ꗃ 𖤘 ::┊Chapter 2 : ❛Warm.❜
Kala mata terbuka, si surai putih menjadi yang pertama terlintas dalam benak.
▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃
“Gojo-sensei!!!”
Gojo mengangkat kepala. Menatap Megumi yang sedang berlari ke arahnya sebentar. Lantas, mengalihkan atensi ke arah gadis yang meringkuk dalam gendongan. [Name]. Wajah gadisnya pucat sejak ia membawanya dari Osaka ke Tokyo menggunakan kemampuan teleportasinya.
“Aku sudah melakukan apa yang kau mau, Sensei. Shoko-san dalam perjalanan kemari.”
Gojo kembali melihat ke arah Megumi. “Kerja bagus, Megumi,” balasnya. Menyunggingkan senyum.
“Kalau begitu, aku akan pergi.”
“Huh? Kau mau ke mana?”
Megumi menatapnya dengan tatapan tajam. Padahal, itu tidak ada pengaruh sama sekali untuknya. Gojo tidak takut. Namun, akan pura-pura merasa ngeri.
“Ada misi yang harus kukerjakan dengan Itadori dan Kugisaki. Mereka sudah menunggu sejak tadi dan menelponku berulang kali,” jawab Megumi. Terlihat cukup tertekan.
“Ah, begitu. Ya sudah, cepat pergi sana!”
“Hish!”
Gojo tersenyum mengiringi langkah Megumi yang menjauh. Kemudian, saat anak muridnya hilang dari balik pagar kediamannya, ia kembali menatap sang gadis. Pandangan mata berubah, agak melembut dan khawatir. Lantas, membawa gadisnya masuk ke dalam ruangan besar. Kamarnya. Membaringkan tubuh gadis itu di atas ranjang empuk lalu menyelimutinya dengan selimut dan menyalakan penghangat ruangan.
Gojo duduk di tepi ranjang. Tangannya bergerak mengusap rambut ke belakang. Lalu, menatap ke arah sang pujaan hati yang kini memasang wajah cukup damai meskipun warna pucat itu benar-benar mengganggu kecantikannya.
Tangan kanannya terangkat, mengelus-elus pipi [Name] dengan lembut. Dingin. Kulit gadisnya terasa beku layaknya es. Dengan keadaannya yang seperti ini, jika saja Gojo datang terlambat, mungkin hal yang sangat buruk dan kejadian yang tidak ia inginkan akan terjadi. Saat ini, Gojo hanya punya [Name]. Untuk ia anggap sebagai orang yang benar-benar berharga dan ia andalkan. Orang yang telah mencairkan hatinya kala menjadi es. Saat ia menutup diri dari orang lain setelah kehilangan kawan baik.
“Tapi ... para orang tua itu malah berusaha menyingkirkanmu ...,” ucap Gojo dengan suara rendah. Tangan kirinya mengepal erat. Menunjukkan urat-urat yang mengerikan.
“Gojo.”
Gojo menolehkan kepala. “Oh? Kau sudah datang, Shoko? Kenapa lama sekali?” Pandangan mata mendapati teman lamanya, sejak mereka sekolah menengah atas. Bernama Ieiri Shoko.
“Hm? Kau pikir aku tidak sibuk? Banyak penyihir yang datang padaku untuk disembuhkan.”
Gojo menatap wanita itu melangkah mendekati gadisnya. Lantas, dia menyentuh pergelangan tangan [Name] untuk memeriksa sesuatu.
“Kenapa [Name] bisa sampai seperti ini?” tanya Shoko.
Gojo mengernyitkan kening. Mengingat keadaan gadisnya yang terbaring di atas salju beberapa saat yang lalu. Itu terasa cukup menyesakkan untuknya. Lantas, ia mengedikkan kedua bahunya malas. Menjawab, “Para petinggi memintanya melakukan misi tingkat tinggi saat kondisinya belum pulih ....” Gojo kembali mengepalkan tangan. “Mereka sengaja melakukan itu untuk mencelakai gadis ini.” Suaranya makin rendah terdengar.
“Ah, begitu, ya? Mereka belum menerima keberadaan [Name] sebagai pasanganmu?”
“Yah, mereka berpikir aku bisa melemah hanya karena [Name] bersamaku.”
“Maaf sekali, tapi ... kau terlihat lebih menyeramkan dan menyusahkan semenjak menjalin hubungan dengan [Name].”
“Kau pikir begitu?” Gojo menatap Shoko. Mendapati wanita itu tengah memakai sarung tangan.
“Tidak hanya aku. Orang lain pun berpikir seperti itu.”
“Hee? Begitu, ya? Itu artinya ....” Gojo berdiri. “Para petinggi ingin membunuh [Name] untuk menghancurkanku,” ucapnya.
“Pastinya. Melihatmu yang makin kejam pasti akan sangat menyusahkan mereka.”
“Shoko, kau jaga [Name] dengan baik. Aku akan pergi mengurus ini.”
“Traktir aku.”
“Terserah.”
Kedua kelopak mata bergerak. Perlahan, terbuka menunjukkan keindahan mata hitam keabuan yang memancarkan binar cahaya. Ia mengejab. Lantas, menatap acak tempat yang terasa tak asing baginya. Kamar sang surai putih. Kekasih hatinya. [Name] membulatkan mata. Bangun dari baringnya. Memegang kepala yang sedikit berdenyut sakit, lalu menoleh kanan kiri mencari keberadaan sang surai putih.
“Oh? Kau sudah bangun. Syukurlah.”
[Name] melirik. Mendapati Shoko duduk di atas kursi seraya meminum minuman. Mungkin alkohol. Karena, aromanya cukup menguar dan menyengat. Membuat [Name] menahan napas sebentar sebab tak suka dengan baunya.
“Shoko ... Satoru di mana?” tanya [Name].
“Istirahatlah dulu. Kau masih belum pulih.”
Si gadis mengulum bibir. Sedikit keberatan. Namun, ia tetap mengikuti kata Shoko. [Name] menyandarkan diri pada sandaran ranjang. Mengembuskan napas panjang. Setelah merasa cukup baik, ia menolehkan kepala ke arah Shoko lagi. “Satoru di mana?” tanyanya.
“Hmm ... kau benar-benar mengkhawatirkannya?”
[Name] mengangguk. Kemudian membalas, “Aku ingin menemuinya.”
“Dia ada masalah dengan para petinggi.”
“Eh?”
“Ini bukan yang pertama kali. Kau tidak perlu terlalu khawatir.”
[Name] mengejab. “Apa ... ini masalah hubunganku dengannya?” tanyanya. Si gadis sudah sering kali memikirkan ini. Risiko ia menjalin hubungan dengan Gojo. Para petinggi pasti tidak akan setuju dan menentang. Yah, kapan mereka menyetujui keputusan si surai putih yang kadang sangat ekstrem dan penuh risiko?
[Name] tahu. Perasaan yang berhasil ia munculkan dalam diri Gojo bisa saja menjadi penghalang bagi pria itu. Mengeluarkan sisi manusia si surai putih yang mungkin akan mengganggunya saat menjalankan misi. Namun, ia juga tidak bisa menahan perasaan yang membuncah dalam dirinya. [Name] mencintai Gojo. Tulus dari dalam hatinya tanpa paksaan atau apa pun itu. Mungkin, ketulusan itu juga yang membuatnya bisa diterima oleh si pria.
“Kau benar. Ini tentang hubungan kalian.”
“Sudah kuduga.” [Name] mengalihkan pandangan.
“... Tapi kau tahu, [Name]?”
Si gadis menolehkan kepala. Menatap Shoko dengan tatapan bertanya. “Tahu apa?”
“Saat Gojo membawamu ke sini, aku melihat ekspresi yang jarang ia keluarkan. Dia terlihat ... takut.” Shoko berdiri dari duduk dan [Name] tetap menatap wanita itu saat ia terlihat menyiapkan sesuatu.
“Selama aku mengenalnya, dia jarang menunjukkan ekspresi seperti itu. Kau tahu? Orang yang punya segalanya jelas tidak akan menunjukkan rasa takut mereka, tapi apa yang kulihat hari ini berbeda dengan dia yang selama ini kukenal. Mungkin ... itu karena kau benar-benar 'sesuatu' baginya. Jika saja tidak, dia tak mungkin menerima dan benar-benar menghargaimu sekarang. Jarang pria dengan sifat bodoh sepertinya menghargai yang namanya wanita.”
[Name] membulatkan mata. Diam menyelami pikiran. Ia tidak berpikir ke sana karena terlalu fokus dengan kekhawatiran serta pikiran negatifnya pada hubungan mereka. Lantas, ia menyunggingkan senyuman. Wajahnya pun melunak. Kedua netranya pun berbinar terang. Kini merasa hangat. Lantas, ia tersenyum lebar lalu menjawab, “Terima kasih, ya, Shoko.”
“Kalian berdua harus mentraktirku setelah ini. Buat apa kaya dari lahir kalau tidak berbagi?”
Si gadis menanggapi dengan senyuman. “Jadi, bisa kamu katakan padaku ke mana Satoru pergi?”
“Dia ... pergi menjalankan misinya.”
“Aku ingin menemuinya.”
“Bisa, tapi tunggu dia pulang atau aku yang akan kena imbasnya jika mengizinkanmu keluar setelah sadar. Cuaca di luar sana benar-benar buruk.”
“SHOKO! [NAME] SUDAH SADAR???”
[Name] dan Shoko menatap ke arah pintu. Mendapati Gojo berdiri di sana setelah membuka pintu dengan kasar. Si gadis mengejab. Menatap ekspresi yang si pria pasang. Khawatir. Itu membuatnya tersenyum.
“Hm? Dia yang datang rupanya. Ya sudah, aku akan pergi. Sampai jumpa, [Name]~”
“Iya, terima kasih, ya, Shoko~” Si gadis melambai. Menatap Shoko melangkah sampai pintu.
“Minggir, Gojo. Aku mau lewat,” ucapnya.
“Kasar amat.”
[Name] terkekeh. “Satoru?” panggilnya.
“Kau baik-baik saja sekarang???” Gojo berlari ke arahnya. Lalu, merebahkan tubuhnya yang besar di tepi ranjang dengan kepalanya berada di atas pangkuan [Name]. Kedua tangan pria itu melingkari pinggangnya yang mungil. Menenggelamkan wajahnya di perut rata milik [Name].
“Aku baik-baik saja, kok. Kamu dari mana?” tanya [Name]. Terdengar khawatir.
“Menemui para petinggi.”
“Masalah hubungan kita?” Tangannya bergerak mengelusi surai putih milik Gojo.
Gojo tampak bungkam. Lalu menjawab, “Kurasa kau sudah menebaknya, ya, [Name]~?” tanyanya dengan jenaka.
“Iyaa. Jadi, bagaimana hasilnya?”
“Aku membungkam mereka dengan ancaman.”
“Satoru ... itu tidak menyelesaikan masalah, loh,” ucap [Name].
Gojo mengusap tengkuk. Ekspresinya mengeras. “Kukatakan berkali-kali pun mereka tidak akan setuju denganku. Kau pasti tahu itu ‘kan? Lagiaaaannn mereka tidak ada hubunganya dengan kita, tau,” ucapnya. Cemberut.
“Kamu benar, tapi tak masalah? Kurasa ... mereka akan mengganggu kita sampai benar-benar berpisah.” [Name] mengedikkan kedua bahu.
“Heee, kenapa? Kau takut kalau itu terjadi?” Gojo tersenyum menggoda seraya menopang dagunya.
“Tidak, kok. Aku yakin.”
Gojo memeluknya. Menggesekkan wajah ke atas perut ratanya. Pria itu membuka mulut, menggigit perut [Name] dan itu malah terasa geli.
“Hei, hentikan!” Si gadis tertawa.
“Hangatnyaaa~~!”
Tawa mengalun lembut. Membuat Gojo mendongak menatap gadisnya. Mendapati [Name] merona tipis seraya tersenyum lebar.
“Heee.”
Pelukan mengerat. [Name] mencium puncak kepala Gojo dengan lembut. “Okaeri~”
Si surai putih melotot. Kaget. Lantas, terkekeh kecil. Ia tidak akan merasa sangat terkejut lagi jika gadisnya yang berkata seperti ini. “Tadaimaa~!” jawabnya. Menggesekkan kembali wajahnya pada perut [Name]. Merasakan kehangatan dari gadisnya juga kenyamanan yang tidak akan ia dapatkan dari siapa pun lagi.
Dinginnya suhu yang makin rendah tidak membuat mereka menggigil. Karena ... bekunya suasana dengan mudah mencair sebab kehangatan yang menguar dari mereka. Kedua insan yang saling berbagi kehangatan di musim dingin ini.
❆
❆
❆
❆
❆
❆
❆
─➛✎﹏ NOTE ::
Keknya ini udah mengandung manis gak, sih😭😭😭
Love Regards.
Ann White.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro