Bab 46 : She saw an Angel
Bab 46 : She saw an Angel
Kontras; ketika Tasya pergi ke sekolah dengan semangat yang terisi dua ratus persen, dan Sabrina bahkan sepuluh pun tidak ada. Tasya dengan keceriaannya yang sedang di luar batas, hingga setiap siapapun yang lewat, dia sapa diiringi senyum kemenangannya. Sabrina yang kelabu, pergi lebih lagi ketika orang-orang di rumah bahkan belum terbangun. Tenang, Sabrina pergi ke sekolah, meski dia marah dan frustasi, dia menepati janjinya kepada ibunya. Tidak sedikit waktu sampai dia lulus, dia tidak akan menyianyiakannya, meski rasanya dia sudah tidak bisa bernapas.
Masih kontras dengan Tasya; ketika Osa tidak mau membuka mata, padahal dia terjaga semalaman. Bisa dikatakan, kalau sekarang tak ada bedanya, antara dia dan seekor panda. Sementara Ezra, dia bisa tidur, namun mimpi buruk menyergapnya. Tiap satu jam dia terbangun, berkeringat dingin, dia tampak kesakitan, tapi entah apa yang menyakitkan—sama seperti Sabrina. Kening Ezra ditempelkan perban luka karena memang dia terluka, kalau Osa, dia juga memakai perban luka cokelat, tapi dia rekatkan di mata, agar matanya tertutup saja.
Hingga pada akhirnya, ke empat orang itu bernapas di tempat yang sama, tapi datang di jam yang berbeda dan tidak bersama.
Tasya iseng, dia suka ponsel barunya, namun dia lebih suka mengingatkan Osa bahwa hari ini adalah hari di mana Osa harus memenuhi syarat pertama darinya.
Genderuwo rok Pink
Hei
P
P
P
Jangan lupakan janji di antara kita hari ini
P
P
Lo udah di seklolah kan?
Sekolah
Baca bege
Baca dong wahai manusia kurang setengah ons
Pinkpinkpinkpinkpinkkkkkkkkkk
Tasya yang excited, berubah kesal saat rentetan pesannya yang dia kirim, tak terbalaskan sehuruf pun. Tasya tidak ingin gagal membuat Osa menderita, gagal mempermalukannya, Tasya tidak mau Osa mengecewakannya. Apa mungkin Osa itu pengecut, eh? Dia pikir begitu.
"Dasar pengecut!" Tasya melabeli Osa seenaknya, sambil dia merutuki ponsel yang berisi kuota dua puluh giga byte itu. Kuota Tasya sudah berkurang, dan begitu pula kepercayaannya terhadap Osa.
Sementara sebelum itu, Osa sedang berharap kalau dia tidak dapat ojek online, biar dia telat saja, bolos sekalian, tapi ternyata lima menit berikutnya, ada abang ojek, dan kaos si abang merah muda sekali, meski dia pakai jaket hijau khas perusahaannya.
Abang ojek tersenyum. "Pagi, Dek."
Osa menjambak rambutnya sendiri, dan berteriak kesal. "Kenapa harus warna pink?!"
Abang ojek yang polos pun menjawab, "Ini warna kesukaan saja, Dek."
~°°~
Tasya adalah Tasya, yang tidak bisa menarik kemarahannya dengan gampang; terhadap orang yang telah menyakitinya atau orang-orang terdekatnya. Saat dia berjalan lambat dan sibuk mengurusi layar ponselnya, Ezra yang naik taksi, ternyata lewat di sampingnya dengan wajah yang dingin—tak peduli bahwa sekarang malah dia tampak seram.
Tasya mendongak, dan dia kenali punggung lebar itu beserta sepatu yang pernah Ezra pakai saat pertama kali mereka bertemu di kantin. Bukan Tasya namanya kalau dia hanya diam saja, saat dengan mata elangnya, dia mendapatkan Ezra.
"Woy!" teriak Tasya kepada Ezra, "Berhenti lo! Manusia kurangajar!"
Namun orang yang Tasya teriaki, dia tetap jalan saja dengan santainya, malah Tasya yang jadi bahan tatap siswa-siswi di sekitarnya.
Tasya mendesis geram, mengetahui kalau telinga Ezra itu ditulikan, padahal dirinya sendiri yang bodoh karena tidak memanggil namanya. Apa nama Ezra itu 'Woy', kan bukan?
Tasya hampir melempar ponsel yang ada di tangannya untuk menghentikan Ezra. Kalau tidak ingat; bahwa dia tidak bisa merusaknya kembali dan balik hampir mati dalam kebosanan, lalu berakhir harus menerima tawaran dari si pengecut Osa. Jadi Tasya kejar saja, dan dia tarik pundak Ezra agar dia bisa berhadapan dengannya.
"Tuli ya elo?" tanya Tasya saat dia sudah ada di dekat.
Tapi seribu sayang, mood Ezra sedang acak adul, hingga dia tidak sengaja berbalik dengan tenaga yang lebih besar dari tarikan Tasya, hingga cewek itu malah terjatuh ke tanah.
"Apa sih?!" sambut Ezra ketus, dan sekarang tidak bisa dibedakan mana Ezra dengan harimau yang sedang kelaparan.
Tasya tidak mengira bahwa Ezra bisa segalak ini, dan dia sangat terkejut, tidak mengira juga bahwa dia kini sudah terjatuh mengotori roknya.
Tasya memang Ezra syok, berbanding dengan Ezra yang tidak punya rasa bersalah sama sekali. Dia hanya menatap cuek Tasya beberapa saat, sebelum dia meninggalkan Tasya dengan decihan atas ketidakpeduliannya.
Tasya baru kembali ke realita dalam beberapa detik, hingga dia tersadar total dan kembali meneriaki Ezra. "Apa elo! Lo bukan malaikat! Lo iblis! LO IBLIS EZRA!!!"
Rasa malu? Tentu saja. Kebetulan yang sangat memalukan adalah tanah yang dia duduki agak basah. Bisa dikata bahwa roknya kotor dan akan tidak nyaman untuk dilihat orang-orang.
Banyak murid berbisik, menertawai keadaan Tasya bersama teman-temannya, dan rasanya Tasya sekarang ingin menangis.
Kenapa? Kenapa dia harus berurusan dengan cowok-cowok bertabiat buruk seperti Osa, bahkan Ezra yang dulu dia kira adalah pangeran berkuda putih; kini di matanya sekarang, Ezra bagaikan harimau berbulu kucing persia.
Tasya berusaha untuk berdiri, tapi saat dia mencoba, dia malah terpeleset dan jatuh kembali. Dia tidak tahu mau ditaruh di mana lagi mukanya, roknya sekarang pasti kotornya dua kali lipat.
Dia mencoba untuk berdiri yang ketiga kalinya, namun kali ini, dia mendapatkan bantuan yang tidak disangka. Orang yang dia sebut pengecut, ternyata punya secuil kebaikan di dalam hatinya, yang Tasya kira sudah beku.
"Ck," Osa membantu Tasya berdiri; memegang kedua lengannya. "Kunti tuh melayang bukan ngesot. Mainnya juga di pohon, bukan di tanah."
Oke. Jika Osa hanya mengejeknya saja tanpa memberinya bantuan, dia sudah menjejalkan mulut Osa menggunakan batu bata.
Hanya saja, sebelum Osa protes, dengan inisiatif, Osa melepas jaketnya dan mengikatkannya di pinggang Tasya, agar bagian belakang roknya yang kotor bisa ditutupi.
"Lo bisa marahin gue, tapi jangan Ezra," ucap Osa saat dia sudah melingkarkannya dan memungut ponsel Tasya yang tadi jatuh di sisinya. "Gue mau pake rok merah muda. Asal lo jangan tambahin kemarahan Ezra. Entar runyam."
"Runyam apa?" Keketusan Tasya keluar lagi, sembari mereka berjalan dengan perlahan.
Osa menengok, menunjukkan wajah minta diberi rasa iba. "Ntar gue dikunciin di luar rumah. Rok merah muda gue kan masih di lemarinya Sabrina di sana."
"Alesan," jawab Tasya, menoyor kepala Osa, dan dia mempercepat langkahnya.
Tak lupa dia berkata; setelah agak jauh darinya. "Hari ini gue lagi nggak mau liat joget ala Twice!" yang artinya sama seperti; terima kasih, Osa.
"BENERAN?! EH KUNTI?! BENERAN! OTAK ELO GAK JATUH TADI KAN?!" Osa bersorak senang, meski ujungnya mereka ejek-ejekan kembali.
~°°~
Tasya bernapas lega, saat jam pelajaran pertama terlewatkan, dan dia disuruh maju ke depan untuk mengerjakan soal secara acak dari urutan absen. Sabrina tidak bisa konsentrasi pelajaran, tapi dia bisa melihat bahwa ada yang salah dengan sahabatnya; dia tidak berlaku kembali sebagai orang yang frustasi, karena dia tidak mau Tasya menanyakan yang macam-macam tentang alasannya jika dia memilih diam sepanjang pelajaran pertama.
Dia murid yang hadir pertama kali hari ini di sekolah, dan sepanjang dia menunggu temannya hadir satu persatu di kelasnya, di situlah dia merenungi nasibnya, dan kelakuannya semalam; berputar bagaikan film yang tidak bisa dihentikan tombol berhentinya. Terus menerus rewind, bahkan tercampur dengan segala memori lama tentang bagaimana baiknya Ezra terhadap dirinya.
"Kenapa pake jaket di pinggang begitu?" Tasya heran, tak biasanya Tasya pake jaket denim, mungkin jaket baru, tapi gaya Tasya bukan seperti ini.
Tasya menengok, dia berbisik. "Ini rok gue kotor banget belakangnya. Gue dobelan sih, cuma rok gue ini yang jadi masalah."
Sabrina melirik cara duduk Tasya yang tidak nyaman, dan dia punya inisiatif untuk membantu Tasya keluar dari masalah ini, atau lebih tepatnya, dia memanfaatkan situasi ini.
Sabrina tersenyum, meski di dalam dirinya dia sedang lemah. "Pake rok gue aja. Gue bisa izin ke guru selanjutnya buat ke UKS. Sementara rok lo yang kotor ini, lo minta cuci sama OG sekolahan."
Tasya yang tidak enak hati pun menjawab, "Serius? Lo mau berkorban buat gue?"
Sabrina mengangguk, dan segera saja Tasya memeluknya erat. "Astagaa... malaikat gue! Makasih sayangkuuuu!"
Sabrina tertawa kecil, meski dia itu adalah tawa paksa yang tidak diketahui Tasya. "Ya udah. Ayo cepet izin ke toilet sama ketua kelas."
Dan tanpa perlu berubah pikiran, keduanya izin ke toilet, dan bilang bahwa; Sabrina sedang haid, perutnya amat sakit hingga dia tidak bisa konsentrasi belajar, dan harus istirahat sejenak di UKS.
Tasya meninggalkan Sabrina yang pura-pura terbaring di UKS, dia memakai celana olahraga, sementara Tasya memakai roknya. Lalu saat Tasya melambaikan tangan meninggalkan Sabrina, menutup gordennya, dari kejauhan; terlihat ada Ezra yang juga beralasan sakit demi bisa menenangkan pikirannya. Dia juga masuk ke UKS, selepas Tasya berbelok ke koridor lain, dan ketiganya tidak saling mengetahui keberadaan mereka masing-masing.
Sabrina tidur menyamping, memejamkan mata yang basah, karena dia menangis lirih. Di sebelahnya yang berbatas gorden putih, ada Ezra yang tidur telentang, memakai earphone sebelum dia masuk ke dalam UKS ini.
Keduanya bernapas di tempat yang sama, dan keduanya sama-sama sedang menunggu malaikat yang mampu membebaskan mereka dari masalah-masalah yang menjerat.
~•••~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro