02 - Namanya Pak Ahmad
02 - Namanya Pak Ahmad
Itu kisahku dua tahun yang lalu.
Sekarang aku tinggal di Jakarta, kuliah sambil kerja. Bisa dibilang aku kabur dari para lelaki yang ingin menjadikan istri. Tapi, namanya pelarian nggak ada yang berhasil. Setiap kali saat menelepon, Ibuk melapor bahwa ada saja laki-laki yang datang untuk melamarku. Entah itu temen SMP, temen SMA, anak desa sebelah, sampai kemarin anak Pak Lurah yang baru saja pulang dari Medan. Duh, Gusti, hamba lelah jadi perempuan cantik.
Kata Ibuk aku ini kembang desa. Ya, memang di antara teman-teman sepermainan, akulah yang bongsor dengan tinggi badan 162 sentimeter, punya kulit mulus berkat perawatan ala kadarnya setiap hari, badan langsing meski hobiku makan lima piring sehari, rambut sepunggung hitam berkilauan, Mbak Anggun saja kalah, wajah oval, punya satu tahi lalat kecil di antara garis senyum yang kata Farah aku jadi tambah manis, bibir merah ranum, tanpa pakai lipstik pun sudah merah, hidung pesek, dan mata bulat. Sudah sangat jelas aku ini menjadi sasaran para lelaki hidung belang.
Oke, mari kita tinggalkan sejenak. Sekarang aku mau cerita bagaimana caranya bisa sampai Jakarta dan kuliah di sini.
Jadi, pas aku kelas dua belas, aku bilang ke Ibuk pengin kuliah. Ibuk setuju dan akan berusaha mencari biaya. Sejujurnya aku sadar diri bahwa untuk makan saja masih ngos-ngosan, tapi mau bagaimanapun aku mau jadi ibu yang baik untuk anak-anakku kelak.
Aku berusaha. Selama hampir satu tahun ikutan seleksi beasiswa sampai gumoh, ya, ndilalah otakku juga pas-pasan, aku nggak diterima satu pun. Putus asa, dong? Jelas. Namun, menjelang kelulusan Allah memberi jalan. Pakdeku dari Jakarta datang ke desa dan menawarkan kuliah di sana dengan biaya penuh darinya. Awalnya Ibuk tidak setuju sebab itu artinya kami akan berpisah. Akan tetapi, melihat semangatku yang ingin kuliah sangat tinggi, Ibuk dengan berat hati mengizinkan pergi ke Jakarta.
Tiba di Jakarta, bak anak kampung yang ternistakan, aku tidak diterima di keluarga Pakde. Budeku secara terang-terangan tidak menyukai kehadiranku. Setiap hari kuping ini selalu panas mendengar ejekannya. Satu tahun betah-betahin demi Pakde. Karena tidak tahan juga, aku lantas berencana untuk mencari kos-kosan yang dekat dengan kampus. Begitu sudah dapat, aku pelan-pelan pamit pada Pakde. Meski awalnya Pakde tidak setuju, lama-lama luluh juga.
Dapat tempat tinggal yang baru, masalahku nambah lagi. Iya, kalian benar, aku nggak punya biaya hidup. Apes sekali, bukan? Beruntungnya aku kenal Widya, Siska, Lia, dan Anjar. Mereka merekomendasikan aku ke tempat kerjanya, sebagai pelayan part time di sebuah restoran. Aku harus melewati berbagai macam training sebelum diangkat menjadi karyawan tetap. Berawal dari sinilah aku kuliah sambil kerja dan kenal dengan Pak Ahmad.
Kami memanggilnya Pak Ahmad karena beliau adalah pemilik restoran Lestari. Usianya 28 tahun tapi masih single. Iya, kalian nggak salah baca. Pak Ahmad masih sendiri meski umurnya sudah mau kepala tiga. Untungnya terlahir sebagai laki-laki. Kalau Pak Ahmad perempuan, aku jamin dia sudah dinyinyiri satu kampung. Widya, Siska, dan Anjar yang sudah lebih dulu bekerja di sana saja belum pernah melihat Pak Ahmad membawa seorang perempuan ke restoran.
Pak Ahmad orangnya baik. Sangat baik malah. Selama satu tahun bekerja belum pernah sekalipun aku kena marah. Gampang berbaur sama karyawan, sering bercanda juga. Kadang aku heran kenapa sampai detik ini belum ada perempuan yang menarik hati Pak Ahmad.
"Pak, nggak duduk dulu?"
Spontan aku mendongak dari cucian piring ketika Widya memanggil Pak Ahmad yang melintas. Seperti biasa sebelum pulang beliau akan mengecek keadaan restoran dari depan sampai belakang. Namun, kali ini Pak Ahmad tidak mendatangi pantri, makanya Widya bertanya.
"Maaf, ya, Wid. Saya lagi buru-buru, udah ditunggu sama ibu saya di dalam mobil. Jangan lupa kunci semua pintu sebelum pulang, ya."
"Siap, Pak!"
Setelah itu Pak Ahmad menghilang. Cucian piring sudah selesai. Tinggal nunggu kering saja.
"Sri, kira-kira Pak Ahmad ada urusan apa ya sampai buru-buru begitu?" Widya membuka sesi gibahnya. Sementara aku sibuk mengelap tangan yang basah.
"Mana kutahu," jawabku singkat. Ponselku berdering. Ada telepon dari Pakde. Aku segera mengangkatnya. "Iya, Pakde?"
"Kamu di mana sekarang?"
"Masih di tempat kerja."
"Sampai jam segini?" Terdengar suara Pakde meninggi. Sekarang memang sudah jam sembilan malam.
"Yo, kan, aku paginya kuliah, Pakde, sampai siang. Sorenya kerja sampai malam."
"Terus istirahatnya kapan?"
"Ya, habis ini."
"Yo wis, pokoknya kalo kamu butuh uang buat kuliah jangan sungkan bilang sama Pakde. Hati-hati pas pulang nanti. Sama temen, kan, Nduk?"
"Iya, Pakde. Seperti biasa sama temen."
"Nah, sip. Pakde tutup dulu teleponnya, takut budemu denger."
Aku terkekeh. Pakde ini memang tipe suami takut istri. Apa nanti kalau sudah menikah suamiku takut sama aku?
Segera kuenyahkan pikiran itu. Ketakutan akan hal yang sama seperti dialami Ibuk kembali menyeruak. Iya, ini menjadi salah ketiga alasan kenapa aku tidak ingin menikah dalam waktu dekat.
Daripada memikirkan itu, aku memilih untuk pergi ke luar. Memastikan meja dan kursi sudah tertata rapi. Sebenarnya tanpa perlu dipastikan pun, Anjar sudah bekerja dengan baik. Makanya Pak Ahmad betah mempekerjakan dia.
Sudah kubilang kalau Pak Ahmad itu orangnya baik. Beliau benar-benar memperhatikan kinerja karyawannya. Awalnya aku pikir beliau ini galak dan kejam sebab penampilannya berkata demikian, tetapi sikapnya membuatku jadi sadar kalau menilai orang jangan dari luarnya saja.
Tiba-tiba pintu terbuka, menampakkan sosok Pak Ahmad hingga membuatku terlonjak seperti habis melihat setan.
"Bapak, kok, balik lagi?" tanyaku kepo.
"Iya. Ternyata HP saya ketinggalan di dalam."
Oalah. Aku manggut-manggut. Bahkan sampai Pak Ahmad mengambil ponsel lalu keluar lagi, mulutku masih berbentuk huruf "O".
Lain kali jangan buru-buru, Pak! Aku hanya berani mengucapkan kalimat itu dalam hati.
***
Kalau ada yang bilang kuliah sambil kerja itu enak, sini main sama aku. Sejak memutuskan untuk bekerja, waktu seakan pelit kepadaku. Kepala rasanya ingin meledak, tak sanggup menahan beban.
Seperti sekarang ini, aku kerja sambil mengerjakan laporan yang harus dikumpulkan besok pagi. Sudah jangan dibayangkan nanti kalian ikutan pusing. Beruntung Anjar mau gantian shift denganku.
Tepat pukul delapan malam, Anjar melepaskan apron yang melekat pada tubuhnya. Pertanda kami harus gantian jaga di luar.
"Sri, duluan ya."
Aku melambaikan tangan, membetulkan ikat rambut, memasang apron, lalu keluar. Meski sudah malam, restoran masih tampak banyak pengunjung. Aku mulai melayani mereka dengan ramah. Ada beberapa pengunjung yang aku kenal. Mereka sering datang ke sini untuk makan atau sekadar numpang WIFI.
"Lho, bukannya Anjar yang dapet jatah malam?"
Entah sejak kapan Pak Ahmad sudah berdiri di belakangku yang sedang mencuci piring. Jelas aku berteriak dan hampir melempar piring ke wajahnya.
"Maaf, saya bikin kaget, ya."
"Ya, jelas to, Pak. Wong, saya dari tadi sendirian di sini."
Pak Ahmad terkekeh. Menampilkan gigi putihnya yang rapi. "Pertanyaan saya belum kamu jawab."
"Oh itu, tadi sore saya ada tugas dari kampus, Pak. Kita gantian shift."
"Terus tugasnya udah selesai?"
"Udah, dong, Pak."
"Bagus."
"Bapak tumben baru datang?"
"Saya habis rapat sama klien dekat sini. Terus, mampir sekalian."
Sekadar informasi, restoran Lestari ini adalah usaha sampingan Pak Ahmad. Beliau mengelola perusahaan furniture punya ayahnya. Denger-denger dari Widya, sih, seperti itu.
Obrolan kami terputus sebab aku harus melayani tamu selanjutnya. Aku melihat Pak Ahmad memasuki ruangannya.
Pukul sembilan malam, restoran tutup. Aku mulai bersih-bersih di pantri. Beberapa karyawan yang satu shift denganku sudah ada yang pulang. Kini tinggallah aku sendiri menyelesaikan sisa pekerjaan mereka. Aku ini pantang meninggalkan pekerjaan, kalau belum selesai, ya, selesaikan.
Setelah meletakkan apron pada tempatnya, aku mengikat rambut yang berantakan, bercermin sebentar, memastikan penampilanku rapi, kemudian melangkah keluar, tak lupa mematikan lampu-lampu. Aku menghidupkan ponsel untuk memesan ojol. Namun, sepuluh menit aku membuka aplikasi itu, aku tidak menemukan ojek yang dekat dari sini. Widya sudah pulang lebih dulu sama Anjar. Biasanya Widya selalu bersamaku. Cuma akhir-akhir mereka berdua selalu bersama. Hmmm sepertinya ada konspirasi.
"Belum pulang, Sri?"
Aku tersentak mendengar suara di belakang. Lho, Pak Ahmad ternyata belum pulang? Kupikir ruangannya sepi karena penghuninya sudah pergi.
"Kamu ngunciin saya di dalam. Untung saya bawa kunci cadangan."
Aku meringis malu. Auto dipotong gajiku kalau begini. "Saya pikir Bapak sudah pulang soalnya sepi, saya nggak cek."
"Saya tadi tidur." Pak Ahmad memasukkan tangannya ke saku celana. "Ngomong-ngomong ini bukan jam kerja, kamu boleh manggil nama aja."
"Hah?" Aku mendadak lemot. "Tapi, Pak, kalau di rumah saya diomelin kalo manggil nama aja, katanya nggak sopan."
"Oh, ya, udah kalo gitu gimana kalau Mas Ahmad aja?"
Jabang bayi ... otakku mendadak tumpul saat itu juga. Jantungku jedug-jedug tak karuan. Sial, bisa-bisanya Pak Ahmad narsis di depanku.
"Kamu mau pulang, kan? Saya antar kalau begitu."
"Eh, nggak usah, Pak. Saya naik ojek aja."
"Perempuan itu nggak baik pulang sendirian malam-malam. Saya sudah tahu di mana kosanmu, daripada kamu kelamaan nunggu tukang ojeknya lebih baik saya antar. Tenang aja, gratis, kok."
Sebuah tawaran yang bagus sebenarnya. Minimal aku bisa irit lima belas ribu malam ini. Kapan lagi pulang bareng sama bos? Naik mobil pula!
Ya, demi kesejahteraan dompet akhirnya aku menyepakati tawaran Pak Ahmad. Seperti adegan di film-film romantis yang kutonton, Pak Ahmad mengambil mobil, berhenti tepat di dekatku, membukakan serta menutup pintunya untukku, lalu beliau duduk, dan mobil melaju dengan kecepatan sedang. Bisa dibilang aku adalah salah satu karyawan yang kurang ajar.
Hawa dingin perlahan menyelimuti tubuhku. Sial, aku tuh nggak betah sama AC atau kipas angin, sedangkan mobil ini pendinginnya menyala. Selama perjalanan aku terus mengusap badan gara-gara nggak bawa jaket, baju yang kupakai lengannya 3/4 dan bahannya tipis. Susah untuk menghalau dinginnya. Kalau ngomong ke Pak Ahmad, nggak enak.
"Kamu kenapa, Sri?"
Pak Ahmad sepertinya menyadari gelagatku. Aduh, enaknya jawab apa, nih?
"Nggak apa-apa, Pak." Aku lebih memilih menyembunyikan kelemahan ini.
Mobil berhenti dan aku langsung keluar setelah mengucapkan terima kasih. Aku merasa bebas dari dingin yang menusuk sampai tulang walau perutku mulai goyah. Untung depan kos tidak ada anak-anak yang nongkrong, aku merasa lega karena tidak ada yang tahu kalau Pak Ahmad mengantarku pulang.
***
Siapa di sini yang nggak kuat AC kayak Sri?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro