Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Perempuan Aneh & Kopi Pahit


-

-

Mendung hari itu tampak tebal di atas langit. Dari balik jendela mobil, Djuan mengintip ke atas. Agaknya hujan akan turun sebentar lagi. Berbanding terbalik dengan suasana pekat di luar, dada Djuan dipenuhi perasaan bersyukur hari ini. Pesan seseorang di ponselnya yang jadi penyebab.

Om Haryo:

Dju, Mama kamu baru selesai operasi.

Sekarang sedang dipindahkan ke ruang rawat.

Kamu yakin enggak mau jenguk ke sini?

Djuanda:

Selesai UTS aku pulang

Salam buat Mama

Terima kasih banyak Om udah jaga Mama

Bibir Djuan melengkung tipis kala teringat pesan itu. Namun, di antara perasaan lega yang bersemayam, sejujurnya Djuan masih belum dapat menerima Haryo di antara dia dan ibunya. Di satu sisi, dia takut Haryo sama seperti ayahnya, tetapi di sisi lain Mila sangat membutuhkan Haryo sekarang. Apalagi dengan semua pengorbanan sang ibu, Djuan merasa bersalah bila masih egois dengan perasaannya sendiri.

"Dju, udah nyampe. Ayo!"

Djuan tersentak. Dia kemudian merenggangkan tubuhnya dan menguap lebar.

"Lu tidur? Pantesan gua panggil diam aja," decak Wina sembari mematikan mesin mobil dan keluar dari sana.

Cengiran Djuan tampak di bibir sebelum dia mengikuti Wina. Arah pandangan Djuan terfokus pada bangunan tua dari kedai kopi di depannya. Baskara Kopi.

"Lu yakin di sini lagi cari part time?" tanya Djuan sekali lagi sembari memandangi Wina dan kedai kopi itu bergantian.

"Seratus persen yakin. Gua biasa kok nugas di sini. Minggu kemarin gua udah ngobrol sama yang punya, katanya lagi cari pegawai baru," cerita Wina kemudian berjalan ke depan. "Hayuk! Ai maneh malah bengong."

Sambil menggaruk tengkuknya, Djuan mengekori Wina untuk masuk ke dalam kedai kopi di area jalan Dago itu. Kafe yang katanya sering dijadikan tempat mengerjakan tugas para mahasiswa di kampusnya. Aksen kayu mendominasi bangunan itu. Aroma kopi menyambut Djuan begitu dia masuk ke dalam. Wanginya semakin gurih dan kental begitu dia berdiri di tengan ruangan.

"Dju, sini!" panggil Wina meminta Djuan mengikutinya ke salah satu ruangan berpintu cokelat tua di dekat kasir. Sebuah ruangan besar lain pun menyambut Djuan. Di sana, mesin besar dengan biji-biji kopi yang sedang dibakar mencuri fokus Djuan. Asap tipis dari mesin itu membumbung sampai ke langit-langit yang dibiarkan terbuka setengah. Sepertinya ini biang kerok aroma kopi di ruangan tadi.

Pria paruh baya yang rambutnya sudah memutih sempurna tiba-tiba muncul dari ruangan tanpa pintu di sisi kiri. Dia tersenyum menyapa Wina. "Udah datang, Neng? Kok enggak ada suaranya?"

Wina mendekat lantas tanpa sungkan mencium punggung tangan pria itu. "Baru sampai, Uak. Tadi kata Kang Babas suruh masuk aja ada Uak lagi nge-roasting di belakang. Sendirian aja, Uak? Enggak ada yang bantu?"

"Atuh mau gimana lagi? Pegawai saya yang lain pada keluar. Sisa dua, lagi bantu si Baskara ambil biji kopi di luar," cerita pria tua itu sembari mengamati biji kopi di dalam mesin.

"Kebetulan. Aku bawa orang buat bantu-bantu di sini," sahut Wina sembari menarik tangan Djuan untuk mendekat. "Uak, kenalin ini namanya Djuan. Teman aku di kampus, yang aku ceritain kemarin ke Kang Babas."

Senyum terbit di bibir Djuan. Selagi tatapannya mengawasi pria tua itu. Kaos polos, celana pendek, tubuh kurus, dan rambut gondrong yang putih sempurna membuat pria itu terlihat nyentrik.

"Dju, ini Uak Ali ayahnya Kang Baskara yang punya tempat ini. Sekaligus investor tetap di sini," ujar Wina memunculkan tawa renyah dari bibir tua Ali.

"Djuan," kata Djuan memperkenalkan diri.

"Salim," bisik Wina di telinga Djuan. Dengan kikuk, Djuan mendekat dan mencium punggung tangan Ali.

"Ali. Panggil aja Uak Ali," terang Ali tersenyum ramah. Dia kemudian mengamati biji-biji kopi di dalam mesin, lantas menggumam sibuk sendiri. Setelah mematikan mesin roasting, dia berjalan mendahului Djuan dan Wina keluar ruangan. "Kita ngobrol di luar aja. Pengap kalau kita ngobrol di sini."

Djuan dan Wina mengangguk hampir bersamaan. Di luar, tiga orang lelaki masuk sambil membawa masing-masing satu karung besar di pundak mereka. Salah seorang di antaranya mendekat.

"Udah dateng, Win. Maaf ya, saya keluar bentar tadi," kata salah seorang dari mereka, yang Djuan tebak bernama Baskara. Sebab wajahnya setipe dengan Ali, hanya dalam versi lebih muda dan tanpa uban.

"Enggak apa-apa, Kang. Baru sampai juga. Ini baru mau ngobrol sama Uak Ali," jawab Wina. Selagi Djuan dan Baskara saling sapa.

"Yat, bikinin kopi dua nya, saya tunggu di luar," perintah Ali kepada salah satu pegawainya.

"Yang biasa, Uak?"

"Muhun," jawab Ali sambil mengacungkan jempolnya. Dia lantas berjalan keluar ruangan menuju halaman samping. "Ayo, Jang. Kita ngobrol di luar."

"Sana, Dju,  gua tunggu di sini," kata Wina mendorong bahu Djuan.

"Lu enggak ikut?"

Wina berdecak. "Lah kan lu yang mau kerja di sini. Kumaha yeuh. Lagian Uak Ali kan cuma manggil lu tadi. Sana!"

"Kalau gitu lu pulang duluan aja. Biar gua nanti balik naik angkot ke kostan."

"Enggak apa-apa, gua tunggu di sini aja. Gua sekalian mau ngobrol sama Kang Babas," kata Wina sembari menggerakan kedua tangannya mengusir Djuan. "Buruan! Uak Ali udah lihatin ke sini dari tadi."

Djuan mengiyakan. Setelah pamit dengan Baskara, dia kemudian keluar menuju ke halaman samping. Kursi rotan dan kayu berbaris rapi. Dua buah bale bengong berjejer di pinggir halaman. Sementara, rumput, tanaman, dan pepohonan mengelilingi area halaman samping. Jelas, menambah suasana teduh di sana.

"Duduk, Jang," kata Ali sembari mengeluarkan rokok daun kawung yang sebelumnya sudah diisi lintingan tembakau kering. Djuan mengangguk lantas duduk menghadap Ali. "Jadi, kamu mau kerja di sini? Kenapa?"

"Saya lagi butuh uang, Uak."

Kepala Ali mengangguk-angguk. "Dari logatnya, kamu bukan asli Bandung. Bener, kan?"

"Iya, saya dari Bekasi. Kuliah di sini bareng Wina."

"Tebih nya," komentar Ali seraya memberikan kode kepada Dayat yang membawakan kopi untuk mereka. Dua gelas kopi pun tersaji di antara Djuan dan Ali tak lama kemudian. "Berarti kamu nge-kost di sini?"

Djuan mengangguk. Meskipun konsentrasinya sudah berpindah ke cairan pekat di gelas. Aroma kopi itu berhasil menggoda Djuan.

"Minum dulu, Jang," kata Ali mengangsurkan segelas kopi kepada Djuan.

Setengah hati, Djuan mengambil gelas itu. Dia lantas menyesap pelan kopinya dan mengernyit ketika pahit menjalar di mulut.

"Gimana rasanya?" tanya Ali sambil menyesap kopi miliknya dengan nikmat.

"Pahit."

Ali terkekeh. "Kamu enggak suka kopi?"

"Bukan enggak suka, cuma enggak biasa. Karena selama ini saya cuma minum kopi sachet."

"Walah... Gimana saya bisa nerima kamu di sini kalau kamunya aja enggak suka kopi, Jang," sindir Ali dengan tatapan iseng kepada Djuan.

Djuan terkesiap. Seketika dia dirundung cemas. "Tapi saya bisa belajar dan saya juga mau kalau cuma sebatas cuci piring atau gelas. Atau beres-beres ruangan. Yang penting saya bisa kerja di sini."

"Beres-beres doang mah saya bisa suruh pegawai saya yang lain atuh," balas Ali mencibir Djuan. "Justru yang susah itu kalau kamu enggak suka sama objeknya. Gimana mau kerja di sini kalau kamu sendiri enggak suka sama apa yang kamu jual."

Djuan seketika layu. Mendung di atas langit Bandung sore itu kalah pekat ketimbang wajah suntuk Djuan. Apalagi ketika Ali malah berdiri dan hendak pergi meninggalkan Djuan seorang diri.

"Besok kamu selesai kuliah jam berapa?" tanya Ali berhenti di dekat pintu sambil menyeruput habis kopi di tangannya. "Nanti kamu minta nomor Baskara ke Wina. Kita lanjut diskusiin shift kamu besok sama anak saya ya."

"Jadi... saya diterima, Uak?" seru Djuan spontan. Senyum lebar bahkan sudah merekah tanpa sadar.

"Mungkin," jawab Ali menyengir lebar dan mengedikan bahunya. "Kita tingali besok nya."

Sontak, bahagia di bibir Djuan menghilang tanpa bekas. Kepalanya dibuat bingung menerka-nerka isi kepala Ali, lebih-lebih pria tua itu malah asyik bercengkrama dengan Wina dan Baskara di dalam ruangan.

"Kang, hujan. Masuk," panggil Dayat menyadarkan lamunan Djuan. Bajunya sudah mulai basah, sementara kopi miliknya tak lagi panas karena air hujan.

"Sial."

***

Sejak diskusi Djuan dengan Baskara dan Ali hari itu, dia pun resmi menjadi bagian dari tim Baskara Kopi. Lebih tepatnya, tukang cuci piring. Meskipun, diam-diam Djuan merasa mulai jatuh hati dengan kopi, apalagi saat melihat cara kerja Baskara di meja bar saat melayani pelanggan.

Seperti pagi ini, suara ribut mesin kopi, biji kopi digerus, dentingan gelas, dan diskusi Baskara dengan para pegawai lain memenuhi area meja bar. Lelaki di akhir dua puluhan itu terlihat terampil dari balik mesin kopi. Belum lagi deretan pastry juga dengan telaten lelaki itu buat dan tata di dalam etalase kaca pada permukaan meja bar. Sementara Djuan dari arah dapur sesekali mengintip kegiatan Baskara sambil mencuci gelas dan piring kotor.

"Dayat, cek mesin di dalam. Kalau udah selesai, kamu kumpulin dulu aja kopinya di sana," perintah Baskara kepada Dayat. "Kalau suhunya udah netral baru kamu masukin ke dalem toples nya. Awas jangan sampai gosong!"

"Siap, Kang."

"Man, cake yang di oven keluarin dan bawa ke sini nya. Udah mateng kayaknya mah."

"Siap, Kang. Meluncur," jawab Arman berjalan ke dapur sembari menyerahkan gelas kotor kepada Djuan. "Bengong aja. Kerja, Dju. Fokus."

Djuan mengangguk kikuk. Sementara matanya masih mengamati Baskara. Anak ketiga Uak Ali, lulusan sekolah pastry di Australia. Setelah selesai sekolah, lelaki itu kembali ke Bandung untuk menemani sang ayah di sini. Djuan akui kopi dan pastry yang dibuat Baskara selalu enak. Memang beda kualitas lulusan luar negeri.

"Dju, lagi sibuk? Bisa bantu di depan sebentar?" tanya Baskara sambil melongokan kepalanya ke dapur.

Djuan menggeleng. "Cuma tinggal dua gelas lagi."

"Bantu saya di depan dulu. Pelanggan ramai banget. Saya keteteran euy," pinta Baskara terlihat kerepotan di luar.

Segera, Djuan mengeringkan tangannya dengan lap dan keluar dari dapur. Di luar, tiga gelas kopi dan sandwich sudah tersaji di atas baki saji.

"Ini pesanan punya meja nomor 8 dekat pintu masuk. Bantu antar ke sana ya, Dju. Awas jangan sampai tumpah, kata Abah gajimu bisa kena potong loh," kekeh Baskara membawa-bawa nama ayahnya untuk menggoda Djuan. Sepertinya, Baskara memang tahu kelemahan Djuan.

"Aman, Kang," jawab Djuan keki.

"Thanks, Dju."

Dengan hati-hati, Djuan membawa pesanan itu melewati beberapa orang di dalam ruangan. Tidak seperti biasanya kedai kopi ini ramai di pagi hari. Padahal di hari lain, kedai ini baru sibuk di jam-jam sore hingga malam. Selain, dipenuhi mahasiswa yang mengerjakan tugas, banyak juga karyawan yang nongkrong atau sekadar duduk-duduk sepulang kerja.

Papan kecil di atas meja bertuliskan angka delapan menyambut Djuan. Namun, belum sempat Djuan mendekat, suara seorang perempuan berdebat dengan lelaki di meja itu menghentikan langkahnya. Sedikit ragu, dia berdiri mengamati.

"Beb dengerin penjelasan aku dulu," teriak lelaki berjaket denim di meja itu sembari berdiri tegak saling berhadapan dengan si perempuan.

"Penjelasan apa lagi? Kamu mau bilang kalau kamu lagi ngerjain tugas? Tugas apa sampai pegang-pegangan tangan."

Djuan mengintip dari balik tubuh perempuan itu dan mengamati sepasang manusia yang duduk di meja nomor delapan. Dari sepenglihatan Djuan, lelaki itu agaknya baru saja ketahuan selingkuh. Djuan berdecak tidak habis pikir.

"Beb," rayu lelaki itu menahan tangan si perempuan tetapi buru-buru ditepis.

"Jangan pegang-pegang," bentak perempuan berwajah mungil itu kemudian berbalik. Alisnya menyatu kala tanpa sengaja saling tatap dengan Djuan yang kedapatan asyik menonton dari belakang.

"Apa lihat-lihat?!" bentak perempuan itu galak.

Djuan menggaruk tengkuknya serba salah. "Maaf... Teh, A. Kalau mau ribut mendingan di luar aja. Enggak enak sama pengunjung yang lain."

"Beb, kita mending ngobrol di luar. Kamu salah paham," pinta lelaki itu masih coba sabar. Sedangkan, Baskara dan beberapa pengunjung lain sudah mengamati mereka penasaran.

"Aku enggak mau tahu. Mending sekarang kamu minggir atau aku siram kamu pakai kopi!" bentak perempuan dengan rambut sepanjang bahu itu tidak mau kalah.

Dengan panik, Djuan melindungi gelas dan makanan dalam baki saji ketika tangan perempuan itu hendak mengambil kopi di sana.

Sadar akan gerakan tangan Djuan, tatapan sinis milik perempuan itu berpindah arah. "Mas jangan ikut campur ya. Atau mau saya siram juga!"

"Riana! Stop malu-maluin kayak gini. Mending kita pulang," amuk lelaki berjaket denim itu terpancing emosi.

Dari dekat, Djuan melihat mata Riana mulai berkaca-kaca. Tubuh perempuan itu lantas menegak sambil menatap sangar ke arah kekasihnya.

"Ayo kita ngobrol di luar!" tekan Kekasih Riana itu lantas menarik paksa Riana.

"Lepasin aku bilang!" bentak Riana seketika merampas gelas kopi di baki Djuan, kemudian menyiram isi gelas itu ke wajah lelakinya. Setelah puas, dia meletakan gelas kosongnya ke permukaan meja dengan kasar. "Mulai sekarang kita putus!"

Djuan terpaku. Mukanya pucat pasi memandangi kopi yang berceceran di atas lantai. Bayangan potongan gaji dari Uak Ali penyebabnya.

"Minggir!" bentak Riana ketika Djuan menghalangi jalannya. Djuan tersentak dan seketika mundur teratur.

"Riana!" panggil Kekasih Riana itu. Sementara perempuan berambut ikal yang sedari tadi berdua dengannya, mengumpat sebal sembari merapikan barang-barang. Tak lama, dia pun ikut pergi.

Tersisa Djuan yang merenung di tempatnya dengan tatapan nanar ke arah lantai becek dan bekas kaki lengket sepanjang ruangan menuju pintu depan. Kedai kopi baru juga buka pagi ini, tetapi dia sudah ketiban sial. Djuan berharap dia tidak akan bertemu dengan perempuan aneh itu lagi.

***

TBC

Acuy's Note:

Komentarnya buat part ini dipersilahkan... 🤭🤭🤭🤭🤭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro