Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 34-Sentiment Feelings

Bab 34-Sentiment Feelings

Tidak mudah berdamai dengan ego, karena setiap manusia ditakdirkan untuk punya sisi tersebut. Dan kedua orang ini, tidak ada yang mau mengalah-minta maaf atau setidaknya tersenyum ramah. Ya begitulah, Osa punya sisi buruk juga di samping sisi koplaknya. Dia duduk bersandar dengan gaya bossy sambil makan keripik. Sementara Tasya menyeruput teh kotak; tak ada dari mereka yang mau melepas pandangan peperangan. Padahal di dalam hati mereka masing-masing, mereka udah ingin melambaikan tangan. Capek kali matanya, sakit, panas, tapi mau bagaimana lagi. Mereka terlalu arogan untuk mengalah duluan.

Osa bahkan mengucek matanya cepat, sebelum kembali menatap tajam Tasya. Gitu aja terus, ampe Tiktok nggak diblokir lagi.

Ezra ber-ekhem ria, tidak menyukai suasana ini. Berulang kali dia menyenggol kaki Osa di bawah meja dan mengkode agar dia mengalah saja, tapi yang namanya Osa itu keras kepala.

Baiklah, Ezra pasrah dengan semua ini.

"Jadi elo itu temennya Sabrina?" tanya Ezra membuka pembicaraan, dan dia langsung mendapatkan perhatian Tasya.

Tasya beberapa kali berkedip, melemaskan otot-otot matanya yang serasa mau putus secara serentak. Namun sebelum Tasya menjawab dengan manis nan ramah, dia keburu dipotong oleh Osa yang masih menunjukkan dendamnya.

Sudut mulut Osa mencibir. "Sial banget Sabrina punya temen kayak elo."

Rasanya Tasya ingin membalikkan meja, hanya saja dia tidak bisa. Dia mencoba sekuat tenaga, meyakinkan dirinya bahwa di meja ini hanya ada dia dan Ezra. Tasya tidak mempedulikan Osa, apalagi saat Osa menjulurkan lidah-mengejek. Coba Tasya lagi pegang gunting, udah ilang itu lidahnya.

Ezra jadi agak pusing. "Temen sekelas?"

Dengan cepat Tasya menjawab, "Sahabat karib." Daripada Osa ikut nimbrung nggak jelas lagi.

Diamnya Osa pun bukan berarti dia sudah kalah, dia sedang khidmat memikirkan bagaimana caranya dia bisa membuat wajah Tasya tambah merah padam.

Ezra mengangguk. "Baguslah dia punya temen. Seenggaknya dia punya sandaran di saat dia kena masalah sebesar itu."

Tasya akui, jika sekilas saja dia melihat Ezra, maka dia simpulkan kalau cowok itu pasti tipe yang tidak memiliki hati. Tapi saat berbicara empat mata begini, dia tahu bahwa Ezra orang yang lebih dari sekadar baik.

He is an angel

Namun saat matanya tertarik kepada Osa yang main bikin hidung babi, dia mengumpati Osa di dalam hati dan menyebutnya sebagai perusak pandangan orang.

"Bahu gue kokoh kok buat sandaran," kata Tasya yang terhipnotis dengan pancaran kebaikan Ezra.

Osa berdecih. "Itu bahu apa beton? Kok kokoh?"

Segera saja Tasya lempar sedotan. "Diem elo kutu air! Ish! Gue lagi ngomong serius! Lo apa sih di sini? Pembokat diem aja!"

Osa yang terpancing jadi berdiri. "Apa maksud lo jerawat batu?!"

Dan sebelum keduanya membuat rusuh lagi, Ezra yang sudah tidak sabar pun berteriak; "Udah cukup!" katanya, "Lo juga Osa, dia ini lagi ngomong. Lo bisa nggak sih diem bentar aja?"

Ezra mengambil napas. "Gue beliin bakso nih. Biar lo makan aja, diem lo ampe kenyang!"

Sebenarnya kalau sedang tidak dalam keadaan begini, Osa akan dengan senang hati menerima traktiran Ezra, sayangnya egonya masih berada di tingkat yang tinggi.

Osa yang menciut pun terduduk lagi, di saat Tasya bersorak senang di dalam hati-dia ada pembela, sementara Osalah yang terpojok di sini.

"Kalian berdua ini, emang ya...." Ezra berkacak pinggang, memandang mereka bergantian.

Tasya tersenyum girang, dia menyedot minumannya lagi. "Maaf Zra. Gue emang kalo ketemu makhluk berkutu kek dia tuh bawaannya gondok."

Ezra yang mendengar perkataan Tasya, tidak akan membiarkan mulut Osa bebas membalas lagi. Dia mengambil biskuit dan menjejalkannya ke mulut Osa.

"Diem, nggak usah bales," kata Ezra dengan tatapan mengancam.

Di sini, Osa kayak anak ayam yang kehilangan induknya. Dia merasa terkhianati, tapi dia tetap makan saja, menuruti apa yang Ezra perintahkan.

"Oh iya... Sabrina titip pesan buat lo Zra," tutur Tasya yang baru bisa sampai ke inti pembicaraan, karena gangguan yang bertubi-tubi dari Osa.

"Dia ada di rumah sekarang, dan semuanya baik-baik aja," tambahnya, lalu Ezra mengerutkan keningnya, dia menunjukkan wajah yang meminta penjelasan lebih.

Tasya yang tidak bisa bohong, kelihatan sekali dari gesturnya yang memegang hidung. "Di rumah... nyalah. Sama orang tuanya, sama adeknya."

Ezra yang sudah tahu bahwa sebenarnya Sabrina tidak pernah kembali ke rumah, dia mengikuti arusnya saja, bahkan Osa, dia cukup pintar untuk tidak nimbrung sembarangan.

"Syukurlah," ucap Osa, di luar nalar Tasya.

Tasya melempar pikirannya jauh-jauh yang tadi sempat menganggap kalau Osa ternyata bisa bertindak normal, karena selanjutnya dia mengejek Tasya lewat mimik wajahnya lagi.

Belum sempat Tasya ingin mengobrol lebih jauh dengan Ezra, sayangnya bel masuk sekolah mereka berbunyi. Mau tidak mau, mereka harus mengikuti ujian selanjutnya. Tadinya Tasya ingin berterima kasih kepada Ezra, dan menyelidik; sejauh apa Ezra mengetahui masalah yang sedang menimpa Sabrina, meski dia itu cowok baik hati.

"Ah udah masuk," kata Tasya yang tidak semangat. "Kalo gitu gue balik dulu ke kelas."

Saat Tasya hendak pamit, Ezra mencegahnya cepat. "Tunggu," ucapnya, "Lo pinter menghafal enggak?"

"Maksudnya?" Tasya tidak mengerti.

"Hape kita kan diambil sampe pulang sekolah, jadi-"

"Lo mau kasih tau nomer elo?" tebak Tasya dan dari tanggapan Ezra ternyata dia benar.

Tasya tertawa. "Nggak usah. Kan gue bisa ambil dari hapenya Sabrina."

Ezra pun tertawa, merasa bodoh. "Oke. Gue lupa. Ya udah, kalo ada apa-apa, elo bisa hubungin gue. Setiap saat."

Tasya menunjukkan jempolnya. "Sip. Lo udah kek bodyguard Sabrina aja."

Dan setelah kekikukan yang menyekap beberapa detik, kali ini Tasya benar-benar pamit.

"Gue balik duluan. Bye," katanya, dengan langkah yang biasa.

Kemudian, tanpa perlu ditebak, Osa jelas tidak akan membiarkan Tasya pergi dalam keadaan damai.

Dia buku mulutnya lagi; mengejek, setidaknya untuk kali terakhir hari ini. "Heh Kunti."

Refleks, Tasya memberhentikan langkahnya; seperti jadi mengakui sebutan tersebut. Dia sampai menyebut dirinya sendiri bodoh.

Tasya menengok malas. "Apa lagi Genderuwo?"

"Inget. Lo masih punya dosa sama gue." Osa menyeringai.

Jadilah Tasya berharap, dari seangkatannya di sekolah ini, biarkanlah satu orang untuk tidak bisa lulus dari sini.

Orang itu adalah Yosafat Osa.

~°°~

Kini rumah yang besar nan megah, kembali di huni oleh dua cowok jomblo yang berbeda tingkat kegantengannya. Jika dalam keadaan diam, tidak kurang waras, maka wajah Ezra itu tampan-tampan dingin diselingi lesung pipi menawan. Tipe yang diam-diam paling sering menaklukkan hati wanita. Lalu kalau Osa, dia itu punya wajah yang imut nan menghanyutkan dengan mata senyum bersinarnya.

Osa sedang menonton televisi sambil menimang-nimang, menu makan malam ini, dia harus masak apa?

Di saat yang tepat, Ezra datang bergabung. Dia datang sembari mengeringkan rambut menggunakan handuk kecil, dengan membawa ponselnya.

Osa yang bingung mau makan apa, pun meminta saran Ezra. "Ez."

Ezra menjawab dengan dehaman. Dia ambil alih remotnya.

"Lo mau makan apa? Telor rebus, telur kukus, telor balado, apa-"

"Seriously, Os?" Ezra menengok tidak percaya. "Apa lo nggak bisa masak yang lain selain pake telor-teloran?"

Osa yang menggaruk kepalanya bego, menjawab, "E... bisa sih. Mi instan. Air... tapi kan kebanyakan makan mi itu nggak baik buat kesehatan."

Ezra menyambit Osa menggunakan handuknya yang basah. "Makan telor kebayakan juga cuma bikin bisulan! Elo mah! Oon jangan dipiara!!"

Osa yang doyan membercandai Ezra, dia tertawa puas, meski handuk itu terus mengenai bahunya, dan dia tidak menghindar.

"Itu yang paling praktis! Murah meriah lagi!" Alasan Osa sungguh tidak bisa menghentikan tindakan Ezra yang membabi buta.

Ezra duduk kembali, dia menghembuskan napas lelah usai menyambiti Osa. "Lebih baik gue nyetok mi di rumah! Mi soto! Rendang! Barbekyu! Cabe ijo!"

Osa punya muslihat lain. "Mi rebus juga ya? Pake daun bawang. Makan pas ujan-ujan, dingin...."

Ezra mengangguk. Perutnya yang lapar membuatnya jadi membayangkan deskripsi makan tersebut.

"Jangan lupa juga kocokan telornya, biar mantap!" tambahnya, dan Ezra benar-benar tidak tahu harus mengapakan Osa lagi.

"Serah lo deh, serah, gue capek," kata Ezra yang bersandar, mencari posisi rileks, sebelum kembali ke kamar untuk mengistirahatkan diri.

Osa tertawa senang. Mengejek adalah salah satu cara untuk memperpanjang umurnya, namun umur orang lain mungkin bisa jadi korban.

Riuh tawa Osa, sayangnya harus berhenti saat ponsel Ezra berdering, dan meski Ezra meliriknya malas, Osa tahu mengapa Ezra tidak mau mengangkatnya.

"Pulang gih," ujar Osa, kini dia kembali memasang otaknya. "Gue juga mau pulang, bentar lagi."

Ezra menengok. "Ngapain? Tumben?"

"Fitting baju seragam," jawab Osa, menguatkan dirinya. "Seragam keluarga, nikahannya Bang Dut gue."

Ezra mengetahui alasan di balik wajah gloomy Osa.

Dia menepuk bahu Osa simpati. "Yang sabar ya. Siapa tau jodoh lo sebenernya udah sedekat nadi. Cuma..."

"Cuma apa?" kata Osa; jika Sabrina bersandar pada Tasya, maka Osa hanya mau bersandar kepada Ezra.

"Cuma ya... siapa tau nadinya udah kepotong, jadi lo nggak akan bisa ketemu sama jodoh lo lagi," jawab Ezra, dan kini giliran dia yang ditabok menggunakan handuk basah miliknya.

Malam itu rumah Ezra menjadi sepi, karena penghuni masing-masing; kembali ke tempat mereka tumbuh, besar, dan terluka.

~••~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro