Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Djuanda

-

-

Suara tangis seorang bocah berumur lima tahun terdengar pada sebuah sudut gang sempit di Kampung Rawa Pasung, Bekasi. Empat orang anak lelaki lain yang berbadan lebih besar mengejek saling bersahutan ke arah bocah itu, sementara tubuhnya sudah menggigil dan meringkuk dengan isakan semakin kencang.

"Udah gue bilang enggak usah ikut main. Bader banget lo dibilangin. Sono pulang."

"Lo masih bocil nanti emak lo nyariin. Udah sono!"

"Mending lo nonton kartun dah di rumah."

Dengan air mata mengucur deras dan ingus mengalir, bocah itu mendongak. Tatapannya terlihat menyedihkan. "Aku kan cuma mau main bareng kalian? Emang salah."

"Pakai tanya. Sono gih!" dorong salah satu anak berbadan bongsor sampai membuat bocah itu terjungkal. Pakaiannya yang lusuh semakin kotor terkena tanah. Setelah itu, gerombolan bandit cilik itu pun melenggang pergi tanpa dosa.

Sepasang mata seorang lelaki mengamati diam-diam dari pinggir jalan tak jauh dari sana. Kondisi bocah lelaki itu seakan membawa ingatannya kembali ke masa kecil. Di tempat yang sama, rasa dikucilkan yang sama, dan kesepian yang sama. Dia pun merogoh kantung celana dan mendekati bocah itu.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya lelaki itu ramah sambil membantu bocah itu berdiri dan membersihkan tanah yang menempel di celananya. "Mending kamu balik. Kalau mereka enggak mau main sama kamu, cari teman yang lain. Enggak perlu maksain buat temenan sama orang yang enggak mau ajak kamu main."

Bocah ingusan itu tertegun. Bibirnya mencebik seakan tidak suka kepada remaja berseragam SMA bertuliskan salah satu sekolah di Bekasi itu.

Si anak SMA lantas menunduk dan membuat tingginya sejajar. "Udah jangan nangis. Ini Abang punya permen, buat Andi. Ibu ada di rumah, kan? Kalau ibu kamu tahu baju kamu kotor, kamu pasti kena omel."

Sambil mengusap air mata yang bercampur dengan ingus di wajahnya, bocah bernama Andi itu mengangguk. "Makasi ya, Bang."

"Sama-sama. Abang berangkat ya. Udah telat."

Usai menggusak rambut Andi, lelaki dengan emblem nama bertuliskan Djuanda itu berjalan ke depan gang dan menghentikan sebuah mobil angkot yang membawanya untuk pergi ke sekolah.

***

"Dju, lempar bolanya ke sini!"

Teriakan salah seorang teman sekelas Djuan dari sudut lapangan basket SMA Harapan Bakti. Dengan keringat mengucur deras dari kaus polosnya, Djuan melemparkan bola bundar berwarna jingga itu kepada Wayan, kemudian mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

"Ganti-ganti!"

"Lho udahan, Dju?" tanya salah satu temannya dari bangku penonton.

Djuan mengangguk sembari mengenakan seragam putihnya. "Udah mau jam tiga."

"Hm... Anak emak," ledek salah satu teman Djuan dari arah lapangan.

Namun, alih-alih marah Djuan malah terkekeh sembari menenteng ransel. "Gue duluan. Dah."

Tanpa mengindahkan wajah suntuk dan gerutuan menyebalkan teman-teman yang lain, Djuan membawa kakinya melewati koridor sekolah.

"Hati-hati Dju," teriak Wayan, teman sebangku Djuan. "Salam buat Tante."

"Sip," sahut Djuan sembari fokus menuliskan pesan kepada sang ibu. Bibir Djuan melengkung naik kala membaca pesan ibunya yang akan pulang sore hari ini.

Saking fokusnya, Djuan tidak menyadari ada kanvas setinggi satu meter lewat di tengah koridor. Tinggi si pemilik lukisan yang ala kadarnya membuat dia tidak melihat Djuan bergerak semakin dekat. Sontak, tabrakan ala-ala sinetron pun tak terhindari.

"Astaga!" pekik Djuan kaget kala benda besar itu menubruk dan menimpa tubuhnya tanpa belas kasihan. Sementara, pemiliknya kalang kabut sambil susah payah mengangkat kanvas itu dari tubuh Djuan.

Wajah mungil seorang siswi muncul dari balik kanvas. Bola mata bulatnya makin membola menemukan ada orang dari balik lukisan. Bibir perempuan itu lantas menganga ketika cat basah pada kanvas tertransfer sempurna di kemeja Djuan. Biru di bagian bahu dan merah di bagian depan kemeja.

"Saya bantuin," kata Djuan lantas mengangkat kanvas itu dan menidurkannya di dinding. 

"Ba--baju, Kakak," gagap siswi itu terlihat panik.

Djuan mendesis ketika sadar ada noda besar di  kemeja putihnya. "It's okay. Cuma cat kan? Tapi lukisan kamu rusak gini enggak apa-apa?"

"Tap--tapi itu cat akrilik loh. Aku bersihin ya, Kak. Mending Kakak lepas seragamnya sekarang nanti aku cuci, gimana? Ini kotor banget," cerocos siswi itu sembari menggerayangi tubuh Djuan. "Aduh... ceroboh banget sih. Niat ngeringin lukisan di luar aja malah nabrak orang. Aduh..."

"Eng--Enggak usah. Lepas, lepasin," tepis Djuan risi sembari membuat jarak.

Setelah jarak mereka cukup aman, Djuan mengamati dengan seksama perempuan yang kini memandangi Djuan dengan mimik memelas. Bola mata bulat, pipi putih kemerahan, dan rambut panjang yang dicepol tinggi diam-diam mencuri perhatian Djuan.

"Sori," ucap siswi itu menunduk dalam.

Djuan hanya mengangguk dan lanjut melangkah pergi. Gumaman kesal terdengar kala Djuan menemukan ada cat yang juga menempel di pipinya pada pantulan di kaca jendela.

"Nama aku Putri!" teriak siswi itu tiba-tiba. Djuan menoleh. "Anak X-3. Kalau Kakak mau aku tanggung jawab buat ngilangin cat di seragam itu, Kakak bisa ke kelas aku."

"Enggak perlu. Saya bisa cuci sendiri," balas Djuan terkesan jutek.

Bibir Putri terkatup rapat selagi matanya mengamati Djuan yang sibuk menghapus cat di pipi. "Nama Kakak?"

"Kenapa?"

"Boleh aku tahu nama Kakak?" tanya Putri takut-takut.

"Harus?"

Putri tersenyum masam kemudian menggeleng. Dia lantas berbalik lesu menuju ruangan Art Club.

"Djuan. Djuanda," sahut Djuan. Lengkungan sendu di bibir Putri perlahan menghilang. "Saya duluan. Lain kali lebih hati-hati."

"Siap. Kak Djuan," seru Putri lantas memamerkan gigi-giginya. Senyum lebar Putri bahkan tidak pernah luntur sampai Djuan menghilang dari koridor, seakan tengah terpesona. "Jadi namanya Djuan. Ganteng."

***

Malamnya, Djuan bertopang dagu sembari berjongkok di depan ember yang berisi seragam putihnya. Sudah dua jam dia termangu dengan wajah nelangsa seperti itu. Deterjen, sabun mandi, Sampo, sampai sabun cuci piring bergeletakan di lantai kamar mandi. Dalam hati, Djuan menyesal tidak mengindahkan tawaran Putri. Apalagi kesan kebiruan masih tampak pada seragam yang menyambutnya dari dalam ember.

"Udah balik, Dju?"

Suara seorang wanita dari pintu depan membuyarkan lamunan Djuan.

"Dju, kamu di mana?" tanya wanita itu lagi semakin dekat. Tak lama, wajah Mila, ibu Djuan, muncul dari balik pintu kamar mandi. "Kamu ngapain nongkrong di situ?"

"Nyuci seragam," jawab Djuan meninggalkan seragamnya dengan perasaan pasrah. Dia kemudian melewati tubuh Mila menuju tempat makan.

"Seragam kamu kotor? Tumben. Kan baru sekali pakai," gumam Mila mengekori Djuan. Dengan sigap, dia mengeluarkan piring dan menata lauk untuk mereka makan malam ke permukaan meja. "Makan dulu yuk. Tadi siang kan kamu cuma makan sisa nasi goreng waktu sarapan. Pasti sekarang kamu udah lapar lagi."

"Ada insiden," gumam Djuan agaknya masih kesal.

"Mau Mama bantuin? Insiden apa sih?"

"Enggak usah. Nanti aku kucek lagi aja. Pasti ilang," terang Djuan membantu sang ibu mengeluarkan nasi bungkus dari plastik. "Mama sendiri tumbern enggak lembur hari ini?"

"Enggak. Tadi Mama habis ke kantor pajak ngurus pajak kantor, jadi langsung balik aja setelah selesai," kata Mila seraya duduk berhadapan dengan si putra kesayangan. "Gimana sekolah? Maaf ya bakso titipan kamu udah habis jadi Mama cuma beli seadanya."

"Enggak apa-apa. Ini aja udah cukup," ujar Djuan mulai memasukan makan malam ke mulut. Namun, suapan Djuan menggantung di udara kala sadar Mila hanya duduk sambil mengamati dirinya. "Mama enggak makan?"

Mila menggeleng. "Mama udah makan di jalan. Kamu duluan aja."

Djuan meletakan sendok ke permukaan meja. Bola mata Djuan bergerak mengamati Mila. Kemeja putih lecek, kesan lelah pada gurat wajah wanita itu, dan keriput yang semakin kentara jelas perlahan membuat dadanya sesak. Bahkan senyum hangat yang dipaksakan hadir di bibir Mila tidak membuat Djuan percaya seratus persen dengan ucapan sang ibu.

Tanpa kata, Djuan berinisiatif mengambil piring lain dan membagi makanan di piringnya. Sontak, Mila menahan tangan Djuan.

"Kamu mau ngapain, Nak. Mama bilang kan Mama udah makan," sergah Mila.

"Berhenti bohong sama aku. Sekarang Mama duduk dan kita makan sama-sama," tegas Djuan mulai kesal.

"Dju!"

"Ma! Mama bisa enggak sih berhenti buat nyusahin diri sendiri? Kompetensi Mama itu bisa lebih dihargain di tempat lain. Gaji Mama juga bisa lebih gede di tempat lain, dan Mama enggak harus capek kayak gini," tukas Djuan dengan wajah memerah.

"Enggak segampang itu, Dju," balas Mila mencoba sabar.

"Kalau gitu biarin aku kerja bantu Mama," tekan Djuan terbakar emosi.

"Djuan. Udah berapa kali Mama bilang, tugas kamu itu cuma sekolah. Kamu enggak perlu mikirin Mama," hardik Mila terbawa emosi. "Kalau kamu mau bantu Mama, cukup selesain sekolah kamu, kuliah, dan cari kerja yang bener. Kamu ngerti? Mending sekarang kamu habisin makanan kamu."

Djuan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Matanya menyipit ke arah figura yang berisi foto keluarga di dinding. Foto keluarga yang hanya diisi oleh dua orang sedari dulu sampai sekarang. Diam-diam rasa bencinya akan sosok pria yang tidak pernah dia temui semenjak dia lahir semakin memuncak.

"Aku enggak lapar," gumam Djuan membalikan badan.

"Dju," panggil Mila dengan nada lebih rendah.

Namun seolah tuli, Djuan malah memasuki kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. Mila tertegun. Sambil mengusap wajahnya, Mila terduduk di kursi meja makan. Perutnya diam-diam mulai melilit, tanda meminta diisi. Namun, alih-alih menyantap makanan di meja, dia malah menyimpan makanan itu ke dalam rak lantas menenggak air putih dari dispenser.

Helaan napas lelah milik Mila terdengar. Pandangannya kemudian bergerak ke pintu kamar Djuan dan kamar mandi bergantian. Sampai tak lama, dia menyingsingkan lengan kemeja dan memasuki kamar mandi.

***

Sinar matahari pagi menggelitik wajah Djuan esok harinya. Dia bangkit dari kasur, menguap lebar sembari merenggangkan tubuhnya, dan melangkah keluar kamar. Senyum masam terbit kala menemukan sepiring nasi goreng dan sticky note  di permukaan meja makan.

Mama berangkat duluan ya.

Tadi Pak Hasan minta Mama buat siapin laporan keuangan buat meeting jam 9.

Jangan lupa dimakan sarapannya.

Amarah sisa semalam yang masih bersemayam di benak Djuan, menguap perlahan. Tersisa rasa bersalah kepada Mila, apalagi saat menatapa nasi goreng itu. Djuan mengambil ponsel dari dalam kamar dan mengetikan sesuatu di sana.

Djuanda :

Ma, maafin yang semalam.

Aku udah enggak sopan ke Mama.

Mama :

Mama udah maafin kamu.

Jangan lupa sarapan dan belajar yang bener di sekolah.

Jangan kebanyakan main.


Djuan  tersenyum lega membaca pesan Mila. Namun, tatapannya teralihkan pada tumpukan jemuran basah dari balik jendela. Sesak muncul kala menemukan kemeja seragam miliknya ada di sana. Kemeja penuh noda yang sekarang kembali bersih.

***

TBC

Acuy's Note :

Haaalllooo apa kabar semuanya?

Jangan lupa jaga kesehatan ya.

Sampai ketemu di part selanjutnya.

https://youtu.be/MWmK_zBhJvE

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro