Bab 36-Osa's version
Fyi...
Osa itu nama yang diambil dari temenku pas dulu SMA. Dia itu emang tingginya gak seberapa alias masih tinggian aku😅
Dan tau enggak.... Dia itu suka sama temen sekelas juga dari kelas 10, selama 3 tahun, 3 YEARS Meeen, dan dia cuma suka sama satu cewek itu, meski si cewek pacaran sama orang (2x) lain. Padahal nih ya, pacar si cowok itu gak ada apa²nya sama Osa. Pinter kagak, suka bertemen sama preman sekolah lah iya. Gak tau tuh, matanya kek kelilipan kapal kali yak....
Tuh Osa tetep suka sama dia, dan semua orang tahu itu. Cuma si cewek gak pernah mau nerima dia 😂 *sumpah ini kesian bgt, tapi lucu😂 Jadi dia juga selama 3 tahun itu diejekin sama semua yg tau masalah ini. Entah junior kek, kakak kelas kek, apalagi temen sekelasnya😂 ngenes bgt pokoknya😁
Terakhir kali pas tahun terakhir kita masih bareng², tuh cewek di kasih cokelat pas Valentine sambil ditembak, tapi ya... ditolak lagi😂
Entah berapa lama dia udah nembak. Mungkin kek iklan itu.
Berapa lapis? Ratusan.
Berapa kali nembak? Puluhan.
Gak diterima? Kasian.
😂😂😂Oke sekian. *kalo suatu hari entar si Osa ini baca cerita ini dan ujungnya dia tau aku yg nulis. Semoga dia mau memaafkan manusia jomblo ini yang makin telah menistakan dirinya😁
Kalo Ezra, Sabrina, Tasya, Matt, semuanya fix imajinasi dengan kebutuhannya masing².
So, part ini buat mengulik hidupnya Osa.
Bab 36-Osa's version
Manusia telur, itu adalah sebutan yang Ezra sematkan kepada Osa sejak dia bosan; hampir setiap hari, di mana ada Osa, di situlah ada telur dadar. Pada awalnya, semua baik-baik saja. Sehari pertama, tidak ada masalah. Hari berikutnya, Ezra masih bisa memakannya. Hari ketiga, Ezra pikir mungkin memang tidak ada yang bisa dimasak lagi di lemari atau kulkas. Namun saat dia sudah belanja, barulah ketahuan kalau memang Osa selalu hanya ingin praktis dengan menggunakan telur sebagai bahan makanan utamanya. Mau itu rebus, ceplok atau dadar. Untung temen, kalo enggak dia udah Ezra lempar pake teflon.
Dan manusia telur ini pun akhirnya sampai ke rumah, tempat di mana dia belajar bagaimana caranya meretakkan telur ayam dan menggorengnya untuk pertama kali. Atau tentang, di mana tempat dia pertama kali bisa tahu apa artinya mencintai.
Osa melepas helm Abang Ojek. Dia memandang dalam, hunian di depannya. Untuk mengambil tangga pertama, dia sudah punya rasa malas.
"Helmnya, Mas," kata Abang Ojek, dan dia memberikannya tanpa mengalihkan pandangannya.
Terbayang, saat dia masuk TK. Kakaknyalah orang yang dengan telaten menggandengnya, lalu saat dia melihat tali sepatu Osa lepas, dialah orang yang berjongkok kemudian menalikannya kembali.
"Kamu jangan jatuh Osa, bukan cuma kamu yang sakit. Entar Abang juga."
Darius Duta memperlakukan Osa bagaikan berlian yang tidak akan dia biarkan tergores sedikitpun.
Dia ingat lagi, saat dia sedang dihukum karena pulang terlalu malam akibat main layangan. Kakaknya dengan sigap tahu apa yang Osa butuhkan untuk memperbaiki perasaannya kembali. Dia bawa es krim kesukaannya, menyelinap masuk kamar, kemudian Osa bisa tersenyum lagi.
Atau saat hujan deras serta angin kencang, dan mereka ditinggal kedua orang tuanya ke luar kota. Kakaknyalah yang ribut mencari penerangan saat listriknya jadi mati, agar Osa tidak menangis dalam ketakutannya.
Namun kini, hatinya yang sakit karena persaudaraan yang lengket itu kian memadam, akibat seorang gadis yang menyelinap masuk ke dalam hati keduanya, tanpa mereka tahu satu sama lain. Kasih sayang itu sudah meluncur dengan derasnya, dan sayangnya gadis itu hanya memandang Osa sebagai adik kecilnya.
Ya Osa tahu, bagaimanapun dari kecil kakaknya selalu nomor satu.
Dia iri? Tentu.
Demi menutupi rasa iri bercampur dengkinya, dia mencoba menyingkir perlahan dari kehidupan normalnya, mulai dari—tinggal bersama Ezra Abinaya.
"MAAF MAS! NGGAK TERIMA SUMBANGAN MALEM-MALEM!" Teriakan itu menyadarkan Osa, yang mendesis kesal sambil memandang ke tempat sumber suara menyebalkan itu berasal.
Gigi gingsul itu selalu muncul saat dia menyengir, tersenyum, apalagi tertawa.
Adiknya sedang ada di balkon kamar, dan memang dia sedari tadi sengaja menunggu Osa di sana, agar dia bisa jadi orang pertama yang 'menghinanya.' Bisa dibuktikan bahwa mereka memang benarlah sedarah.
"Masuk woy! Anak ilang! Berdiri mulu, dasar patung pancoran!" tambah adiknya sebelum dia keluar kamar dan memberitahukan penghuni rumah, bahwa akhirnya Osa mau pulang ke rumah di mana dia menemukan cinta pertamanya.
Osa menggaruk kepalanya kasar. Coba kalau tadi Luma tidak mempergoki kedatangannya, dia bisa pergi saja dari sini untuk menyingkirkan kejanggalan di hatinya.
Osa membuka pintu rumahnya dan bisa segera dia dengar; suara adik cemprengnya memenuhi seluruh penjuru ruangan.
"Mamih! Papih! Telor-teloran udah pulang...!" teriaknya dengan ceria.
Osa yang tidak senang dengan acara koar-koarnya, dia menghardik adiknya. "Astaga, bisa enggak sih gue nggak disambut sama suara berisik lo. Dasar barbie gagal."
Luma tidak menjawab, dia cuma menunjukkan juluran lidahnya. Maunya sih jari tengah, cuma Papih dan Mamihnya terlanjur muncul untuk segera menyambut anak keduanya.
"Ya ampun anak mamih baru pulang...!" ucap Desi dari ujung tangga. Muncul dengan piyama dan tangan yang terbuka untuk segera membenamkan Osa ke dalam pelukannya.
Osa memang mengeluh di dalam hatinya, tapi saat dia melihat senyuman di wajah orang tuanya, semua penyesalannnya sirna. Dia memang kehilangan orang yang dicintainya, namun tidak yang mencintainya bahkan sejak sebelum dia lahir.
Osa berubah ke mode anak kecil. "Mamih... Osa kangen!!"
Kedua ibu dan anak pun berpelukan, mencurahkan kerinduannya masing-masing. Luma dan ayah mereka hanya bisa menggelengkan kepala, saat drama mereka dimulai.
Desi melepaskan pelukannya sejenak untuk memandang kondisi anaknya sekarang. "Kamu kok tambah kurus?"
Dia banding-bandingan pipi Osa. "Ini ke mana pipi bayi anak mamih yang imut? Kok tirus banget kayak talenan."
Osa menggoyangkan kakinya kayak anak yang baru bisa jalan. "Iya ini! Osa nggak dikasih makan sama Ezra.... cuma disuruh cuci piring doang, Mih...."
"Ngepel, nyetrika, bahkan ngerjain PRnya...!" tambahnya, dan ibunya mengangguk cepat—percaya saja.
"Awas nanti kalo mamih ketemu Ezra, bakal mamih jewer itu anak!" ancam Desi, dan Osa tersenyum lebar, memeluknya lagi.
"Mamih... mamihnya Osa emang yang terbaik...."
Fitnah. Luma pun mengetahuinya.
Dia bersedekap. "Ngerjain PR? Abang aja peringkat 31 di kelas, masa ngerjain PR anak peringkat 15?"
Osa menyelingak, menatapnya tajam. "Suka-suka abang dong... mau ngerjain PR anak peringkat berapa! Nomer satu aja bisa abang ajarin."
Aluma Kassia tertawa. "Ajarin apa? Ajarin jadi bego?"
Dan Osa berlagak ingin memukul adiknya dari jauh, hingga Luma cepat-cepat bersembunyi di punggung ayahnya yang cuma tertawa.
Luma mengintip. "Bego kok bangga. Dih...."
Desi membela anaknya. "Udah-udah Luma. Jangan bikin marah abangmu, syukur dia pulang. Entar dia bisa minggat lagi."
Dia menoleh ke Osa yang sedang merasa menang. "Kamu tidur di sini kan?"
Osa mengangguk cepat. "Iya-iya. Ngomong-ngomong, Osa kangen telor balado buatan mamih."
Osa menggiring ibunya untuk duduk di sofa, sementara yang lain hanya mengikutinya saja.
Belum sempat Desi menjawab, ayahnya nimbrung duluan yang senang kalau anaknya pulang lagi ke rumah.
"Kebetulan kamu pulang. Jadi kamu bisa temenin papih nonton bola," kata Emilius Ervan diiringi senyum semringahnya.
Osa yang mengerutkan keningnya, memandang penuh tanya kepad adiknya. "Kenapa harus nunggu Osa? Kan ada Luma."
Luma yang sedang bergelayut di tangan ayahnya menjawab, "Dedek nggak boleh begadang. Besok ada streaming penting di V Live, jadi dedek nggak boleh bangun kesiangan."
"Alesan apa itu?" Osa berdecak.
Luma menyibakkan rambutnya diiringi rasa percaya dirinya yang tinggi. "Kata mamih sama papih nggak pa-pa. Yang penting anaknya bahagia."
Dan saat Osa beradu pandang dengan kedua orang tuanya, bisa disimpulkan kalau memang semuanya begitu mendukung keinginan anak-anaknya. Lalu Osa menyadari juga, bahwa di ruangan ini, hanya mereka berempat, dan jika ayahnya sampai mengajak Osa menonton bola, berarti tidak ada orang lain yang memang bisa dia ajak.
Luma selalu siap siaga menjadi teman menonton, bila tidak diganggu oleh antusiasme nongkrong di V Live malam-malam atau pagi buta. Serta kakaknya, yang terlahir sama sebagai pejuang setan merah.
"Abang Dut ke mana, mih?" tanya Osa, saat dia sudah penasaran.
Desi yang duduk di sebelahnya pun menjawab dengan enteng. "Abangmu nggak pulang, dia lagi nginep."
"Nginep di mana?" Osa menerka-nerka, mungkin abangnya lagi sibuk bekerja.
"Nginep di rumah pacarnyalah," kata Luma sembari membersihkan kukunya. "Eh, tunangannya."
Di situlah, rasa-rasanya, Osa tadi tidak perlu bertanya; kenapa kakaknya tidak ikut menyambutnya.
Desi tiba-tiba berdiri, dia teringat sesuatu. "Oh iya, mamih ambilin telur orak-arik kesukaan kamu ya.... buat cemilan pas nonton."
Belum dijawab oleh ayahnya yang tidak setuju, sudah dijawab oleh Osa; "Enggak ah, mih. Osa mau langsung tidur aja."
Dia bangkit dari sofa. "Maaf, pih. Aku enggak bisa nemenin. Ngantuk. Dah...."
Osa jelas jadi tidak bersemangat. Namun tidak ada yang tahu alasan yang sebenarnya. Mereka hanya tahu bahwa mungkin memang Osa hanya mengantuk dan sudah rindu sekali untuk biss tidur di kamarnya.
Tapi hanya Tuhan yang tahu bahwa Osa bukannya mengantuk, dia sedang menyebut kakaknya sebagai orang yang terkutuk.
Seharusnya, kakaknya menginap di kuburan saja, jangan menginap di rumah pacarnya. Karena yang setan, itu kakaknya, bukan orang ketiga di antara mereka.
Desi yang mengingat sesuatu lagi, segera mengucapkannya sebelum Osa naik ke anak tangga ketiga. "Osa sayang. Ngomong-ngomong kamu punya pacar enggak? Biar nanti kali dia mau dateng ke nikahannya Duta, biar mamih pesenin sekalian seragamnya."
Osa berhenti melangkah, dia masih tenggelam dalam dukanya. "Punya," katanya, tanpa dia sadari.
Dia akui di dalam hatinya, bahwa Eva ingin dia jadikan pacarnya. Tapi itu sudah terlanjur tidak mungkin, kan?
Mata Desi rupanya langsung berbinar-binar, berbeda dari Luma yang mengejek kakaknya habis-habisan.
"Punya?" Luma tertawa. "Yakin? Wekaweka... siapa namanya?"
Dan akibat terlalu jauh memikirkan kesedihannya, Osa meyebutkan nama; "Eva."
Tentu saja, semua yang ada di sini terkejut jadinya.
"Apa maksudmu dengan Eva?" tanya ayahnya yang meski tidak mengerti.
Osa yang terkejut dengan apa yang dia bicarakan pun segera menengok ke belakang, dan menemukan raut wajah bingung yang menuntut penjelasannya.
Osa gelagapan. Dia mau garuk-garuk leher, tapi juga ingin menampar dirinya sendiri.
"Eva? Maksudnya gimana Bang Os? Nama pacar kamu sama kek kakak ipar?" tagih Luma.
Osa yang tidak mau membuat masalah pun menjawab dengan jawaban yang paling masuk akal bagi semuanya. "Ituu... kemaren Kak Eva dateng ke sekolah kan... Dan ya... dia udah pasti pernah liat pacar abang...." Dia tertawa paksa.
Luma yang lumayan senang mendengar kakaknya tidak jomblo lagi, jadi bersemangat untuk mengulik orang terdekat kakaknya.
"Namanya....?" Luma bersyukur, ternyata sang kakak bisa lepas dari Ezra juga.
"Namanya...." Bisa dibilang Osa hampir gila, memikirkan satu nama yang harus dia sebutkan demi menutupi kebohongannya.
Semua orang pun menatapnya dengan penuh keingintahuan.
"Ta...." Cuma satu nama yang terlintas di otak Osa saat ini, dan tidak mungkin itu nama Sabrina yang dia luncurkan.
Jadi dia benar-benar gila saat menyebutkan nama; "Ta ... Tasya! Hahahaha...."
Untung saja dia tidak menyebutkan julukannya; Kuntilanak pohon mangga.
~••~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro