Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

second note

Begitu memasuki ruang tamu apartemennya, Karina langsung melempar tasnya ke sofa dan bergegas masuk ke kamar mandi.

Tidak lama kemudian, ritual berendam-untuk-meredakan-stres-nya pun dimulai. Bak mandi diisi air hangat sampai penuh. Diikuti sebongkah bath bomb yang segera berbusa begitu menyentuh air, mengubah warnanya jadi biru muda. Lalu, Karina melucuti pakaiannya. Disetelnya musik di ponsel yang lantas dia taruh di meja marmer samping wastafel sebelum melangkah masuk ke bak.

Hangatnya air mengecupi kulitnya. Melemaskan otot-otot yang menegang setelah seharian berkutat dengan tumpukan pekerjaan dan tekanan yang seakan tidak ada habisnya.

Karina membuang napas lelah.

Satu hari lainnya lewat, dan dia tidak kunjung menemukan pemecahan masalah yang tengah dihadapinya.

Sejak satu setengah tahun lalu, cuma beberapa bulan pasca skandal foto-foto revenge porn-nya meledak dan membuatnya mendadak jadi buah bibir nasional, Karina merintis sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa perangkaian, pengiriman dan penyediaan bunga. Tak hanya menjual buket yang bisa dipesan di hari-hari istimewa, perusahaannya juga menawarkan jasa dekorasi acara-acara seperti resepsi pernikahan hingga pesta ulang tahun. Perusahaan rintisan itu dinamainya A Thousand of Roses—yang kemudian populer disingkat ATOR.

Kenapa bunga?

Alasannya sederhana. Karina suka bunga. Tidak hanya indah dipandang, beberapa bunga punya aroma khas yang memanjakan indra penciuman itu. bunga juga menyimpan makna masing-masing. Bunga adalah penyampai rasa tanpa kata. Mulai dari duka, damba, murka hingga cinta.

Tak heran, meski ayahnya skeptis akan pilihan bidang bisnisnya, Karina tetap ngotot meluncurkan ATOR.

Membangun bisnis memang bukan perkara gampang. Tapi berkat kerja keras Karina dan seluruh staf ATOR dalam menerapkan strategi promosi terkini nan trendy lewat berbagai platform media sosial dipadu pelayanan yang menomorsatukan pelanggan, ATOR mencatatkan pertumbuhan yang cukup mengesankan.

Namun nyatanya, keberhasilan itu tidak cukup mampu membuat ayahnya terkesan.

"Usahamu cepat berkembang karena publik sudah kenal kamu gara-gara skandal itu." Ayahnya berkata. "Orang-orang penasaran. Mereka mau tahu lebih banyak tentang kamu. Sebagian mungkin berharap bisa dapat bahan tambahan untuk mencaci-maki kamu. Makanya, wajar banget kalau konten-konten promosi usahamu, terutama yang ada kamunya, selalu dapat engangement yang tinggi. Tapi, apa itu cukup buat bantu usahamu sustain? Nggak. Publik itu mudah lupa. Mudah bosan. Sekarang kita ngomong pakai logika saja. Berapa duit sih yang mau dikeluarkan orang Indonesia cuma untuk buat beli bunga? Apalagi, budaya ngasih bunga sebagai hadiah nggak kental di sini. Coba bidang lain sajalah! Yang kira-kira lebih masuk akal dan menjanjikan!"

Kata-kata pedas itu bukan cuma bikin panas telinga, tapi juga memerahkan muka.

Harusnya, Karina tahu berharap bakal dapat pujian apalagi dukungan dari ayahnya cuma harapan kosong belaka.

Toh sejak dulu, ayahnya memang selalu menganaktirikan dirinya.

Dari keempat anak perempuannya, lelaki itu paling keras pada Karina. Padahal, bisa dibilang Karina adalah anaknya yang paling jarang bikin masalah—sampai skandal revenge porn-nya merebak dua tahun lalu. Semuanya gara-gara mantan pacar Karina yang brengsek tidak terima diputuskan sepihak setelah kepergok berselingkuh. Dia membalas dendam dengan menyebar foto-foto tak senonoh yang pernah Karina kirim padanya saat hubungan mereka lagi panas-panasnya.

Ketika itu, ayahnya marah besar. Karina kena tampar dua kali. Keras, dan meninggalkan memar. Karina tidak bisa ke mana-mana selama dua minggu penuh. Di tengah panasnya reaksi publik atas foto-fotonya, muncul dengan wajah merah-ungu sama saja seperti menyiramkan bensin ke kobaran api.

Pada akhirnya, skandal itu mereda dengan sendirinya. Ayahnya menemui mantan pacar Karina dan mengancamnya. Juga membayar pihak-pihak tertentu untuk melenyapkan foto-foto Karina dari internet. Bukan demi Karina, melainkan demi melindungi reputasi keluarga.

Sukar bagi Karina melupakan komentar ayahnya mengenai ATOR. Kata-kata tajam laki-laki itu tertanam dalam kepalanya, menumbuhkan ambisi untuk membuktikan diri. Ambisi yang justru berujung jadi bumerang.

Karina jadi bernafsu mengejar pertumbuhan pesat dalam waktu singkat, yang membuatnya mengambil keputusan-keputusan gegabah.

Pertama, dia nekat menjadi sponsor acara resepsi pernikahan sepasang selebriti ibukota yang digelar besar-besaran. Mempelai perempuannya dikenal sebagai content creator di bidang beauty and lifestyle, sedangkan si mempelai laki-laki merupakan pemain saham, crypto dan bitcoin yang tersohor. Keduanya populer sebagai pasangan ideal yang tidak cuma rupawan, tapi juga bermandi kekayaan. Akun media sosial mereka diikuti jutaan orang. Produk maupun tempat yang mereka promosikan selalu berakhir jadi buah bibir, menjadi tren baru yang ludes terjual dalam waktu singkat sekaligus mengundang rasa penasaran.

Sekilas, menjadi sponsor acara resepsi pernikahan mewah mereka adalah bentuk promosi yang menjanjikan.

Hingga mendadak, cuma sehari sebelum acara resepsi digelar, si mempelai laki-laki ditangkap polisi atas tuduhan penggelapan uang dalam jumlah besar dan afiliasinya dengan seorang bandar judi online.

Pernikahan dibatalkan. Resepsi tidak jadi digelar. Kolom-kolom komentar akun media sosial kedua selebriti yang tadinya didominasi pujian berbalut harap dan iri ganti dipenuhi caci-maki. Mengerikan, melihat betapa cepatnya sentimen publik bisa berubah. Sang mempelai perempuan sampai menarik diri dari media sosial. Tidak berapa lama kemudian, dia pun ikut diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka.

Bersama banyak vendor lainnya, ATOR mengalami kerugian. Dekorasi sudah dituntaskan. Bunga-bunga telah terpasang. Tinggal pestanya saja yang belum dilaksanakan.

Tapi siapa yang bakal peduli?

Tak cuma sampai di sana, upaya Karina menaikkan penjualan ATOR dengan meng-endorse seorang selebgram terkenal pun berbuah kegagalan. Dua hari sebelum postingan endorse dijadwalkan naik, si selebgram tertangkap basah sedang berkencan dengan seorang laki-laki. Masalahnya, laki-laki itu bukan laki-laki biasa, melainkan kekasih sahabatnya sendiri yang sama-sama selebgram terkenal. Netizen menghujatnya habis-habisan, dan menolak mendukung jenama maupun toko online yang meng-endorse si selebgram.

Bertubi-tubi tersandung masalah, amat wajar kalau kondisi keuangan ATOR kini sedang tidak terlalu baik. Terutama di pertengahan tahun seperti sekarang. Hari kasih sayang sudah lewat. Naiknya harga-harga bahan pokok juga membuat orang-orang jadi lebih selektif dalam membelajakan uang mereka. Bunga, seperti yang pernah dikatakan ayahnya, adalah kebutuhan tersier yang tidak dianggap penting.

Karina hampir kehabisan akal, tapi dia lebih baik mati daripada merangkak meminta bantuan orang lain.

Khususnya, jika orang lain yang dimaksud adalah Jonathan Setiadi.

Ayahnya.

Karina memejamkan mata, sudah nyaris ketiduran sewaktu ponselnya tiba-tiba meraung.

Gadis itu mengerjap kaget, buru-buru beranjak dari bak mandi. Diraihnya ponsel dari atas meja marmer. Terpampang kontak ibunya di layar.

"Halo?"

"Bisa ke kantor polisi sekarang? Adikmu lagi ditahan di kantor polisi."

Karina terbatuk. "Kenapa sama dia?"

"Nabrak mobil orang dari belakang. Mami sudah cek, dia nggak kenapa-kenapa. Anak itu memang suka bikin gara-gara. Mami khawatir biarin dia pulang sendirian. Tapi dia pasti ngamuk kalau Mami datang. Bisa tolong kamu jemput dia?"

Karina mengembuskan napas lelah. "Oke."

"Secepatnya ya. Jangan lama-lama. Nanti dia keburu kabur dari kantor polisi."

"Oke."

Usai mengakhiri telepon, Karina cepat-cepat masuk ke kubikel shower. Dibasuhnya sisa-sisa sabun dan busa bath bomb sampai bersih. Dia lanjut mengeringkan tubuh dan berpakaian alakadarnya. Diraihnya baju mana saja yang pertama kali dia lihat begitu membuka lemari, mengabaikan keserasian warna antara atasan dan bawahan. Setelah itu, Karina melangkah cepat menuju lantai dasar menara apartemennya.

***

Waverly dibikin ternganga lebar ketika mendengar suara ambulans mendekat bersama mobil polisi yang merayap di belakangnya.

Dia sangka, Narendra cuma bergurau perkara menelepon polisi dan ambulans.

"Lo beneran telepon polisi?!"

Narendra mesem-mesem senang. "Dan ambulans."

"Gue nggak kenapa-napa—"

"Jidat lo memar." Narendra memotong. "Harus diperiksa."

"Nggak usah sok peduli—"

"Kecelakaan ini ngelibatin dua orang. Gue. Lo. Ngelibatin dua kendaraan. Mobil gue. Mobil lo. Kalau lo sampai kenapa-napa karena gegar otak atau luka dalam yang telat kedeteksi, bisa-bisa gue yang dijadiin tersangka. Padahal, jelas-jelas gue yang ditabrak dari belakang."

Waverly malu. Juga jengkel. Sialan. Kok bisa-bisanya dia berpikir Narendra menelepon ambulans karena laki-laki itu peduli padanya?

Ambulans berhenti hanya beberapa meter di dekat mereka. Mulanya, Waverly berkeras menolak diangkut ke dalam ambulans. Tapi Narendra memanas-manasi tiga paramedik dan polisi yang datang agar memaksa Waverly dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Ujung-ujungnya, Waverly pun tidak berdaya. Gadis itu hanya bisa pasrah digiring mendekati ambulans.

Meski begitu, Waverly lagi-lagi dibikin kaget ketika Narendra ikut melompat naik ke ambulans.

"Kenapa lo ikut naik?!"

"Nemenin lo."

"Gue nggak butuh ditemenin." Waverly membalas ketus.

"Oh ya? Seingat gue, lo paling nggak suka ke dokter. Atau ke rumah sakit. Lebih-lebih nggak suka lagi kalau lo harus ketemu dokter atau ke rumah sakit sendirian."

Waverly tercekat, kontan salah tingkah.

Narendra tertawa jail, bersiul dalam cara yang membuat emosi Waverly merangkak cepat ke ubun-ubun. "Muka lo merah."

"Karena lo bikin gue kesal!" Waverly menghardik. "Berhenti senyam-senyum nggak jelas kayak gitu! Lo kira senyum lo cakep?!"

"Kayaknya. Soalnya, dulu pernah ada cewek blasteran bidadari yang bilang senyum gue bisa bikin cewek setengah dunia bertekuk lutut saking gantengnya."

Waverly balik melayangkan pelototan sinis.

Dia benci Narendra.

Dia benci wajah Narendra yang kelihatan tengil sekaligus tampan saat lagi mengulum senyum seperti sekarang. Dia benci cara Narendra menyebut namanya. Dia benci cara Narendra memandangnya.

Narendra pernah mematahkan hatinya dengan teramat purna—yang mana rasa sakitnya tidak hanya menyiksa, tapi juga membuat Waverly merasa jadi perempuan paling tolol sejagad raya.

Mereka pernah berpacaran.

Tidak lama, sebetulnya. Hanya sebulan, yang penuh dengan kencan sambil nonton pertunjukan musikal bersama, atau jalan-jalan di taman seraya bergandengan tangan. Narendra memeluknya tidak lebih dari sepuluh kali—ampun, Waverly muak pada dirinya sendiri karena bisa-bisanya dia menghitung secara pasti berapa kali Narendra memeluknya. Narendra hanya menciumnya sekali di bibir. Beberapa kali di pipi dan kening.

Lalu tiba-tiba, Narendra menghilang.

Laki-laki itu berhenti mengirim chat. Tak lagi menelepon. Waverly mencoba menghubunginya, tapi tetap tidak ada tanggapan. Tumpukan chat-nya berakhir tanpa balasan. Telepon-teleponnya masuk ke kotak suara. Waverly tidak lantas menyerah. Didatanginya apartemen Narendra. Tapi ternyata, Narendra pun tidak di sana. Di tengah putus asa yang menderanya, Waverly hampir melaporkan hilangnya Narendra ke polisi. Namun sebelum itu, Jason keburu menemuinya dan memintanya mengurungkan niatnya.

Jason berkata, Narendra baik-baik saja. Dia tidak sedang sakit atau berada dalam kesulitan. Hanya saja, ada urusan penting yang membuatnya mesti meninggalkan Jakarta untuk sementara waktu.

Waverly berusaha berbaik sangka. Dia menyabarkan diri, menanti Narendra kembali. Malam-malamnya dilalui dalam sepi, yang membuat rindunya pada Narendra makin menjadi-jadi.

Hingga suatu malam, Waverly memergoki Narendra sedang nongkrong di sebuah club. Laki-laki itu tidak sendirian. Dia duduk di sofa bersama seorang perempuan cantik berambut panjang yang belum pernah Waverly lihat. Mereka kelihatan akrab, sehingga mustahil menerka kalau keduanya hanya teman biasa.

Kekecewaan yang dipicu pengkhianatan membuat Waverly beranjak dan menghampiri sofa Narendra dengan tangan terkepal. Dipanggilnya Narendra. Laki-laki itu menoleh, tercekat kaget begitu mengenalinya. Waverly yang ogah mendengar lebih banyak alasan dari mulut Narendra langsung menyiramkan sisa wiski dalam gelasnya ke wajah Narendra.

Setelah itu, permusuhan di antara mereka resmi dimulai.

Sampai sekarang, memandang Narendra masih membuat Waverly berdebar sekaligus meradang.

Dan rasanya menyesakkan.

Sebab, sampai kapanpun, membenci seseorang yang sebenarnya masih dia cintai tidak akan pernah mudah.

Narendra sungguh-sungguh menepati ucapannya. Selama mereka di rumah sakit, laki-laki itu tidak meninggalkan sisinya meski hanya sedetik. Narendra menemaninya melewati serangkaian pemeriksaan. Di beberapa momen, Narendra malah kelihatan lebih tegang darinya. Laki-laki itu baru mengembuskan napas lega dalam cara yang tidak kentara setelah dokter memberitahu kalau Waverly baik-baik saja. Tidak ada pendarahan internal. Tidak ada indikasi gegar otak.

Setelah diperiksa, sebenarnya Waverly ingin buru-buru pulang. Persinggungan tidak terduganya dengan Narendra telah mengacak-acak emosinya. Dia rindu kasurnya. Dia ingin secepatnya mengubur diri di bawah selimut dan tumpukan bantal, berbaring sampai ketiduran dan berharap dia sudah melupakan apa yang terjadi malam ini di hari berikutnya.

Namun, pihak kepolisian membutuhkan keterangan soal kecelakaan itu. Setelah mendapat laporan kalau Waverly tidak mengalami cedera berat yang berpotensi membahayakan nyawa atau mengharuskannya dirawat di rumah sakit, mereka meminta Waverly dan Narendra singgah sejenak untuk melengkapi laporan terkait kecelakaan.

Maka, di sinilah kini Waverly berada. Di kantor polisi, duduk bersebelahan dengan Narendra yang baru saja memasangkan plester luka bergambar wajah Doraemon di dahinya. Laki-laki itu berlama-lama menatap Waverly lekat-lekat, lalu tertawa kecil.

Waverly langsung mendesis sewot. "Kenapa ketawa-ketawa?! Emangnya ada yang lucu?!"

"Ada." Narendra menyeringai. "Plester Doraemon di jidat lo."

"Apaan—" Waverly mengangkat tangannya, bermaksud menyentuh plester yang menempel di dahinya. Tapi sebelum tangannya sempat menyentuh plester itu, Narendra sudah lebih dulu menggenggam pergelangan tangannya.

"Jangan dilepas."

Waverly menelan saliva. Jantungnya kembali berdebar lebih keras dari yang semestinya. Samar-samar, hidungnya menghirup wangi parfum Narendra. Wangi familiar. Wangi yang mengingatkannya akan masa-masa kasmaran sekaligus membuatnya memanas oleh kebencian.

Gadis itu memberengut, kemudian ditendangnya kaki Narendra. Narendra mengaduh kesakitan. Spontan, dilepaskannya genggaman tangannya dari pergelangan tangan Waverly.

"Jangan sembarangan pegang-pegang." Waverly cemberut. "Lagian, cowok macam apa yang hari gini bawa-bawa plester Doraemon di kantong celananya?"

"Cowok yang pernah pacaran sama cewek blasteran bidadari kali." Narendra menyahut santai. "Soalnya, gue sendiri nggak tahu sejak kapan ada plester seunyu itu dalam kantong celana gue. Kayaknya sih mantan gue yang naro tuh plester di sana."

Waverly mengepalkan tangannya kuat-kuat, berusaha keras menahan hasrat untuk menyumpah.

Dasar bajingan.

***

Sesampainya di kantor polisi, Karina melihat Waverly sedang duduk berdampingan dengan seorang laki-laki tampan yang dia kenal.

Karina tahu, Waverly pernah mengencani laki-laki itu, meski cuma sebentar. Namanya Narendra. Waverly pasti tergila-gila sama dia, karena selama mereka berpacaran, ada setidaknya enam foto Narendra yang Waverly unggah di akun Instagram-nya. Tentu, foto-foto itu sudah tidak ada lagi di halaman profil Instagram Waverly. Setelah mereka putus, Waverly menghapus segala jejak yang berhubungan dengan Narendra dari hidupnya.

"Mami bilang lo nabrak—ya ampun, jidat lo kenapa?!"

"Nggak kenapa-napa."

Karina mengabaikan jawaban Waverly, memilih beralih ke Narendra. "Lo terlibat dalam kecelakaan ini?"

"Waverly yang nabrak mobil gue dari belakang." Narendra menjawab. "Tabrakannya keras banget. Gue nggak kenapa-napa, tapi dahinya memar. Lo nggak perlu khawatir. Dia sudah dibawa ke rumah sakit. Sudah diperiksa. Sejauh ini, nggak ada tanda-tanda pendarahan internal atau gejala gegar otak. Harusnya, dia bakal baik-baik aja."

"Lo nggak mabuk, kan?" Karina menyipitkan mata pada adiknya.

"Gue bukan lo yang hobi ngelampiasin stres dengan minum sampai mabuk!" Waverly menyindir. "Mami yang nyuruh lo ke sini?!"

"Mami minta gue jemput lo."

"Wah, kayaknya Mami sibuk banget ya, sampai-sampai nggak bisa luangin waktu jemput gue di sini dan malah nyuruh lo?!"

"Isn't it obvious? She's too busy to involve herself in this kind of nonsense."

"What kind of nonsense?"

Sebuah suara rendah sekonyong-konyong terdengar, membuat punggung Karina seketika menegang. Suara itu tenang nan dalam. Tipikal suara yang tak cuma kharismatik, tapi juga mengintimidasi. Karina menghela napas, lalu menengok ke belakang.

Dia mendapati Jason Limanjaya tengah berdiri beberapa langkah di belakangnya.

Dia tidak kenal Jason secara pribadi. Dia hanya pernah beberapa kali melihat laki-laki itu di sejumlah acara resmi yang sama-sama mereka hadiri. Reputasi laki-laki itu kurang bagus. Konon, dia bergaul dengan para berandal kelas kakap. Disebut-sebut, dia masih punya koneksi dengan mafia Taiwan, dan seorang anggota penting kartel Meksiko yang dikenalnya waktu masih tinggal di Amerika Serikat. Tak cuma itu, Karina juga mendengar selentingan rumor kalau Jason adalah otak di balik kematian Jayastu Limanjaya. Orang-orang berkasak-kusuk bahwa Jason tega membunuh ayahnya sendiri hanya untuk mencegah ayahnya mewariskan Limanjaya Group pada saudara tiri Jason yang bernama Rashel.

Laki-laki itu tak hanya sekadar tampan. Dia mempesona. Dengan tubuh jangkung nan tegap yang terbentuk apik lewat sesi-sesi olahraga tanpa lelah di gym dan garis wajah terpahat sempurna. Jason bisa saja berkarir jadi model kalau dia mau. Atau aktor layar lebar, jika dia cukup jago bersandiwara.

Karina jarang terintimidasi. Terutama oleh laki-laki. Baginya, laki-laki adalah wabah pengotor dunia yang suka memperlakukan perempuan seenaknya. Pecundang yang hobi berlagak sebagai korban. Awalnya, dia masih berpikir positif dan menganggap bahwa tidak semua laki-laki brengsek. Namun setelah berkali-kali diselingkuhi bahkan sampai dipermalukan di depan orang banyak, Karina mulai merasa kalau mustahil ada laki-laki yang diciptakan tanpa bakat jadi bajingan.

Tapi, lain cerita dengan Jason.

Orang seperti Jason, menurut Karina, bakal sanggup menyudutkan perempuan—atau bahkan laki-laki—manapun ke tembok dan mencekiknya hingga mati lemas hanya dalam hitungan menit.

Jason adalah laki-laki berbahaya yang wajib Karina hindari.

Bodohnya, yang dia lakukan malah sebaliknya. Karina cuma ingat samar-samar peristiwa yang terjadi kemarin malam. Dia mabuk, lalu muntah di sepatu dan baju seorang laki-laki. Kemungkinan besar, laki-laki itu adalah Jason. Sebab, dia yang mengantar Karina pulang dan meninggalkan kartu namanya di meja resepsionis lobi apartemen Karina.

Rasa malu Karina tidak terbilang besarnya. Rasa malu itu pula yang membuat Karina belum berani menghubungi Jason untuk mengembalikan jaket kulit yang laki-laki itu pinjamkan padanya.

"Sial." Karina memaki lirih tanpa sadar.

"Ada yang salah?"

"Nggak, nggak ada yang salah." Karina berjuang keras menghindar memandang langsung ke mata Jason. "Saya nggak bisa lama-lama di sini. Bisa kita selesaikan masalahnya secepat mungkin?"

"Setuju."

"Saya dikasih tahu kalau adik saya yang nabrak mobil Narendra dari belakang. Untuk ganti ruginya, mungkin—"

"Nggak perlu ada ganti rugi." Jason memotong. "Mobil yang lagi dipakai Narendra itu punya saya. Saya nggak berniat memperpanjang kasus ini. Anggap saja masalahnya selesai."

"Nggak bisa gitu."

"Kenapa nggak bisa? Itu mobil saya. Mobil itu tanggung jawab saya."

"Saya nggak mau merasa berutang sama kamu." Karina menegaskan. "Jadi, tolong nanti kirim rincian biaya perbaikan mobilnya ke kantor saya. Sebentar—kartu nama saya—"

"Nggak perlu."

"Saya maksa."

"Saya nggak suka dipaksa." Suara Jason keluar lebih ketus dari yang dia niatkan. Saking tajamnya nada suaranya, Narendra bahkan sampai melipat tangan sambil menatap heran ke arah Jason.

Karina mengerjap, spontan tangannya berhenti mengaduk-aduk isi tasnya. "Oh... oke..."

"Saya nggak—"

"Ngomong-ngomong, saya juga minta maaf soal yang kemarin malam. Jaket kamu masih di tempat saya. Nanti bakal saya kirim ke alamat kamu—"

"Jaket Narendra."

"Eh?"

"Jaket yang kamu pinjam itu jaket Narendra, bukan jaket saya." Jason berkata, masih datar sekaligus dingin.

Waverly ternganga. "Jaket apa?!"

"Bukan apa-apa."

"Jaket Supreme, by the way." Narendra menyela. "Limited edition. Kolaborasi tahun kemarin sama salah satu seniman street-wear terkenal dari Paris. Fyi aja."

"Gimana bisa jaket lo ada di dia?!" Waverly menuntut penjelasan.

"Ceritanya panjang, tapi kalau lo cemburu, tenang aja, Wave, gue belum bosan hidup. Gue nggak akan setolol itu berusaha ngedekatin kakak perempuan lo."

"Jaketnya bakal saya kembalikan. Secepatnya." Karina menoleh ke Waverly. "Ayo pulang!"

"Nanti dulu! Gue belum dapat penjelasan! Gimana ceritanya jaket Narendra bisa ada di lo?!"

Karina mengabaikan rentetan protes Waverly. Diraihnya tangan adik perempuannya, lalu ditariknya gadis itu agar beranjak mengikutinya keluar dari kantor polisi.

***

"Sebenarnya, lo ada masalah apa sama kakaknya Waverly?"

Jason meninggalkan kantor polisi bersama Narendra. Mobil yang Narendra kendarai rusak cukup parah di bagian belakang setelah ditabrak Waverly. Saat ini, mobil itu masih berstatus sebagai bukti terjadinya kecelakaan, dan akan tertahan sementara di kantor polisi. Opsi paling masuk akal yang Narendra punya selain naik taksi adalah pulang menumpang mobil Jason.

Pertanyaan Narendra membuat Jason menoleh sekilas. Posisinya yang berada di balik roda kemudi mengharuskannya tetap memberi perhatian pada jalanan di depan mereka. Lalu-lintas tidak padat. Mendung berarak di langit yang gelap. Dari kilatan petir yang sesekali membelah angkasa, Jason tebak hujan deras bakal turun sepanjang malam ini.

"Hah?"

"Di kantor polisi tadi, lo jutek banget waktu ngejawab omongan kakaknya Waverly. Kayak ada dendam pribadi." Narendra berdecak. "Tapi kalau lo beneran punya dendam pribadi sama dia, nggak mungkin juga lo repot-repotin diri nyamperin dia pas dia lagi mabuk. Pakai minjam jaket gue dan antar dia pulang segala pula."

Jason terhenyak. "Masa sih gue jutek?"

"Banget, anjir. Cara lo ngomong ke dia lebih jutek daripada pas lo ngomong ke Rashel."

"Beneran jutek banget?"

"Lo nggak lihat tadi kakaknya Waverly sampai kehabisan kata-kata ngeladenin lo? Mukanya juga langsung pucat gitu! Gue sih nggak heran kalau habis ini, dia bakal ngehindarin lo saking takutnya—ANJING, JASON!!" Narendra refleks memaki begitu Jason mengerem mendadak. Tubuhnya tersentak sampai-sampai jidatnya hampir membentur dashboard. "LO GILA YA?!"

"SUMPAH?!"

"SUMPAH! LO GILA! KENAPA LO NGEREM MENDADAK, ANJIR?!" Terdengar bunyi klakson bertubi-tubi di belakang mereka, pasti berasal dari deretan pengendara lainnya yang sama kesalnya seperti Narendra lantaran Jason tiba-tiba menghentikan mobil tanpa aba-aba.

"Ini bukan soal rem!" Jason berseru.

"Terus soal apa?!"

"Karina!" Jason membalas. "Menurut lo, dia beneran pucat dan takut sama gue?"

"Kelihatannya sih gitu." Narendra mengangkat bahu. "Kalau dia cewek waras, dia bakal ogah berurusan lagi sama lo."

Jason tertunduk lesu. Fasad dinginnya yang kokoh runtuh seketika. Ekspresi wajahnya berubah memelas campur khawatir, bagai anak kecil yang baru kehilangan ibunya di tengah supermarket besar penuh pelanggan.

"Lo kenapa deh?"

"Gue nggak bermaksud gitu..."

"Terus kenapa lo gitu? Padahal, dia sudah nunjukkin itikad baik. Dia nawarin ganti ongkos benerin mobil yang rusak. Dia juga minta maaf sekaligus berterimakasih karena sudah diantar pulang—walau kalau keingat seberapa mabuk dia kemarin malam, gue ragu dia benar-benar ingat semuanya. Termasuk ke bagian di mana dia muntah ke baju dan sepatu gue." Narendra nyerocos macam emak-emak lagi ngomel. "Tadinya, dia lumayan santai. Setelah lo nongol, dan setelah lo ngomong, dia jadi ketar-ketir. Makanya, dia buru-buru ajak Waverly pulang."

"Terus gue harus gimana?"

Narendra mengernyit heran. "Harus gimana apanya?"

"Ya harus gimana, biar dia nggak takut sama gue? Biar dia mau berurusan lagi sama gue?"

"Ngapain juga dia mau berurusan lagi sama lo?" Narendra berdecak. "Kayak, nggak ada juga alasan yang mengharuskan kalian saling berurusan kan?"

"Sekarang memang nggak." Jason menghela napas, masih murung. "Tapi ke depannya, gue masih mau berurusan sama dia."

"Apaan sih?" Lipatan di kening Narendra makin dalam. "Lo tuh sebenarnya kenapa? Kelakuan lo jadi aneh tiap lo ada di dekat dia."

"Gue kenapa itu nggak penting." Jason menyergah. "Yang penting, sekarang menurut lo gue harus gimana biar dia nggak takut sama gue?"

Narendra ternganga. Dari awal kenal Jason, dia sudah paham kalau Jason itu aneh. Laki-laki itu adalah semacam paradoks, dengan dua kutub ekstrem yang berlawanan. Suatu waktu, Jason bisa menghajar seseorang sampai berdarah-darah dan nyaris mati. Tapi di kali lain, Narendra pernah mendapati Jason menangis tersedu-sedu hanya karena menonton drama sedih macam Autumn in My Heart. Jason bisa sangat licik sekaligus mengintimidasi, namun ada saat-saat di mana dia sama tololnya seperti anak kecil yang kelewat polos.

"Kenapa itu penting?"

"Masih tanya?!" Jason mulai jengkel. "Karena ke depannya, gue masih mau berurusan sama dia! Makanya, gue nggak mau dia kapok berurusan sama gue!"

"Lo mau berurusan sama dia dalam hal apa—sebentar—handphone gue getar-getar—" Narendra mengeluarkan ponsel dari sakunya. Dia mengecek notifikasi. Ternyata, getaran itu datang dari chat yang masuk beruntun. Tawa kecilnya terlepas tanpa bisa ditahan begitu dia tahu siapa yang mengirim rentetan chat tersebut. "Ya ampun..."

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa."

"Kenapa?"

"Waverly nge-chat. Dua belas bubble chat. Bertubi-tubi. Hehe."

"Dia bilang apa?"

"Biasalah. Ngabsen penghuni kebun binatang. Caci-maki. Kayak nggak tahu Waverly aja."

"Terus kenapa lo senyam-senyum?"

"Karena Waverly nge-chat."

"Yang isinya ngabsen penghuni kebun binatang. Dan caci-maki."

"Ya terus?"

"Kalau gue jadi lo, gue nggak akan senyam-senyum ketika nerima belasan bubble chat yang isinya ngabsen penghuni kebun binatang dan caci maki."

Narendra mendelik. "Kalau gue jadi lo, gue nggak akan panik cuma karena ada satu cewek yang takut setelah gue jutekkin dan besar kemungkinan nggak mau lagi berurusan sama gue."

"Lo nangis waktu Waverly mutusin lo."

"Gue nangis, bukan panik."

"Sama aja."

"Beda." Narendra bersikukuh. "Lo belum jawab pertanyaan gue. Memangnya lo berniat berurusan lagi sama kakaknya Waverly? Buat apa?"

Jason terdiam.

"Ditanya malah diam. Eh—" Narendra kembali mengecek ponselnya yang baru saja bergetar lagi. "Wah—"

"Masih caci-maki?" Jason menebak.

"Bukan." Narendra menunjukkan ponselnya ke Jason. Terlihat postingan dari sebuah akun portal gosip para selebriti dan kalangan kelas atas ibukota memenuhi seluruh layar. "Ada yang lihat Rashel jalan sama cewek di mall siang ini."

"Oh."

"Cuma oh?"

"Terus gue harus ngapain?" Jason membalas. "Lo mau gue kayang di sini cuma karena Rashel kelihatan jalan sama cewek?"

"Inilah yang gue sebut skala prioritas yang buruk." Narendra geleng-geleng kepala. "Lo panik karena nggak sengaja bersikap jutek ke kakaknya Waverly, tapi lo santai-santai aja lihat berita Rashel jalan sama cewek?"

"Iya. Kenapa?"

"Cewek yang jalan sama Rashel itu bukan cewek biasa, Jazz! Dia soloist yang famous. Fandom-nya solid abis. Dia juga baru debut film layar lebar. Reputasinya bagus. Tipe cewek baik yang nggak neko-neko dan menjauhi kontroversi."

"Terus?"

"Teras-terus-teras-terus! Lo lupa kalau lo masih harus saingan sama Rashel buat dapetin warisan bokap lo?!" Narendra berseru. "Berita ini nunjukkin kalau Rashel sudah selangkah di depan lo! Dia jalan sama cewek! Nggak mustahil tinggal tunggu waktu sampai mereka ngeresmiin hubungan mereka! Ngelihat situasi kalian sekarang, gue bahkan nggak bakal heran kalau Rashel tiba-tiba ngelamar nih cewek! Coba bandingin sama lo? Jangankan ngelamar! Yang mau dilamar aja belum ada!"

"Sudah ada."

"Hah?"

"Orang yang mau gue lamar. Sudah ada."

"Siapa?!"

Jason bungkam.

"Siapa, Jason?!"

"Karina."

Narendra terhenyak sejenak, kemudian tertawa terbahak-bahak. Jason tidak ikut tertawa. Mata gelapnya tetap menatap serius pada Narendra.

"Uh—oke—" Narendra menyeka air mata yang mengambang di pelupuk matanya. "Cukup bercandanya. Gini deh, gue bakal coba bantu cari—"

"Lo nggak perlu bantu gue cari cewek yang mau dan layak gue nikahi." Jason memotong. "Kayak yang gue bilang tadi, orang yang mau gue lamar sudah ada."

"Jazz—"

"Orangnya Karina."

"Seriusan?"

"Serius."

"Kalau gitu, lo sama aja ngaku kalah ke Rashel."

"Apa hubungannya?"

"Potong kuping gue kalau kakaknya Waverly mau nikah sama lo."

"Deal."

Jason kembali menatap ke depan dan mengeratkan genggamannya di roda setir. 

Dia akan mendapatkan perempuan itu. 

Tidak peduli bagaimanapun caranya. 





to be continued. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro