Bab 12
"Kira-kira kalian bisa, nggak?"
Prama yang berdiri di samping Zara tampak berpikir sembari mengemili makanan ringan. Bunyi kriuk-kriuknya menjadi satu-satunya yang terdengar di kelas yang sudah sepi siang itu.
"Gue bisa kok, tapi tau tuh si Prama gimana. Emang dia nggak jagain ayahnya?'
Mata Zara melebar kaget karena ia melupakan ayah Prama yang sakit. Padahal baru kemarin sore ia menjenguknya. "Gue sama Hana aja deh, Pram. Lo bisa ke rumah sakit."
Prama lekas mengibaskan tangan. "Hari ini saudara Ibu gue dateng, jadi gue bisa bantuin lo. Tapi cuma sampai jam tiga, ya?"
"Beneran nggak papa?"
Prama menyandang tasnya. "Lagian ayah gue udah lumayan membaik. Makasih juga kemarin udah jengukin, sorry guenya pas keluar," katanya sambil turun dari meja yang diduduki. "Otewe, kuy!"
Hana menenteng tasnya lalu ikut berdiri. "Iya nih, lo kemarin ke mana? Padahal kita pulang sehabis magrib, loh. Lo nggak muncul-muncul."
Kata-kata Hana disetujui Zara. Sambil berjalan beriringan ke luar kelas, gadis itu juga mengutarakan pertanyaan yang membuat Prama berulang kali mengusap bagian belakang lehernya.
"Liat deh, Han. Nih bocah ngapa, ya? Kita tanyanya santai dia malah jadi gugup gitu?"
Hana menoleh pada Prama yang berjalan di samping Zara dengan alis terangkat dan membenarkan ucapan Zara. "Jangan bilang kemarin lo abis dari anu-anu?" Hana memberi tatapan menyelidik.
Prama hanya meladeni dengan helaan napas karena bingung harus menjawab apa. Ia tidak mungkin menceritakan semua kegiatannya pada kedua gadis yang baru saja menjadi teman akrabnya itu. Apa yang dilakukannya kemarin cukup menjadi rahasia yang ia simpan sendiri.
"Ya gini kalau temenan sama cewek. Kita sering bawel, tapi karena kita perhatian. Takut aja lo bakal ngelakuin hal aneh di saat orang tua lo sakit," terang Zara pada Prama yang terdiam. Hana juga mendukung ucapan Zara dengan mengangkat jempolnya, makin membuat Prama merasa tidak enak hati.
***
"Sini ikut ke dalam bentar."
Zara mengerutkan dahi saat tantenya berbisik dan mendesaknya untuk segera masuk.
Hari ini mereka memang berkumpul untuk mempersiapkan jualan. Pertama ketiganya ke rumah tante Firda untuk mengecek booth portable, dan belajar menggunakan cup sealer.
"Kenapa tante bisik-bisik gitu?" tanya Zara saat ia sudah berada di ruang tamu. "Aku kan jadi nggak enak sama temen-temen," imbuhnya seraya melirik Hana dan Prama yang sedang belajar merangkai booth portable yang memang bisa dibongkar pasang.
"Itu cowok yang kapan hari tante bilang berandalan, kan? Ngapain kamu ajak dia ke sini?"
Zara langsung paham siapa yang dimaksud tantenya. "Dia juga bantuin aku nyiapin semuanya kayak Hana," jelas Zara lalu cepat-cepat membuka ponsel dan mencari brosur hasil buatan Prama. "Ini dia yang bikin, loh, Tan. Bagus banget, kan? Coba kalau nggak ada Prama, aku sama Hana nggak mungkin bisa desain sekeren ini."
Tante Firda mengamati setiap detail brosur tersebut. Dari warna cerahnya yang sesuai dengan definisi menyegarkan dari jus, juga tentang peletakan gambar aneka buah yang pas hingga tampilannya tidak terkesan ramai.
"Prama nggak seburuk seperti yang tante bayangin, kok."
Tante Firda mengangsurkan kembali ponsel keponakannya. "Tapi, kayak ada yang ngganjal gitu di hati tante. Firasat ibu nggak pernah meleset, loh, Za."
Zara mengusap lengan tantenya penuh pengertian. "Insha Allah, semua berjalan lancar. Tante bantu doa, ya, biar selama aku jualan nanti nggak ada halangan."
"Ya udah, tante percaya dan pasti selalu dukung. Kamu nggak usah khawatir. Udah sana ke depan lagi. Tante buatin es sirup, ya?"
"Nggak usah, tante. Habis ini aku langsung lanjut belanja buah. Soalnya Prama nggak bisa lama-lama. Ayahnya lagi sakit."
Mengangguk mengerti, tante Firda ikut Zara menemui Hana dan Prama.
"Kita udah bisa. Gampang kok, Za." Hana langsung memberi laporan.
Zara menatap puas hasil kerja tim suksesnya itu. "Jadi besok kita nggak bakal kebingungan, kan?"
Hana menyatukan jari telunjuk dan jempolnya hingga membentuk lambang oke. Prama di sebelah gadis berambut sebahu itu hanya mengangguk kecil, seolah merasakan atmosfer yang masih kurang bersahabat dari tante Firda.
"Ya udah kalau gitu kita bongkar lagi, simpen di tempat semula, jadi bisa lanjut belanja." Zara mengawali acara beres-beres itu.
"Kayaknya gue bakal jadi model buat promosi jus, nih."
Semua orang seketika menoleh pada Arsa yang tampaknya baru pulang bermain di rumah temannya.
"Tiap hari minum jus gratis," cetus Arsa tanpa segan yang langsung membuatnya mendapat jeweran dari tante Firda.
Zara juga memberi sepupunya itu hadiah berupa jitakan. "Elo gue kasih gratisan es batu. Mau?"
***
Zara mempersilakan teman-temannya masuk melalui pintu samping supaya bisa langsung mengarah ke dapur. Sesampainya di ruang masak, Prama langsung duduk berselonjor di lantai sambil mengelap peluh di lehernya. Belanja buah di saat Jakarta sedang panas-panasnya membuatnya kehilangan banyak energi.
"Duduk di atas, dong. Elo mah sukanya malah ngemper, gitu."
Prama tidak menyetujui saran Hana. Lebih enak di lantai karena bisa menyerap rasa sejuk dari keramiknya.
"Di kulkas ada es Kiko. Ambil aja, gaes. Lumayan buat nyegerin tenggorokan," tawar Zara sembari mengecek buah-buahan yang tadi mereka beli.
Hana pun membuka lemari pendingin yang sebelumnya Prama gunakan sebagai sandaran. "Lo yang rasa apa, Pram?"
"Gue air biasa aja."
Hana mengambilkan botol berukuran sedang yang berisi air dingin. "Nih."
Prama menggeleng. "Yang biasa aja. Bukan dari kulkas," katanya mengulang penjelasan.
Zara akhirnya memeriksa persediaan air matang di dalam panci. Untuk masih ada setengah yang belum dimasukkan ke dalam lemari pendingin. "Ambil sendiri nih, masih ada yang nggak dingin. Lo takut pilek, ya?" tanya Zara ingin bercanda.
"Iya."
Hana tertawa kecil. "Serius kali, Pram."
Prama mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Gue pernah flu dan sembuhnya lama. Telinga gue sakit karena selain efek dari flu juga ada infeksi kecil gitu. Makanya gue kalau ada minuman dingin masih trauma aja," jelasnya lalu meneguk segelas air.
Zara mematung di tempatnya berdiri. Entah merasa tersanjung atau hanya heran saja. Jika pada minuman dingin saja Prama enggan mendekati, tapi kenapa ia mau membantu Zara yang pastinya akan membuat dirinya berdekatan terus dengan jus yang absolutly dicampuri es batu.
"Za, kita praktik buat jus apa dulu?"
Pertanyaan Hana membawa Zara kembali dari lamunannya. "Emm ... jus apel aja. Mama gue suka. Karena mama pas lagi libur kerja, jadi nanti biar dikomentarin."
"Boleh tuh ide lo. Tapi sekarang gue jadi tim hore aja, deh."
Zara dan Hana kompak menyoraki Prama. Tapi keduanya juga tidak melayangkan protes. Mereka membiarkan Prama duduk diam memperhatikan proses pembuatan jus.
Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya mereka bertiga menemukan resep yang pas untuk membuat satu gelas jus yang nikmat.
Gula pasirnya lebih enak dicairkan lebih dahulu. Jadi untuk satu porsi ukuran gulanya sebanyak satu irus penuh. Jangan lupa menambahkan susu dan blender hingga setengah halus. Lalu beri es batu yang sudah dipecah kecil-kecil dan lanjut blender hingga semua hancur lembut.
"Itu mama lo kebetulan ke sini, Za," kata Hana lirih.
Zara yang sedang merapikan peralatan mendongak lalu memanggil mamanya supaya mendekat. "Cobain jus yang kita buat, Ma."
Tanpa banyak komentar mama Zara meneguk jus apel yang dihidangkan untuknya. "Kurang manis."
"Tapi menurut kita udah pas, kok."
Mama menatap Zara yang menyanggah komentarnya. "Selera orang kan beda-beda."
"Kita bertiga udah sepakat ini resep yang paling pas. Kalau terlalu manis nanti jadinya nggak seger lagi. Namanya juga jus buah, jadi rasa buahnya harus tetep kuat."
Mama Zara mendorong gelas berisi jus itu menjauh dari hadapannya. "Ya udah ini mama nggak mau habisin. Soalnya nggak sesuai sama selera mama."
Dengkusan kesal lolos dari bibir Zara. Gadis itu meraih gelas tersebut dan seketika membuang jus yang ada di dalamnya ke wastafel. Tapi naas, karena terbawa emosi gelasnya jatuh saat akan diletakkan kembali ke meja.
"Nah, itu akibat kalau nggak mau dikasih kritik. Gimana mau maju, dikasih masukkan malah tersinggung. Mama udah ngira dari awal kalau kamu emang nggak siap untuk jadi penjual jus."
Zara mencekau punggiran meja dapur dengan hati nelangsa. Haruskah mamanya meluapkan amarah di depan teman-temannya? Kini Zara merasa malu karena secara tidak langsung pasti Hana dan Prama menangkap ketidakharmonisan antara ia dan sang mama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro