Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

:: ingin ::

Dua puluh dua Desember. Delapan hari sebelum malan tahun baru. Dan aku, masih menunggu. Miris.

Aku jadi ingat, dua bulan lalu untuk pertama kalinya dalam hidupku merasakan yang namanya menjalin sebuah hubungan. Aku bahkan tidak menyadarinya kalau orang itu adalah Min Yoongi.

Biaiklah, aku akui semenjak insiden pulpen itu, bisa dibilang kami jadi dekat. Tidak juga sih tapi mereka melihat Yoongi yang tidak biasanya.

Aku masih ingat ketika Yoongi mendengar aku membicarakan dirinya dengan Taehyung. Sore itu Yoongi dengan santainya duduk di samping adikku, Taehyung berbicara dengannya. Mereka saling mengenal dan aku baru tahu waktu itu.

"Dia kakakmu?" Yoongi menunjuk diriku dengan matanya. Ugh laki-laki menyebalkan itu selalu tahu bagaimana caranya membuatku jengkel setengah mati.

"Iya, bukankah dia sangat cantik?"

Bagus Tae, dua cangkir americano untuk dua minggu ke depan. Omong-omong, hal itu benar-benar terjadi. Aku bahkan mentraktir adikku dua americano sekaligus churros.

"Ya, dia memang cantik. Mendekatinya perlu kemampuan ajaib."

Oh. Oh Tuhan. Ya Tuhan. Sungguh. Aku ingin terjun bebas.

Tapi aku tidak terjun bebas saat itu. Aku hanya terjun sampai ke dasar dan menyentuh hatinya. Hati dingin Min Yoongi.

Aku tertawa mengingat semua kejadian itu. Kau tahu? Setelah itu Yoongi benar-benar sering berbicara padaku. Meski itu hanya seputar, "Pinjam pulpen." Atau, "Mau pulang bersama?"

Itu termasuk ke dalam hari Jum'at kami pulang bersama.

Yang terakhir. Yang selalu menjadi kata favoritku sepulang kuliah. Hanya di hari Selasa dan Rabu, karena memang jadwal kami sama pada hari itu.

Yoongi tidak mengantarku dengan mobil mewah, tidak juga motor gagah. Ia berjalan di sisiku, menaiki bus bersama. Seringkali ia membiarkan aku duduk dan dia berdiri di sisi tempat duduk penumpang kalau bus sedang ramai. Atau ketika ia duduk di sebelahku, dia membiarkan kepalaku membebani bahunya jika sudah terlalu larut.

Lalu yang paling membekas adalah ketika bus sangat ramai, tak ada satu pun tempat duduk tersisa. Kau tahu apa? Dia menggunakan tubuhnya untuk melindungiku dari sikuan penumpang lain.

Pasti butuh banyak kekuatan untuk menahan tangannya agar ia juga tidak jatuh karena dorongan dari tubuhku dan dari penumpang lain di belakangnya.

Langkah kami yang seirama, degup jantungku yang beraturan dan tenang setiap suasana di antara kami seperti itu.

Dan dua bulan setelah kami mengenal, di tengah perjalanan hari Rabu sore, Yoongi menghentikan langkahnya dan menghadap ke arahku. Ia tersenyum, senyum khasnya yang aku suka, dia seperti gula. Aku menamai nomornya dengan nama sugar dalam ponselku.

Sebelumnya kami sempat melakukan sebuah percakapan ringan yang tidak biasa.

"Kau pernah jatuh hati?"

Aku waktu itu hanya diam. Tidak mengerti arah pembicaraan si mayat hidup itu. Lagipula saat itu aku sedang kesal karenanya, dia menghilangkan pulpen merah kesayanganku. Jadi aku berpura-pura marah padanya dan hanya diam selama perjalanan.

"Aku pernah. Tapi gadis yang kucintai melupakanku. Aku tidak tahu apa dia memang mudah melupakan sesuatu atau dia kehilangan ingatannya." Yoongi memelankan langkahnya. Aku berjalan sedikti lebih depan. Aku tidak peduli jadi aku terus berjalan seolah kami memang tidak pulang bersama.

"Aku senang melihatnya dari belakang seperti ini. Seperti sekarang aku melihatmu. Ternyata Tuhan memberikan bonus untuk membuatku dekat lagi dengannya."

Entah kenapa saat itu aku menghentikan langkahku. Yoongi menghentikan langkahnya juga di sisiku dan menghadapkan tubuhku kepadanya.

Yoongi menatapku begitu lama dan aku hanya bisa mengatur degup jantungku sambil sesekali mencuri cara agar bisa bernapas dengan teratur.

Setelah beberapa lama Yoongi mendekatkan wajahnya ke arahku. Dan sesuatu yang lembut menyapu bibirku. Hanya kecupan singkat dan aku bisa merasakan bibirnya melengkungkan sebuah senyuman.

Ia menjauhkan dirinya dan masih tercetak senyum di bibirnya. Aku menatapnya tak percaya dan ia tertawa pelan, mengacak rambutku, dan berkata. "Aku mencintaimu. Jadilah milikku, Hanna-ya."

Apa lagi yang bisa kulakukan selain mengangguk dan tersenyum sumringah selama perjalanan pulang? Tidak ada. Aku memang mencintainya sejak awal. Sampai saat ini. Bahkan saat itu aku melupakan bahwa kami sedang bertengkar karena pulpen merah kesyanganku.

Oh pulpen merah itu cukup berjasa. Karena dia aku jadi dekat dengannya karena dia juga aku bisa memiliki hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro