Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10

Prama refleks berhenti saat mendengar bunyi tumbukan suatu benda yang sepertinya disebabkan oleh terjangan kakinya. Dari menunduk menatap layar ponselnya, kini Prama mencoba menatap area selasar sekolah yang mana hanya terdapat dirinya dan beberapa siswa yang suka berangkat siang.

Benar saja, di dekat salah satu pilar terdapat sebuah mobil jeep remot kontrol tergeletak mengenaskan dengan posisi terbalik. Kamera Gopro Hero 4 warna hitam yang tadinya diletakkan di atas mobil mainan tersebut juga terpental tak jauh dari pilar.

Prama menatap kakinya yang dibalut sepatu sneakers Varka kasual sambil mengerutkan kening. Bagaimana ia bisa mengerahkan tenaga sekuat itu tanpa sadar?

"Tolong bawain ke sini, dong, mobil sama kamera gue."

Prama menoleh pada siswa yang berdiri tidak jauh darinya. Sudah untung ia tidak dimarahi dan cuma diminta tolong mengambilkan barang yang sudah ditendangnya itu. Tapi memang dasar Prama tidak tahu diri, anak itu justru melengos dan pergi begitu saja. Toh mobil dan kameranya tidak mengalami kerusakan. Perkara selesai.

"Gue ngomong sama lo, Bro."

Prama menoleh dan mengangguk. "Iya, ngerti. Gue nggak tuli."

"Terus kenapa lo main nyelonong aja, Njir? Ambilin, lah! Lo yang depak mobil sama kamera gue. Seenggaknya minta maaf, kali."

Prama menyisir rambutnya dengan jemari lengkap beserta gaya sengaknya. "Ngambil sendiri lo bisa, kan? Manja banget, heran gue."

"Wah, gini nih kalau gagang sapu dikasih nyawa. Bikin emosi aja, lo!"

Prama menatap siswa laki-laki yang jika dilihat dari badge di lengan seragam bagian kanannya adalah kelas dua itu tanpa kedip. "Makanya kalau ke sekolah nggak usah bawa mainan," kata Prama malah menggurui.

"Lo tuh udah jalannya meleng, nggak punya sopan santun juga, lagi."

Yang namanya Abian Adi Pramana memang sudah kebal omelan. Cowok itu hanya mendecih dan sama sekali tidak mempunyai inisiatif untuk memperbaiki kata-katanya yang sudah menaikkan pitam. Tapi saat ditatapnya sekali lagi siswa pemilik mobil mainan itu, sepertinya Prama tidak asing dengan wajahnya. Apalagi lesung pipit yang timbul tenggelam tiap kali dia bicara makin membuat Prama yakin kalau matanya tidak salah mengenali. Dia itu .....

Cekrik!

Prama berpaling ke sumber suara khas kamera itu. "Ngapain lo ngambil foto gue, hah?"

Siswi yang membidik adegan adu mulut Prama itu terkesiap lantas berlari menyelamatkan diri.

***

"Pagi-pagi udah ribut aja, nih." Sella menunjukkan sebuah story WA yang diunggah oleh kenalannya dari kelas sebelah pada Zara yang sibuk menyalin jawaban PR biologi milik Hana.

"Apa sih, Sel? Lo nggak liat gue lagi berjuang demi nilai rapor?" Zara menanggapi sembari masih menulis dengan kecepatan luar biasa.

"Tinggal copy-paste doang lo sebut berjuang? Berjuang, nenek lo koprol?" Hana mencibir sambil melayangkan kepalan tangan ke pipi kiri Zara. Dengan gerakan pelan, tentu saja.

"Nenek gue udah beristirahat dengan tenang ngapa lo bawa-bawa?" sahut Zara yang membuat Hana spontan menutup mulutnya.

"Ck! Liat dulu, kali. Temen lu nih." Sella kembali mengacungkan ponselnya ke depan Zara.

Zara melirik malas-malasan pada status WhatsApp tersebut. Zaman sekarang apa-apa diunggah di media sosial. Mending juga dia, update statusnya lebih sering promo baju-baju jualannya.

"Eh ... ini kan Prama. Lah, ngapain coba dia debat sama Kak Juan?" pekik Zara kini menjadi antusias menanggapi foto dua orang cowok di ponsel itu.

Sella mengedikkan bahu lalu kembali ke tempat duduknya. Ia tidak mau tahu lebih banyak tentang akar permasalahannya. Tapi lain lagi dengan Zara, gadis itu tampak mengambil sesuatu dari laci mejanya dan melesat begitu saja ke luar kelas. Mengabaikan panggilan Hana, melupakan PR biologinya yang belum selesai.

***

Zara melihat seorang guru menyuruh Prama dan Juan untuk segera menyelesaikan perdebatan mereka. Zara lantas mempercepat langkah saat Juan akan pergi setelah memberi Prama pelototan keki. Gadis itu harus menghentikan Juan untuk menyerahkan laptop yang berhasil Prama temukan.

Setelah menuruti kata Prama untuk memeriksa laptop, Zara bisa mengetahui bahwa benda itu memang milik Juan bahkan sebelum ia menghidupkannya. Karena di cover laptop tersebut terdapat stiker huruf yang dirangkai sedemikian rupa hingga membentuk nama Jurnal Juan yang mungkin luput dari pemeriksaan Prama saat pertama kali menemukannya. Zara yakin Juan adalah pemilik aslinya karena nama tersebut juga digunakan Juan sebagai label channel Youtube-nya.

"Kak!"

Prama melengos dan melipat tangan karena ia mengira datangnya Zara untuk menyapanya, tapi ternyata perkiraannya salah. Zara yang hari ini rambutnya dikucir kuda itu malah memanggil cowok yang ia harapkan segera pergi dari situ.

"Ngapain lo manggil si kunyuk itu?"

Zara menepis telunjuk Prama yang mengarah pada Juan. "Lo tau nggak, sih?"

"Nggak!"

"Dengerin dulu, ih! Laptop kemarin tuh punya Kak Juan," jelas Zara seraya melambaikan tangan pada kakak kelasnya itu. "Sini bentar, Kak."

Seorang guru yang masih berada di tengah-tengah mereka serta-merta memperhatikan laptop yang ada di genggaman Zara. Sama seperti Prama, guru tersebut juga menatap tak percaya pada Zara yang memasang mimik serius.

"Kenapa? Urusan gue sama cowok lo udah selesai." Juan yang baru kembali mendekat itu tahu-tahu dengan mulut tipisnya berkomentar yang membuat Zara maupun Prama saling lirik lalu dengan kompak menggeser jarak berdiri mereka.

"Benar itu laptopnya Juan?"

Zara lekas mengangguk dan bersyukur karena Pak Nasikin segera mengalihkan pembicaraan. "Kak, ini kemarin Prama nemuin laptopnya di bangunan kantin lama."

Juan mengelus-elus benda kesayangannya itu. Mungkin bila dalam keadaan sendirian ia akan mencium laptop itu jika perlu. "Padahal gue udah mulai belajar ngikhlasin. Tapi ternyata masih rezeki jadi bisa balik lagi," ucapnya masih dengan wajah semringah. "Tapi, bentar. Lo bilang Prama yang nemuin? Maksud lo gagang sapu ini?" Juan menilik penampilan Prama dari ujung rambut sampai sepatu. Seolah sedang mencari sisi kepedulian yang tersemat entah di bagian mananya.

"Bilang makasih, dong, Kak." Zara menyarankan.

"Lo nggak usah natap gue sampai segitunya, kali." Prama mengibaskan tangan di depan wajah Juan yang masih melongo. "Untung gue mau balikin. Biasanya kalau di rumah, laptop kayak gini tuh gue jadiin alas standar motor biar lantainya nggak baret."

"Sa ae lu, lengkuas rendang." Zara melempar tatapan gemas pada Prama. Gemas ingin menempeleng.

"Prama sama Juan ikut saya ke ruang guru. Saya mau tahu lebih rinci bagaimana laptop ini bisa ditemukan." Pak Nasikin lagi-lagi mengalihkan percakapan. Kemudian beliau tanpa menunggu lama lagi langsung memimpin menuju ruangan yang dimaksud.

"Jangan buat ulah, loh, Pram. Jaga sikap," pesan Zara yang tentu saja mendapat balasan anggukan Prama yang asal-asalan.

Sekarang selasar benar-benar sepi. Zara harus segera kembali ke kelasnya karena bel masuk sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Tapi ia tiba-tiba dikagetkan dengan kehadiran Pak Hartadi yang entah sejak kapan ada tidak jauh di belakangnya sedang mengepel lantai yang sejatinya sudah bersih.

Apa petugas kebersihan selalu gini, ya? Nyapu lagi, ngepel lagi. Bersih-bersih terus sepanjang hari.

"Pak, gimana nih saya mau lewat? Nanti lantainya kotor gara-gara jejak sepatu saya."

Pak Hartadi tersenyum. "Nggak papa. Lewat aja, Mbak."

Zara berdiri kikuk. Sungkan juga bila harus membuat Pak Hartadi mengepel dua kali, atau mungkin untuk yang ketiga kali jika ia melewati lantai basah itu. Tapi Zara harus melaluinya untuk menuju tangga ke lantai dua, kelasnya. Jika tidak ia bisa ditegur guri karena telat mengikuti pelajaran.

"Emm ... ya udah, deh. Permisi, Pak."

"Bentar, Mbak. Mau tanya sesuatu."

Zara yakin sekarang wajahnya sedang menatap Pak Hartadi dengan tidak sabar. "Tanya apa?"

"Temennya tadi bener yang nemuin laptopnya?"

Zara mengangkat kedua ibu jari tangannya. "Keren kan, Pak? Temen saya tuh kalau lagi kumat baiknya ya gitu, dia jujur mau balikin ke pemiliknya."

Pak Hartadi mengangguk sembari mencoba menarik kedua ujung bibirnya agar membentuk sebuah senyuman. "Bener, Mbak. Orang yang mau jujur di zaman sekarang ini langka. Saya salut sama temennya Mbak Zara."

Tidak menanggapi komentar Pak Hartadi, Zara justru termenung dengan pandangan fokus pada tangan petugas kebersihan tersebut yang sedang mencengkeram alat pel. Zara memang bukan psikolog atau pakar bahasa tubuh, tapi ia yakin bahwa apa yang baru saja dibicarakan Pak Hartadi bertentangan dengan apa yang sebenarnya ada di hati laki-laki dewasa itu.

Karena sama sepertinya saat kemarin mencengkeram erat tali tas untuk menahan kekesalannya pada Aldi, gestur tubuh Pak Hartadi juga demikian. Apa semua orang selalu merasa Prama nggak pantas untuk dipuji?

***

Terima kasih untuk yang mau mampir baca, vote, dan komentar. Ini jadi tanggung jawab aku untuk mengusahakan jangan sampai utang karena ada pembaca yang setia ngikutin cerita ini. 😘

Maaf kalau misal ada typo atau bahasa yang aku tulis belum bisa pakai diksi-diksi yang indah, hehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro