraukan asumsi-asumsi yang dilontarkan pembeli.
"Za, esnya udah siap. Jadi gue mau pulang. Kayaknya lebih enak kalau gue nggak ada di sini."
Zara terperanjat saat Prama membisikkan kalimat itu ke telinganya. Ingin hati mencegah, tapi Prama terlanjur menyambar tas dan menaiki motor yang ia parkir di sebelah stan.
Hana kembali mengusap pundak Zara sebelum kembali membantu menyiapkan pesanan. Seolah usapan itu bermakna agar Zara tidak mengkhawatirkan Prama. Untuk sekarang, yang harus diutamakan adalah pembeli. Mereka harus mendapat kesan baik saat pertama kali datang. Prama pasti juga berpikiran serupa hingga Zara tidak perlu merasa tidak enak hati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro