Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. MP3 Player Biru Muda

-

-

Terik matahari yang semula panas menyengat perlahan memudar. Sepoi-sepoi angin sore hari memainkan surai tipis perempuan di sebelah Djuan. Sudah hampir dua jam Djuan mengekori Putri dan menjelajahi sudut pertokoan di pasar Jatinegara. Sudut yang belum pernah Djuan kunjungi selama masa SMA nya di sini. Penjual gorengan, ikan mas hias, sampai baju-baju seharga 20.000-an berbaris rapi di kanan dan kiri mereka. Sesak dan pengap membuat Djuan beberapa kali mengelap keringat di wajah. Djuan bahkan melihat keringat sudah membanjir di wajah Putri, tetapi tidak sedikitpun menyurutkan semangatnya menyusuri jalan.

"Kamu mau bawa saya ke mana?"

"Kak Djuan enggak usah banyak tanya, pokoknya hari ini Kakak kudu temenin aku seharian," jawab Putri sambil mengerling iseng dan menyodorkan sebungkus bakso tusuk yang dia beli begitu turun dari metromini. "Kakak mau?"

"Enggak," tolak Djuan dengan nada datar dibarengi helaan napas lelah. "Udah sore. Orang tua kamu enggak nyari nanti?"

Senyum masam menghiasi bibir Putri. Dia menggeleng sembari menghabiskan sisa bakso di plastik. "Nah ini dia. Ayo masuk! Temenin aku cari barang."

Kaki Djuan berhenti di depan pintu toko. Kepalanya mendongak untuk membaca papan nama di atas kepala.

Flechazo Art Shop & Gallery

"Kakak ngapain bengong? Ayo masuk!" geram Putri seraya menarik tangan Djuan. Mata Djuan seketika menyipit seakan-akan mulai jengkel dengan cara Putri menarik tangannya paksa. Namun, genggaman tangan Putri malah mengencang tiap kali Djuan berusaha melepaskan diri. Walhasil, Djuan hanya bisa pasrah meskipun ekspresi wajahnya tidak dapat berbohong.

Di dalam, deretan rak berisi alat lukis, kanvas kosong, cat lukis dan benda-benda seni lain menyambut Djuan. Toko itu terlihat tenang dengan suara musik klasik mengalun lembut. Aroma cat bercampur kamper menguar di seluruh ruangan. Suasananya mengingatkan Djuan akan ruangan ala Belanda yang sudah lama tak dihuni. Dia bahkan tidak menemukan seorang penjaga pun di sana.

Namun, sebelum Djuan dapat menikmati suasana, lagi-lagi dia merasakan tangannya ditarik Putri. Deretan cat beraneka warna berjejer di hadapan mereka. Sementara Putri memilih cat, perhatian Djuan teralihkan kepada lukisan-lukisan tua di dinding. Diam-diam Djuan menikmati suasana tenang si sana.

"Hobi Kakak apa? Kakak suka ngelukis?" tanya Putri memecahkan sunyi. Djuan menoleh kepada Putri. "Kalau aku... sedari dulu suka banget ngelukis. Terutama aliran surealis. Kakak tahu Rene Magritte? Dia idola aku. Menurut aku..."

Djuan membisu sambil terus mengamati Putri yang berceloteh panjang lebar tentang dunianya, dari mulai soal alat lukis sampai teknik melukis. Dunia yang sangat asing di telinga Djuan, jangankan memahami dunia seni, dapat bersekolah dan memiliki kesempatan untuk belajar saja membuat Djuan bersyukur bukan main.

"Kalau musik? Kakak suka? Kakak suka dengar lagu apa?" cerocos Putri lagi sembari menarik Djuan ke sudut toko yang lain. "Pop, rock, metal, blues? Atau-- dangdut?"

Djuan menarik napas dalam-dalam seolah sudah kehabisan kesabaran. Terlebih, jam sudah menunjukan pukul empat sore. "Put, stop. Bisa lepasin tangan kamu dan biarin saya balik sekarang?"

Celotehan Putri menghilang dibarengi genggamannya yang mengendur di tangan Djuan. Bibir Putri pelan-pelan mencebik. Tatapannya berubah kecewa ketika menatap Djuan.

"Bukannya kamu bilang ke saya cuma buat antar kamu sampai depan jalan? Tapi udah satu jam lebih kamu malah bawa saya ke mana-mana sesuka hati kamu. Saya tahu kamu suka sama saya, tapi udah saya bilang kalau kita enggak pernah pacaran," terang Djuan kesal.

Putri menunduk. "Tapi... bukannya Kakak yang kemarin setuju buat jadi pacar aku?"

Djuan mengacak rambutnya kesal. "Saya bingung sama kelakuan kamu. Baiknya kita pulang, udah sore."

"Kak Djuan mau ke mana?" gumam Putri kala melihat Djuan hendak pergi meninggalkan dia. "Bisa temenin aku sehari ini aja? Please... cuma sampai jam 5. Abis itu Kakak boleh ninggalin aku. Kakak... juga boleh anggap aku orang asing setelah hari ini."

Djuan tertegun. Rasa bersalah diam-diam menghampiri benaknya kala Putri menyeka air mata yang turun satu per satu di pipi.

"Tapi aku mohon temenin aku kali ini aja. Aku enggak mau sendiri," gumam Putri menarik ujung kemeja Djuan.

Manik mata Djuan mengamati tangan Putri di seragamnya. Ini kali pertama Djuan menghadapi perempuan yang menangis di depannya. Jelas saja, Djuan dihantui rasa bersalah dan serba salah.

"Please," pinta Putri sekali lagi.

Tak ada pilihan lain, Djuan mengiyakan. Putri menyunggingkan senyum meskipun tampak terpaksa. Dia kembali berbalik lantas mengajak Djuan keliling toko. Sepanjang waktu, Djuan melihat Putri tidak lagi seceria tadi. Putri bahkan membayar barang belanjaannya tanpa suara.

"Sampai sini aja. Aku bisa balik sendiri. Terima kasih dan maaf udah ganggu Kakak," ucap Putri di depan Flechazo. Setelah pamit, Putri berbalik dan pergi meninggalkan Djuan.

"Put."

Putri spontan menoleh ketika suara Djuan terdengar. Dia memandangi sosok Djuan dengan tatapan bingung.

"Masih ada setengah jam lagi. Mau jalan kaki bentar?" ajak Djuan.

Kedua sudut bibir Putri yang semula layu seketika mengembang. Dada Putri makin kembang kempis melihat senyum lebar Djuan menyambutnya di hadapan. Segera, dia mengangguk mantap.

Beberapa menit sudah terlewati, baik Djuan maupun Putri tetap membisu sepanjang perjalanan mereka pulang. Mereka seakan-akan bingung untuk memulai obrolan. Apalagi Putri. Perempuan itu seakan kehabisan baterai. Beberapa kali dia mendesah sedih seolah-olah masih ada beban berat yang mengganjal di benaknya.

"Masih sedih?" 

"Dikit," jawab Putri singkat.

"Sini saya bantu bawa."

Putri tersenyum lebar kemudian menyerahkan plastik belanjaannya kepada Djuan. 

"Mau cerita?" tanya Djuan melirik Putri.

Ragu-ragu Putri memandang Djuan. "Aku cuma lagi ngerasa kesepian aja. Papa sama Mama selalu jarang ada di rumah. Kakak-kakak ku juga udah kuliah dan keluar dari rumah. Aku ngerasa enggak punya siapa-siapa." 

"Padahal hari ini aku ulang tahun. Biasanya mereka selalu siapin surprise atau pesta ulang tahun buat aku. Tapi tahun ini beda, mereka kayaknya lebih asyik sama urusan mereka sendiri," gumam Putri sedih.

"Kamu hari ini ulang tahun?"

Putri mengangguk lantas air mukanya berubah panik. "Tap-tapi Kakak enggak perlu kok kasih hadiah. Adanya Kakak hari ini buat nemenin aku aja, udah hadiah yang paling indah buat aku. Makasih ya."

Djuan mengangguk lambat. Sementara Putri melanjutkan langkahnya grogi dan berhenti tepat di pinggir jalan menghadap stasiun Jatinegara. Beberapa orang sudah menyeberang ke arah stasiun meninggalkan mereka berdua yang terdiam di tepat. 

Hiruk-pikuk kendaraan menarik perhatian Putri. Dengan tatapan kosong, Putri mengamati satu per satu mobil dan motor yang lewat. Sementara, senja sudah mulai pekat di atas kepala mereka.

"Kak Djuan pernah ngerasa kesepian?"

Djuan yang sudah berdiri di sisi Putri, menggeleng. "Mungkin karena udah biasa sendiri, jadi kadang kala saya udah enggak berharap sama kehadiran orang lain. Mereka mau berteman dengan saya, saya terima. Kalau enggak, ya saya enggak peduli."

Putri memberengut dan mengulas senyum kecut. "Seandainya aku bisa kayak Kakak."

Kedua alis Djuan menyatu kala Putri menarik langkahnya ke kanan. Sambil mengekori Putri, Djuan mengamati perempuan itu dari belakang. Sekalipun, suasana hati Putri sedang jelek, gelagat perempuan itu masih terlihat lincah. Putri bahkan berdendang kecil sambil mendengarkan musik dari headset yang tersambung pada MP3 player di kantung kemeja. Rambut panjang Putri yang diikat tinggi bergerak tak kalah lincah. Tanpa sadar, Djuan terpesona.

Tak lama, sebuah metromini berjalan perlahan mendekati mereka. Djuan tersentak. Buru-buru, dia menggenggam erat tangan Putri dan menariknya untuk berlari menyeberangi jalan. Bola mata Putri mengamati tangan Djuan dengan senyum lebar tak lagi bisa dia bendung.

Beruntung, metromini tidak sepenuh biasanya. Sebuah bangku di dekat pintu belakang segera Djuan dan Putri duduki begitu mereka masuk ke dalam.

"Hampir aja," ujar Djuan terengah-engah.

"Biar aku aja yang bayar. Kak Djuan kan udah nemenin aku hari ini, lagian aku kan lagi ulang tahun. Jadi, biar aku yang traktir," kata Putri menahan tangan Djuan kala seorang kondektur dekil mendekati mereka.

"Terima kasih," ucap Djuan canggung. Pasalnya, Djuan baru tersadar bila sedari tadi dia masih menggenggam tangan Putri. Segera, dia melepaskan genggaman tangan mereka.

"Digenggam terus juga enggak apa-apa kok. Kak," kata Putri mengerling iseng usai membayar ongkos mereka berdua. Mimiknya makin menjadi-jadi menemukan Djuan gugup di sebelahnya. "Kak Djuan mau coba dengerin lagu sama-sama?"

Djuan beringsut kaget kala Putri dengan sengaja memasangkan sebelah headset ke telinganya. "Eng-gak perlu. Kamu ngapain?"

"Di depan pasti macet sampai Bekasi. Mending kita dengerin lagu aja," saran Putri seolah-olah tidak peduli bila wajah Djuan sudah semerah kepiting rebus. "Ini lagu kesukaan aku. Aku biasanya dengerin ini kalau lagi kesepian. Enggak usah grogi gitu kali."

Djuan mendengkus. "Siapa yang grogi?"

Putri mengulum senyum tipis, selagi suara Lenka, Shania Twain, Ardian Martadinata, dan Potret mengiringi perjalanan mereka pulang. Kendaraan bermotor melintas dari balik jendela metromini, sementara malam sudah menjelang di luar sana. Putri diam-diam memandangi Djuan. Rasanya, dia ingin sekali seperti ini terus, bukan hanya sekadar hadiah ulang tahunnya hari ini.

"Astaga kelewat. Bang berhenti. Kiri!" seru Putri panik sampai tidak sadar MP3 playernya terjatuh di pangkuan Djuan. "Kak Djuan aku duluan ya. Terima kasih udah ngehibur aku hari ini. Bye."

CUP!

Mata Djuan yang hampir terlelap, seketika terbuka lebar kala sebuah kecupan mendarat di pipi kirinya. Sebelum sempat protes, Putri sudah menarik kantung belanjanya dan belari keluar metromini.

"Put, MP3 nya!" seru Djuan melongokan kepalanya dari pintu metromini.

"Besok. Besok aja Kakak balikin, oke!" teriak Putri dari pinggir jalan.

Dari pintu metromini yang melaju pelan, Djuan mengangguk. "Oke, sampai ketemu besok."

"Ceweknya, Mas?"

Djuan berjengit saat suara kondektur mengagetkannya dari belakang. Dengat cepat Djuan menggeleng kikuk.

"Ceilah... Dasar anak ABG," kekeh si kondektur lagi menyindir Djuan. "Kampung Melayu-Klender. Kampung Melayu-Klender! Ayo Pak! Kosong nih."

Sambil menahan malu, Djuan kembali duduk. Djuan merasa detak jantungnya berdebar aneh sekarang. Debaran di dada Djuan seperti berdetak seirama mengalahkan lagu Hebat dari Tangga, yang mengalun di MP3 Player milik Putri. Bahkan semakin liar, ketika Djuan menatap MP3 player mungil berwarna biru muda di genggaman tangannya. Seakan-akan dia masih dapat merasakan hangat dari tangan pemilik MP3 player itu. Dari balik jendela metromini malam itu, Djuan tanpa sadar merasakan jatuh cinta untuk yang pertama kali.

***

TBC

Acuy's Note:

Ciyyeeee dedek Djuan udah mulai cinta-cintaan...

Hmmm... Kira-kira bakalan ada Lea sama Mamas Jelangkung enggak ya di cerita ini? Wkwkkwkw Kita lihat nanti.

Buat yang penasaran sama cerita Djuan sebelum ini, silakan baca lengkapnya di cerita Midnight Tea ya. Sudah terbit dan bisa dicari di semua toko buku. Terima kasih.

Sampai ketemu part depan. C u~


https://youtu.be/BjvgAsfJBFo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro