Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 16

Risna menghampiri si bungsu yang tengah bermain game di ponselnya, berusaha menasihati si bungsu. Ia merasa bersalah pada si sulung karena selama ini hampir tak pernah menegur sikap buruk Riski. Namun, belakangan ini sikap pemuda itu bisa dibilang keterlaluan.

"Ki, sebaiknya kamu bantu kakakmu dengan nyari kerja paruh waktu. Kamu nggak bisa terus mengandalkan Aidan untuk memenuhi segalanya." Risna mendudukkan diri di samping si bungsu.

Riski tak menanggapi, pandangannya pun sama sekali tak ia alihkan dari ponsel. Game di ponsel itu jauh lebih menarik dibandingkan topik pembicaraan yang dibawa oleh sang ibu. Ia benar-benar tak ingin membicarakan soal masalah itu karena memang tak berniat untuk mencari pekerjaan.

Wanita paruh baya itu menghela napas, sungguh tak tahu lagi harus bersikap bagaimana pada si bungsu. Melihat reaksi Riski yang tampak acuh tak acuh, membuat rasa bersalah di hatinya semakin membuncah. Andai ia bisa membantu Aidan lebih banyak, tentu tak akan memaksa si bungsu untuk turut bekerja keras.

Penghasilan dari buruh cuci dan penjual makanan ringan hanya cukup untuk membeli kebutuhan pokok, sedangkan hal lainnya masih harus bergantung pada si sulung. Namun, beberapa hari ini, ia melihat bahwa Aidan tampak kelelahan dan kurang sehat. Hari ini saja, pemuda itu masih terbaring di kasur lusuhnya karena sakit.

"Ki, tolong ngertiin keadaan Masmu juga. Dia udah berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan harapanmu. Jadi, Ibu mohon agar kamu juga berusaha. Jangan hanya mengandalkanya."

"Bu, yang berusaha bukan hanya Mas Aidan. Hanya saja caranya berbeda, Kiki berusaha untuk belajar giat agar bisa lulus tepat waktu. Kalau Mas Aidan berusaha menghasilkan uang untuk biaya kuliah dan kebutuhanku, bukannya tetap adil?" Riski bersikeras.

Risna memijat pelan pelipisnya, menghadapi si bungsu yang keras kepala itu cukup membuatnya pening. Namun, ia tak bisa menyalahkan sepenuhnya. Bukankah ia punya andil cukup besar dalam pembentukan karakter itu? Sebagai orang tua, tanpa disadari ia sendiri yang mengarahkan si bungsu untuk bersikap demikian.

Dulu, Risna selalu menuruti semua keinginan si bungsu begitu ia menunjukkan sifatnya yang tak mau dibantah. Asalkan putranya itu bisa tersenyum lagi, tanpa pikir panjang semuanya akan dikabulkan. Tak sangka bahwa kesalahan pola asuhnya saat itu justru menjadi bumerang untuk kehidupannya di masa sekarang.

Sekarang merasa ia kesulitan dalam menasihati si bungsu. Pemuda itu tak bisa diajak bicara dengan lembut, tapi juga tak bisa dikasar.

"Ki, kamu tahu sendiri bagaimana kondisi Masmu belakangan ini. Ibu khawatir dengan kesehatannya jika terus-terusan memaksakan diri. Jadi, Ibu minta tolong agar kamu juga membantu." Risna mengenggam jemari si bungsu. 

"Ibu tahu apa jawaban Kiki
'kan? Jadi, untuk apa terus bertanya dan memaksakan? Kiki nggak akan mengubah keputusan yang sudah diambil. Semua memang tanggung jawab Mas Aidan kok."
Riski berlalu menuju kamarnya.

Risna menatap punggung lebar yang kian menjauh itu dengan sendu. Sejujurnya ia tahu bahwa berdebat dengan si bungsu tak akan menemui titik temu, tetapi memilih tetap mencoba. Ia baru menyadari bahwa selama ini telah bersikap tak adil pada si sulung.

Aidan tak seharusnya menanggung semua tanggung jawab itu sendirian. Mungkin, pemuda itu memang terlihat kuat. Namun, tak ada yang tahu tentang bagaimana ia sebenarnya. Benar-benar kuat atau hanya sekadar terlihat kuat? Ia sama sekali tak bisa memastikan.

"Andai saja kamu masih ada di sini, Mas. Aidan nggak harus banting tulang sendirian untuk memenuhi semua kebutuhan dan pendidikan Riski. Maaf karena aku gagal jadi orang tua untuk kedua putra kita," ucapnya lirih.

Aidan mendengar semua pembicaraan dari kamar miliknya, tapi sama sekali tak berniat untuk berkomentar. Sama seperti biasanya, ia hanya akan mendengarkan dalam keheningan. Usai mendengar semua itu, ia justru merasa semakin bersalah.

Riski dan Risna tak mungkin sampai berdebat seperti itu, andai ia bisa memenuhi segala kebutuhan yang ada. Dadanya terasa sesak seolah ada ribuan beban yang menyumbat di sana. Ia memejamkan mata, membiarkan liquid bening mengalir membasah di wajah. Namun, segera diusap dengan kasar.

"Dan, kamu harus kuat. Tanggung jawabmu masih belum tunai, masih ada harga yang harus dibayar pada Kiki," bisiknya pada diri sendiri.

Hari ini Aidan memang memilih cuti karena tubuhnya protes agar diistirahatkan. Sejak pagi, ia hanya terbaring di kasur karena tubuhnya terasa sangat lemah. Memang hanya cara itu yang bisa membuatnya menyerah untuk tetap bekerja.

Suara langkah yang mendekat, membuat Aidan memilih berpura-pura tidur. Ia bisa menebak bahwa langkah itu milik sang ibu. Di saat seperti ini, pemuda itu yakin bahwa Risna akan bercerita panjang lebar. Namun, semua itu hanya akan dilakukan ketika ia terlelap. Sama seperti yang biasa perempuan itu lakukan sebelumnya ketika masuk ke kamar dan mendapatinya telah memejamkan mata.

Risna duduk di tepi ranjang, membenahi letak selimut Aidan yang melorot. Diusapnya wajah pucat itu dengan lembut, menghantarkan kehangatan bagi si sulung. Helaan napasnya terdengar berat seolah ada banyak beban yang dipendam sendiri.

"Dan, maafkan Ibu karena terlalu mengandalkanmu dalam segala hal terutama masalah keuangan. Padahal tanggung jawab itu seharusnya ada di pundak Ibu," ucapnya lirih.

Aidan tak menyahut, memilih tetap berpura-pura terlelap. Ia ingin sang ibu menumpahkan seluruh gundahnya agar terasa lebih ringan.

"Cepat sembuh ya, Nak. Ibu nggak mau lagi lihat Aidan sakit kayak gini." Risna mengecup kening Aidan lama.

Bulir air mata menetes di kening Aidan membuat pemuda itu yakin bahwa sang ibu tengah menangis. Isak kecil pun terdengar oleh telinganya, membuat mata bulat itu terbuka sempurna. Benar saja, ia mendapati sang ibu tengah menangis di sampingnya.

"Bu, Ibu kenapa?"

Suara Aidan membuat Risna menoleh, kedua iris hitam itu saling bertubrukan. Segaris senyum segera wanita paruh baya itu ukir di bibir tipis nan ranumnya. Air mata di wajahnya pun segera diusap dengan kasar.

"Ibu bangunin Aidan? Aidan tidur lagi aja biar cepat sembuh. Nanti Ibu bangunkan kalau udah waktunya  makan siang." Risna mengalihkan perhatian.

"Aidan udah sembuh kok, Bu. Jadi, Ibu nggak perlu khawatir. Aidan cuma lagi mager aja, makanya milih tidur." Aidan terkekeh sembari mengedipkan mata.

"Aidan nggak pinter bohong sama Ibu lho! Perutnya masih sakit?" Risna mencubit pelan hidung  si sulung, membuat pemuda itu tersenyum tipis.

Aidan menggeleng pelan, tangannya menggenggam jemari milik sang ibu. Seulas senyum berusaha ia tampakkan agar tak membuat Risna mengkhawatirkan kondisinya.

"Aidan nggak sakit lagi karena ada Ibu di sini. Senyum di bibir Ibu adalah obat paling mujarab buat Aidan," goda Aidan.

"Rayuanmu nggak mempan sama Ibu, Dan. Makanya segera cari istri biar ada yang bisa digodain, bukan malah godain Ibu kayak gini," balas Risna.

Aidan terkekeh mendengar pernyataan itu. Istri? Ia saja belum berpikir sejauh itu, fokusnya masih sebatas kebahagian Ibu dan adiknya. Mungkin, ia akan memikirkan soal itu usai Kiki bergelar sarjana.

Kulon Progo, 26 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro