Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Triangle 3

Title : Triangle
Author : coffeelover98
Status : Part 3-4
Pairing : Shinichi K. x Shiho M.
Admin : Sherry
-------------------------------
"Menikahlah denganku."

Shiho tertegun. Pandangannya beralih dari rimbunannya pohon Central Park ke pria yang duduk disampingnya.

"Aku belum bisa."

"Kenapa?"

Shiho terdiam sebentar sebelum menjawab,"Aku ingin memastikan teoriku dulu. Dari itu kita tidak bisa pergi kemana-mana."

Shuichi Akai menatapnya dengan tajam,"Kau masih percaya teori khayalan itu?"

"Aku telah membuat antidote untuk itu. Sudah siap dari kemarin."

"Percuma. Menurutku kau harus maju—tidak boleh terikat dengan masa lalu lagi. Tidak ada hubungannya perasaan hati dengan unsur kimia pada obat."

"Kau meragukanku?"

Shuichi tak menjawab. Bibirnya mengerucut dan rahangnya mengencang. Shiho mencuri pandang kearahnya, pria itu tak mau melihatnya. Diputarnya pandangan matanya ke orang-orang yang memberi makan angsa di danau. Cuaca musim panas di New York terasa nyaman.

Shiho menghela nafas.

Benar. Kau meragukan aku, Shuichi Akai.

Kau meragukan teori khayalanku.

.

.

To love is to risk

.

.

"Kita harus bicara, Kudo-kun."

Shinichi tersenyum,"Kenapa serius sekali, Miyano?" tatapan matanya lalu berubah cemas,"Kau mau balik ke New York?"

"Bukan itu. Tapi ini benar-benar penting."

Senyum pria itu menghilang menyadari keseriusan Shiho. Diletakkan buku Sherlock Holmes yang sedang dibacanya. Mereka sekarang duduk saling berhadapan di ruang tamu Hakase yang luas. Hakase sedang berada di Osaka untuk pertemuan ilmiah bulanan. Shiho menyadari kalau sekarang adalah kesempatan terbaik untuk menguji teorinya, karena tidak ada orang yang bisa menganggu mereka. Ran sedang mengunjungi rumah ibunya selama beberapa hari.

Shiho menekan jemarinya dengan gugup. Tak tau harus darimana memulai.

"Ya, Miyano?"

"Bagaimana pernikahanmu dengan Ran-san? Kau masih mencintainya bukan?"

Shinichi terkejut. Untuk sesaat dia tak mampu menjawab.

"Kenapa?" tanyanya dengan lemah akhirnya.

"Hakase memberitahuku kalau kau telah menandatangani surat perceraian."

Shinichi tertawa pahit. Dia menutup matanya sejenak lalu membukanya lagi dengan cepat ketika mendengar suara gadis itu.

"Kudo…" Shiho mengeluarkan kotak kecil dari sakunya dan menyerahkan ke genggaman tangan pria itu," Ini antidote terbaru yang kubuat selama di New York."

"Antidote APTX 4869? Kita tidak memerlukannya lagi bukan?"

" Yang ini beda. Kau dengar dulu penjelasanku. APTX 4869 mengandung apoptosis atau kematian sel terprogram. Sel yang memiliki mekanisme untuk membunuh dirinya sendiri. Tapi APTX bukan cuma mengaktifkan apoptosis, juga mengaktifkan teromeaze yang meningkatkan multiplikasi sel. Proses apoptosis dikendalikan beragam sinyal sel, yang berasal dari ekstrasel atau intraseluler. Setelah sel menerima stimulus organisasi sel mengalami degradasi. Antidote APTX dibuat untuk mereduksi percepatan kematian sel sehingga—"

"Miyano! Aku sudah mendengar penjelasanmu sewaktu menerima antidote darimu beberapa tahun lalu. Apa maksudnya?"

"Antidote APTX memiliki efek samping, Kudo…"

"Maksudmu?"

"Karena hanya kita yang berdua mengomsumsi antidote itu. Aku telah meneliti reaksi kimia antidote itu selama berbulan-bulan."

"Aku tak mengerti."

"Efek sampingnya, kita berdua saling tertarik satu sama lainnya setelah mengomsumsi antidote APTX. Karena darah kita mengandung residu apoptosis, induksi sel yang menyebabkan hormone bergerak menghasilkan reaksi kimia sama seperti reaksi manusia pada umumnya sewaktu jatuh cinta. Hormon ini hanya bereaksi ke sesama orang yang telah mengomsumsi antidote itu. Residu ini akan selalu ada di dalam darah sampai kita mati. Antidote terbaru yang kuciptakan menghilangkan residu ini dan semua jejak yang berkaitan tentang itu."

Shinichi diam tak bergerak mencoba mencerna kata-kata Shiho.

Kita berdua saling tertarik satu sama lainnya.

Kau berbohong, Shiho? Kau sudah tertarik pada Kudo bahkan sebelum mengomsumi antidote itu.

DIAM! Aku tak butuh pendapatmu.

"Maksudmu aku dan kau…"

"Benar."

"Aku tak percaya teorimu." Shinichi menatapnya dengan gusar.

"Kudo. Cinta adalah reaksi ketika otak yang melepaskan neuro-transmitter yang bernama dopamine, oksitosin, norepinephrin, fero—"

"Miyano! Hentikan semua omong kosong ini. Jadi ini penyebab kau pergi menghindariku selama ini. Kau mencintaiku bukan? Sama seperti aku—"

"Hentikan!" pinta Shiho. Gadis itu menelan ludah lalu mengeluarkan kotak kecil lain dari sakunya.

"Mari kita buktikan teoriku. Kita sama-sama mengomsumsi antidote terbaru ini sekarang. Toh, tidak ada yang rugi, bukan?"

Mata mereka kembali bertemu. Wajah Shinichi merah menahan emosi. Dia kemudian bangkit berdiri mendekati Shiho. Gadis itu mundur sejenak. Nafas Shinichi terasa hangat di pipinya.

"Selain menghapus sisa residu antidote lama di darah kita, tak ada yang berubah." Ujar Shiho lagi dengan pelan.

"Katakan padaku kenapa aku harus percaya padamu, Miyano?" tanya Shinichi halus.

"Aku pencipta obat ini, Kudo. Aku telah menelitinya."

"Kau pikir perasaan cinta, emosional, psikis bisa disebabkan oleh obat? Segampang itu kah?"

"Kasus kita beda. Hanya sesama orang yang mengonsumsi antidote APTX."

Shinichi tertawa. Tapi matanya masih menatap tajam gadis itu.

"Kau ingin lari lagi, Shiho. Kau ingin lari dariku lagi." Desisnya sambil membelai pipi gadis itu. Shinichi tak luput memperhatikan bibir Shiho yang gemetar. Untuk pertama kalinya dia memanggil dengan nama depannya, terasa begitu familiar di ujung lidahnya.

"Aku tak percaya teorimu. KAU pasti merasa bersalah karena kegagalan hubunganku dengan Ran sehingga menciptakan teori omong kosong ini." Ujarnya lagi dengan serak.

Shiho memejamkan matanya.

"Bagaimana kalau aku telah jatuh cinta padamu sebelum mengomsumsi antidote itu? Tak ada hubungannya Ran dengan ini." gumam detektif itu.

"Tidak mungkin." Suara Shiho terasa dingin dan tajam menusuk hati. Shinichi menghela nafas.

"Shiho… setelah residu antidote lama sudah terhapus, ada efek sampingnya bukan?"

"Apa maksudmu?" tanya Shiho cepat.

"Apoptosis adalah kematian sel terprogram. Antidote dibuat untuk berlawanan dengan kerja APTX yaitu membunuh selnya sendiri untuk mempercepat regenerasi sel kembali menjadi tubuh semula sebelum mengonsumsi APTX 4869. Berarti antidote baru yang kau buat itu menghapus semua ingatan anditode lama."

"Benar."

"Jadi setelah kita mengonsumsi antidote itu, kita akan saling melupakan satu sama lainnya." Suara Shinichi bergetar.

"Benar…" bisik Shiho lagi.

Dipegangnya tangan Shinichi yang masih tetap membelai pipinya dengan lembut, lalu diletakkannya di genggaman tangannya sendiri. "Maafkan aku, Kudo. Ini jalan terbaik buat kita semua."

"Bagaimana kalau perasaanku—perasaan kita sama sekali tidak ada hubungannya dengan antidote itu?" tanya Shinichi pelan.

"Aku tak punya jalan lain lagi, Kudo."

"Aku tak ingin melupakanmu. Sialan! Aku tak percaya semua omong kosongmu!" bentak Shinichi. Kemarahannya kembali. Ditariknya tangannya dari genggaman Shiho."Kau ingin membuatku melupakanmu. Kau kejam, Shiho. KAU SANGAT KEJAM."

Gadis itu terpekur.

"Aku tak akan pernah mengonsumsi antidotemu. Dan jangan berani-beraninya kau menaruhnya di makanan atau minumanku tanpa sepengetahuanku." Bentak Shinichi lagi. Dia benar-benar marah sekarang. Dia tau kalau Shiho benar-benar menginginkan sesuatu, tak ada yang bisa mengubahnya. Walau keinginan gadis itu bertentangan dengan dirinya, betapa dia ingin meyakinkan kalau apa yang ada di teori itu benar-benar salah. Dia sama sekali tidak percaya kalau ada hubungan reaksi kimia cinta antara mereka dengan efek samping antidote itu. Dia bukan pria bodoh. Dia tau kalau dia tidak mengikuti keinginan Shiho, gadis itu akan melakukannya juga, memberinya antidote secara diam-diam. Tapi kali ini dia tidak akan menyerah, sebelum dia memperoleh apa yang diinginkannya selama ini.

Shiho yang tak pernah melihat kegusaran Shinichi, mengigit bibirnya dengan gemetar, menahan air matanya yang mulai mengancam di sudut-sudut matanya.

"Kau harus menggunakan antidote itu, Kudo. Kau harus kembali pada Ran-san."

"Dia tak pernah mengerti diriku seperti dirimu. Selama dua tahun ini, aku mencoba memahaminya—karena kupikir aku telah berjanji padanya untuk selalu kembali padanya. Aku tak sanggup lagi, Shiho. Kau ingin melihatku mati perlahan-lahan?" tanya Shinichi serak.

"Aku ingin melihatmu bahagia lebih dari apapun."

"Kalau begitu jangan memaksaku."

"Kau sudah mendengar penjelasanku. Perasaanmu padaku hanya didasarkan efek dari antidote APTX dan itu tidak abadi, Kudo. Kau yang kukenal selalu mencintai Ran-san. Ini karena efek samping antidote yang kuberikan padamu dulu sehingga rumah tangga kalian hancur. Ini semua salahku, Kudo. Berilah aku kesempatan untuk menebusnya."

Shinichi tertawa sumbang.

"Kau tak perlu repot-repot mengurus rumah tangga orang, Shiho. Kau bukan konselor perkawinan. Kau tak tau apa yang terjadi selama ini."

"Aku ingin membantumu."

"Kau selalu keras kepala seperti biasanya, Shiho. Kau tak akan pernah percaya kalau aku jatuh cinta padamu bukan karena antidote sialan itu." Suara detektif itu terasa berat dan terpaksa.

"Benar."

"Kau tak pernah memperhatikan kepentinganku, Shiho. Kau tak pernah menghargaiku sebagai pria. Pria dewasa yang benar-benar mencintaimu. Kau menganggapku telah menyia-nyiakan Ran karena antidote itu. Bisakah kau memikirkanku sekali saja. Sekali saja." Suara Shinichi mengecil di ujung. Matanya memohon. Terluka. Detektif yang paling sombong—yang pernah dikenal Shiho, sekarang menatapnya dengan frustasi penuh kebingungan dan membuat hatinya remuk.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Shiho pedih dan tak berdaya.

Shinichi mendekatinya.

"Love me. Akan kubuktikan kalau teori omong kosong itu salah."

"…Tidak sebelum kita mengomsumsi antidote ini. Kau takut, Kudo? Kau takut karena perasaanmu ini hanya palsu. Bukan begitu, Kudo?"

"Aku lebih takut akan melupakanmu, Shiho. Berjanjilah padaku kalau antidote ini gagal membuktikan kalau teorimu benar, kau akan kembali padaku."

Shiho mengigit bibirnya lalu mengangguk pelan.

Shinichi terdiam sejenak, kemudian matanya menyala. Rahangnya mengeras, bibirnya menipis, ditatapnya gadis dengan sedih.

"Baiklah. Berapa lama kerja antidote sialan ini?"

Shiho menatap iris birunya, mencoba mencari penyebab mengapa detektif ini begitu cepat menyerah. Akhirnya dia menghela nafas,"Kau minum duluan. Reaksinya dua jam setelah berkerja di lambung. Jika teoriku salah dan antidote ini tak bekerja, a-aku akan berubah pikiran. Karena jika kau sungguh dengan perasaanmu, antidotenya tidak akan berpengaruh sama sekali."

"Akan kubuktikan, Shiho. Akan kubuktikan sekarang."

Shinichi menyambar kotak kecil itu dan menelan pil di dalamnya dengan gelas yang berisi air di atas meja. Diteguknya airnya sampai habis. Setelah itu dia duduk dengan tegang, matanya tak lepas dari Shiho.

"Apapun kandungan obat itu, yang membuatku lupa padamu, atau malah meyakinkan cintaku—kau jangan pernah lari dariku lagi, Shiho."

Shiho mengigit bibirnya; diisinya gelas itu penuh dengan air. Pil kecil di tangannya tertelan dalam dua tegukan.

Mereka saling memandang sekarang.

Pria itu bangkit berdiri dan kemudian menciumnya. Pertama lembut kemudian memanas. Ciuman pertama mereka. Shiho hendak menolakkan tangannya ke dada Shinichi tapi dia membalasnya dengan menekankan tubuhnya lebih dekat.

"Kita harus berhenti,Kud—"

"Berhenti? Kau menyuruhku berhenti mencintaimu?" tanya Shinichi di sela-sela ciumannya.

"Ku—" kata Shiho terhenti karena pria itu sekarang menciumnya dengan ganas. Ciumannya tak putus-putus. Seperti haus akan sesuatu yang ada di dalam diri Shiho. Seperti orang yang baru pertama kali mencium, mencintai dan menginginkan apa yang diidamkan setelah sekian lama.

"Aku sudah bilang padamu tadi, Shiho. Just shut up and love me now."

Shiho tak berontak lagi ketika bibir Shinichi mulai menjalar ke arah lehernya. Tangannya mulai membuka kancing baju gadisnya, mencoba menyentuh lebih banyak kulit lagi.

Shiho tak berontak lagi ketika bibir Shinichi mulai menjalar ke arah lehernya. Tangannya mulai membuka kancing baju gadisnya, mencoba menyentuh lebih banyak kulit lagi.

Kulit Shiho terasa begitu lembut dan hangat, betapa Shinichi merindukan kehangatan yang tak sanggup dia peroleh dari wanita lain. Selalu ada yang salah dalam hubungannya dengan wanita yang bahkan tidak ingin dia pikirkan sekarang. Dia hanya ingin memikirkan gadis yang ada dalam pelukannya, satu-satunya yang dia dambakan—dimana dia menjadi pengecut—yang tak berani mengejarnya dulu sehingga gadisnya lepas dari genggamannya.

Keberaniannya berakumulasi setelah sekian tahun. Dia tak menyalahkan Ran. Dia menyalahkan dirinya—menjadi pandir yang tak berani memutuskan sesuatu. Yang tak berani mencintai. Yang menyebabkan segala keruwetan hidupnya sendiri.

Dia telah melakukan kesalahan fatal—banyak malam yang dia lewatkan tanpa tidur—memikirkan banyak hal. Kekecewaan, penyesalan, Shiho Miyano, ketidakpedulian, Shiho Miyano, pertengkaran yang tak habisnya, Ai Haibara, isak tangisan Ran—walau sebenarnya dia tak pernah bermaksud ingin melampiaskan kegetiran hidupnya pada mantan istrinya. Dia berkali-kali mencoba memperbaiki hubungannya dengan Ran. Bagaimanapun juga dia telah bersumpah untuk selalu setia padanya selamanya. Dia tidak boleh egois.

Benar, dia tidak boleh egois.

Tapi apa dia berhak untuk mencintai dan dicintai?

Ketika dia menyerahkan surat perceraian itu, Ran seperti telah menduganya. Tak ada setetes air mata yang biasanya turun kalau mereka saling berbantahan dan menumpahkan emosi.

Shinichi cuma menggumamkan maaf dan mendoakan supaya hidupnya selalu bahagia—walau tanpa dia disisinya lagi. Entah kenapa beban berat yang selama ini mengungkungnya terasa menghilang. Dia hidup kembali. Seperti baru.

Dia ingin merasa egois lagi. Ingin mencintai dan dicintai.

Jadi tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang. Tidak ada seorangpun. Apapun.

Kedua kaki jenjang Shiho masih mengapit pinggang Shinichi ketika pria itu membopongnya menuju kamar kosong terdekat. Ciuman mereka juga tak terhenti saat punggung telanjang gadis itu menyentuh seprei. Terasa dingin di kulit Shiho, tapi sebentar saja.

Shiho mengerang ketika Shinichi menjilat dadanya. Tangan kekarnya membelai sekujur tubuh polosnya, mencoba berbagi indahnya cinta pada gadisnya. Gadis itu mengerti dan gerakan mereka semakin tak beraturan dan ketika tubuh mereka mulai menyatu berirama, Shinichi berbisik di telinganya.

"Love you."

Pendek, tapi bisa memompa jantung, mengalirkan darahnya ke seluruh ujung jari kaki hingga saraf tulang belakang Shiho.

"Love you, too."

Balas Shiho di sela-sela hentakan, desahan nafas, keringat yang bercucuran. Ada setitik air mata yang lolos bergulir di pipi pucat gadis itu. Shinichi berhenti sejenak sebelum mencapai klimaksnya, dia ingin melihat wajah Shiho, dia ingin memetakan wajah gadis itu dalam-dalam—sama seperti dia diam-diam menghafal dimana erangan Shiho terdengar lebih keras ketika dia mencoba titik-titik sensitif tubuhnya. Dia ingin merasakan kebahagiaan ini lebih lama lagi, walau serasa mimpi tak mungkin tercapai. Mimpi yang dia kira tak akan pernah terkabul. Mimpi yang bahkan tidak berani dia impikan dan sekarang terasa nyata di hadapannya.

Wanita yang selalu ada dalam mimpinya, pikirannya, menghantuinya.

Satu-satunya wanita dalam hidupnya yang dia ingin bahagiakan, yang ingin dia jaga baik-baik dan tak akan dia biarkan pergi dari hidupnya lagi. Karena tanpa wanita ini, dia tak tau harus bagaimana lagi. Tak ada waktu untuk berpikir rasional lagi.

"Shiho…" Desisnya di telinga wanitanya.

Mata mereka kembali bertemu, hanya ada cinta, cinta dan cinta yang terpantul di kedua pasang iris.

Gerakan pinggul Shinichi makin keras, Shiho tak kalah panas mengimbanginya dan mereka mencapai klimaksnya bersama-sama. Pria itu mengerang di telinganya, membisikkan kata-kata cinta yang membuat hati Shiho hancur.

Shiho memejamkan matanya. Bulir air mengalir di sela-sela bulunya yang panjang. Dia telah mengkhianati semua orang yang dikenalnya. Dia mengkhianati Shinichi, Ran, Shuichi…

Ciuman Shinichi di matanya yang basah menyadarkannya, kalau tak ada waktu untuk merasa bersalah atau menyesal sekarang. Bibirnya mereka kembali bertemu, berirama dan tubuh mereka kembali bergerak, berguling, berkeringat.

Satu jam berlalu.

Gadis itu menoleh dan mendapatkan Shinichi sedang tidur nyenyak disampingnya. Tangan pria itu berada di atas pinggangnya dengan posesif.

Tentu obatnya sudah mulai bekerja sekarang. Digesernya tangan Shinichi.

Shiho tampak kesulitan berbicara, bibirnya sedikit bergetar.

"Maafkan aku, Shinichi," bisiknya. "Aku hanya membuat satu antidote. Kau akan melupakanku, tapi aku tak sanggup melupakanmu. Anggaplah inilah adalah dosa yang harus kutanggung sebagai penemu APTX dan antidotenya."

Shiho terdiam sejenak, kemudian melanjutkan dengan halus.

"Dan yang terpenting, kau akan kembali pada Ran-san."

Dia menunduk, dikecupnya pipi Shinichi sekilas.

"Selamat tinggal, Shinichi. Untuk selamanya." Dipandangnya wajah tampan pria itu yang sedang tidur. Mencoba memetakan titik-titik wajahnya ke dalam ingatannya, karena mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Tenggorokannya terasa sesak, bibirnya terasa kering. Dia masih ingat bagaimana sentuhan lembut pria itu, ciumannya, belaiannya...

Shiho berjuang untuk mencegah air matanya jatuh karena dia tidak ingin terlihat lemah. Tangannya terkepal menguatkan tekadnya.

Shiho bangkit berdiri, mengumpulkan sisa-sisa bajunya. Setelahnya dia mengambil handphone Shinichi, dihapusnya semua email darinya hingga tak bersisa.

Aku tidak lari darimu, Shinichi. Aku hanya lari dari diriku sendiri.

(Demikianlah kisah mereka berakhir)

(Benarkah demikian?)

.

.

to love is to live

.

.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro