Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Di

Happy reading~

.
.
.

Agenda sore ini: nongkrong di cafe Isan.

Serius, deh. Kayaknya aku harus buat proposal persetujuan hal-hal yang paling tidak aku sukai pada teman-temanku.

Aku tidak suka acara yang mendadak. Ketika jam enam sore mereka menerorku dengan panggilan vidio saat aku sedang baca buku.

Yang benar saja. Ada beberapa buku yang sudah kutunda untuk dibaca saat liburan. Aku juga berencana hari ini tidak akan kemana-mana. Ajakan Mama untuk menemaninya belanja make up pun kutolak.

Teleponku tidak berhenti bergetar di nakas. Karena risih, aku putuskan untuk mengangkatnya. Layar handphoneku langsung menampilkan enam panel dari masing-masing temanku.

“Line, nongkrong, yuk.”

Sebelum aku sempat merutuk, suara Mira sudah menyapa lebih dulu. Kenapa harus repot-repot berkumpul jika kita bisa mengobrol dengan panggilan vidio begini?

“Skip, dulu deh. Gue lagi baca buku.”

“Aneh lo, liburan gini masih belajar aja. Tahun ajaran baru juga masih lama kali.” Anggi menyahut. Aku bisa melihat dirinya tengah sibuk mengoleskan—jika aku tidak salah—lipbalm.

“Bukan gitu. Emang agendanya gue hari ini nggak mau kemana-mana.”

Tiba-tiba suara serak dan dalam turut andil dalam pembicaraan, “Isan mau launching menu baru di cafenya. Kita disuruh nyicip,” kata Zian.

Bisa kulihat rambutnya yang acak-acakan, matanya bengkak dan tolong ... bukankah sebaiknya dia cuci muka dan minum air dulu setelah bangun tidur. Lagipula tidur sore hari apa tidak pening?

“Gratis nih, Line. Setelah launching lo harus bayar soalnya,” Isan berbicara dari seberang masih dengan apron cokelat kebanggaannya, “nanti jatah lo dihabisin Abas.”

“Iya, Abas mana? Kok nggak ada?” tanya Mira.

“Lagi basket dia. Jam 6.30 baru balik katanya.”

Aku memutar otak, berusaha mencari alasan agar aku tidak datang. Sebenarnya aku juga ingin mencicipi, tetapi malas sekali untuk beranjak dari kursi bacaku.

“Gue nggak ada kendaraan,” sambarku cepat.

“Abas yang jemput sekalian dia pulang. Udah gue kabarin.”

Ah, sial. Aku melupakan Zian yang cepat tanggap.

“Deal, ya. Deal. Celine lo udah nggak ada alasan lagi. See you di cafe Isan, ya.”

Setelah Anggi mengatakan demikian, mereka serempak mematikan sambungan telepon.

Jadilah aku di sini sibuk bersolek memantaskan pakaianku. Sibuk menimang antara Cardigan rajut atau kemeja?

Sebenarnya aku lebih suka berpakaian dengan kemeja. Selain terlihat lebih rapi, ya, karena setengah baju pergi yang kupunya adalah kemeja. Tetapi hari sudah hampir malam, jadi cardigan saja untuk dipadukan dengan short jins.

Aku memperhatikan diriku sekali lagi di cermin. Cardigannya tampak sedikit kebesaran. Padahal tahun lalu pas di badanku. Ah, mungkin aku sedikit kehilangan berat badan.

Sayup-sayup terdengar deru motor Abas. Abas adalah pecinta motor besar yang suaranya super berisik. Aku bahkan bisa mendengarnya dari radius seratus meter. Jangan lupakan kebiasaan jeleknya yang suka menarik gas secara tiba-tiba membuat motornya mengeluarkan tenaga lebih untuk menambah kecepatan dan itu terasa menyebalkan untukku yang senang keheningan.

“CELINE MAIN YUK.”

Si bego.

Aku bergegas keluar kamar. Urat maluku ini tidak setebal Abas, dan berteman dengannya membuat uratku putus berkali-kali. Entah ini yang keberapa, aku tidak dapat menghitungnya lagi.

Sebelum pintu tertutup, aku memeriksa kamarku jika semua sudah rapi tersusun. Aku tidak suka meninggalkan barang-barang yang berserakan.

Saat menginjak anak tangga terakhir aku mendapati Mama duduk di ruang tv dengan majalah bisnis yang tidak aku pahami. Yah, Abas masih di depan. Mama sudah terbiasa dengan kelakuannya makanya abai, tidak repot-repot menyuruhnya masuk.

Yang ada aku malu sama tetangga komplekku.

“Mau kemana, Mey?” tanya Mama.

“Ke cafenya Isan. Dia mau launching menu baru.”

“Pantesan si Udin semangat banget.”

“Udin?” kataku terheran.

Mama menyeruput tehnya sebelum kembali berbicara, “temanmu yang di depan.”

“Abas, Mama. Bukan Udin. Heran deh udah setahun masih lupa aja.”

“Habisnya, dia nggak pernah masuk kalau jemput kamu. Tidak patut Mama ingat namanya.”

Aku terkekeh kemudian mengecup pipi Mama. “Aku berangkat, ya.”

“Jangan terlalu malam. Ngeri.”

Abas duduk di motornya sambil mengetuk-ngetukkan helm menyuarakan irama acak. Ia masih mengenakan jersey basket dengan nomor punggung 23, tas slempangnya juga masih ia kenakan.

Zian rupanya serius mengatakan jika Abas akan menjemputnya langsung setelah pulang berlatih basket.

“Rapi amat, Line. Mau kondangan?”

Aku memukul lengannya yang tidak terlapis pakaian, aku dapat merasakan tubuhnya yang lengket.

“Lo nggak mandi dulu?”

“Buat apa?”

Entah, ya. Rasanya apapun yang Abas lakukan terasa ganjil untukku dan aku selalu siap untuk meluapkan emosi pada anak ini.

“Jorok!”

***

Aku dan Abas diarahkan ke lantai tiga setelah menyapa Isan di meja kasir. Dia meminta untuk menunggu sebentar sebab menunya harus ia persiapkan lebih dulu. Aku bisa melihat Anggi dan Zian duduk di sudut yang bersebelahan langsung dengan pagar pembatas.

Lantai tiga cafe ini memang sengaja dibuat tanpa atap, mengusung tema industrial. Gantinya, diberikan lampu-lampu gantung. Maksimum sejuk, aku sesekali khawatir akan lampu-lampu itu saya angin sedang kencang atau badai. Tapi Isan bilang tim dekorasi mereka sudah memperhitungkan bahan serta resiko.

Sederhana tapi manis, dan lantai tiga selalu jadi tempat favorit kamu kalau ada agenda nongkrong di sini.

Isan datang disusul dengan dua barista lain membawa pesanan serta menu yang akan kamu cicipi.

“Sory, ya. Menunya bukan varian baru. Tapi resepnya gue yang modifikasi. Ya, walau nggak banyak, lah.” Kata Isan.

Chocco lava seukuran cup kecil tertata rapi di piring saji. Aku sering melihatnya di internet, food influencer sudah banyak mengulas tentang makanan ini.

Namun Isan membuatnya tampak berbeda. Ia menggunakan eskrim sebagai toping. Meskipun aku bukan pecinta makanan manis, cake dihadapan ku tampak begitu menggiurkan.

“Ide bagus, sih. Coklat bukan makanan asing buat orang-orang kita.” Zian mengambil potongan kecil dari choco lava miliknya. “Enak, San.”

Aku turut mencicipi. Saat aku memotongnya dengan garpu, coklat di dalam meleleh keluar. *So satisfy.*

Saat potongan itu menyentuh lidahku aku sedikit mengernyit. Jujur saja, ini terlalu manis untukku. Aku menahannya terlalu lama dalam mulut untuk membiasakan lidahku dengan rasa manis. Rupanya tingkahku disadari Zian.

“Oh, iya. Celine nggak suka manis.”

“Anjing, gue lupa! Line, tunggu gue ambilin air dulu.”

Aku sontak menahan lengan Isan yang hendak beranjak. Apa semua orang terjangkit virus lebay seperti Mama akhir-akhir ini? Tentu aku tidak bisa membiarkan Isan merasa kecewa hanya karena reaksiku yang berlebihan.

Aku menelan potongan itu kemudian menyeruput americano penasananku. “Nggak usah. Ini enak, San. Serius.”

“Nggak usah dihabisin kalo gitu.” Isa masih menatapku, kedua alisnya turun. Ia pasti meras tidak enak.

“Masih ada Abas yang siap nampung jatah lo. Sekalian piringnya juga bisa dia habisin,” celetuk Anggi.

“Bro! Kacau nih udah makan duluan aja.”

Kami semua menoleh ke arah suara. Abelino datang sambil menggendong tas gitarnya bersama dengan Mira.

Astaga, aku terlalu asik sendiri sampai melupakan jika temanku kurang dua.

“Lo lama banget, anjir.”

Mira duduk di sebelah Anggi. “Tuh si Lino lama banget jemputnya.”

“Ya, sory. Anak-anak band gue brefing dulu buat acara manggung besok.” Lino menyisir rambutnya yang sedikit gondrong kemudian mengikatnya dengan karet hitam di tangannya.

Jika masuk sekolah, kupastikan rambutnya dibuat pitak oleh pak Heru, guru bidang kesiswaan.

“Line, gue tadi ketemu Abang lo di cafe tempat gue manggung. Gue lihat-lihat ceweknya beda sama yang kemarin” Lino melanjutkan perkataannya.

Aku akan benar-benar mengetik proposal Hal-Hal Paling Tidak Kusukai sepulang dari sini dan ditandatangani mereka semua.

Bukan urusanku jika Abang jalan sama cewek baru lagi. Lino mengatakan itu seperti aku benar-benar akan peduli dengan nasib Abang.

Ah, Sialan.

.
.
.

To Be Continued~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro