Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 35-Lie on Another Lie

Bab 35-Lie On Another Lie

Banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dijelaskan, dan banyak orang juga yang tidak mau mendengar penjelasan. Entah karena mereka sudah terluka, ataupun memang tidak punya rasa percaya. Kebohongan di dunia ini, semuanya sama-hitam. Besar atau kecil toh dosanya sama. Hanya mungkin balasan yang dari Sana akan berbeda. Seperti itulah kehidupan Ezra Abinaya; berawal dari satu kebohongan, dia sudah biasa menutupinya dengan kebohongan lainnya. Orang-orang tidak tahu siapa itu orang tuanya Ezra, mereka hanya tahu bahwa dia orang berada. Mereka hanya tahu kalau orang tua Ezra itu pengusaha, namun segelintir orang mengetahuinya; fakta bahwa level mereka lebih di atas sana. Yang Ezra rasakan lewat kebohongan identitasnya adalah, dia bisa hidup lebih tenang setelah keluar dari tempat di mana dia tumbuh besar dan memberontak. Tapi yang namanya rumah, tetaplah harus dikunjungi, meski hanya sekadar basa-basi.

"Bagimana belajarmu?" Bariton itu memecah keheningan makan malam yang diadakan untuk perkumpulan keluarga Abinaya.

Sejak dimulai, tidak ada dari mereka yang berbicara. Semua sibuk dengan peralatan makan dan pikiran masing-masing.

Ezra mendengarkan pertanyaan dari ayahnya. "Seperti biasa," jawabnya, dan dia kembali makan.

"Kalo lulus, masuklah ke universitas terbaik," kata Teddy-ayah mereka.

Bukan hal yang langka saat keluarga Ezra berkumpul seperti ini; saling bersikap dingin, berbicara sekadarnya, atau memunculkan muka untuk penghormatan saja. Ezra ingat terakhir kali seharusnya rumah ini dalam keadaan bahagia, tapi semuanya kini semakin memburam seiring kian bertambahnya tekanan dari berbagai pihak. Terutama karena kehadiran adik tirinya yang kini semeja dengannya.

Matthew tidak peduli jika ayah dan anak itu sedang bicara, itu tersirat dari senyum kecutnya.

Ezra mencoba tertawa. "Papah kira aku sanggup? Nilaiku belum tentu memadahi."

Hera-Nyonya di rumah ini pun ikut mengobrol, "Seharusnya kamu jangan banyak bermain dengan anak keluarga Emilius itu. Belajar yang benar."

Matthew mengiris dagingnya dengan sedikit emosi. Atmosfir yang kaku seakan menyekapnya. Di dada yang bergemuruh, di sanalah, pikiran warasnya mulai terombang-ambingkan. Dia ada namun seperti tidak ada, dan karenanya, dia benci untuk duduk di sini. Tapi mau bagaimana, dia harus mengamankan posisinya. Itulah perintah dari Hera yang tadi sempat sekilas melirik anak keduanya, memastikan bahwa Matthew tidak mencari masalah di makan malam keluarga ini.

"Apalah, Mah. Jangan bawa-bawa Osa. Dia itu bukannya bodoh, cuma nggak mau belajar aja," timpal Ezra, membela kawannya dan di dalam hati dia merasa sama.

Dia dan Osa tidak ada bedanya dalam hal malas belajar.

"Tapi benar kan kata mamah. Pelajaran kamu itu makin merosot, semenjak kamu kenal sama Yosafat," tutur Hera, memasang sikap yang kebanyakan orang tua miliki; tidak ingin anaknya hanyut dalam pergaulan yang berdampak negatif.

"Milih-milih teman itu emang harus Ezra." Baru saja Hera menuntaskan perkataannya.

"Coba kamu daftar ke universitas luar negeri, atau mau papah bantu pake koneksi yang papah punya?" Dan Teddy, seperti kebanyakan ayah di luar sana, dia hanya ingin yang terbaik untuk anaknya.

Ezra menggeleng. "Di Indonesia juga banyak universitas yang bagus. Buat apa ke luar negeri. Lagian bahasa Inggris Ezra masih jelek."

Tidak terbesit sedikitpun di otak Ezra untuk berpikir keluar dari zona nyamannya. Dia tidak menyukai tempat yang asing, apalagi dalam jangka waktu yang lama. Jika harus ke luar negeri, mungkin dia hanya mampu bertahan beberapa bulan saja, dan sisanya dia tidak akan mau kembali mengulangi hal yang sama.

"Kalo tidak mau ke luar negeri, kembalilah tinggal di sini," ucap Teddy sebelum memakan potongan daging ke sekian.

Ezra menghela napas. Ujung-ujungnya, permintaan itu lagi yang terucap dari bibir ayahnya.

"Karena cuma kamu, anak yang bisa Papah banggakan," tambah Teddy, yang semua orang di rumah ini tahu-bahwa dia hanya mau mengakui satu orang sebagai anaknya.

Dan jelas, usai mendengar kalimat itu, Matthew meletakkan garpu serta pisaunya dengan kasar.

Dia menunjukkan senyum pahitnya. "Terima kasih atas makan malamnya."

Hera yang tadi sudah mewanti-wanti kepada sang suami agar dia tidak perlu membahas hal-hal yang bisa menyakiti salah satu dari mereka pun segera memanggil Matt untuk duduk kembali. Namun Matt yang sakit hati, sudah terlanjur marah untuk satu meja lagi.

Hera menegur suaminya. "Papah! Bisa enggak sih hargain Matthew yang ada di sini?"

Teddy, dia tampak sebagai orang yang tenang. "Kenapa toh? Memang ucapanku ada yang salah? Itu kan anakmu, urus saja sendiri."

Dia memandang Ezra yang tahu kalau pertemuan keluarga, ujung-ujungnya akan hancur seperti sekarang ini.

"Makan yang banyak. Papah butuh anak yang patuh, meski cuma ada satu," katanya, yang menyindir sang istri.

Hera sudah habis nafsu makannya. Dia melempar celemek makan dengan kecewa.

"Iya aku tahu dia anak aku. Aku cuma mau kamu sedikit aja... sudahlah. Urusi saja Ezra, dan aku akan urusi dia." Hera sendiri tidak punya pilihan lain, selain mengalah.

Dia menyusul Matthew yang memilih untuk menyingkir duluan dari makan malam terkutuk itu.

Ditinggal ibu dan anak tadi, Ezra yang masih punya hati pun mengajak ayahnya untuk sedikit berubah.

"Pah. Kalo Papah mau Ezra kembali ke rumah," Dia menelan ludahnya sekilas, mengumpulkan keberaniannya. "Papah terima kehadiran Matthew. Bagaimanapun dia itu adik Ezra, biarpun dia itu bukan anak Papah."

Teddy yang dingin itu mengusap bibirnya menggunakan tisu, tanda bahwa dia sudah tidak bisa makan lagi. "Lebih baik kamu tidak usah kembali, kalo syaratnya begitu. Papah kenyang. Sekarang terserah kamu, mau hidupnya akan berlanjut bagaimana."

Beban Ezra memang sepertinya akan lama untuk dihilangkan. Beban tentang bagaimana berantakannya keluarga dia. Tidak ada seorang pun di dunia ini, yang bisa memilih dengan cara apa dia bisa hadir di dunia ini. Termasuk adiknya, yang tidak tahu bahwa dia hadir lewat hasil hubungan gelap, yang membawa kesialan bagi dirinya kelak.

"Asal jangan membuat masalah," ucap Teddy lagi, dan Ezra mendongak. "Sebentar lagi papah mau mendaftarkan diri menjadi anggota DPR. Dan papah harap, kali ini tidak ada masalah seperti yang mamahmu buat dulu."

Ezra tersenyum pilu. "Terus kalo Ezra buat masalah, emangnya itu bakal bikin papah berhenti berambisi?"

"Jadi anak papah itu gampang," kata Teddy, yang tidak menjawab pertanyaan dari anaknya. "Kamu hanya perlu patuh dan bertanggung jawab. Di Indonesia ataupun di luar negeri, itu terserah kamu. Selama kamu tidak membuat masalah."

"Kalo Ezra enggak mau melanjutkan kuliah?" tantang Ezra, yang wataknya sama kerasnya dengan sang ayah.

Teddy mengangkat wajahnya. 'Kenapa? Kamu mau tahun berikutnya untuk masuk kuliah? Boleh-boleh saja, tapi itu artinya, tidak bisa di sini. Papah akan carikan tempat di luar negeri. Oh, dan anak dari teman papah sepertinya ada yang menyukai kamu-"

"Oh Ezra lupa, Pah. Sepertinya, Ezra udah buat satu masalah," Tidak tahu apa yang merasuki Ezra saat ini, dia hanya tidak suka saat dia punya ayah yang terlalu berambisi berada duduk di kursi yang paling tinggi.

"Ezra bukan anak yang patuh," katanya lagi, dia ingin merusak apa yang sebenarnya memang sudah rusak.

Ezra tersenyum dengan damainya. "Bisa enggak papah berhenti bermain politik? Karena sekarang, Ezra punya masalah besar. Ezra bakal jadi seorang ayah, Pah."

Begitulah cara yang tepat untuk membuat tekanan darah Teddy meninggi. Dia butuh penjelasan yang lebih dari anaknya ini.

Ezra paham, seperti masa lalu kelam yang dulu kakeknya buat, dan dia tidak mau ayahnya menjadi orang yang mengulanginya, lalu mengorbankannya, kemudian semua itu akan berputar seperti roda kendaraan yang tidak bisa dihentikan kecuali oleh kematian.

"Ezra anak yang nakal," Dia tidak mengalihkan pandangan dari mata ayahnya. "Ezra menghamili anak orang, dan seperti yang selalu Papah tekankan. Tanggung jawab."

"Bicara apa kamu?!" Teddy mulai kalap. "Dulu ibumu! Sekarang kamu? Kamu ingin menghancurkan impian papah?!"

"Ezra ingin menikahinya. Cuma itu yang Ezra ingin lakukan," kata Ezra, meski bukan dia tersangkanya. "Bukankah itu juga keinginan papah yang papah mau dari Ezra? Menjadi orang yang tahu apa itu bertanggung jawab."

Namun Ezra tidak ragu lagi, meski dia merasa bersalah. Demi kenyamanannya, dia ingin memanfaatkan seseorang, untuk menghindari garis takdir rencana dari orang tuanya.

~••~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro