Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

fourth note

Karena kamu bukan tipe laki-laki yang mau saya nikahi.

Jawaban Karina membuat Jason kehilangan kata-kata. Satu kalimat sederhana itu serasa sekumpulan pisau yang menghunjam tempat ke jantungnya. Mengiris harga dirinya. Seumur-umur, belum pernah Jason mendapat penolakan yang membuatnya bingung harus bereaksi seperti apa.

"Saya masih ada kesibukan lain setelah ini. Saya yakin, kamu pun juga sama." Karina beranjak dari duduknya. "Makasih karena sudah antar saya pulang malam itu. Juga karena kamu nggak menuntut Waverly atas kerusakan yang dia sebabkan ke mobil kamu. Sampai ketemu lagi... lain kali."

"Tunggu—"

Karina mengangkat alis. "Masih ada yang mau kamu bicarakan?"

"Kenapa?"

"I gave you my answer already."

"Bukan itu," Jason menggeleng. "Kenapa saya nggak masuk kriteria laki-laki yang mau kamu nikahi?"

"Karena..." Karina memandangnya sebentar. "Kamu adalah kamu."

"Kenapa sama saya?"

"Masih belum paham juga?"

Jason memiringkan wajah. "Kasih tahu saya."

"Pertama, kamu anak laki-laki Jayastu Limanjaya. Seorang Limanjaya. Track record hubungan keluarga kamu sama keluarga saya kurang baik. Kedua, kita nggak kenal secara pribadi. Ini pengakuan yang malu-maluin, tapi saya sudah kenyang berkali-kali ditipu laki-laki. Mau itu secara finansial, atau secara emosional. Saya nggak tahu saya bisa percaya kamu atau nggak. Saya nggak tahu, apakah ketentuan nggak masuk akal yang kamu ajukan ini benar-benar bakal kasih keuntungan ke kedua belah pihak, atau cuma cara kamu buat menjebak saya."

"Buat apa saya ngejebak kamu?"

"Balas dendam, mungkin? Kayak yang saya bilang sebelumnya, relasi keluarga kita buruk. Nggak mustahil kamu membenci saya—"

"Saya nggak peduli sama masa lalu, terutama yang terjadi sebelum saya lahir." Jason mendesis. "Dan kalau kamu khawatir saya bakal nipu kamu, kita bisa—"

"Jason," Karina memotong. "Saya akui, saya memang lagi putus asa. Nasib usaha saya nyaris di ujung tanduk. Tapi saya tetap punya harga diri. Saya nggak akan nikah sama sembarang laki-laki cuma untuk—"

"Bukannya ATOR penting buat kamu?"

"Memang." Karina mengangguk. "Tapi harga diri saya masih lebih penting dari ATOR."

"Karina—"

"Lagi pula, se-skeptis-skeptisnya saya sama cinta, buat saya pernikahan itu serius. Bukan main-main."

Jason menghela napas. Tatapannya tidak lagi tertuju pada Karina. Dari gejolak emosi yang terpancar di iris gelapnya, tampak dia tengah berpikir keras. Karina menganggapnya sebagai kode bahwa pembicaraan mereka sudah selesai.

"Tolong kirim bill kopi hari ini ke saya. Saya yang traktir. Kamu masih simpan nomor handphone saya, kan?"

"Nggak perlu."

Karina mengangkat bahu, lalu berbalik dan melangkah menuju pintu keluar. Diabaikannya tatapan keheranan para pegawai yang terarah padanya dan Jason secara bergantian. Dia lega Jason tidak mencoba menghentikan kepergiannya.

***

Sesampainya di rumah sakit, Narendra langsung diarahkan menuju Instalasi Gawat Darurat.

Bagi Narendra, rasanya agak berlebihan. Kakinya memang baru saja terlindas mobil, tapi sakitnya tidak separah itu. Tidak ada luka terbuka. Tidak ada darah yang mengalir deras. Kepalanya tidak pusing. Kesadarannya pun masih terjaga dengan sangat baik.

Meski demikian, harus dia akui kalau dia menikmati kecemasan yang bergelayut di paras Waverly. Wajah gadis itu pucat-pasi. Tangannya bergetar lantaran gugup bercampur takut. Setiap kali Narendra mengaduh, pundaknya langsung tersentak. Seolah-olah erangan kesakitan Narendra ikut menyakitinya.

"Aduh..." Narendra mengaduh, sengaja dilebih-lebihkan. Aktingnya seperti akting aktor panggung sandiwara murahan. "Aduh... sakit banget..."

Waverly tercekat. "Mananya yang sakit?"

"Semuanya..." Narendra mengernyit. "Semuanya sakit..."

Waverly menelan saliva.

"Kayaknya... kayaknya kaki gue mau copot..."

"Separah itukah?"

"Iyalah! Lo nggak lihat tadi kaki gue kelindas mobil gede?!"

"Perasaan mobilnya nggak gede-gede amat..."

"Logika dong, kelindas becak aja sakit, apa lagi kelindas mobil!"

Waverly mengangkat alis. "Lo pernah kelindas becak?"

"Belum pernah sih."

"Terus apa hubungannya kelindas becak sama kejadian ini?!"

"Perumpamaan doang—aduh... sakit..." Narendra pura-pura merintih. Suaranya sengaja dia buat naik-turun. Super dramatis. Tidak lupa, dia menambahkan vibrasi yang membuatnya terkesan seperti tengah menahan tangis. "Sakit banget..."

"Sori—gue benar-benar minta maaaf..." Waverly tertunduk dalam-dalam. "Gue nggak bermaksud—"

"Padahal, gue cuma mau bantu lo."

"Gue nggak—"

"Gue tahu, lo takut laba-laba."

"Salah sendiri, kenapa lo megang-megang badan gue sembarangan!" Waverly mendelik.

"Salahin laba-labanya lah! Kenapa dia ngerayap-rayap ke dada lo! Kenapa gue yang malah disalahin?"

"Lo nggak—"

"Aduh... sakit..." Narendra kembali merintih. "Sakitnya minta ampun... jangan-jangan, kaki gue harus dipotong—"

"NGGAK!! NGGAK BOLEH SAMPAI DIPOTONG!" Waverly berseru panik.

"Mau gimana lagi? Daripada gue terus-terusan kesakitan—"

"NGGAK!! POKOKNYA NGGAK BOLEH DIPOTONG!!" Waverly berpaling ke dokter yang baru saja selesai memeriksa kaki Narendra. "DOK, KAKINYA DIA NGGAK BAKAL DIPOTONG, KAN?!"

"Masih belum bisa dipastikan, Kak." Sang Dokter menyahut sopan. "Kalau dilihat secara kasatmata, memang nggak ada luka luar. Ada sedikit memar, tapi areanya nggak luas. Meski begitu, kita belum tahu kondisi di dalamnya seperti apa. Mungkin ada tulang yang patah—"

"KALAU GITU CARI TAHU DONG, DOK!!"

"Iya, setelah ini saya akan mengarahkan pasien untuk melakukan pemeriksaan mendalam kok. Kakak tenang dulu ya. Jangan panik." Sang Dokter menoleh ke Narendra. "Dari skala satu sampai sepuluh, nyerinya ada di angka berapa, Kak?"

"Sebelas, Dok. Rasanya kaki saya kayak lagi dikunyah gajah." Narendra menjawab kalem.

"Wah, berarti lumayan parah ya..." Sang Dokter meringis, kentara sekali agak skeptis akan jawaban Narendra. Soalnya untuk ukuran orang yang mengaku lagi kesakitan, Narendra jelas kelewat tenang.

"Iya, Dok. Tapi nggak apa-apa, Dok. Tenang aja, saya masih bisa tahan kok."

Setelah dipastikan Narendra tidak mengalami cedera yang mesti menerima perawatan darurat, dia diarahkan untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. Usai melakukan pengambilan foto rontgen, keduanya dipersilakan menunggu di ruang perawatan yang sudah disediakan sampai dokter selesai membaca dan menginterpretasikan hasil rontgen yang didapat.

Segera setelah mereka ditinggalkan berdua saja dalam ruangan, Narendra kembali memulai sandiwara murahannya.

"Aduh... sakit..."

"Sakit lagi? Perasaan tadi di depan dokter sama mbak-mbak perawat, lo bilang kalau kaki lo udah nggak terlalu sakit—"

"Tahu-tahu sakit lagi..." Narendra ngeles.

Waverly menyipitkan mata, menatap curiga. "Emangnya bisa begitu?"

"Bisa lah! Buktinya gue ngerasain sakit nih sekarang!" Narendra balik berseru. "Aduh... aduh... sakit banget..."

"Sakitnya banget banget apa banget aja?"

"Banget banget."

"Astaga. Sebentar, gue panggilin suster—"

Sebelum Waverly mampu beranjak dari kursi yang terletak di sisi tempat tidur di mana Narendra terbaring, Narendra cepat-cepat meraih lengannya, otomatis menahan gadis itu sehingga Waverly tidak jadi bangkit.

"Nggak usah."

"Hah?" Waverly ternganga. "Maksudnya?"

"Nggak usah panggil suster."

"Gimana sih? Lo sendiri yang bilang—"

"Tetap di sini. Jangan ke mana-mana. Gue nggak mau sendiri."

Sesuatu dalam suara Narendra sewaktu berkata begitu membuat Waverly salah tingkah sedikit. Garisbawahi kata sedikit. Cuma sedikit.

"Tapi kan—"

"Sakitnya jadi mendingan kalau lo ada di sini."

Waverly memiringkan wajah. "Lo bohong ya?"

"Loh, beneran kali!"

Waverly batal bangun. "Kalau sampai hasil pemeriksaannya nunjukkin kaki lo nggak kenapa-napa, lihat aja—"

"Berarti lo berharap kaki gue kenapa-napa?"

"Nggak gitu maksud gue."

"Bukannya harusnya lo senang kalau kaki gue nggak kenapa-napa?"

"Jelas gue bakal senang kalau emang beneran kaki lo nggak kenapa-napa—"

"Terus kenapa cara ngomong lo kayak lagi mengancam gitu?"

"Gue nggak mengancam!" Waverly mendengus. "Habisnya, lo dramatis banget! Kayak bocil yang baru jatuh dari sepeda aja! Padahal—"

"—gue nggak baru jatuh dari sepeda. Gue baru kelindas mobil. Thanks buat seseorang—"

"Okay, okay, I get it! I get it! I am sorry, okay? Gue nggak bermaksud nyakitin lo. Mana gue tahu kalau lo bakal jatuh dengan kaki melintang di jalanan dan langsung kelindas mobil?"

"What did you expect? Kita lagi ada di depan lobi mall dan kalau boleh gue ingatkan, lobi itu tempat pengunjung mall naik-turun mobil."

Waverly cemberut. "Iya, gue minta maaf."

"Apa? Nggak kedengaran."

"Gue minta maaf!"

"Hm."

"Kok cuma ham-hem-ham-hem?! Gue kan udah minta maaf?!"

"Kalau semua urusan bisa diselesaikan pakai maaf, nggak bakal ada yang namanya hukum dan polisi di dunia ini."

"Terus gimana? Lo mau laporin gue ke polisi?! Atau lo mau kaki gue kelindas mobil dulu, baru lo bisa maafin gue?!"

"Gue nggak—"

Ketukan di pintu ruangan seketika menginterupsi perdebatan mereka yang belum usai. Narendra berdeham, mengizinkan siapapun yang berada di balik pintu untuk masuk. Rupanya, yang datang adalah seorang dokter beserta dua perawat perempuan.

Sang Dokter menjelaskan kalau hasil pemeriksaannya sudah selesai diinterpretasikan. Untungnya, kaki Narendra tidak sampai patah. Hanya mengalami sedikit retak, yang akan membaik setelah satu bulan dan sembuh total setelah sekitar tiga bulan. Selama masa penyembuhan, Narendra wajib memakai gips dan menghindari melakukan pekerjaan berat.

"Karena tidak dibutuhkan tindakan lanjutan maupun operasi, pasien tidak perlu menginap di rumah sakit dan diizinkan pulang. Dimohon nanti tetap melakukan kontrol rutin sesuai jadwal ya. Sekalian, saya akan resepkan obat pereda sakit. Dikonsumsi hanya saat sakit saja ya. Kemungkinan nanti akan ada sedikit pembengkakan, tapi harusnya cuma bengkak ringan. Kalau bengkaknya tidak membaik setelah dua hari atau terasa berdenyut, dimohon segera ke rumah sakit ya."

"Oke, makasih banyak ya, Dok."

"Siap. Sama-sama."

Sesudah menyelesaikan urusan administrasi, mereka pun bersiap meninggalkan rumah sakit. Tadinya, Narendra merasa dia cukup mampu berjalan sambil dibantu kruk. Tapi Waverly memaksanya menggunakan kursi roda. Agak memalukan sebab Narendra tak menganggap cederanya separah itu, namun dia tidak mendebat Waverly karena bakal dusta kalau dia bilang dia tak menikmati segala perhatian berlebih yang mendadak gadis itu curahkan padanya.

"Waverly," Narendra memanggil selagi Waverly mendorong kursi rodanya melintasi koridor rumah sakit.

"Apa?"

"Soal gue sama kakak lo, kami benar-benar nggak ada hubungan apa-apa."

"Terus?"

"Lo nggak perlu cemburu."

Waverly berdecak. "Siapa juga yang cemburu?"

"Nebak aja."

"Tebakan lo salah."

"Ya, mungkin tebakan gue memang salah." Narendra mengangkat bahu. "Tapi yang paling penting, lo tahu kalau gue sama Karina memang nggak ada apa-apa."

Hening sesaat.

"Jadi, besok lo mau datang ke apartemen gue jam berapa?"

Waverly nyaris tersedak. "Hah?!"

"Lo dengar apa kata dokter tadi, kan? Gue nggak boleh melakukan aktivitas berat selama masa pemulihan. Harus banyak-banyak istirahat. Jelas gue bakal butuh dibantu untuk beraktivitas. Seenggaknya, sepanjang satu bulan ke depan. Kan gue tinggal sendiri."

"Terus apa hubungannya sama gue?!"

"Kan lo yang bikin gue jadi begini."

Waverly memutar bola matanya. "Nggak mesti gue juga kan yang ngurusin lo? Kita bisa sewa perawat buat ngurusin lo—"

"Gue nggak mau diurusin perawat."

"Narendra—"

"Gue maunya diurusin lo."

"Gue nggak bisa—"

"Nggak bisa?" Narendra tangkas menukas. "Yah, gue tahu lo pasti punya kesibukan sendiri. Pengennya gue juga nggak ngerepotin lo. Tapi kan lo yang bikin gue jadi begini..."

Kalimat terakhir Narendra kontan bikin Waverly tak sanggup berkutik lagi.

*

"Lo ke mana aja sih?! Gue telepon berkali-kali dari tadi siang, tapi baru diangkat sekarang!"

Narendra bahkan belum sempat mengucapkan 'halo' ketika seruan Jason lebih dulu menyemburnya dari ujung telepon. Ada gusar yang tidak biasa dalam suara Jason. Karena itu, sebagai upaya preventif untuk melindungi gendang telinganya, Narendra memutuskan mengaktifkan fitur loudspeaker.

"Buset, belum apa-apa langsung marah-marah!" balas Narendra. "Kenapa sih? Lagi uring-uringan banget kayaknya. Rashel udah ngumumin rencana pernikahannya? Atau gimana?"

"Jawab dulu pertanyaan gue. Gue yang duluan nanya." Jason merendahkan nada bicaranya. "Lo ke mana aja hampir seharian ini? Kok tiba-tiba ngilang kayak ditelan Bumi..."

"Gue baru balik dari rumah sakit."

"Kenapa? Lo sakit? Sakit apa?"

"Nanyanya santai aja. Jangan bikin gue kege-eran."

"Serius. Lo sakit apa?"

"Nggak sakit. Gue habis kecelakaan."

"Kecelakaan gimana?!"

"Ceritanya panjang. Intinya, kaki gue kelindas mobil."

"Kok bisa?!"

"Yah, begitulah. Gue sama Waverly nggak sengaja ketemu di depan mall. Kita ribut dikit. Terus dia ngedorong gue. Otomatis, gue mundur beberapa langkah. Eh, kaki gue nggak sengaja nginjak sesuatu. Kayaknya mainan anak-anak. Gue hilang keseimbangan, terus jatuh. Pas-pas-an setelah gue jatuh, ada mobil masuk lobi. Supirnya kaget, jadi nggak sempat ngerem. Terus, kaki gue kelindas."

"Terus kaki lo gimana?"

"Ada tulang yang retak. Dokter bilang, bakal membaik setelah sebulan. Baru sembuh total setelah tiga bulan. Gue disaranin ngurangin aktivitas berat dan banyak-banyak istirahat."

"Astaga..." Jason bergumam. "Saran aja nih ya, baiknya lo mulai jauhin cewek itu."

"Siapa? Waverly?"

"Siapa lagi?" Jason menyahut sarkastik. "Lo sering kena sial tiap bersinggungan sama dia."

"Nggak lah. Sebaliknya, gue malah merasa kejadian ini bawa hoki buat gue."

"Bawa hoki gimana? Tulang lo retak dan—"

"Tulang gue cuma retak. Nggak parah-parah amat, tapi cukup buat gue jadiin alasan biar dia bisa ngurusin gue."

"Ngurusin gimana maksudnya?"

"Karena gue kecelakaan gara-gara dia, ya dia wajib lah ngurusin gue sampai gue pulih. Minimal sebulan. Maksimal tiga bulan." Narendra tertawa.

"Lo berharap bisa balikkan sama dia?"

"Kalau iya?"

"Kita sama-sama tahu segimana dia benci lo. Di matanya, lo cuma laki-laki bajingan yang tiba-tiba nge-ghosting dia. Ninggalin dia tanpa penjelasan."

"Dia masih sayang sama gue."

"Pede banget."

"Gue kasih tahu ya, Jazz, yang namanya perempuan itu nggak akan bisa membenci lo kelewat dalam kecuali dia punya rasa sayang yang sama dalamnya buat lo."

"Sejak kapan lo jadi ahli perkara hati perempuan?"

"At least, gue masih lebih ahli dan lebih berpengalaman dari lo," Narendra mengejek. "Kenapa lo nyariin gue? Rashel beneran udah ngumumin rencana pernikahannya?"

"Ini bukan soal Rashel."

"Terus soal apa?"

"Karina." Jason memberi jeda sejenak. "Gue ngelamar dia hari ini."

"SUMPAH?!"

"Serius."

"TERUS?!"

"Gue ditolak," dengus Jason. "Dia bilang, gue bukan tipe laki-laki yang mau dia nikahi. Like... seriously? Coba lo pikir, kurangnya gue apa? Gue siap bantuin dia supaya usahanya bisa survive ngelewatin masa-masa sulit. Gue tawarin dia kontrak yang adil. Gue bicara sama dia sesopan mungkin. Tampil serapi-rapinya. Apa nikah sama gue seburuk itu—"

"Tunggu sebentar—gue belum benar-benar connect nih! Emangnya lo ngelamar dia kayak gimana?"

"Kayak gitu."

"Kayak gitu gimana?! Jelasin!"

Dengan setengah hati, Jason menceritakan kembali rentetan peristiwa yang dialaminya hari ini. Mulai dari pertemuannya dan Karina, usahanya untuk membuat gadis itu terkesan, tawaran-tawaran yang menurutnya masuk akal hingga penolakan Karina yang di luar dugaan.

"Ahelah, Bego! Pantesan lo ditolak! Kalau yang lo lamar cewek matre biasa yang lo comot dari sembarang night club, strategi lo masih oke. Tapi kalau yang lo lamar Karina Setiadi, lo udah bikin kesalahan fatal! Latar belakang dia tuh nggak jauh beda sama Waverly. Mereka besar di keluarga yang berkecukupan. Pride mereka tinggi banget. Nah, lo tahu-tahu nongol ngajak dia ketemuan terus—"

"—gue nawarin bantuan buat menyelamatkan perusahaan dia yang lagi kacau-balau."

"Itu kan berdasar sudut pandang lo. Kalau dari sudut pandang dia, kesannya mungkin beda lagi."

"Beda gimana?"

"Bisa aja dia ngerasa, lo seakan-akan nyangka lo bisa 'membeli' dia dengan nyelamatin perusahaannya."

"Kontrak yang gue tawarin sama-sama nguntungin kedua belah pihak—"

"Kelihatannya begitu, tapi coba pikir—" Narendra menyela. "Kalian nggak pernah kenal secara pribadi. Dia nggak tahu lo tuh orang yang kayak gimana. Apa lagi, hubungannya sama ayahnya nggak terlalu bagus. Mantan-mantan pacarnya pun brengsek semua. Wajar banget kalau dia curiga sama lo. Apa lo benar-benar berniat bantu dia, atau ini cuma siasat lo untuk manfaatin dia. Selain itu, benar yang dia bilang. Dari jaman jebot, relasi keluarga lo sama keluarganya tuh nggak bagus."

"Jadi maksud lo, gue kudu ajak dia kenalan dulu gitu? Dekatin dia... bikin dia percaya sama gue? Gue sih mau-mau aja, tapi waktu gue terbatas. Kalau sampai Rashel duluan yang nikah—"

"Itulah! Itulah masalahnya! Udah gue bilang kan, Karina bukan perempuan yang cocok untuk lo jadiin istri, kalau tujuan lo nikah adalah buat ngalahin Rashel dan ngewarisin semua aset utama yang ditinggalin bokap lo!"

Jason membisu sesaat.

"Cewek di dunia ini banyak, Jazz. Bukan cuma Karina."

Jason menghela napas dalam-dalam. "Yang gue mau cuma Karina."

"Kenapa?"

"Gue punya alasan sendiri," Jason menolak menjawab rasa penasaran Narendra. "Harus Karina. Bukan yang lain."

"Kalau gitu, lo sama aja nempatin diri lo dalam situasi sulit." Narendra berkata. "Lo harus berusaha keras meyakinkan dia supaya dia setuju. Dan lo mesti melakukan itu secepatnya. Ngelihat gimana Rashel makin dekat sama cewek soloist yang lagi dia incar itu, dia bisa ngumumin rencana pernikahannya kapan aja. Entah bulan depan. Atau minggu depan. Atau bahkan lusa. Susah ditebak."

"Lo nggak tertarik ngasih saran?"

"Ada satu yang kepikiran."

"Apa?"

"Kalau dia nggak menggubris tawaran lo, berarti jalan lainnya adalah lo harus bikin dia berutang sama lo."

"Berutang?"

"Be her hero, Jason. Bikin dia punya utang budi sama lo. Utang yang nggak bisa dia bayar pakai uang."

*

Belajar dari pengalaman, Karina tahu gosip sanggup menyebar jauh lebih cepat dari kebakaran hutan.

Tapi dia tidak menyangka kalau pertemuannya dengan Jason tadi pagi bakal sampai ke telinga ayahnya secepat ini.

Menjelang pukul setengah sembilan malam, dia masih berada di kantor dan tengah sibuk menyusun serangkaian proposal untuk mencari calon investor baru ketika ponselnya mendadak berdering. Karina cepat-cepat mengeceknya. Perasaannya sudah kurang enak begitu dia melihat kontak ayahnya terpampang di layar, tapi toh dia tetap menjawab telepon itu.

Walau kemungkinannya kecil, siapa tahu Papi berubah pikiran dan bersedia bantu aku...

"Halo?"

"Kamu di mana, Karina?"

Dia kedengaran nggak senang.

"Kenapa?"

"Kalau ditanya orang tua itu dijawab, bukannya malah balik nanya."

"Aku masih di kantor. Nyusun proposal."

"Ada urusan apa kamu sama anaknya si Jayastu?"

"Pi—"

"Nggak usah berkilah. Papi sudah tahu semuanya. Kamu kedapatan ngopi sama anaknya Jayastu Limanjaya di hotel. Berdua aja."

"Kami cuma ngopi—"

"Bullshit."

Karina mengembuskan napas lelah. "Kalau mau ngajak aku berantem, kusaranin jangan sekarang, Pi. Kerjaanku masih banyak. Aku harus lanjut—"

"Kamu sengaja ngedekatin dia ya? Karena dia punya uang. Karena dia punya pengaruh. Dan terutama, karena dia pewaris tunggal seluruh aset utama Limanjaya Group. Kamu sengaja mendekati dia supaya dia mau mengucurkan dana cuma-cuma buat usahamu yang sudah hampir bangkrut."

Karina terperangah tidak percaya. "Aku nggak—"

"Kamu sengaja memilih dia, anak laki-laki satu-satunya dari keluarga yang hubungannya nggak bagus sama keluarga kita untuk balas dendam ke Papi, kan? Untuk mempermalukan Papi, karena Papi nolak membantu usahamu keluar dari krisis—"

"Bisa kasih aku kesempatan ngomong dulu?"

"Biar apa? Biar kamu bisa lanjut membohongi Papi? Kamu itu kayaknya nggak pernah capek cari gara-gara. Dari dulu, kamu selalu melawan Papi. Selalu menentang saran Papi. Nggak pernah mau nurut." Ayahnya menyemburkan kata-kata pedas. "Kamu kira, Jason Limanjaya yang arogan itu malaikat penyelamat kamu? Kamu pikir, dia bakal bersedia bantu kamu tanpa pamrih? Dia bukan laki-laki bodoh, Karina. Kalau kamu pintar, kamu pasti sudah dengar rumor kalau dia sendiri yang menyebabkan kematian Jayastu. Apa kamu sangka, laki-laki seperti itu—"

"Papi salah. Aku nggak serendah itu."

"Apa kamu bilang?"

"Kubilang, Papi salah." Karina berkata dingin. "Aku nggak serendah itu. Bukan aku yang menghubungi dia duluan. Kebalikannya, justru dia yang ngajak aku ngopi bareng. Nggak cuma itu, dia bahkan bisa melihat potensi ATOR. Dia nawarin kerja sama. Dia bersedia jadi investor di ATOR. Dia bisa kasih aku sesuatu yang nggak bisa Papi kasih."

"And what he asked from you in return? There's no free lunch. Dia pebisnis. Nggak mungkin dia mau menggelontorkan uang yang nggak sedikit untuk berinvestasi di perusahaan yang nggak menjanjikan seperti ATOR—"

"Bahkan sampai detik ini pun, Papi masih mengecilkan usahaku."

"Karena bidang usaha yang kamu pilih itu nggak reasonable! Nggak familiar! Memangnya ada orang yang billionaire dari jualan bunga?! Nggak ada! Shelf life produk kamu pendek! Produk kamu juga bukan produk esensial! Jualan ayam goreng tepung atau teh susu masih lebih masuk akal daripada jualan bunga!"

"Aku nggak peduli." Karina mendesis. "Intinya, apapun urusanku sama Jason Limanjaya, itu bukan urusan Papi."

"Kalau kamu sampai nekat bekerja sama dengan anaknya Jayastu—"

"Apa? Papi mau ngapain kalau akhirnya aku benar-benar ngejalin kerja sama dengan Jason? Keputusan manajemen ATOR di luar wewenang Papi!"

"Kalau kamu sampai melewati batas—" suara ayahnya bertambah tajam. "Kamu bukan anak Papi lagi."

"Baguslah. Toh selama ini aku nggak pernah ngerasa kalau aku punya ayah."

"Berani-beraninya kamu—"

Tanpa pikir panjang, Karina mengakhiri telepon secara sepihak. Tidak sampai di sana, dia juga memblokir nomor ponsel ayahnya. Laki-laki itu pasti marah besar. Tapi Karina tidak peduli. Tangannya sudah gemetar. Dadanya bergemuruh, seakan-akan ada barisan gunung es yang tengah runtuh di dalam sana. Kalau dia ngotot terus-menerus bicara dengan ayahnya di telepon, dia bakal melakukan tindakan bodoh. Seperti misalnya menangis.

Karina menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ditatapnya langit-langit ruangan yang terang-benderang. Kantor ATOR sudah sepi. Mungkin hanya dia satu-satunya orang yang masih berada di kantor. Dia sudah bertekad, dia tidak akan pulang sebelum dia menyelesaikan proposal yang nanti akan dia presentasikan di depan sejumlah calon investor baru. Dia tak akan menyerah.

Nggak ada waktu buat nangis.

Karina menghela napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan diri. Lalu, dia menegakkan tubuhnya. Ketika itulah, ponselnya lagi-lagi bergetar. Takut-takut, Karina mengeceknya. Kelegaan membanjirinya begitu dia menyadari kalau yang baru masuk itu pesan dari Jason, bukan dari ayahnya atau ibunya.

Jason:
Saya minta maaf untuk hari ini.
Saya paham kenapa kamu menolak.

Oh?

Laki-laki biasanya kurang pandai menerima penolakan. Itu kesimpulan yang bisa Karina tarik setelah berhubungan dengan banyak laki-laki brengsek. Sebagian besar pernah jadi mantan pacarnya. Dia tidak berekspektasi Jason bakal menerima penolakannya dengan dewasa.

Karina:
Nggak masalah.

Jason:
Kasih tahu saya, gimana caranya saya bisa yakinkan kamu?

Karina:
Yakinin saya buat apa?

Jason:
Supaya kamu paham kalau saya nggak berniat buruk. Atau nggak bermaksud menjebak kamu.

Ralat.

Rupanya Jason Limanjaya tidak sedewasa yang Karina kira.

Karina:
Nggak perlu coba meyakinkan saya.
A no is a no.

Jason:
Karina, saya benar-benar butuh bantuan kamu.
Saya nggak bisa membiarkan saudara tiri saya mewarisi aset-aset utama yang ditinggalkan ayah saya.

Karina tepekur sejenak.

Dia masih menimbang-nimbang, memikirkan balasan macam apa kiranya yang patut dia kirim pada Jason saat sepenjuru ruangan mendadak gelap gulita. Lampu-lampu mati serentak, menjebak Karina dalam kekelaman total. Karina tersentak kaget. Dinyalakannya fitur senter yang terdapat di ponselnya.

Kemudian, dia terkesiap mendapati sekelebat bayangan gelap melintas di depan pintu yang terbuka. Bayangan itu mendekat cepat padanya. Karina tertegun, terlalu terkejut untuk bereaksi. Sewaktu dia hendak membuka mulut untuk berteriak, sebuah tangan besar telah lebih dulu membungkamnya.

Lalu, pemilik tangan besar itu menerjangnya, merobohkannya hingga jatuh membentur lantai dengan keras. 





to be continued. 

***

a/n: 

maap lama lanjutnya wkwkwkwwkwk 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro