Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

first note

PROLOG


NEW YORK.

Sialan.

Hanya sebuah kata itu yang terlintas berkali-kali dalam benak Jason selagi dia terkapar berdarah-darah di tepi seruas jalan sepi di kawasan Chinatown, New York.

Harga sebuah kebodohan memang sangat mahal. Ini semua salahnya karena mengabaikan peringatan Ernest. Padahal, teman satu apartemennya itu sudah menawarkan diri ikut menemaninya mengantar Mya pulang. Tololnya, Jason menolak tawaran yang sangat baik hati itu, beralasan kalau kawasan Chinatown tidak akan sama berbahayanya dengan East Harlem atau Midtown.

Bukan cuma itu, Jason bahkan sempat sesumbar, mengatakan kalau statusnya sebagai pemegang sabuk hitam taekwondo membuatnya bisa dengan mudah menumbangkan begundal manapun yang coba merampok atau menyerangnya. Dia lupa kalau New York tidak seperti Jakarta. Kota ini jauh lebih besar, jauh lebih sibuk dan penuh berandal jalanan yang jauh lebih berbahaya.

Belum genap sepuluh menit Jason berpisah dengan Mya di depan gedung sorority tempat pacarnya itu tinggal, langkahnya sudah dihadang beberapa pemuda berwajah oriental dengan leher, lengan dan dada berhias tato—kebanyakan tidak jauh-jauh dari gambar harimau atau naga. Streotipikal, pasaran dan jelas sekali dibuat di studio tato murahan.

Tak banyak basa-basi, mereka memaksa Jason menyerahkan dompet dan ponselnya. Jason mau-mau saja merelakan dompet, tapi dia ogah menyerahkan ponselnya. Ada terlalu banyak foto-foto, data dan kontak penting di sana. Mereka tidak terima. Jason lantas melawan.

Jason petarung yang tangguh, namun tetap tumbang karena kalah jumlah. Salah satu dari penyerangnya menikamnya dengan pisau di pinggang dan dada, meninggalkannya tergeletak bersimbah darah di pinggir jalan.

Barangkali, mereka sudah menghabisinya jika bukan karena suara letusan senjata api yang mendadak terdengar. Di tengah nyeri yang mendera dan dinginnya salju yang menggigit separuh wajahnya, Jason mendengar mereka saling mendesis dalam bahasa yang tidak dia pahami—yang kedengaran seperti bahasa Korea. Mungkin. Karena Jason tahu pasti itu bukan bahasa Mandarin atau bahasa Jepang.

Pistol kembali menyalak, membuat langkah para penyerang Jason berderap meninggalkan tempat itu.

Lalu, ada orang lain yang mendekat.

Langkahnya ringan, jauh dari kata berisik. Dia berhenti di samping Jason. Tangannya terulur ke pipi Jason yang bengkak kena hajar. Kendati sentuhannya sangat hati-hati, dalam kondisi setengah sadar, Jason tetap meringis kesakitan.

"Can you hear me?"

Suara seorang gadis.

Jason ingin menjawab, tapi mulutnya susah digerakkan. Matanya yang berat tetap terpejam sekalipun Jason berusaha amat keras membukanya, seakan-akan kelopak matanya sudah direkat lem agar terus mengatup.

Kalau gadis itu Mya, dia pasti sudah berteriak ketakutan dan mengguncangkan tubuh Jason dengan panik. Namun, gadis itu bukan Mya. Dia tidak seperti Mya. Hening sesaat, kemudian terdengar suara seorang laki-laki dari speaker ponsel yang diaktifkan.

"911. What's your emergency?"

Gadis itu menjelaskan situasinya dengan lancar, penuh ketenangan. Dia memberitahukan lokasi mereka secara lengkap. Mengikuti instruksi petugas nomor darurat yang menjawab teleponnya, dia memeriksa sekujur tubuh Jason.

"He got stabbed at least two times and is still bleeding. Wait—" Jason tidak tahu pasti apa yang sedang gadis itu lakukan, namun sejenak kemudian, dia merasakan sebuah buntalan dingin ditempelkan ke luka tusuk di pinggangnya—luka tusuknya yang paling banyak mengeluarkan darah. "I'm putting cold pressure on his stab wound. Please tell me that the ambulance is near."

"Okay, ma'am. Please stay on this call with me. The ambulance is already on the way. May I know what's your name again?"

"Karina Setiadi."

"Sorry, can you repeat, please?"

"Ka-ri-na Se-ti-ya-di."

Jason merasa agak geli sebab di tengah maut yang sedang mengintainya, dia masih bisa mendengar nada jengkel dalam suara gadis itu, yang tidak repot-repot coba ditutupi.

Karina Setiadi.

Penyelamatnya.

Jason menggumamkan nama itu dalam hati berkali-kali sebelum kepalanya terasa makin ringan. Dan kesadaran pun terenggut darinya.

***

1 |

JAKARTA.

ENAM TAHUN KEMUDIAN.

Sejak melaju melewati palang pintu gerbang depan gedung, Chevrolet Corvette C6 itu sudah menarik perhatian.

Warnanya yang hitam matte menebar hawa mahal yang kuat. Pada bagian body mobil, terdapat line-art berbentuk naga yang ditorehkan menggunakan cat hitam glossy. Jika dilihat sekilas, bentuk naganya tidak terlalu kentara. Namun saat terkena cahaya matahari atau cahaya lampu dari sudut-sudut yang tepat, kemegahan line-art naga tersebut mampu mengundang decak kagum dari siapapun yang melihat.

Jason menghentikan mobilnya tepat di depan lobi. Dia sengaja berlama-lama beberapa detik, meningkatkan antisipasi orang-orang di lobi yang diam-diam menantinya turun. Satu kaki menjejak keluar lebih dulu. Jeda sejenak. Lalu, dia keluar dari mobil.

Hari ini, Jason tidak berniat membuat orang terkesan. Namun dia perlu menunjukkan kedewasaan sekaligus pembawaan yang berkelas. Karenanya, dia sengaja memadukan sepasang sepatu keluaran Loro Piana dengan celana panjang hitam biasa dan atasan polo abu-abu dari Ralph Lauren. Rambutnya yang hitam dibiarkan jatuh alami di keningnya, tapi tetap rapi.

"Berusaha keras tampil kayak anak baik?"

Jason baru menyerahkan kunci mobilnya pada petugas parkir valet ketika suara seseorang membuatnya refleks menoleh.

Matanya langsung menemukan sepasang mata cokelat gelap milik Rashel Binaya.

"Kecewa karena gue nggak tampil senorak lo?" Jason mengangkat alis, melayangkan tatapan merendahkan ke jaket denim hitam Rashel yang dipenuhi motif print bertuliskan Balenciaga.

"At least, gue nggak munafik dan berusaha berlagak jadi anak baik di depan Pak Harja." Rashel menyebut nama pengacara ayah mereka. Lalu, laki-laki itu maju beberapa langkah. Dia membungkuk, berbisik hanya beberapa sentimeter jauhnya dari telinga Jason. "Gue tetap yakin kalau lo yang ngebunuh Papa. Dan gue bersumpah, gue nggak akan berhenti mencari sampai gue menemukan buktinya."

"Bakal lebih gampang nemuin Atlantis daripada nemuin bukti atas sesuatu yang nggak pernah gue lakukan." Jason menyergah dingin. "Kalau gue jadi lo, gue bakal hati-hati. Siapa tahu, setelah hari ini, lo dan nyokap lo bakal kehilangan semua kemewahan yang selama ini kalian nikmati."

"Oh, itu nggak bakal terjadi." Rashel menyergah seraya tersenyum miring. "Papa nggak akan ngewarisin semuanya ke lo cuma karena lo beberapa bulan lebih tua dari gue."

"We'll see."

Lalu, Jason melenggang masuk lebih dulu ke lobi.

Tidak bisa dipungkiri, tuduhan Rashel membuat Jason kesal. Meski tidak bisa sepenuhnya dikatakan tak berdasar. Tak ada seorang pun di dunia ini yang Jason benci lebih dari dia membenci Jayastu Limanjaya. Peduli setan orang mau bilang apa soal betapa gemilang sepak-terjangnya di dunia bisnis. Laki-laki itu gagal membina keluarga yang normal. Gagal jadi ayah yang normal. Dan yang terpenting, gagal membahagiakan ibu Jason hingga maut menjemputnya dua tahun lalu.

Tentu Rashel tidak akan memahami kebenciannya. Meski tidak terlahir dari istri sah, Jason ragu Rashel pernah kekurangan perhatian. Baik yang berbentuk kasih sayang maupun uang.

Rashel adalah saudara seayah Jason dari ibu yang berbeda. Jayastu Limanjaya menikahi ibu Jason karena dijodohkan. Sebuah langkah klasik yang sering dilakukan keluarga-keluarga konglomerat demi memastikan aset dan bisnis mereka tidak jatuh ke tangan yang salah. sedangkan ibu Rashel adalah perempuan yang sesungguhnya Jayastu cintai. Tiadanya restu dari Keluarga Limanjaya membuat ibu Rashel harus puas sebatas jadi perempuan simpanan.

Tapi hari ini terlalu penting disia-siakan hanya untuk bertengkar dengan Rashel.

Hari ini, pembacaan surat wasiat khusus yang direncanakan hanya dihadiri Jason, Rashel dan ibu Rashel dilakukan. Sesi pembacaan surat wasiat yang ditujukan untuk seluruh anggota Keluarga Limanjaya sudah dilakukan sehari sebelumnya. Jason tidak mengerti mengapa harus ada pembacaan surat wasiat secara terpisah, tapi mungkin itu upaya terakhir Jayastu untuk melindungi Rashel dan ibunya. Jason tahu, para om dan tantenya tak akan sudi seruangan dengan Rashel dan ibunya lebih dari lima menit.

Sesampainya di ruangan yang sudah ditentukan, kehadiran Jason disambut oleh Harja Wiguna—pengacara keluarga yang sudah mendampingi Jayastu Limantara sejak pertengahan usia 30-an hingga akhir hayatnya.

"Silakan duduk dulu, Jason. Sekarang, kita tinggal menunggu—" kata-kata Harja terputus oleh pintu ruangan yang kembali dibuka dari luar. Rashel muncul. Ibunya mengikuti di belakangnya. "Ah ya, akhirnya semuanya sampai. Duduk dulu. Gimana perjalanan ke sini? Pada kena macet nggak?" Harja berkelakar, kentara sekali mencoba mencairkan suasana.

"Nggak perlu banyak basa-basi, Om." Rashel berujar blak-blak-an. "Saya sama Jason memang nggak pernah akur dan nggak akan pernah akur. Saya bakal sangat berterima kasih kalau agenda hari ini bisa cepat-cepat selesai. Lebih cepat selesai, lebih bagus."

"Oh ya, ya. Baik, kalau begitu."

Harja meringis seraya membetulkan posisi kacamata yang bertengger di batang hidungnya. Sesudah itu, dia mengeluarkan sebuah map hitam berguratkan tulisan dalam tinta emas yang memuat beberapa lembar kertas.

"Saya akan langsung ke intinya saja ya. Untuk sejumlah aset-aset kecil dan bisnis sampingan milik Mendiang Pak Jayastu sudah dibagikan secara adil kepada beberapa saudaranya kemarin. Tapi untuk aset-aset utama termasuk Limanjaya Group baru kita bahas hari ini. Di sini, Pak Jayastu menerangkan bahwa seluruh aset-aset utama sesuai rincian dalam lampiran surat wasiat tidak secara pasti beliau wariskan hanya pada salah satu dari kalian."

"Maksudnya?" Jason mengangkat alis.

"Kelihatannya, sampai akhir hayatnya, Pak Jayastu mencemaskan kalian." Harja menjelaskan hati-hati. "Beliau memberi waktu tiga tahun terhitung sejak isi surat wasiat ini kalian ketahui, di mana seluruh aset utamanya termasuk Limanjaya Group akan beliau wariskan pada siapapun di antara kalian yang lebih dulu mencatatkan pernikahan, dan memiliki setidaknya satu anak dari pernikahan tersebut."

"What?!" Rashel terbelalak.

"Dan untuk mencegah terjadinya upaya rekayasa terhadap pemenuhan syarat di atas, seluruh aset utama Pak Jayastu baru akan diwariskan setelah pasangan pewaris yang sah dipastikan sudah mengandung calon cucu Pak Jayastu."

"That darn old man."

"Pak Jayastu menginginkan pewaris aset-aset utamanya memiliki keluarga yang... harmonis." Harja meringis. "Sekaligus memastikan kalau nantinya, aset-aset utamanya terkelola dengan baik dan dapat diwariskan ke generasi selanjutnya. Karena itu, beliau menetapkan syarat ini dalam surat wasiatnya."

"Agak hipokrit. Dia mengharapkan pewarisnya punya kehidupan keluarga yang normal, sedangkan dirinya sendiri nggak bisa seperti itu." Jason mengkritik pedas. "Batas waktunya tiga tahun ya? Seandainya sampai batas waktunya habis dan nggak ada di antara kami yang menikah atau berhasil punya seenggaknya satu anak, apa yang bakal terjadi ke aset-asetnya?"

"Sementara waktu, posisi Presiden Direktur akan dipegang oleh Djaja Kanigara. Beliau orang kepercayaan Mendiang Pak Jayastu yang sudah mendampingi Pak Jayastu selama tiga dekade penuh. Jika batas waktu tiga tahun yang ditentukan sudah habis dan belum ada satupun dari kalian yang memenuhi pesyaratan, posisi Presiden Direktur akan diberikan kepada orang yang ditunjuk oleh rapat para pemegang saham. Dikarenakan kalian berdua sudah dewasa, maka nafkah teratur hanya akan diberikan kepada Ibu Astrella sesuai poin lainnya dalam surat wasiat Mendiang Pak Jayastu—"

"Oke, saya ngerti." Jason beranjak dari duduknya. "Sori, Om Harja, seandainya nggak ngerepotin, bisa saya minta salinan surat wasiat beserta segala lampirannya dikirim ke alamat saya. Not that I don't trust you. Saya pengen ngecek langsung poin per poin. Kalau dibacakan sekarang, kayaknya bakal makan terlalu banyak waktu."

"Tentu, Jason. Nanti salinannya akan saya kirimkan ke alamat kamu."

"Kalau gitu, kayaknya akhir pertemuan ini udah jelas." Jason melirik arloji di pergelangan tangannya, membuat Rashel memutar mata dengan sepenuh rasa dongkol. "Saya sibuk, jadi saya harus pamit sekarang."

"Buru-buru banget. Mau langsung nyari calon istri?" Rashel menyindir.

"Sekalian survey wedding venue. Mungkin." Jason tersenyum kalem.

"Bukannya lo benci Papa karena dia nikahin nyokap lo hanya demi mastiin aset-aset keluarga jatuh ke tangannya? Jilat ludah sendiri banget kalau sekarang lo berniat nikahin orang cuma supaya warisan Papa jatuh seluruhnya ke tangan lo!"

"Gue bersedia ngelakuin apa aja buat mastiin warisan itu nggak jatuh ke tangan lo. Atau nyokap lo."

"Hati-hati. Ambisi lo mungkin bakal menjatuhkan lo suatu hari nanti."

"Memang, tapi sebelum itu terjadi, ambisi gue bakal menjatuhkan lo lebih dulu, Rashel."

***

"You're doomed, then."

Narendra Narasena berkata begitu usai mendengar penjelasan ringkas dari Jason perkara sesi pembacaan surat wasiat Jayastu Limanjaya tadi pagi. Mereka memang sengaja janjian ketemu di Lazuli malam ini. Lazuli adalah sebuah bar ekslusif yang jadi tempat nongkrong favorit Narendra.

"Not really."

"Yes really." Narendra menyergah sengit. "Syarat bokap lo itu benar-benar... fucked up. Menikah untuk dapat warisan itu urusan gampang. Lo tinggal cari cewek yang mau-mau aja diajak nikah kontrak dengan bayaran sekian. Selesai. Tapi soal menghamili dan punya anak itu urusan yang beda lagi. Lo nggak bisa punya anak sama sembarang perempuan. Apalagi anak sulung. Dari istri sah pula. Kalau lo salah pilih perempuan, kalau lo salah langkah, bisa-bisa lo malah kehilangan semua yang lo punya. Perempuan jaman sekarang bisa licik banget kalau sudah urusan uang."

Jason tahu yang dikatakan Narendra ada benarnya. Dia sudah bersahabat dengan laki-laki itu selama setidaknya empat tahun terakhir. Mereka dipertemukan oleh keselarasan kepentingan. Namun lambat-laun, pertemanan di antara mereka bertumbuh jadi persahabatan yang tulus. Jika ada orang yang Jason yakini tidak akan pernah menusuknya dari belakang, orang itu adalah Narendra.

Narendra selalu jujur dan apa adanya. Dia tidak akan menyalut kata-katanya dengan gula hanya untuk membuat Jason senang, atau tenang. Termasuk sekarang.

"Doesn't mean I am doomed." Jason mengangkat bahu. "Gue nggak bisa punya anak sama sembarang perempuan. Lo benar. Solusinya? Jangan nikahin sembarang perempuan."

"Kalau gitu ceritanya, kemungkinan besar lo bakal kalah cepat dari Rashel."

"Oh ya?"

"Jelas iya." Narendra membuang napas. "Rashel jauh lebih berpengalaman perkara perempuan daripada lo. Dia punya pacar—"

"Dia putus sama pacar terakhirnya tiga bulan lalu. Pacarnya selingkuh. Hamil duluan, dan lebih milih nikah sama selingkuhannya."

"Rashel bisa cari pacar baru—"

"Dia sayang sama ceweknya yang terakhir itu. Dia patah hati berat. Makanya, sampai sekarang dia belum buka hati buat orang lain."

"Tetap nggak mengubah kenyataan kalau reputasi Rashel lebih bagus daripada lo."

"Seriously? Lo ngebandingin gue sama pecundang yang lahir dari simpanan kayak dia?"

"At least, dia nggak dirumorkan membunuh ayah kandungnya sendiri."

"It's funny, though. Kalau gue dikasih pilihan, mending gue berakhir sama pembunuh daripada berakhir sama pecundang."

"Sebagian besar orang nggak akan setuju."

"Sebagian besar orang yang tolol." Jason mencerca, lanjut menyesap sisa minuman dalam gelasnya. "I am not doomed, Narasena. Malah, gue ngerasa kalau syarat itu adalah hadiah terakhir yang bisa laki-laki tua bangka itu kasih ke gue."

"Hadiah?"

"Mm-hm. Hadiah." Jason mengangguk. "Semacam batu loncatan, yang kalau gue manfaatin dengan benar, bisa bantu gue mendapatkan apa yang sudah lama gue inginkan."

"Kadang-kadang, gue benar-benar nggak paham gimana otak lo bekerja."

Jason hanya menarik senyum miring.

"Nevermind, then. Kita balik ke topik utamanya. Lo harus cari perempuan yang bisa lo nikahi, dan bersedia hamil anak lo tanpa nuntut syarat macam-macam. Bukan perempuan sembarangan, tapi juga bukan perempuan yang bakal nyusahin lo di kemudian hari. Kecuali, lo rela Rashel yang mewarisi—"

"Over my dead body." Jason memotong tegas. "Rashel harus langkahin mayat gue dulu sebelum dia bisa mewarisi Limanjaya Group."

Secara finansial, Jason tidak perlu mewarisi seluruh aset-aset utama peninggalan mendiang ayahnya untuk hidup nyaman. Buruknya komunikasi antara Jason dan mendiang ayahnya mendorongnya memanfaatkan privilese yang dia punya sebaik mungkin agar sanggup berdiri di atas kakinya sendiri. Jason enggan bergantung pada laki-laki yang dibencinya setengah mati.

Hanya saja, kepicikannya tak akan pernah mengizinkannya membiarkan Rashel menang.

Saudara tirinya itu telah menerima perhatian dan kasih-sayang yang tidak pernah Jason dapatkan dari mendiang ayah mereka. Jason mau, kali ini Rashel yang merasakan kekalahan.

"Berarti, lo harus cari calon pengantin sesuai kriteria yang gue sebut tadi." Narendra berpikir. "Kalau dari sesama keluarga konglomerat, kayaknya ada beberapa nama yang bisa lo pertimbangkan—"

Kata-kata Narendra terputus oleh bunyi benda pecah-belah yang jatuh ke lantai.

Spontan, keduanya berpaling ke arah datangnya suara. Rupanya, seorang gadis yang sedang duduk sendirian tak sengaja menjatuhkan gelasnya. Gelas kristal itu sudah pecah berhamburan. Belingnya yang terserak di lantai berkilau ditimpa cahaya lampu yang menyiram sepenjuru ruangan. Salah satu pelayan berseragam tergopoh-gopoh mendekati tempat duduk si gadis, mulai membersihkan pecahan gelas yang tersebar dengan cekatan.

Gadis itu sudah mabuk, dan sepertinya, dia datang tanpa teman.

Di Rabu malam seperti ini, Lazuli cukup sepi. Selain mereka dan gadis itu, hanya ada empat meja lainnya yang terisi. Semuanya terletak berjauhan, sibuk dengan urusan di meja masing-masing.

"Jangan lupa mingkem."

Jason melengos. "Gue mingkem."

"Nggak usah ngeles." Narendra meledek. "Jelas-jelas gue lihat lo melototin cewek itu sampai mangap-mangap."

"Gue nggak mangap-mangap."

"Cantik ya?"

"Gue nggak buta."

"Jadi, cantik atau nggak? Coba jawab yang jelas."

"Cantik."

"Namanya Karina Setiadi. Dia kakaknya Waverly."

Jason sudah tahu siapa gadis itu.

"Gue tahu siapa dia."

"Kalau lo tahu siapa dia, harusnya lo nggak melototin dia kelamaan—wait—" Narendra mengerjap. "Jazz, tolong jangan bilang kalau lo kepikiran masukkin dia daftar kandidat calon pengantin lo—"

"Dia memenuhi syarat."

"Jangan ngawur. We both know that she's off-limit."

"Oh ya? Gue nggak tahu tuh. Kenapa dia off-limit?"

"Dia anak sulung Jonathan Setiadi."

Jason kenal Jonathan Setiadi.

Laki-laki itu sama-sama pengusaha sukses nan terkenal seperti mendiang ayahnya. Bahkan boleh dikata, mereka masih satu lingkaran pergaulan. Meski begitu, sudah jadi rahasia umum kalau para Setiadi tidak pernah akur dengan para Limanjaya. Bukan hanya karena mereka bersaing perkara bisnis, melainkan juga karena peristiwa tak mengenakkan yang terjadi di antara dua keluarga sekitar seabad silam.

Konon, hampir seratus tahun lalu, upaya perjodohan antara anak perempuan Keluarga Limanjaya dan anak laki-laki Keluarga Setiadi tidak berakhir sesuai harapan. Upaya perjodohan itu gagal karena anak perempuan Keluarga Limanjaya memilih kabur dan kawin lari dengan kekasihnya yang berasal dari negeri seberang.

Ketegangan di antara kedua keluarga mestinya tidak perlu berlanjut, seandainya masing-masing pihak bersedia berbesar hati memaafkan apa yang sudah lewat. Namun sebaliknya, alih-alih saling merelakan, para Setiadi dan para Limanjaya malah memutuskan merawat ingatan sekaligus melanggengkan permusuhan.

"So?"

"Bokapnya dan bokap lo sempat ribut di acara grand opening Hotel Hillside tahun kemarin, cuma gara-gara orang event organizer-nya nggak sengaja nempatin mereka di satu meja. Selain itu, dia keras kepala. Dia juga pernah kena skandal—"

Belum selesai Narendra bicara, Jason tahu-tahu beranjak dari duduknya.

"Jason—oy—wah, beneran gila tuh orang..."

Mengabaikan Narendra yang memanggil-manggilnya, Jason menghampiri tempat duduk Karina. Langkahnya penuh percaya diri. Khas laki-laki yang tahu apa yang dia inginkan. Laki-laki yang senantiasa dihormati. Yang kemauannya tidak pernah berbalas penolakan. Tidak ada yang tahu, bahwa ada secercah kegugupan bercokol di benak Jason. Gugup yang makin lama makin membesar, seiring dengan makin dekatnya dia dengan Karina.

"Keberatan kalau saya duduk di sini? Kayaknya, kamu lagi butuh ditemani."

"Sori, nggak butuh."

"Oke, kalau kamu nggak butuh teman. Anggap aja, saya yang butuh teman."

Karina mendengus jengkel. "Terus urusannya sama saya apa? Memangnya saya kelihatan kayak perempuan yang mau-mau aja nemenin sembarang laki-laki?"

Senyum percaya diri Jason pelan-pelan memudar. "Maksud saya bukan begitu."

"Terus, maksud kamu apa? Jadi orang tuh yang jelas dikit bisa nggak?!"

"Jadi, kamu nggak bersedia nemenin saya?"

"Nggak."

"Oke—"

"Tapi karena kamu ganteng, silakan aja kalau masih mau duduk di situ."

Mata Jason yang semula meredup langsung berbinar. "Kalau gitu, saya mau tetap duduk di sini."

"Terserah."

"Sendirian aja?"

"Basa-basi murahan yang sudah basi." Karina mencibir. "Punya mata, kan? Kalau kamu punya mata, kayaknya kamu nggak perlu nanya."

Jason menghela napas dalam-dalam. "Karena kamu terlalu cantik, jadi—"

"Siapa yang bikin aturan kalau cewek cantik nggak boleh sendirian?!"

"Hng—ya—nggak ada aturannya sih..."

Karina memalingkan wajah, lalu menghantamkan gelasnya yang baru dikosongkan ke meja pualam. "Satu gelas lagi. Tolong."

Jason memandang bartender yang hendak meraih gelas kosong Karina dari atas meja. "Dia mabuk. Jangan lagi. Sudah cukup."

"Saya nggak mabuk!"

"Orang buta juga tahu kamu mabuk."

"Saya nggak mabuk! Coba tes aja kalau nggak percaya!" Karina ngotot.

"Oke, kalau kamu nggak mabuk, sebutin nama ilmiah buah mangga!"

"The fuck?! How am I supposed to know that?!"

"Kalau kamu nggak mabuk, kamu pasti tahu."

"Apa-apaan—"

"Air putih, satu gelas." Jason berkata pada bartender yang masih berdiri di depan mereka. "Sekarang."

Ketegasan dalam suara Jason membuat bartender itu buru-buru berbalik pergi, dan kembali bersama segelas air putih tidak lama kemudian.

"Makasih." Jason berujar, lantas diraihnya gelas air putih dari atas meja. "Minum ini."

"Saya nggak mau ini!"

"Tapi ini yang kamu butuhin sekarang." Jason menyahut. "Sudah cukup minumnya, Karina."

Karina mengernyit. "Kamu kenal saya?"

"Kamu nggak kenal saya?"

"Memangnya kamu siapa sampai-sampai saya harus kenal kamu?"

Jason merengut.

"Kenapa malah cemberut?"

"Kecewa."

"Kenapa kecewa?"

"Karena saya kenal kamu, tapi kamu nggak kenal saya."

"Yaudah. Sini kenalan."

Tidak ada yang lebih sia-sia daripada mengajak ngobrol orang mabuk. Jason tahu, kemungkinan besar pagi nanti, Karina tidak akan mengingat pembicaraan mereka malam ini. Akan tetapi, Jason tetap meladeni gadis itu.

"Boleh kenalan?"

"Nggak boleh."

"Lah, barusan kan kamu yang ngajak kenalan..."

"Iya juga ya?" Karina memiringkan wajah. "Oke, nama kamu siapa?"

"Jason."

"Jambon?"

"Ja-son."

"Jason?"

"Mm-hm."

"Jelek amat namanya. Nggak ada yang bagusan dikit?"

"Contohnya?"

"Contoh apanya?"

"Nama yang bagusan dikit."

"Daniel bagus."

"Kalau gitu, khusus untuk kamu, kamu bisa panggil saya Daniel."

Karina tertawa. "Tom juga bagus sih. Tom aja kali ya?"

"Anything you want."

"Halo, Tom."

"Halo, Karina."

"Gemes banget. Tom. Kayak nama anjing saya yang mati dua tahun lalu."

Jason tercengang, betulan kehabisan kata-kata.

"Tom anak baik." Karina bergumam, lalu dia menggeser sikunya, bermaksud bertopang dagu.

Tapi alkohol yang mengalir dalam darahnya membuatnya susah mengontrol gerakannya. Sikunya justru menyenggol gelas berisi air putih yang masih setengah penuh. Gelas itu roboh seketika, menumpahkan air yang luber melewati tepi meja. Karina spontan memekik saat merasakan air membasahi bagian depan kemejanya. Sebagian menetes ke bagian paha celananya.

"Stay still."

Cepat-cepat, Jason mencabut beberapa helai tisu dari kotak. Dia melap bagian depan kemeja Karina menggunakan lembaran tisu tersebut. Karina menatap Jason, mengerjap bingung beberapa kali.

"Tunggu di sini sebentar. Jangan ke mana-mana."

Lantas, Jason beranjak dan kembali mendatangi tempat duduk Narendra.

"Pinjam jaket lo. Gue lagi nggak bawa jaket."

"Hah?!" Narendra kontan ternganga.

"Copot jaket lo! Sekarang!"

"Jaket ini tuh merek—"

"Kemeja Karina putih. Agak tembus pandang kalau basah. Pinjam jaket lo."

"Seriously, Jason?!"

"Buruan! Siniin jaket lo!"

Narendra hanya bisa bersungut-sungut. Lelaki itu melepas jaketnya, memberikannya pada Jason. Jason menyambarnya, dan melangkah tergesa mendekati Karina.

"Pakai ini. Kemeja kamu basah."

"Ini jaket kamu?" Karina mengernyitkan hidung. "Bau sapi."

"Nggak penting ini jaket siapa. Bawa aja."

"Oh?"

"Kamu sudah mabuk. Saya saranin, kamu pulang sekarang."

"Iya ya?" Karina berpikir sebentar. "Saya telepon dulu—"

"Saya bisa antar kamu pulang."

"Hah?!"

Jason berdeham. "Saya tahu kamu tinggal di mana. Saya bisa antar kamu pulang."

"Oh ya... oke..."

Jason membantu Karina berdiri bersamaan dengan Narendra yang kehilangan kesabaran dan memutuskan menghampiri keduanya.

"Lo mau bawa dia ke mana?" Narendra bertanya penuh selidik.

"Balik." Jason menyahut singkat. "Sebentar. Handphone gue—kayaknya ada telepon masuk—bisa tolong bantu pegangin dia sebentar? Gue cek handphone dulu, mungkin teleponnya penting—"

"Jason—darn it, man—astaga—" Narendra hanya bisa pasrah sewaktu Jason mendelegasikan tugas memegangi Karina padanya sementara laki-laki itu menepi ke sudut ruangan untuk menjawab telepon.

"Kamu temannya?" Karina menengadah, memandang Narendra yang lebih tinggi darinya.

"Iya."

"Ini jaket kamu ya?"

"Iya."

"Pantesan..."

"Pantesan?"

"Jaketnya bau sapi. Kamu juga bau sapi."

"Bau sapi—wah—apa maksudnya—wah—kacau—" Narendra agak tersinggung, sebab mustahil parfum mahal yang dipakainya malam ini menebar aroma yang mampu mengingatkan seseorang pada bau sapi. "—kayaknya hidung lo rusak karena kebanyakan minum deh—"

"Sebentar—"

"Sebentar kenapa?"

"Sebentar..."

Narendra mengangkat alis. "... ya?"

"Saya mau—"

"Lo mau apa?"

"Saya mau—"

Kata-kata Karina terputus ketika dia membungkuk, kemudian muntah di baju Narendra.

***

Belum pernah Waverly merasakan nafsu membunuh yang sebegini hebatnya.

Semuanya gara-gara pesan singkat yang didapatnya dari petugas security lobi gedung apartemen kakaknya semalam. Pesan itu menyebut kalau Karina pulang dalam keadaan mabuk. Bukan cuma itu, Karina juga diantar oleh laki-laki yang digambarkan sang petugas security dengan kata-kata seperti "tinggi", "putih" dan "ganteng".

Waverly tidak berniat mengurusi kehidupan pribadi Karina. Namun tidak peduli sesering apapun mereka bertengkar, Karina tetap kakak kandungnya. Satu-satunya.

Meski kelihatan tangguh di permukaan, Waverly tahu kalau sama seperti kebanyakan orang, Karina juga punya sisi rapuh yang mati-matian coba ditutupi. Waverly mencemaskannya, tapi terlalu gengsi terang-terangan menunjukkannya. Makanya, dia rutin bertukar kabar dengan petugas security lobi gedung apartemen untuk tahu keadaan terkini kakak perempuannya.

Tidak biasanya Karina pulang dalam keadaan mabuk. Bersama laki-laki pula. Ini pertama kalinya, sejak skandal yang merebak dua tahun lalu.

Didorong rasa penasaran, Waverly meminta petugas security gedung memotret diam-diam laki-laki yang mengantar Karina pulang saat laki-laki itu kembali melintasi lobi.

Hasilnya?

Emosi Waverly langsung meluap di detik pertama dia melihat foto buram yang dikirim si petugas security.

Sebab, mustahil dia tidak mengenali sosok laki-laki yang ada dalam foto buram tersebut.

Itu Narendra—laki-laki brengsek yang memacarinya, kemudian meninggalkannya begitu saja enam bulan lalu.

Waverly meradang semalaman. Lanjut uring-uringan sepanjang pagi hingga petang. Berlalunya waktu tidak membuat emosinya mereda. Malah kebalikannya, kawah amarahnya makin menggelegak, seakan tinggal tunggu waktu sebelum murkanya betulan muntah.

Setelah semua yang dia lakuin ke gue, bisa-bisanya dia coba-coba ngedeketin Kay! Dasar bajingan!

Waverly masih merutuk sambil meninju roda setir mobilnya ketika sekonyong-konyong, mobil yang melaju di depannya menepi.

Waverly tersentak kaget, langsung lupa akan kemarahannya. Sempat terpikir olehnya banting setir ke kanan, tapi sisa waktunya terlalu sedikit. Akhirnya, tabrakan pun tidak terhindarkan. Suara keras terdengar saat moncong mobil Waverly menerjang bagian belakang mobil yang mendadak menepi.

"Sialan."

Waverly mendesis, lalu mengerang kesakitan sambil menyentuh keningnya yang sempat membentur tepi setir. Seseorang turun dari mobil di depannya, berjalan mendatangi mobilnya. Orang itu membungkuk, mengetuk kaca samping pengemudi mobil Waverly yang masih tertutup.

Narendra?

Mengabaikan keningnya yang berdenyut, Waverly menurunkan kaca mobilnya.

"Wave?"

Waverly mendengus. "Kalau nggak punya otak, baiknya jangan nyetir mobil sendiri."

"Bukannya lo yang nabrak mobil gue dari belakang?"

"Oh, jadi lo nyalahin gue?" Waverly membalas sinis. "Padahal jelas-jelas lo yang minggir tanpa ngasih tanda—"

"Gue ngasih tanda." Narendra menukas. "Kalau lagi nggak bisa fokus, baiknya jangan nyetir mobil sendiri."

"Tutup mulut lo—"

"Lo yang harusnya tutup mulut sekarang." Narendra memotong, membuat Waverly makin gondok. "Buka pintunya. Keluar dari mobil. Sekarang."

"Lo pikir lo siapa bisa merintah-merintah gue seenaknya?!"

"Turun, Wave. Sekarang."

"Lo nggak bisa merintah—"

"Gue kasih lo waktu tiga detik."

"Gue nggak peduli—"

"Tiga."

"Brengsek, Narendra—"

"Dua."

"Fine!" Waverly berseru, memilih menyerah karena dia tahu meladeni orang sesinting Narendra di pinggir jalan yang sedang ramai bukan tindakan bijak. Dia melepas sabuk pengaman dengan kasar sebelum turun dari mobil. "Gue sudah turun. Terus apa? Lo mau minta ganti rugi?! Gila kalau iya! Yang benar aja?! Jelas-jelas lo yang minggir mendadak—"

Cerocosan Waverly langsung terhenti saat kedua telapak tangan Narendra yang lebar menangkup wajahnya. Laki-laki itu memiringkan kepala Waverly ke kiri, lalu ke kanan. Mengeceknya teliti, bahkan hingga ke pangkal leher.

"Nggak ada luka luar yang kelihatan, selain memar di jidat lo. Kita ke rumah sakit aja sekarang. Perlu pemeriksaan menyeluruh buat mastiin nggak ada pendarahan dalam di kepala. Pusing nggak?"

Waverly mengerjap berkali-kali. "Hah?"

"Nah, mulai lemot. Ada kemungkinan, lo gegar otak—"

"Gue nggak lemot! Gue cuma nggak ngerti, kenapa lo—"

"Lihat jari gue." Narendra mengacungkan telunjuk kanannya di depan wajah Waverly. "Ini berapa?"

"Apa-apaan sih?! Gue nggak kenapa-napa! Cuma memar di jidat dan—"

"Kita ke rumah sakit aja deh. Yang terdekat jaraknya cuma sekitar dua kilometer dari sini. Mobil lo ditinggal aja. Nanti gue bisa minta tolong orang—"

Waverly menampar wajah Narendra, memutus kata-kata Narendra yang belum selesai secara instan.

"Nggak usah sok perhatian sama gue." Waverly berkata ketus. "Gue nggak butuh perhatian palsu dari bajingan brengsek kayak lo."

Narendra memiringkan wajah. Rona merah mekar di pipinya yang kena tampar. Tawa kecilnya terlepas, terkesan geli bercampur frustrasi.

"Oke. Gue paham. Lo masih marah sama gue—"

"Bukan sekadar marah. Gue benci sama lo. Dan akan selalu benci." Waverly menyahut tajam.

"Ah ya. Benci. Lo benci sama gue. Nggak apa-apa. Gue nggak akan maksa ngantar lo ke rumah sakit, tapi lo tetap perlu ke rumah sakit."

"Gue tahu apa yang perlu dan nggak perlu gue lakukan." Waverly mengepalkan tangannya. "Sebaliknya, gue rasa lo yang justru harus dikasih tahu apa yang perlu dan nggak perlu lo lakukan."

"Oh ya?" Narendra tersenyum miring. "Kayak apa misalnya? Sesuatu yang perlu gue lakukan, dan sesuatu yang nggak perlu gue lakukan."

"Simpel." Waverly meneruskan. "Yang nggak perlu lo lakukan... misalnya adalah main-main sama kakak gue. Dan yang perlu lo lakukan, contohnya... hm, mungkin jauh-jauh dari kakak gue?"

Narendra terperangah. "Maksud lo apa—"

"Semalam, lo ke apartemen Kay, kan?"

"Lo tahu dari man—fine, nevermind. Lo pasti mikir yang nggak-nggak karena gue ikut ngantar kakak lo pulang. Tapi kejadian sebenarnya nggak kayak asumsi-asumsi liar yang ada dalam kepala lo."

"Lo ke apartemen Kay. Lo antar Kay yang lagi mabuk pulang. Iya atau nggak?"

"Waverly—"

"Iya atau nggak?"

"Kalau iya, kenapa? Lo cemburu?"

Waverly melotot. "Buat apa gue cemburu sama bajingan yang hobi main perempuan kayak lo!? Geez, you're too full of yourself! Gue cuma nggak mau kakak perempuan gue berurusan sama laki-laki rendahan kayak lo! Nggak lebih dari itu?"

"Terserah lo mau ngomong apa." Narendra membalas. "Tapi lo tetap harus ke rumah sakit."

"Gue ke rumah sakit atau nggak, itu bukan urusan lo."

"Oke, kalau gitu lo yang maksa gue ngelakuin ini."

"Ngelakuin apa?"

Narendra mengeluarkan ponselnya, mendial serangkaian nomor, dan menempelkan ponselnya ke telinga.

"Halo, dengan Polres Jakarta Selatan? Saya atas nama Narendra Narasena ingin melaporkan kecelakaan yang terjadi nggak jauh dari kantor anda. Mobil saya ditabrak dari belakang. Nggak ada korban jiwa, tapi ada satu orang luka. Butuh pertolongan medis. Lebih bagus kalau ada ambulans yang bisa dikirim ke sini, karena titik cederanya ada di kepala. Baik, terima kasih banyak, Pak. Titik koordinat lokasinya akan saya kirim di pesan setelah ini. Siap. Sekali lagi, terima kasih banyak."

"Lo—" Waverly tercekat. "Lo beneran telepon polisi?!"

"Nggak tahu ya." Narendra tertawa santai. "Coba kita tunggu lima belas sampai dua puluh menit lagi. Kalau ada mobil polisi dan ambulans datang, berarti ya, gue beneran telepon polisi."

Waverly mengangkat tangannya, berniat melayangkan tamparan kedua. Kali ini, Narendra lebih cepat. Tangannya gesit menangkap pergelangan tangan Waverly yang terangkat. Ditariknya Waverly hingga gadis itu menubruk dadanya.

Lalu, Narendra merunduk, mengecup sekilas jemari tangan Waverly yang berada dalam genggamannya.

"Apa-apaan—" Waverly buru-buru menarik tangannya dari genggaman Narendra.

Narendra menyeringai. "Gardenia. Wanginya belum berubah. Masih sama kayak dulu."

"Bajingan—"

"Ya, ya, Wave. Lo sudah bilang gitu berkali-kali. Gue memang bajingan. Nah, sekarang dengarin kata-kata bajingan ini baik-baik ya? Balik ke mobil lo dan duduk manis di sana sampai polisi dan ambulans datang. Oke?" 





to be continued. 

***

a/n: 

yak, akhirnya chapter satu dah naik. 

gue menjadwalkan ini dilanjut setiap sabtu sih, tapi gak menutup kemungkinan bisa lebih cepet juga wkwkwk 

kita liat ntar lah ya. 

makasih udah baca, sampai ketemu di chapter selanjutnya!

ciao

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro