Bab 42A: My name is Ezra Abinaya
Bab 42A: My name is Ezra Abinaya
Peduli genderuwo, Tasya tidak tertarik sedikitpun dengan harga ponsel yang Osa tawarkan meski harganya belasan juta, semuanya itu tidak sebanding dengan harga dirinya; tidak sebanding dengan pipi polosnya!
Tasya masuk ke rumah dan dia membanting pintu keras-keras. "Hah?! Jadi pacarnya? Idih. Dikira gue cewek apaan?!"
Dia tidak habis pikir; apakah Osa memang benar-benar sudah gila? Perlukah Tasya pergi ke apotik dan bertanya, obat apakah yang pas untuk 'menyembuhkan sakitnya' Osa?
Dia tidak sudi untuk memenuhi permintaan Osa, yang diluar akal sehatnya.
Jadilah, Tasya pulang ke rumah tanpa ponsel baru, dan dia tidak punya alat komunikasi apapun. Makanya, saat dia sampai ke rumah, dia mendapati bahwa rumahnya kosong. Saat dia membuka kamarnya, dia tidak mendapati Sabrina ada di sana. Hanya ada secarik kertas bertuliskan;
Gue pulang sekarang. Thanks for everything you did. Love, Sabby.
Dan saat Tasya membaca kata—pulang, dia tahu maksudnya; Sabrina benar-benar pulang dan menghadapi kedua orang tuanya. Dia yang tadinya diliputi amarah karena Osa, kini berjalan lesu menuju bibir ranjang, dan terduduk lemah di sana.
Tasya berharap, segala sesuatunya akan mudah bagi Sabrina sekarang, saat dia sudah pulang ke rumah—karena harta terbesar dan sumber semangat paling dashyat adalah keluarga.
"Gue harap dia baik-baik aja," kata Tasya yang mengigit bibirnya, kebiasan dirinya setiap kali dia khawatir.
~°°~
Canggung. Itulah yang Sabrina rasakan saat dia telah berada di rumah dalam kurun waktu beberapa jam ini. Biasanya, saat Mita pulang, Sabrina akan membercandai; "Loh kok pulang? Ngapain pulang?"
Tapi kini tidak lagi, karena kalimat itu seakan malah menyindir dirinya sendiri, kalau sampai Sabrina berani mengucapkan. Sedari tadi, dia duduk sembari bersandar di kepala ranjang, di saat Mita—adiknya—yang masih tidur bersama dirinya, sedang sibuk mengerjakan tugas sekolah. Biasanya juga, setidaknya kakak adik ini akan saling ejek, entah itu soal berat badan atau munculnya jerawat. Hanya saja, hari ini begitu terasa berbeda, meski biasanya mereka suka marahan, tapi paling hanya beberapa menit saja; jika sekarang, kesenyapan di kamar mereka bisa bertahan selama berjam-jam.
Mita pun sebenarnya tidak konsentrasi. Dia, antara senang dan sedih, melihat keadaan kakaknya sekarang. Dia bukan anak kecil yang tidak mengerti apa-apa, dia sudah bisa mengetahui segalanya, termasuk bagaimana kakaknya bisa sampai hamil di luar nikah begini.
Mita berdeham seraya mencari posisi yang lebih nyaman untuk duduk, sementara saat Sabrina sedikit terkejut karena dehamann adiknya, dia pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Jadi ini rumus luas jajar genjang apa ya?" kata Mita, "Oh. Gini... hmmm...." Dia bicara sendiri, padahal dia amat ingin agar kakaknya menanggapinya; seperti hanya mengatainya dia bodoh, dia sudah senang.
Mereka bertahan dengan kesoksibukannya masing-masing, melupakan bahwa dulu mereka bisa main lempar-lemparan bantal sampai akhirnya mereka berdua terkapar kelelahan. Beruntunglah, Mira tahu-tahu mengetuk pintu kamar Sabrina dan Mita, disertai suara lembut khas seorang ibu.
"Mamah boleh masuk nggak nih? Mamah bawa camilan buat kalian," kata Mira yang membawa nampan berisi dua gelas susu serta setoples biskuit cokelat.
Tanpa diduga, Sabrina dan Mita menjawab berbarengan; "Masuk aja, Mah."
Mereka berdua sempat beradu pandang, sebelum kembali kepada kecanggungan.
Mira membuka pintu dan menebarkan senyum hangatnya. "Wah, Mita lagi belajar ya? Ini mamah bawain susu peninggi badan buat kamu, biar nggak diejekin pendek lagi di kelas."
Mita mencebikkan bibirnya. "Ih apaan sih, Mamah. Kan Mita emang udah tinggi, cuma ... cuma kurang dikit aja."
Refleks, Sabrina terkikik geli, meski Mita mengetahuinya, dia pura-pura tidak tahu.
Mira tertawa kecil, meletakkan susu cokelat itu di meja belajar Mita, lalu dia mendekat ke nakas sebelah tempat tidur Sabrina, dan meletakkan susu vanilla untuk ibu hamil di sana.
Mira mengusap rambut Sabrina sekilas. "Udah nggak mual-mual? Mau makan apa? Biar mamah suruh ayah kamu beliin nanti."
Sabrina terenyuh dan begitu juga dengan Mita; adiknya menutupi rasa harunya sambil meneguk susunya perlahan agar tidak cepat habis.
Bisa dilihat, bagaimana cepatnya hati seorang ibu bisa luluh, meski tadinya dia begitu membenci kesalahan sang anak. Namun Mira mau berbuat apa lagi? Dia tidak bisa kehilangan Sabrina terlalu lama, atau bahkan selamanya.
Sabrina menggeleng pelan. "Udah kenyang. Minum susu aja cukup. Makasih, mah."
Mira mengangguk, dia tersenyum, biarpun ada berbagai pertanyaan yang belum terjawab dan belum dia berani tanyakan kepada Sabrina; mengenai bapak dari anak yang dikandungnya, kemana Sabrina pergi selama ini, dan bagaimana sekolahnya....
Mungkin soal sekolah, Mira bisa menyuruhnya?
Seraya meletakkan setoples biskuit cokelat di sebelah susu hamil tadi, Mira bertanya, "Jadi kamu besok masuk sekolah kan? Udah lama kamu absen."
Pertanyaan yang mampu membuat air muka Sabrina berubah keruh. Di sekolah, nanti pasti ada banyak orang dengan banyak pertanyaan, dan yang paling utama adalah di sana pasti ada Ezra—bagaimana kalau sampai Ezra menghinanya kembali?
Lali saat Sabrina ingin berkata bahwa dia belum siap kembali ke sekolah, Mira sudah mendahului ya dengan berkata, "Sayang-sayang loh, bentar lagi kan UN. Enggak apa, kalo kamu bertahan sedikit lagi disana. Iya, kan, Mita?"
Mita yang ditanya begitu, segera mengangguk sok tak acuh. "Iyain aja. Kasian ayah yang banting tulang buat bayarin uang sekolah kakak sampai lunas."
Di sinilah, Sabrina serba salah untuk membuat keputusan lainnya; di saat dia sudah kembali ke rumah, bukan berarti segala sesuatunya segera usai.
Sabrina mengaitkan jemarinya, tanda bahwa dia sedang gundah untuk mengambil kesempatan kembali ke sekolah, atau tetap di rumah dan tidak melakukan apa-apa; seakan membuang semua jerih payah sang ayah tiap harinya.
Sabrina mendongak, dan dia berusaha tersenyum. "Iya. Besok aku masuk sekolah kok, Mah. Dikit lagi kan lulus."
Mira akhirnya bisa kembali bersyukur. "Oke. Besok mamah bikinin bekal–"
"Mita juga mau bekal!" protes adiknya.
Mira menengok dan dia mengangguk.
Sejenak dia mengelus dada, sebelum berucap....
"Seneng deh anak-anak mamah kumpul lagi, dan rumah jadi rame lagi. Nanti juga pas Mita punya keponakan, rumah ini bakal tambah kayak pasar," canda Mira, dan kedua anaknya memaksakan tawa.
Mira meninggalkan kamar Sabrina, dan setelahnya, giliran Mita yang membuat keputusan.
"Mulai hari ini, aku tidur di kamar sebelah," kata Mita, yang terpaksa harus mulai tidur sendirian, karena dia hafal kebiasaan tidurnya sendiri; bisa-bisa Sabrina babak belur dengan tendangan mautnya saat dia mengigau di tengah malam.
"Beneran? Gak takut?" tanya Sabrina, heran.
"Beneran. Kan tinggal nyalain lampu. Udah kakak di sini aja, biar luas," jawab adiknya, kembali mengerjakan tugas sambil menyembunyikan senyum senangnya; dia berhasil berbicara kembali dengan kakaknya, meski hanya beberapa kalimat saja.
Di saat Sabrina kembali kepada keluarganya, berbeda dengan keadaan Ezra. Sudah dua hari ini dia mengurung di rumahnya; di kamar.
Dia terduduk di lantai, bersadar pada tempat tidur. Dia memakai seragam sekolah yang semua kancingnya tidak disatukan, jadi kaos putih dobelannya kelihatan. Dia ada di kamar yang sengaja dalam keadaan gelap. Di sebelah paha Ezra yang tertekuk, di sana ada sudah ada entah berapa puntung rokok yang dia hisap, dan berapa gelas kopi yang bergeletakkan.
Dalam gelap dan kesendirian; perbedaan yang begitu besar antara dirinya, Sabrina, Osa serta Tasya.
Dia memang 'berbeda', dan dia berusaha menjadi 'sama', saat dia menemukan Sabrina di samping gang diskotik waktu itu.
Ezra meraih ponselnya saat dia merasa kalau ada notifikasi masuk ke sana, yang kini sudah menyala.
Ada nama Osa terlintas; entah itu di pesan biasa, WA, atau panggilan yang datang bertubi-tubi.
Ketika ada banyak orang mencemaskan Sabrina, hanya ada satu orang yang mengkhawatirkan Ezra.
Ezra melempar kembali ponselnya ke ranjang, dan dia memilih tidur meringkuk, menyatu dengan dinginnya lantai malam ini.
~°°~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro