Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🍀1

Seluruh pegawai La Sorella sudah terlihat sibuk. Langit masih gelap, namun restaurant sederhana itu sudah memperlihatkan aktivitasnya. Bahkan aroma bumbu masakan sudah tercium. Bunyi perlengkapan makanan yang diatur, juga kursi serta meja yang digeser berpadu menjadi musik didalam tempat itu. Tak ada satupun pekerja yang diam, begitupun manager, serta pemilik La Sorella sendiri. Memeriksa bahan makanan yang tiba di pintu belakang restaurant, Rissa sang manager sesekali memberi intruksi pada pengawai yang membawa bahan-bahan tersebut ke dapur. Sementara sang pemilik menikmati waktunya membuat dessert didalam ruangan khusus. Tak ada assistent yang membantu, hanya dirinya sendiri sibuk berkutat dengan segala hidangan manis. Tak membiarkan satu-pun pagawai membantunya, Vana terbiasa melakukan semua pekerjaannya seorang diri. Gadis pemilik wajah dingin itu tak pernah membiarkan satu-pun karyawan masuk kedalam ruang kerjanya. Beberapa karyawan hanya bisa memasuki sebuah ruangan dimana Vana sudah meletakkan hidangan manisnya atas perintahnya. Dan itu juga dengan pengawasan Rissa, adik sekaligus manager La Sorella.

"Jangan letakkan disana." Melintasi restaurant, Rissa berujar pada seorang karyawan yang baru akan meletakkan satu vas bunga diatas meja bar. "Letakkan saja di sudut sana." Perintahnya kemudian yang segera dituruti oleh sang pegawai.

Mengawasi sosok yang mendapat perintahnya, Rissa melirik jam tangannya kemudian. Memastikan pekerjaan Vana sudah selesai, Rissa mengajak tiga orang pegawai untuk mengikutinya. Melintasi sebuah lorong yang menghubungkan restaurant dengan ruang kerja Vana, Rissa melangkah ringan bersama tiga pegawainya. Sebuah taman kecil menghias sisi kiri dan kanan lorong penghubung tersebut. Tidak banyak jenis bunga disana. Hanya ada bunga matahari kesukaan Vana juga jasmine favorit Rissa. Karena memang taman itu mereka berdualah yang mengaturnya. Sehingga hanya ada dua jenis bunga kesukaan dua gadis berbeda watak tersebut.

Mengetuk pintu dua kali, Rissa membuka pintu ruangan Vana. Tak ada sosok sang kakak, hanya ada jejeran kue yang sudah tersaji rapi diatas keja lengkap dengan hiasan yang menggoda mata. Tidak ingin membuang waktu, Rissa segera mengisyaratkan tiga pegawainya membawa hidangan buatan sang kakak. Menggunakan trolli, sajian manis nan indah buatan Vana segera meninggalkan ruangan tersebut dan juga Rissa yang memandang sebuah pintu ruangan dimana Vana berada. Mematung sesaat ditempatnya, Rissa membawa langkah mendekati ruangan tersebut kemudian.

"Mbak." Rissa mengetuk pintu ruangan tersebut untuk memastikan sang kaka masih ada disana.

Tak ada balasan yang Rissa dapat, membuat jemarinya kembali mengetuk ruangan tersebut. Rissa membuat beberapa kali ketukan, hingga kemudian benda tersebut bergeser memunculkan sosok Vana.

"Apa?" Tanya Vana saat pintu terbuka sempurna.

"Ngak apa-apa, kirain mbak nggak ada didalam." Rissa merekahkan senyum diwajahnya.

"Kalo mbak nggak ada didalam, memangnya kamu mau ngapain?" Vana menutup pintu ruang kerjanya, dan cepat menguncinya.

"Nggak mau apa-apa,lagian memang bisa ngapain diruangannya mbak. Cuma ada barang-barang buat kue juga." Senyum diwajah Rissa memudar, berganti dengan bibir yang mengerucut lucu.

Vana tak membalas, sang gadis dengan tatapan dingin itu hanya beranjak seraya melepas apronnya.

"Lagian...itu ruangan kenapa selalu di kunci sih? Heran." Rissa nampak mengekori Vana.

"Karena ada resep krabby patty, makanya dikunci." Candaan Vana dibalas decih pelan Rissa.

"Gak lucu becandanya." Sungut Rissa.

"Ya udah kalo nggak lucu, kan nggak minta kamu ketawa juga." Dengan nada tak perduli Vana membalas.

"Ishhh...kesel." Menyentak langkahnya, Rissa melangkah mendahului Vana. Meninggalkan sang kakak dengan langkah lebar. Membuat Vana menatap punggungnya seraya menggeleng pelan.

🍀🍀🍀🍀

Pengunjung tak begitu banyak, namun dapur La Sorella tetap saja terlihat sibuk. Terbatasnya jumlah koki adalah penyebabnya. Membuat Ferrine sang Executive Chef kesal karena belum juga menyelesaikan dua hidangan miliknya.

"Ay...selesain ini dong, mbak harus masak yang lain." Ferrine memberi perintah pada sang adik Aya.

"Kerjaan Aya yang ini belum selesai mbak." Jawab Aya sambil sibuk menggoyang dua pan berisi pasta yanh berbeda.

"Tinggal aja dulu, ini mau dibawa kedepan." Perintah Ferrine lagi.

"Hancur dong mbak pasta aku kalo ditinggal." Aya nampak keberatan dengan perintah yang diberikan Ferrine.

"Ya terus ini gimana? Pesanan lain udah datang itu, harus dimasak." Ferrine sudah mulai kesal.

"Selesaiin aja dulu mbak, yang baru datang nanti aja masaknya kalo itu udah selesai." Masih sibuk dengan masakannya, Aya berujar.

"Pesanan itu udah lama lho Ay." Balasan Ferrine membuat Aya menatapnya kesal.

"Iya...Aya tahu, tapi mau gimana. Kita kan harus selesain makanan yang dipesan pertama." Balas Aya dengan nada yang sedikit ditinggikan.

Panas api kompor dan juga rasa lelah yang mulai merambati tubuhnya membuat kesal yang semula hanya dirasakan Ferrine tertular pada Aya.

"Bisa biasa aja nggak bicaranya? Mbak kan cuma minta tolong ke kamu." Ferrine ikut meninggikan nada suaranya.

"Ya kan mbak nya sendiri maksa minta tolongnya. Kalo Aya nggak lagi masak juga Aya tolongin kan. Ini kan masakan Aya juga nggak bisa ditinggal." Sambut Aya.

"Udahlah....salah terus, perasaan yang Executive Chef aku malah akunya yang kayak asisstent disini." Dengan wajah kesal Ferrine melanjutkan kegiatannya memasak, membuat Aya menarik nafas berat.

"Dion...tinggalin aja dulu udangnya, masak pesanan yang baru dulu." Perintah Aya kemudian pada seorang chef junior disana.

"Tapi bu..."

"Masak aja, menu-nya simpel kok." Menarik senyum simpul, Aya coba menyemangati Dion.

Dion sempat ragu, namun tepukan ringan dibahynya membuat pria itu sedikit percaya diri.

"Iya bu." Menyambar struck pesanan, Dion segera membuat sajian milik sang pelanggan.

Aya sempat menatap Dion sesaat, sebelum kemudian menoleh pada Ferrine yang masih memasang wajah kesal.

🍀🍀🍀🍀

Rissa memandang heran Ferrine yang melempar kasar afron yang dia kenakan diatas meja, tepat sesaat setelah Aya menyuapkan makan siang kedalam mulutnya. Menatap punggung Ferrine yang menjauh, Rissa membawa netranya menatap adik bungsunya.

"Kenapa lagi?" Ujar Rissa lengkap dengan ekspresi bertanya.

"Biasa." Terlihat enggan membahas, Aya menjawab seadanya seraya kembali makan.

Rissa memperhatikan Aya lekat. Si bungsu nampak menyantap enggan makan siangnya, salah satu kebiasaan jika suasana hati gadis berlesung pipi itu sedang buruk. Menghela nafas berat, Rissa membawa kakinya berlalu dari sana. Mengurungkan niat untuk makan siang, Rissa menuju sebuah ruangan dimana dia memperkirakan Ferrine berada.

"Bayarnya pake apa? Pake uang gaji kamu?" Dua kalimat tanya itu Rissa dapati saat dia membuka pintu ruang kerjanya.

Menatap Vana yang duduk di kursi kerjanya sejenak, Rissa menatap Ferrine yang ada dihadapan sang kakak. Wajah adiknya itu nampak tak baik. Bahkan Rissa mendapati deru nafas Ferrine yang terdengar tak teratur.

"Jadi mbak mau keadaan dapur terus berantakan, iya?" Ferrine berujar dengan suara tinggi.

"Kamu kepalanya, kamu bertugas ngatur semua yang di dapur biar nggak berantakan." Sambut Vana simple.

"Nggak semudah itu ngaturnya mbak, apalagi kalo pelanggan banyak." Ferrine makin terlihat kesal.

"Memangnya ada kerjaan yang mudah ya?" Vana menatap datar Ferrine. "Nggak ada pekerjaan mudah di restaurant ini rine. Semuanya susah kalo cuma mau dikeluhkan. Bahkan bersihin perlengkapan makan aja jadi susah kalo ngeluh terus. Tapi kalo dikerjain dengan profesional, semuanya bakal terkendali kok." Lanjut Vana masih dengan nada yang sama.

"Jadi mbak pikir selama ini aku ngak profesional ngurus dapur, iya?" Ferrine nampak tersinggung.

"Memangnya orang profesional mana yang ngeluhin kondisi medan perangnya? Orang profesional nggak akan banyak ngeluh kesusahannya. Karena dia tahu cara menghandle kesulitannya dilapangan." Melipat tangannya diatas meja, Vana membalas.

Ferrine menggepalkan tangannya keras karena itu, sebelum kemudian menghela nafas kasar.

"Mbak ngomong gitu karena nggak tahu kondisi aku sih, makanya gampang aja bilangin aku ngak profesional. Coba aja mbak ngurus dapur dari pagi kayak aku, nggak cuma duduk dibelakang meja. Pasti mbak nggak akan bicara semudah ini." Geram Ferrine dengan mata yang sudah dihiasin cairan bening.

"Kalo gitu mau tukaran? Biar mbak di dapur, kamu disini bantuin Rissa." Tawaran Vana tak mendapat balasan. Ferrine yang kesal memilih berlalu tanpa membalas. Membiarkan Rissa dan Vana memandang kepergiannya dengan tatapan berbeda.

🍀🍀🍀🍀

Seorang pelanggan nampak mengitari pandangannya di La Sorella, sebelum kemudian menempati sebuah kursi kosong. Kembali mengedarkan pandangan, sosok itu tersenyum kemudian saat seorang pelayan menghampirinya.

"Mau pesan apa pak?" Dengan senyum ramah sang pegawai bertanya.

Meraih buku menu yang diarahkan pegawai La Sorella, sang pelanggan nampak meneliti jajaran menu disana.

"Uhmmm..." Bergumam pelan, sang pelanggan menutup buku menunya kemudian. "Rissoto dan Beef Teriyaki." Pintanya kemudian.

"Minumannya ice sarsaparilla." Lanjut sang pelanggan kemudian.

Mencatat pesanan sang pelanggan, pegawai tersebut beranjak membawa buku menu diatas meja setelah berujar ramah. Segera pandangan sang pelanggan kembali mengitari La Sorella saat sosok tersebut berlalu meninggalkannya.

"Nyaman." Komentarnya untuk tempat tersebut.

Meletakkan sikunya ditas meja dengan jemari yang saling berkait, sang pelanggan menikmati suasana La Sorella. Meneliti setiap sudut restaurant tersebut sesaat, kegiatannya-pun terusik saat ponselnya berdering.

"Ummm." Setelah menatap nama yang tertera diponselnya, sosok itu membalas dengan gumaman.

"Kamu lagi dimana?" Tanya sosok diseberang padanya.

"Lagi riset tempat buat konten." Jawab sosok tersebut.

"Dimana?" Sosok diseberang telepon kembali bertanya.

"Ada apa?" Bukan menjelaskan dimana dia berada, pria itu justru balas bertanya.

"Aku nanya itu dijawab Rigel, bukan malah balik nanya." Nada kesal yang tertangkap pendengarannya, membuat pria bernama Rigel itu tertawa pelan.

"Ada apasih pak Levant? Kenapa nyariin?" Rigel masih setia membalas dengan pertanyaan.

"Nggak jadi, udah bad mood duluan." Panggilan segera terputus, membuat Rigel menatap sesaat ponselnya sebelum kemudian tersenyum simpul.

"Diiih...ngambekan." Ujar Rigel  pada sosok yang tak ada dihadapannya itu.

Menggeleng pelan, Rigel menyimpan ponselnya didalam saku. Kembali pria itu menikmati waktunya di La Sorella seorang diri. Hingga kemudian pesanan miliknya datang.

"Terimakasih." Ucapnya hangat pada pegawai yang membawa makanannya.

Pegawai itu meninggalkan meja Rigel, membiarkan sang pelanggan menikmati makanannya. Sempat antusias, Rigel nampak mengerutkan keningnya saat merasakan sajian Risotto. Mengecap beberapa kali, Rigel kembali menyuapkan Risotto kedalam mulutnya. Seulas senyum kembali merekah di bibir pria berkulit tan itu saat sudah bisa memastikan dominasi rasa dari sajian pesanannya itu.

"Jadi penasaran sama koki-nya." Gumam Rigel pelan.

Sempat tertawa pelan, Rigel melanjutkan acara makannya. Pria tan itu terus menyuapkan hidangan Rissoto dengan tersenyum, karena dominasi rasa manis yang menyapa indra pengecapnya.

🍀🍀🍀🍀

Rissa menghentikan gerakan kakinya, saat mendapati Rigel berdiri dengan tubuh bersandar di tembok tepat di depan pintu masuk La Sorella. Mengerutkan keningnya, Rissa semakin dibuat bingung saat Rigel menunjukkan senyum lebar miliknya.

"Apa anda mencari seseorang?" Memasang sikap ramah, Rissa bertanya.

"Ya." Jawab Rigel bersama tubuh yang ditegakkan penuh.

"Mencari siapa?" Masih dengan nada yang sama, Rissa bertanya.

"Chef di restaurant ini." Jawab Rigel.

"Chef?" Ulang Rissa yang disambut anggukan pelan Rigel. "Ada perlu apa sampai anda mencari chef kami?" Selidik Rissa.

"Ada yang ingin saya sampaikan." Tak menghapus senyum diwajahnya, Rigel membalad.

"Tentang?" Kerutan samar tergambar dikening pria tersebut, memaksa Rissa mengembangkan senyum ramah. "Kebetulan saya manager restaurant ini. Jika anda ingin menyampaikan apapun pada pegawai kami, anda bisa menyampaikannya pada saya." Terangnya melihat ekspresi yang dipasang Rissa.

"Jadi anda manager restaurant ini." Senyum hangat kembali terpatri diwajah Rigel.

"Iya." Rissa mengangguk. "Jadi anda bisa menyampaikan apapun pada saya terkait kinerja karyawan kami. Nanti...saya akan menyampaikannya pada chef kami."

"Tapi saya mau menyampaikannya sendiri." Senyum diwajah Rigel melebar.

"Huhh?? Anda mau menyampaikan sendiri?"

"Ya." Rigel mengangguk cepat. "Jadi...apa bisa saya bertemu dengan chef kalian?" Pinta pria itu kemudian.

"Kenapa anda harus menyampaikan sendiri? Apa...chef kami melakukan kesalahan besar pada anda?" Rissa sedikit khawatir.

"Tidak." Balas Rigel. "Aku...hanya ingin bicara dengannya." Lanjut Rigel.

Rissa menatap lekat Rigel, sebelum kemudian mengangguk ringan.

"Baiklah..." Rissa mengalah "Chef untuk sajian apa yang ingin anda temui? Karena setiap Chef disini, bertanggung jawab untuk hidangan yang berbeda." Terang manager La Sorella itu kemudian.

"Yang bertanggung jawab untuk hidangan risotto hari ini." Jawab Rigel.

"Ahhh..." Rissa mengangguk. "Chef yang anda maksud tidak lagi ada ditempat, karena dia sudah pergi setelah makan siang tadi." Balasan tersebut membuat Rigel sedikit terkejut.

"Tapi saya makan risotto buatannya setelah jam makan siang." Balas Rigel membuat kening Rissa kembali berkerut.

Gadis dengan senyum manis itu terlihat membisu sesaat, sebelum kemudian nampak mengangguk pelan karena mengingat beberapa hal.

"Ahhh...bisa anda menunggu sebentar. Akan saya panggilkan chef nya." Pinta Rissa

"Ya...tentu." Jawab Rigel yang segera membuat Rissa beranjak dari sana.

Menatap pintu yang tertutup, Rigel nampak mengedarkan pandangannya sesaat. Mencoba menyamankan dirinya dalam fase menunggu, Rigel kembali menatap pintu masuk La Sorella saat seseorang muncul dari balik pintu itu.

"Apa anda mencari saya?" Tak mencoba berbasa-basi, dan tanpa memasang wajah ramah. Vana bertanya pada Rigel.

"Kamu yang masak rissoto hari ini?" Rigel balas bertanya.

"Ya...untuk jadwal setelah makan siang, saya yang masak. Kenapa?" Tak mengubah ekspresinya, Vana kembali bertanya.

Rigel memandang lekat Vana, dengan senyum yang merekah lebar dibibirnya.

"Pantesan risottonya manis, yang masak ternyata manis." Wajah Vana kian datar mendengar itu.

"Cuma mau bilang itu?" Rigel menggeleng membuat Vana menyilangkan tangan didada. "Terus?"

"Rigel..." Mengulurkan tangan, Rigel memperkenalkan diri.

Vana hanya menatap jemari pria itu, sebelum kemudian menatap dalam netra kelamnya.

"Cuma itu?" Balas Vana kian dingin.

"Ya...cuma itu, aku cuma mau tahu nama kamu." Rigel masih belum menarik uluran tangannya.

Vana tersenyum tipis, sebelum kemudian membawa langkah mundur.

"Saya tak berniat memberitahu-nya pada anda." Vana bersiap pergi, namun lengannya ditahan Rigel.

"Anda nggak punya masalah pendengaran kan pak?" Menatap tajam Rigel, Vana berujar.

"Hanya nama...aku cuma mau tahu nama kamu." Rigel memasang wajah penuh harap.

"Mbak Vana." Baru saja Vana akan berujar pada Rigel, Rissa sudah kembali dan menyebut namanya.

"Aaah...Vana." Rigel tersenyum senang, seraya menarik tangannya dari lengan Vana. "Sampai ketemu nanti Vana. Kayaknya restaurant ini bakal jadi favorit aku." Tukas pria itu sebelum beranjak.

Vana menatap kesal kepergiannya. Sedangkan Rissa memandang bingung sosok Rigel yang berjalan menjauh.

"Mbak..."

"Lain kali kalo ada yang mau ketemu mbak, jangan pernah izinin." Vana menghilang kedalam restaurant setelah mengatakan hal itu.

Mengarahkan tatapan bingung yang mengantar kepergian Rigel, Vana menatap pintu yang tertutup. Sosok itu dibuat keheranan dengan situasi aneh yang baru saja ditemuinya.

🍀TBC🍀

Sorry for Typo
Thanks for Reading & Votement

🌻HAEBARAGI🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro