Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Kopi, Teh, dan Pengakuan Cinta

-

-

Matahari baru beranjak naik satu jam yang lalu. Namun, Djuan sepertinya sudah sangat gerah dengan kedatangan seorang perempuan tomboy yang sedari tadi mengikuti dia ke sana-ke mari di dalam Baskara Kopi. 

Wina.

"Ayo dong, Dju. Please," pinta Wina mengikuti Djuan ke ruangan roasting. Aroma kopi dari biji-biji yang baru selesai disangrai di mesin roasting langsung menusuk hidung.

"Hai, Win. Tumben pagi-pagi udah ke sini," sapa Baskara kepada Wina. Tatapan penuh tanya malah mampir di wajahnya ketika Wina hanya membalas seadanya. "Dia kenapa?"

Djuan mengedik. "Saya bantu, Kang," ujarnya kemudian membantu Baskara memasukan biji-biji kopi yang baru selesai di roasting ke wadah.

"Kang, Djuan boleh izin kerja kan lusa?" tembak Wina tanpa basa-basi. Sontak, Baskara menatap Djuan.

"Kamu mau pergi, Dju?"

"Enggak," jawab Djuan cepat kemudian memindahkan biji kopi dalam wadah ke sudut lain ruangan untuk proses resting. Proses resting usai kopi disangrai memang penting untuk mengeluarkan sisa karbondioksida dan mengeluarkan profil rasa kopi sehingga lebih tajam. Degassing istilahnya.

"Dju, ayolah temenin gua ya. Arya kan lagi ke Jakarta. Atuh gua udah kadung janji ke Dwi sama anak-anak kalau lu mau ikut," rengek Wina. Bibirnya sudah manyun 2,5 senti.

"Jadi kalian mau liburan berdua?" tebak Baskara.

"Enggak," sahut Wina dan Djuan hampir bersamaan.

"Weits, kalem atuh. Kan cuma nanya," kekeh Baskara kembali sibuk di depan mesin roasting.

"Lagian siapa suruh janji sembarangan," gerutu Djuan lanjut membantu Baskara memindahkan biji kopi dari mesin roasting.

"Kan gua kasihan sama lu, Dju. Kerja mulu. Sekali-kali atuh liburan. Kang Bas juga enggak masalah, kan?"

"Kenapa enggak? Lagian kamu enggak pernah ambil izin selain buat kuliah kan selama ini," komentar Baskara. Seakan mendapat lampu hijau, Wina menyeringai kegirangan.

Djuan tetap membisu. Dia bahkan dengan sengaja melewati Wina seakan makhluk tak kasat mata dan merapikan toples-toples biji kopi di dalam rak. "Kang, buat biji kopi yang di atas udah boleh taruh di depan?"

"Jangan dulu, Dju. Tunggu seminggu baru bisa dipakai."

"Kenapa, Kang? Toples di depan udah mau habis loh," sahut Djuan kembali menghindar ketika Wina tidak kenal lelah menempeli dirinya.

"Belum peak season. Ada beberapa kopi yang memang semakin lama disimpan malah semakin kental rasanya, kayak yang di toples itu. Malah ada beberapa kopi yang butuh satu bulan baru bisa dipakai," terang Baskara.

Spontan, Djuan mengambil buku catatan dari kantung apron dan menuliskan tiap penjelasan soal kopi dari mulut Baskara, soal degassing, sampai cara penyimpanan. Sampai-sampai dia tidak sadar sepasang mata Wina sudah terpaku pada sticky note merah jambu dari selipan di buku catatan Djuan.

"Itu apa?" tanya Wina dengan lirikan menggoda Djuan.

Djuan mendecak sambil terus mencatat. "Apa lagi?"

Iseng, Wina menarik sticky note itu. Sontak saja, Djuan terkejut bukan main. Kulit wajahnya merah padam menemukan kertas merah jambu di tangan Wina. Apalagi ketika mulut Wina terbuka lebar membaca sticky note di sana.

"Ini Riana temennya Dwi, kan?! Masih jaman Dju ngobrol pakai sticky note?"

Djuan menelan ludahnya kasar. "Kang, saya izin bawa Wina ke depan sebentar."

"Oke. Lama juga enggak apa-apa, Dju. Berisik," sahut Baskara lantas tergelak. Wajah Wina langsung keki.

Di luar, Djuan terus menarik tangan Wina sampai ke ruang depan. Beruntung, belum ada satu pun pengunjung yang datang pagi itu. Hanya ada Arman dan Dayat yang menonton dari dapur.

"Jujur gua kaget, Dju, lu kok bisa deket sama Riana. Satu jurusan enggak, di kampus juga gue enggak pernah lihat lu berdua deket. Jangan bilang gara-gara insiden jatuh waktu itu," cerocos Wina sepanjang jalan, selagi Djuan menahan gondok. "Emang sih awal gua tahu Riana, dia kelihatan sombong. Tapi beberapa kali ketemu, dia baik juga. Manis lagi."

"Berisik," decak Djuan menghentikan langkahnya di depan kasir dan meminta kertas di tangan Wina. "Gua sama dia enggak ada apa-apa."

"Tapi maneh suka kan sama dia?" tebak Wina dengan mimik iseng.

Djuan membawa tatapannya ke arah lain. "Enggak. Cepet balikin."

"Udah enggak usah pura-pura. Kalau enggak ada rasa, ngapain kertas kayak gini lu simpen segitunya," cibir Wina sambil menyerahkan sticky note itu kepada Djuan.

Djuan terdiam. Dia memandangi sticky note di tangannya lekat-lekat. Ucapan Wina tadi membuat air muka Djuan berubah drastis.

"Dju, kayaknya orangnya dateng tuh," bisik Wina menunjuk pintu depan kafe.

Sontak, Djuan menoleh ke depan. Dia buru-buru menyelipkan kertas mungil itu ke kantung apron.

Tidak kalah terkejut, langkah Riana melambat lalu berhenti tepat di depan mereka, sementara matanya mengamati tangan Wina di genggaman Djuan. "Maaf, saya kira kafenya udah buka. Soalnya tanda--"

"Udah kok," potong Wina segera melepaskan tangan Djuan. "Sebentar saya panggil Kang Dayat dulu di belakang. Dju, lu di sini aja."

Ditinggal berdua dengan Riana, Djuan terlihat canggung. Bahkan untuk menyapa pun terasa sulit mengingat kejadian sebelumnya.

"Wina kerja di sini juga?"

Djuan menggeleng. "Kang Abas temannya Wina. Jadi, dia emang sering datang ke sini. Ah, sori. Mau pesan apa? Kopi atau non kopi?"

Bola mata Riana mengamati Djuan yang terlihat kikuk saat berjalan tergesa kembali ke kasir. "Ria? Mau pesan apa?"

"Cokelat aja," jawab Riana masih betah mengamati Djuan, ada ragu bercampur malu di wajahnya. "Dju, waktu itu saya telepon kamu. Kenapa enggak kamu angkat?"

Djuan yang sedang memasukan pesanan Riana mendongak. "Oh.. minggu kemarin ya? Maaf saya sedang ada telepon."

"Telepon ya...," gumam Riana melirik Wina yang mengintip dengan Dayat dan Arman dari ambang pintu dapur. Ketiganya langsung kabur kemudian. 

"Terus kenapa kamu enggak pernah respons pesan saya lagi?"

Tangan Djuan di atas mesin kasir terhenti di udara. Bibirnya perlahan menyungging canggung. "Sori. Belakangan saya emang lagi sibuk banget."

Riana mengangguk paham. Dia kembali membisu. Senyap merangkak naik kemudian. Ditambah suasana kedai kopi yang sepi, canggung jadi semakin ketara di antara mereka

"Kenapa? Ada yang penting?"

Riana menggeleng. Senyumnya seketika masam. "Enggak. Enggak penting."

"Ada lagi?" tanya Djuan menatap Riana.

Lagi, Riana hanya menggeleng. Usai membayar, dia pun duduk di salah satu kursi. Kursi favoritnya di dekat jendela. Sebuah buku dia ambil dari dalam tas. Dalam diam, dia membaca buku itu dan sibuk sendiri dengan dunianya. Begitupun, Djuan. Sama seperti hari-hari sebelumnya, dia hanya memandangi Riana dari jauh. Sampai tanpa sadar, Wina terus mengamati mereka dari arah dapur.

***

"Jangan galak gitu atuh. Kan yang minta lu ikut bukan gua, salahin Dwi," gerutu Wina meskipun puas bercampur gelak tawa nyata di wajahnya. Lantaran dia berhasil menyeret Djuan untuk ikut dalam kegiatan rafting kali ini.

Air muka Djuan masih ditekuk masam sedari tadi. Sementara langit di atas mereka masih gelap. Fajar mungkin baru akan tiba satu jam lagi. Namun, sebuah elf sewaan mereka belum juga tiba.

Rafting hari ini rencananya mereka akan menuju ke sungai Cikandang, Garut. Dengan menggunakan mobil sewaan anggota tim Palawa berjumlah 25 orang ditambah Djuan itu pun menunggu di depan kampus.

"Udah semua kan, Kang? Langsung berangkat aja yuk!" ujar salah seorang anggota berlari berlari mendekati Dwi begitu bayangan elf mendekat dari arah depan.

"Sebentar. Masih ada satu orang lagi," kata Dwi memandangi jalanan Bandung yang sepi pagi itu. "Nah itu dia."

Mobil SUV hitam berhenti dua meter dari mereka. Seorang perempuan keluar dari sana dan mendekat. Djuan terpaku.

"Lihatinnya biasa aja kali," kekeh Wina menepuk bahu Djuan.

Acuh tak acuh Djuan mengambil tas ranselnya dan berjalan mendekati elf.

Dwi dari arah mobil menggerak-gerakan tangannya meminta semua orang untuk segera naik. Semua orang pun bersamaan masuk ke mobil, termasuk Riana. Perempuan itu sesekali tersenyum berusaha menyapa Djuan, tetapi lelaki itu seakan terus menghindari Riana.

***

Setelah melewati perjalanan selama tiga jam mereka akhirnya tiba di desa Sukamulya. Dari titik ini mereka akan berganti transportasi. Mereka akan menaiki mobil pick up menuju hulu dan rencananya mereka akan berjalan kurang lebih 300 meter ke titik start.

"Ayo, saya bantu," ujar Djuan menawarkan diri kala Riana kesulitan naik ke atas pick up. Sementara, beberapa mahasiswa mulai mencari posisi duduk di dalam mobil.

"Thanks."

Kondisi mobil yang sudah penuh, membuat mereka terpaksa duduk berdempetan di bagian belakang pick up. Mobil itu berjalan perlahan melewati jalanan berkelok dan menurun. Gerakannya membuat orang-orang bergoyang mengikuti. Mobil pick up tiba-tiba berbelok asal sampai badan Riana oleng ke kiri membuat tubuhnya bertubrukan dengan Djuan.

"Sori," ucap Riana. Mukanya gugup bukan main.

"Enggak apa-apa," kata Djuan membawa tangan kanan Riana ke sisi pembatas pick up. "Pegangan."

"Thanks."

Di sebelah Riana, Djuan menemukan perempuan itu beberapa kali cemas ketika mobil bergerak tidak tenang. Pegangan Riana pun mengerat dan matanya tertutup ketakutan ketika mobil itu berkelok tajam.

"Kenapa milih ikut?" tanya Djuan membuka obrolan.

"Kenapa?" sahut Riana membuka matanya satu per satu.

"Iya. Dari respons kamu saya enggak yakin kamu tipe yang suka jalan-jalan ekstrim kayak gini."

"Kamu lagi nyindir saya?" decak Riana kesal

"Enggak. Cuma saya kasihan sama kamu. Habis ini kita masih harus jalan, belum lagi nanti saat arung jeram. Sungainya enggak setenang di kolam renang."

"Saya tahu. Makanya saya mau coba."

"Bukan karena patah hati lagi?" tanya Djuan iseng. Spontan, Riana memukul bahu Djuan kesal.

"Ngeselin. Kenapa diingetin sih," gerutu Riana mencebikan bibirnya. "Saya cuma mau coba pengalaman baru. Lagian tahun depan kita kan udah mulai fokus skripsi. Saya mau masa kuliah saya enggak cuma kuliah, pulang, dan belajar. Bosan."

Djuan mendesis. "Saya bisa bayangin selama tiga tahun kemarin kamu ngelakuin hal yang sama."

"Ya kan? Makanya aku mau coba hal baru. Yah, meskipun sebenarnya orang tua saya sempat enggak izinin tadi. Cuma waktu saya bilang ada Dwi, mereka setuju."

Djuan mengangguk. Baik Djuan maupun Riana kembali membisu. Pemandangan di kanan dan kiri mereka terasa asri dengan banyaknya pohon melewati mereka. Sementara matahari mulai mengintip diam-diam di antara dedaunan.

"Kamu sakit?" tanya Riana terlihat khawatir menatap Djuan.

Sejak semalam sebenarnya Djuan memang kurang enak badan. Terlalu sering begadang dan UAS kemarin berhasil menguras energi. Bisa jadi, hari ini adalah akumulasi semua itu.

"Cuma capek." Djuan melirik Dwi yang tertidur di sisi kiri pick up. "Kamu udah lama kenal Dwi?"

"Udah. Dia teman main saya sejak kecil. Sempat enggak berkomunikasi karena setelah saat SD saya diungsikan ke rumah Nenek di Ciamis sampai SMA. Sekarang dekat lagi." Riana terkesiap ketika menyadari sesuatu. "Eh... tapi maksud saya dekat sebagai teman. Bukan ke sana."

Djuan terkekeh. "Kenapa kamu panik?"

"Enggak. Saya cuma takut kamu ngiranya macam-macam. Saya enggak mau ada gosip."

"Kenapa kamu pindah ke Bandung? Maaf, kalau saya boleh tahu," kata Djuan memecahkan hening.

"Ayah dan Ibu sibuk kerja. Sementara dulu, adik aku baru lahir jadi fokus mereka masih ke dia. Aku yang saat itu udah mau masuk SD akhirnya ikut Nenek. Eh, keterusan sampai SMA. Malah sebenarnya saya lebih tertarik untuk ambil kuliah di sana sekalian jaga nenek. Sayangnya enggak keterima. Kalau kamu? Saya juga mau tahu dong cerita soal keluarga kamu."

Djuan menarik napas. "Enggak ada yang menarik dari saya Riana."

"Kata siapa? Ada kok."

"Apa?"

"Senyum kamu."

Riana terperanjat. Begitupun, Djuan yang mendadak kehabisan kata. Jawaban Riana menciptakan canggung di antara mereka. Buru-buru Riana melarikan pandangannya ke arah lain. Pipinya sudah semerah tomat.

***

Usai rafting, Djuan merasa badannya semakin sulit dikendalikan. Nyeri, lelah, dan meriang mulai menguasai tubuh. Maka, setelah bercengkrama dan bersih-bersih Djuan memutuskan berdiam di dalam kamar homestay. Rumah warga yang mereka sewa semalam sebelum pulang lagi besok hari.

"Dju, ayo makan malam!"

Suara Wina terdengar menggema di telinga Djuan. Dia bahkan hanya diam tidak berkutik ketika Wina menerobos masuk dan menyibakan jaket di tubuhnya.

"Dju, maneh sakit?"

Susah payah, Djuan menggeleng.

"Enggak apanya, gua cari obat dulu ya. Lu diam aja di sini."

Dari dalam tenda, Djuan mendengar suara Wina mengobrol dengan beberapa orang. Setengah sadar, Djuan merasakan tiga orang masuk. Selimut yang entah datang dari mana menyelimuti tubuh Djuan. Sebuah tangan kekar kemudian membantu Djuan duduk dan memberikan Djuan sebutir obat. Setelah, dia menenggak obat itu, mata Djuan memberat. Dia pun terlelap.

Dalam mimpinya, Djuan merasakan sentuhan seseorang di kening. Suara dengan nada khawatir milik seorang perempuan juga terdengar lamat-lamat. Aroma harus vanilla dan musk memenuhi hidung Djuan. Djuan tersadar.

Mata Djuan satu-satu terbuka. Kicauan burung dan air sungai terdengar samar-samar di luar. Demamnya sudah turun. Bekas keringat membasahi bajunya. Dia mulai sadar bila ada orang yang menyelimuti tubuhnya. Selimut itu berwarna pink. Pasti milik seorang perempuan. Sementara air putih yang tinggal setengah dan bungkus obat di sisi kanan pembaringan Djuan.

Djuan pun duduk. Setelah agak lama, dia keluar dari kamar untuk menghirup udara segar. Beberapa temannya masih tertidur berjejer pada kasur di ruang tengah. Sementara, Dwi tertidur di kamar yang lain.

Djuan terkesiap kala menemukan Riana duduk di teras depan sambil menyesap kopi hangat seorang diri.

"Sendirian aja?"

"Kamu udah bangun? Astaga... saya khawatir banget kamu kenapa-kenapa. Dwi juga baru aja tidur, semalam dia khawatir dan nekat bawa kamu ke rumah sakit kalau demamnya enggak turun juga," cerocos Riana tanpa sadar sembari mendekati Djuan. Dia kemudian menyentuh kening Djuan. "Udah enggak panas. Tapi badan kamu gimana? Masih sakit?"

Djuan menggeleng. "Udah baikan."

"Kok enggak pakai jaket? Selimut saya mana? Mau teh? Sebentar saya ambilin ya. Kamu duduk di sini aja," kata Riana membantu Djuan duduk di kursi rotan.

"Jadi, selimut pink itu punya kamu?"

"Iya. Untung aja saya kepikiran bawa selimut. Terus selimutnya mana? Di dalam? Aku ambilin buat kamu ya." 

Djuan menahan tangan Riana dan meminta perempuan itu duduk di sebelah. "Enggak usah. Saya udah baikan."

"Kalau gitu, kamu tunggu sebentar di sini. Aku ambilin teh hangat. Kali ini enggak boleh nolak."

Djuan tersenyum. Riana masuk ke dalam rumah dan kembali tidak lama kemudian dengan segelas teh hangat.

"Terima kasih," ucap Djuan menerima teh dari Riana.

Djuan dan Riana kemudian duduk bersisian. Udara pagi yang basah memasuki paru-paru terasa menenangkan. Sementara bau kopi dan teh menguar di sekitar mereka. Suara jangkrik, kokok ayam, adzan subuh, dan kabut tipis membangun suasana syahdu di antara mereka.

"Tenang banget ya rasanya. Kamu tahu enggak Djuan, sepanjang hidup saya baru dua kali saya ngerasain suasana kayak gini. Pertama, di rumah Nenek dan kedua di sini. Rasanya nyaman. Berbeda dengan di rumah."

"Memang kenapa dengan rumah kamu?"

"Sepi. Cuma itu yang saya rasain. Ayah dan Mama enggak selalu ada di rumah, adik aku udah SMA dan jarang juga ada di rumah. Rasanya saya mau balik ke Ciamis."

"Harusnya kamu bersyukur punya keluarga lengkap dan enggak harus kerja keras buat dapetin semuanya."

"Justru saya merasa lebih senang berusaha kerja keras tapi enggak kesepian."

"Kamu pasti bakal narik kata-kata kamu, begitu ngerasain itu secara langsung."

Riana memandangi Djuan. "Apa itu yang kamu rasain selama ini, Dju?"

Djuan terkesiap. "Maksud kamu?"

"Saya ngerasa kamu beda dengan mahasiswa yang lain. Kamu pekerja keras dan punya ambisi."

Senyum kembali hadir di bibir Djuan. "Saya enggak sebaik itu, Ri."

"Tapi bagi aku, kamu memang sebaik itu, Dju."

Djuan tercenung. Bola matanya bergerak ke arah Riana. Tatapan keduanya pun tanpa sengaja bertemu. Dalam dan lekat. Sampai pipi keduanya tanpa sadar bersemu merah.

"Dju, boleh saya suka sama kamu?"

Djuan tersentak. Buru-buru dia melarikan pandangannya ke jalanan desa di depan mereka.

"Dju, kok diam?"

"Saya enggak bisa jawab pertanyaan kamu."

"Kenapa? Apa kamu udah punya perempuan lain?"

Djuan menggeleng.

"Lantas? Apa kamu enggak suka sama saya?"

Kali ini, Djuan membisu. Gerak-geriknya terlihat gugup di tempat. Berbanding terbalik dengan Riana. Perempuan itu seakan kehabisan kata-kata. Lesu dan patah hati tergambar jelas di wajah manisnya. Sepi menyergap di antara mereka. Suasana pedesaan yang tenang pagi itu malah membuat Riana makin dirundung kecewa. 

"Sori, kalau aku salah artiin obrolan kita dan perhatian kamu selama ini. Saya balik ke dalam," pamit Riana masuk ke rumah sambil menahan malu. Djuan masih membisu. 

Riana berbalik. Sekilas, dia menatap punggung Djuan yang bergeming di kursi rotan. Air mata menetes di ujung mata Riana. Dia pun segera masuk ke dalam rumah dan berdiam di kamar sepanjang waktu. Bahkan saat jalan pulang. Riana seakan menghindari Djuan. Begitupun Djuan. Lelaki itu menjadi lebih pendiam dan hanya mengobrol sesekali dengan Dwi ataupun Wina. 

Pengakuan cinta itu pun hanya menjadi rahasia antara Djuan, Riana, dan udara pagi yang tertinggal di desa pinggiran Jawa Barat.

***

TBC

Hello Dear

Semoga masih ada yang menanti cerita ini.

Selamat membaca dan jangan lupa komen-komen. 

Luv u dear~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro