third note
Di menit-menit awal perjalanan pulang mereka dari kantor polisi, keheningan merayapi mobil yang dikendarai Karina bersama Waverly.
Kesunyian itu mengejutkan Karina. Dia kira, adik perempuannya bakal menghujaninya dengan rentetan pertanyaan soal jaket Narendra yang kini berada di apartemennya. Semula, dia pun mengira kalau jaket itu milik Jason. Seandainya saja dia tahu kalau jaket itu punya Narendra, dia pasti tidak akan menyinggungnya di depan Waverly.
Sebenarnya, hubungan mereka berdua tidak selalu buruk. Pernah ada masa-masa di mana Waverly memperlakukannya selayaknya kebanyakan adik perempuan memperlakukan kakak perempuannya. Semasa mereka masih bocah hingga remaja, sebagian besar pertengkaran mereka hanya cekcok sepele yang sanggup didamaikan dengan menautkan kelingking atau memberikan sebungkus permen.
Kemudian, mereka mendewasa dan meniti jalan masing-masing. Karina dikirim kuliah ke kampus di negara yang berbeda dengan Waverly. Besarnya jarak yang membentang dan perbedaan zona waktu membuat mereka jarang berkomunikasi. Tanpa Karina sadari, tahu-tahu hubungan mereka yang sedekat nadi jadi sejauh matahari.
Karina cukup mengenal karakter Waverly untuk memahami bahwa adik perempuannya itu tak akan mampu membenci seseorang sedalam dia mencintainya.
Terutama kalau seseorang yang dimaksud adalah Narendra Narasena.
"Gue benar-benar nggak tahu kalau jaket yang gue pinjam malam itu jaket Narendra," kata Karina tanpa melepaskan pandangannya dari jalanan di depannya. "Gue bahkan nggak ingat apa-apa. Gue tahu kalau yang antar gue pulang itu Jason pun karena dia ninggalin kartu namanya di meja resepsionis lobi. Jadi—"
"Kalau gitu, mungkin lain kali bagusnya lo jangan minum sampai drunk ketika lo nongkrong di bar sendirian," Waverly mendengus. "Gue capek. Gue lagi nggak mau ngomongin apapun, termasuk soal Narendra."
"Cuma sekadar ngasih tahu, daripada lo salah paham—"
"Gue. Sepenuhnya. Paham."
Karina terlalu lelah untuk berdebat, jadi dia cuma mengangkat bahu dan kembali fokus menyetir.
Waverly tinggal di kompleks apartemen yang berbeda dengan kompleks apartemennya—walau boleh dibilang, kompleks apartemen mereka masih berada di satu kawasan yang sama.
Begitu Karina menghentikan mobilnya di depan lobi, Waverly cepat-cepat melepas sabuk pengaman. Gadis itu turun dan melangkah menuju pintu lobi tanpa mengatakan apa-apa. Karina membuang napas, sengaja menunggu hingga Waverly benar-benar masuk. Barulah setelahnnya, dia tancap gas dari sana, bergegas pulang ke apartemennya sendiri.
Karina baru saja tiba di apartemennya sewaktu ponselnya lagi-lagi berdering. Ada telepon masuk lainnya dari Tavella.
"Halo, Mi?"
"Kamu sudah jemput Waverly, Kay?"
"Udah."
"Gimana kelanjutannya? Orang yang dia tabrak baik-baik aja? Kerusakan mobilnya seberapa parah? Apa kita perlu nyiapin lawyer? Just in case orang yang Waverly tabrak nggak mau berdamai—"
"Aku jawab satu-satu ya, Mi," Karina menghela napas lelah. "Pertama, mobil Wave dan mobil orang yang dia tabrak dari belakang rusak. Nggak parah, tapi yang jelas mobil-mobil itu harus masuk bengkel. Jadi untuk sementara waktu, mobil Wave nggak akan bisa dipakai. Kedua, orang yang ditabrak baik-baik aja. Nggak tergores sama sekali. Dan nggak, kita nggak perlu nyiapin lawyer. Kecil kemungkinan orang yang Wave tabrak bakal menuntut atau minta uang lebih untuk ganti-rugi."
"Siapa sebenarnya orang yang ditabrak Waverly ini?" Tavella bertanya curiga.
"Narendra Narasena."
"Narendra—wait—Narendra yang itu?"
Sejujurnya, Karina tidak terlalu paham akan apa yang dimaksud ibunya dengan 'Narendra yang itu', tapi dia mengiyakan saja. "Iya, Narendra yang itu."
"Aduh," Tavella mengeluh. "Mami jadi curiga Waverly sengaja nabrak mobilnya."
Memang sengaja sih kayaknya.
"Waverly nggak sesinting itu, Mi."
"Kamu tuh kayak nggak kenal Waverly aja!" Tavella berdecak. "Sekarang kamu di mana?"
"Di tempatku."
"Bukan di tempat Waverly?"
"Dari ekspresi wajahnya, kurasa dia bakal lebih senang kalau aku tinggalin dia sendiri."
"Tapi—"
"Aku capek, Mi." Karina menguap. "Call you later, okay?"
"Okay. Thanks ya, Kay."
"Mm-hm."
Karina melangkah memasuki kamarnya, lalu menghempaskan tubuh ke atas ranjang.
Ini bukan pertama kalinya Waverly mesti dijemput di kantor polisi. Gadis itu sudah mengukuhkan posisinya sebagai anak perempuan Keluarga Setiadi yang paling sering bikin gara-gara sejak masih SMA. Karina tahu, Waverly sengaja berbuat onar demi mencari perhatian ayah mereka. Namun, ayah mereka tidak pernah sekalipun tergerak datang sendiri untuk menjemput Waverly dari kantor polisi. Sadar kalau upayanya sia-sia belaka, akhirnya Waverly capek sendiri.
Keluarga mereka memang jauh dari kata normal.
Lewat cerita Tavella, Karina tahu bahwa nyaris tidak pernah ada cinta dalam rumah tangga kedua orang tuanya. Mereka dijodohkan, dan menikah demi melindungi aset. Setelah kelahiran dua anak perempuan, terjadi perbedaan pendapat antara kedua orang tua Karina. Ayahnya masih ingin punya anak laki-laki, sedangkan ibunya menolak hamil dan melahirkan untuk ketiga kalinya. Jalan tengah diambil. Ayahnya menikahi perempuan lain. Sayangnya, istri keduanya lagi-lagi memberinya anak perempuan. Setelah anak keempat yang terlahir dari istri ketiganya tetap perempuan, akhirnya ayahnya menyerah dan berhenti berusaha memiliki anak laki-laki.
Hidup dalam keluarga penuh perempuan ambisius yang lihai bermulut manis di depan namun siap menyikut atau menusuk di belakang tak hanya sulit, tapi juga melelahkan. Dan sikap ayah mereka yang tidak pernah benar-benar hadir sebagai figur bapak yang ideal memperparah situasinya.
Ah ya, gue harus balikkin jaketnya.
Sadar kalau dia tidak bisa mengembalikan jaketnya secara langsung ke Narendra tanpa bikin Waverly cemburu, Karina memutuskan nekat menghubungi Jason melalui nomor pada kartu nama yang ditinggalkan laki-laki itu di meja resepsionis lobi.
Terpaksa. Kalau Karina punya pilihan lain yang tidak mengharuskannya mengontak Narendra maupun menghubungi Jason, niscaya Karina sudah mengambil pilihan itu.
Bukan salahnya. Dalam situasi-situasi tertentu, Jason Limanjaya bisa terlihat sangat mengintimidasi. Ada sesuatu tentangnya yang terkesan gelap. Terlebih, ada rumor yang menyebut bahwa laki-laki itulah yang bertanggung jawab atas kematian Jayastu Limanjaya—ayahnya sendiri. Karina tak ingin bilang kalau dia takut pada Jason, namun kalau bisa, dia lebih suka tidak berurusan dengan laki-laki itu sama sekali.
Yah, mau nggak mau. Gue nggak punya pilihan lain.
Ragu-ragu, Karina akhirnya mengirim chat ke Jason.
Karina:
Malam, Jason. Ini Karina.
Soal jaket kamu, bisa saya kembalikan lewat mana ya?
Usai mengirim chat itu, tadinya Karina berencana menaruh ponselnya di atas nakar, kemudian membasuh wajah dan merebahkan tubuh dalam kenyamanan tempat tidurnya. Dia pikir, Jason paling-paling baru akan membalas besok pagi. Rupanya, tebakannya benar-benar keliru. Balasan Jason sampai kurang dari dua menit.
Jason:
Gimana kalau kita janjian ketemuan aja?
Karina mengerutkan dahi.
Maksudnya apa?
Karina:
Ketemuan?
Jason:
Mungkin sambil ngopi bareng?
Ada sesuatu yang mau saya bicarakan sama kamu.
Karina:
Sesuatu apa ya?
Jason:
Sesuatu yang penting untuk kamu, juga penting untuk saya.
Sesuatu yang mungkin bisa menguntungkan kita berdua.
Mulanya, Karina hampir menolak. Terlihat berduaan dengan Jason di tempat umum hanya akan mengundang masalah. Dan setelah skandal foto-foto panasnya meledak berbulan-bulan lalu, Karina belum berminat dikabarkan dekat dengan laki-laki mana pun.
Namun setelah Karina pikir-pikir, akan keterlaluan sekali jika dia menampik ajakan Jason. Laki-laki itu sudah cukup baik padanya. Jason bahkan mengantarnya yang lagi mabuk berat pulang ke apartemennya dengan selamat. Tak ada salahnya menerima ajakan Jason kali ini. Anggap saja sebagai bentuk balas budi.
Toh kalau setelah ini dia masih ngajak lagi, gue bakal lebih enak nolaknya, Karina membatin.
Karina:
Oke. Kapan?
Jason:
Lusa siang?
Karina:
Di mana?
Jason:
Saya kirim titik lokasinya setelah ini ya.
Karina:
Oke.
Jason:
See you then, Karina.
Karina memutuskan tidak membalas.
***
Sepulang dari kantor polisi, Jason menyempatkan singgah sejenak di ruang kerjanya.
Bertemankan kesunyian, dia mengecek foto-foto Rashel yang tadi ditunjukkan Narendra padanya di mobil. Foto-foto itu tampak seperti foto candid yang dipotret dari jarak jauh oleh orang yang kebetulan tengah lewat, tapi Jason tahu segalanya sudah diatur sedemikian rupa supaya mengesankan adanya kedekatan yang tidak biasa antara Rashel dengan gadis semampai yang jalan bersamanya.
Jason sudah menduga kalau Rashel bakal bersedia melakukan apa saja untuk menjegalnya mewarisi seluruh aset utama mendiang ayah mereka, namun dia tidak menyangka kalau Rashel akan bertindak selekas ini. Narendra ada benarnya. Dia harus cepat-cepat bergerak.
Jason menaruh ponselnya ke atas meja, lalu beralih mengecek setumpuk dokumen dalam map plastik yang baru didapatkannya siang ini. Setumpuk dokumen itu berisikan laporan keuangan ATOR selama enam bulan belakangan. Tentu saja, Jason tidak mendapatkannya lewat cara yang legal. Tapi dia tak peduli.
Usai membaca beberapa bagian laporan dengan seksama, Jason bisa menyimpulkan kalau Karina telah mengambil sejumlah keputusan yang sembrono, terutama yang berkaitan dengan strategi pemasaran produk-produk ATOR. Kombinasi tindakan ceroboh dan keberuntungan yang belum berpihak pada Karina adalah pukulan fatal yang berhasil membuat perusahaan baru seperti ATOR goyah. Dalam tiga bulan terakhir, ATOR mencatatkan kerugian terbesar sepanjang masa operasinya.
Jason agak heran karena Jonathan Setiadi tidak turun tangan membantu menangani kesulitan yang tengah dihadapi anak sulungnya, tapi di saat yang sama, dia agak bersyukur.
Meski terdengar jahat, dengan begini lebih mudah baginya memberi Karina penawaran yang mungkin akan sulit gadis itu tolak.
Sekonyong-konyong, ponsel Jason yang masih tergeletak di atas meja bergetar.
Jason mengeceknya, dan nyaris terjengkang dari kursinya begitu tahu siapa yang baru saja mengirim chat.
Karina:
Malam, Jason. Ini Karina.
Soal jaket kamu, bisa saya kembalikan lewat mana ya?
Sesuatu dalam dada Jason meletup-letup. Wajahnya menghangat. Tanpa Jason sadari, seulas senyum muncul di bibirnya.
Tanpa pikir panjang, dia buru-buru mengetikkan chat balasan.
Jason:
Gimana kalau kita janjian ketemuan aja?
Karina:
Ketemuan?
Jason:
Mungkin sambil ngopi bareng?
Ada sesuatu yang mau saya bicarakan sama kamu.
Karina:
Sesuatu apa ya?
Jason:
Sesuatu yang penting untuk kamu, juga penting untuk saya.
Sesuatu yang mungkin bisa menguntungkan kita berdua.
Jawaban Karina tidak datang secepat chat-chat sebelumnya, dan itu sempat bikin Jason harap-harap cemas.
Apa jangan-jangan yang dibilang Narendra itu benar? Jangan-jangan... dia memang takut sama gue?
Jason sudah siap menelepon Narendra untuk meraung-raung mengeluhkan Karina yang lama tak membalas pesannya ketika ponselnya kembali bergetar.
Karina:
Oke. Kapan?
Jason:
Lusa siang?
Karina:
Di mana?
Jason:
Saya kirim titik lokasinya setelah ini ya.
Karina:
Oke.
Jason:
See you then, Karina.
Sehabis mengirimkan sebaris chat terakhir itu, Jason mengulum senyum sembari memandangi layar ponselnya hingga cahaya layar ponsel meredup dengan sendirinya.
***
Usai mengerahkan upaya ekstra keras, akhirnya Waverly berhasil mengenyahkan segenap kemalasannya dan berangkat nge-gym siang ini.
Terus terang saja, dia bukan gym freak seperti Tavella atau Niki—saudara tirinya yang paling bungsu. Kunjungannya ke gym dalam sebulan bisa dihitung jari. Dia tak jago bermain badminton seperti Karina, atau pegiat pilates yang taat seperti Gisella. Tapi Waverly resah setelah makan kelewat banyak semalam, dan satu-satunya cara untuk meredakan keresahannya adalah dengan membakar kalori sebanyak-banyaknya di gym sesuai arahan personal trainer-nya.
Ini semua gara-gara Narendra. Tak cuma perkara jaket lelaki itu yang barangkali masih ada di tempat Karina, melainkan juga karena Waverly tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana Narendra menarik tangannya, lalu mengecup jemarinya. Atau bagaimana Narendra melompat naik ke ambulans dan memaksanya diperiksa secara menyeluruh di rumah sakit. Waverly tahu, Narendra bisa saja melakukannya demi alasan kesopanan, namun bakal bohong kalau dia bilang sikap Narendra tidak membuatnya berdebar. Dan itu melelahkan sekaligus bikin frustrasi.
Untuk melampiaskan rasa frustrasinya, Waverly makan melampaui batas normal porsi hariannya semalam. Dia memesan seloyang besar piza. Pakai pepperoni. Dengan crust berisikan keju yang meleleh. Lalu seporsi potato salad. Dilengkapi segelas besar milkshake anggur. Besarnya jumlah kalori yang masuk hanya dalam sekali makan membuat Waverly cemas. Terlebih, di antara para perempuan dalam keluarganya, berat badannya termasuk yang paling gampang naik.
Sebenarnya, Waverly bisa saja menggunakan fasilitas gym yang ada di apartemennya. Tapi tempat itu dipenuhi bapak-bapak creepy yang hobi menggoda cewek-cewek. Terutama cewek-cewek yang work-out sendirian. Daripada buang-buang energi menghadapi mereka, Waverly memilih mendaftar membership di gym langganan selebriti yang berada di mall tak jauh dari apartemennya.
Selesai nge-gym, Waverly bergegas menuju lobi mall. Sambil menunggu petugas parkir valet mengambilkan mobilnya, gadis itu sesekali menenggak sebotol cold-pressed juice yang sempat dibelinya dalam perjalanan menuju lobi. Sore sudah menjelang. Mall mulai ramai, walau tidak sepadat di akhir pekan.
Lalu, Waverly mendengar seseorang memanggil namanya.
"Wave?"
Spontan, dia menoleh dan nyaris mendesis begitu mendapati Narendra tengah berdiri di dekatnya. Laki-laki itu mengenakan track suit warna hitam, membuatnya kelihatan sporty sekaligus tampan. Atasan track suit-nya melekat ke tubuhnya dengan sempurna, mencetak dada bidang nan kekar yang bikin Waverly nyaris menahan napas. Rambut hitamnya agak berantakan. Kedua telinganya disumpal airpods—yang langsung dilepasnya segera setelah Waverly menoleh.
"Apa?"
"Lo masih marah?"
"Memangnya kapan gue nggak marah sama lo?"
Narendra tertawa geli. "Oh ya, benar juga. Maksud gue, lo masih marah karena yang kemarin-kemarin? Gara-gara jaket gue dipinjam kakak lo?"
Waverly membisu, diam-diam merutuki petugas parkir valet yang tak kunjung muncul dalam hati.
"Gue sama kakak lo nggak ada hubungan apa-apa. Jason yang minjem jaket gue. Dia nggak bawa jaket, sedangkan—"
"Dan lo mau-mau aja minjemin jaket lo?"
"Wave—astaga—" Narendra berdecak. "Terus kalau gue nggak minjemin jaket gue, gue kudu ngapain? Biarin kakak lo kedinginan setelah bajunya basah karena ketumpahan air?"
Waverly mendengus.
"Wave, jangan marah." Narendra berkata. "At least, jangan marah karena gue minjemin jaket gue ke Karina."
"Apa pentingnya?"
"Marah sama orang yang bikin lo cemburu lebih melelahkan daripada marah sama orang yang lo anggap brengsek. Gue tahu itu. Gue juga paham nggak enaknya marah karena cemburu."
"What?!" Waverly melotot kesal. "Siapa yang cemburu?!"
"Oh?" Narendra memiringkan wajah. "Jadi lo nggak cemburu karena gue minjemin jaket ke Karina?"
"Gue nggak punya alasan untuk cemburu sama lo!" Waverly menghardik, sukses membuat beberapa pengunjung mall yang melewati lobi melihat ke arah mereka.
"Oke, tapi—"
"Gue nggak mau ngomong sama lo!"
"Gue ngerti, tapi—" Narendra menghela napas. "—bisa diam sebentar? Ada laba-laba di pundak lo."
"Gue nggak—apa?!"
"Ada laba-laba di pundak lo. Yang sebelah kiri."
Waverly tercekat, spontan menunduk untuk mengecek pundak kirinya. Rupanya, Narendra tidak berbohong. Laba-laba cokelat besar, yang entah dari mana datangnya, terlihat sedang bertengger di pundaknya. Waverly panik. Laba-labanya juga panik. Diiringi pekikan jijik Waverly, laba-laba itu mulai merayap cepat seakan ingin menyelamatkan diri.
Merasakan kaki-kaki laba-laba itu merayapi kulitnya yang tidak tertutup pakaian, Waverly berteriak makin heboh. Orang-orang terperangah. Dua petugas keamanan berseragam mulai mendekat. Narendra buru-buru menghampiri Waverly. Dia mencoba menangkap laba-laba itu. Laba-labanya tangkas berkelit, ganti merayap cepat ke bagian depan tubuh Waverly. Tangan Narendra mengejarnya, menepuknya sampai mati hanya sesaat setelah dia tiba di dada Waverly.
"Tenang! Laba-labanya udah mati! Laba-labanya—"
Waverly tertegun manakala menyadari di mana tangan Narendra melekat. Narendra mengekori arah tatapan Waverly. Dia melongo. Lantas wajahnya merona sebelum memucat dalam sekejap.
"Sori—gue nggak bermaksud—gue fokus sama laba-labanya dan—"
Waverly memandang Narendra, dan tawanya meledak. Narendra tercekat, tapi dia ikut-ikutan tertawa. Mereka sama-sama tergelak, walau tidak untuk waktu yang lama. Hanya dalam hitungan detik, tawa Waverly lenyap. Tangannya melayang, mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi Narendra.
"Dasar brengsek!"
"Wave—sori—gue benar-benar nggak sengaja—gue nggak bermaksud nyentuh di situ dan—" Narendra menghela napas. "Seenggaknya, laba-labanya udah mati, kan? Hehe."
Waverly buang muka. Dia berniat menjauhi Narendra, tapi laki-laki itu cepat-cepat meraih tangannya.
"Wave—"
"Nggak usah pegang-pegang tangan gue!" Waverly berseru seraya menyentak tangannya kuat-kuat.
Dia tahu, tindakannya pasti kelihatan dramatis banget, macam adegan yang baru dicomot dari sinetron kejar tayang di televisi. Tak cuma sampai di sana, Waverly bahkan nekat mendorong Narendra menjauh untuk melampiaskan kekesalannya. Saking gondoknya, dorongan Waverly membuat Narendra mundur ke belakang beberapa langkah.
Seharusnya tak jadi masalah, seandainya saja Narendra tak sengaja menginjak mainan anjing-anjingan milik seorang anak kecil yang tengah menunggu taksi bersama kedua orang tuanya. Menginjak mainan anjing-anjingan itu membuat Narendra kehilangan keseimbangan. Dia terhuyung jatuh, bertepatan dengan meluncurnya sebuah mobil memasuki area depan lobi. Jatuhnya Narendra yang mendadak membuat si pengemudi mobil tak mampu berkelit. Tanpa bisa dihindari, roda-roda mobil itu berakhir menghajar kaki kiri Narendra.
Wave tercekat panik, refleks menjerit. "Narendra?!"
***
Tergesa-gesa, Jason melangkah cepat memasuki lobi sebuah hotel tempatnya janjian dengan Karina.
Mungkin terdengar ambigu, tapi tidak, Jason tidak janjian bertemu Karina di kamar hotel. Kebetulan saja, restoran merangkap kafe yang Jason pilih terletak di lantai enam sebuah gedung hotel bintang lima ternama di pusat kesibukan ibukota. Tentunya kalau ingin ke sana, mereka mesti melewati lobi hotel dan menggunakan lift yang sama seperti yang digunakan para tamu hotel lainnya.
Jason terlambat nyaris satu jam dari waktu yang sudah dia rencanakan lantaran galau memilih setelan mana yang sebaiknya dia pakai. Ini memang bukan pertemuan pertamanya dengan Karina, tapi mempertimbangkan apa yang mungkin bakal mereka bahas hari ini, Jason ingin tampil lebih istimewa dari biasanya. Sayangnya, Narendra yang biasa dimintainya saran soal berbusana mendadak tidak bisa dihubungi. Makanya, saking sibuknya memilah-milih kemeja, Jason sampai lupa melihat jam.
Separuh berlari, Jason bergerak menuju lift. Namun langkahnya terhenti mendadak ketika dilihatnya Karina telah lebih dulu berjalan mendekati pintu masuk lift. Posisi Karina memunggunginya, sehingga mustahil gadis itu menyadari kehadirannya. Jason menelan saliva, berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan melangkah cepat menuju tangga darurat.
Kalau gue telat di janjian pertama ini, bisa-bisa dia menganggap time management gue jelek! Lagian, mana ada wibawanya kalau belum apa-apa gue udah teriak-teriak minta dia nahanin tombol lift!? Nggak, nggak, gue harus sampai di restoran itu duluan!
Berlari melintasi tangga dari lantai satu hingga lantai enam bukan perkara mudah. Bahkan untuk Jason yang rutin berolahraga. Sesampainya di lantai enam, Jason tetap terengah-engah, hampir megap-megap layaknya ikan yang nyaris kehabisan udara. Dia masih mengatur napas sewaktu didengarnya bunyi denting yang menandakan terbukanya pintu lift.
Setengah panik, Jason bergegas menuju restoran—yang kosong-melompong, karena Jason sudah mereservasinya hanya untuk mereka berdua sepanjang siang hingga petang nanti. Mengabaikan tatapan heran dari beberapa pegawai restoran yang menyambutnya, Jason menyambar majalah dari rak majalah, dan berpura-pura duduk tenang sambil membaca sekalian menanti Karina tiba.
Karina muncul semenit kemudian, dalam balutan terusan beige lembut selutut yang membuatnya tampak mempesona. Dia tak kesulitan menemukan satu-satunya meja yang terisi. Jason berlagak fokus pada lembar-lembar majalah di tangannya.
"Udah lama nunggu?"
Jason bergumam, sok cool. "Lumayan."
"Are you okay, though? Napas kamu kayaknya ngos-ngos-an."
"Perasaan kamu aja."
"Lagi baca apa?" Karina menarik kursi dan duduk di depan Jason.
"Majalah."
"Oh..." Karina manggut-manggut. "Sengaja bacanya kebalik?"
Ingin rasanya Jason membenturkan jidatnya ke pilar gedung terdekat setidaknya tujuh kali berturut-turut.
"Ehm—" Jason berdeham, lalu menaruh majalah ke atas kursi kosong di sebelahnya. "Saya suka baca terbalik. Sesekali."
"Baru kali ini saya dengar ada orang yang suka baca terbalik." Karina berdecak. "Udah pesan?"
"Belum. Saya sengaja nunggu kamu. Anyway, kalau boleh saran, sup kepiting asparagus di sini enak."
"Oh, oke."
"Flat white-nya juga enak."
"Mm-hm."
"Dan calamari—"
"Saya nggak suka berpura-pura, dan saya rasa kamu juga sama," kata Karina sambil mengulum senyum geli. Jason terperangah, sejenak lupa caranya berkata-kata dalam bahasa manusia. "Kamu sendiri yang bilang kalau ada sesuatu yang mau kamu bicarakan. Sesuatu yang penting buat kita berdua."
Straight to the business. Very Setiadi of her.
"Memang nggak."
"Ah ya, pertama-tama, saya mau bahas soal perusahaan kamu. What it is? ATOR, right? A Thousand of Roses?"
Karina mengangguk. "Benar."
"Dari kabar yang saya dengar, ATOR lagi butuh suntikan dana segar."
"Investor." Karina mengoreksi. "Sebenarnya, sebelumnya udah ada investor yang bersedia. Tapi mereka mendadak menarik diri di tengah-tengah negosiasi."
"Karena kamu menolak perasaan anak laki-lakinya?" Jason bertanya, bermaksud memastikan selentingan kabar burung yang sempat sekilas dia dengar.
"Saya nggak tahu kalau ternyata laki-laki kayak kamu suka bergosip."
"Saya cuma suka gosip kalau gosipnya berhubungan dengan orang yang menarik." Jason tersenyum miring. "Dan kamu menarik buat saya."
Karina mengerjap. "Oh?"
"Mm-hm."
"Saya tebak, kamu udah tahu soal krisis yang lagi dihadapi ATOR. Saya nggak akan heran kalau kamu juga tahu ayah saya sendiri menolak membantu saya."
"Kenapa?"
"Apanya yang kenapa?"
"Kenapa ayah kamu nggak mau bantuin kamu?"
"Karena dari awal, dia nggak setuju saya berbisnis di bidang ini. Katanya, bidang ini kurang menghasilkan. Tapi saya tetap ngotot, karena dari kecil saya selalu kepingin punya toko bunga. Karena itu juga, saya nggak akan menyerah sama ATOR. Saya bakal mengusahakan ATOR tetap bisa jalan."
"Kamu beruntung kalau gitu. Saya punya penawaran untuk kamu."
"Penawaran apa?"
"Saya bisa berinvestasi di ATOR. Bantu ATOR keluar dari krisis yang lagi kalian hadapi. Saya bahkan bisa menghubungkan kamu sama figur-figur terkenal yang sanggup menaikkan brand value ATOR."
"Dan timbal-balik apa yang kamu mau dari saya?"
"Ayah saya meninggal beberapa bulan lalu. Saya anak satu-satunya dari istri sahnya. Tapi saya punya saudara tiri. Namanya Rashel. Saya butuh bantuan kamu supaya seluruh aset utama yang ditinggalkan mendiang ayah saya jatuh ke tangan saya, bukan ke tangan Rashel."
"Bantuan apa?"
"Ada syarat yang harus saya penuhi kalau saya mau mewarisi seluruh aset utama Keluarga Limanjaya. Sekadar informasi, saya nggak butuh aset-aset itu untuk bantu ATOR keluar dari krisis. Yang saya punya sekarang udah lebih dari cukup. However, saya nggak bisa membiarkan Rashel mewarisi apa yang nggak pernah jadi hak lahirnya." Jason menjelaskan. "Intinya, kalau kamu bisa bantu saya memenuhi syarat itu, saya bakal berinvestasi di ATOR. It's a win-win solution, in my opinion."
"Apa syaratnya?"
Jason menatap Karina lurus-lurus, lantas berujar tanpa ragu. "Kamu, menikah dengan saya."
Karina terhenyak. Matanya mengerjap-ngerjap beberapa kali. Dia memandang Jason lekat-lekat, seakan tengah meneliti setiap emosi yang berkelebat dalam mata gelap laki-laki itu. Seakan sedang berusaha menemukan kebohongan dalam tatapan Jason. Hasilnya nihil. Jason tak lagi bercanda, apalagi berdusta.
"Kenapa saya?"
Jason mengangkat bahu. "Saya nggak bisa memikirkan orang yang lebih baik dari kamu."
Karina menelan saliva, lalu menghela napas. "Terima kasih banyak buat tawarannya, tapi saya rasa—saya rasa saya nggak bisa."
Ganti Jason yang terhenyak. "Apa?"
"Saya nggak bisa."
"Kenapa?"
Karina tertawa kecil. "Isn't it obvious, Jason Limanjaya?"
"I don't understand. Tell me."
"Karena kamu bukan tipe laki-laki yang mau saya nikahi."
to be continued.
***
a/n:
yak akhirnya berlanjut yah wkwkwk maap tapi bulan kemarin memang agak sibuk.
makasih banyak buat yang udah baca, vote dan comment.
sampai ketemu di chapter selanjutnya.
ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro