Bab 29 : Let Go
Bab 29 : Let Go
Tidak semudah saat Osa mengatakan kalau Ezra harus memulangkan Sabrina ke rumahnya. Saat dia ada di hadapan Sabrina, dan harus menyaksikan wajah bingungnya sekarang, semuanya terasa sangat sulit. Rasa simpati yang memupuk terlalu tinggi untuk dia runtuhkan dalam semalam. Kening Sabrina mengerut mengamati, kenapa Ezra datang ke kamarnya membawa koper hitam itu? Apa dia mau pergi?
"Soal semalam...." Niat Ezra adalah menyuruh Sabrina pergi setelah menjelaskan, namun dia berpikir singkat, bahwa sebaiknya Sabrina tidak perlu tahu lebih banyak lagi.
Ezra tidak jadi mengatakan siapa tamu dia tadi malam, dia langsung berkata, "Kayaknya, cukup sampai hari ini elo bisa tinggal di sini."
Sabrina tahu bahwa perkataan itu kemungkinan besar akan terucap dari bibir si pemilik rumah, namun dia tidak pernah mengira bahwa ucapan tersebut akan terucap hari ini.
Sabrina berusaha mempertahankan diri, meski dia paham bahwa dia memang tidak bisa tinggal lebih lama lagi.
"Be ... besok gue janji bangun ... lebih pagi," katanya mencicit, "Baju e ... elo gue setrikain lebih rapi... gue bakal lebih cekatan, gue-"
"Ini bukan karena semua itu, Sab," potong Ezra yang tidak pernah sekalipun membawa Sabrina ke sini untuk dijadikan pembantu. "Lo emang cuma harus pergi dari sini."
Seharusnya Ezra mampu memberi alasan yang tepat, tapi dia tidak bisa menemukan cara yang cepat untuk membahasnya.
Sabrina masih berusaha. "Apa masakan gue nggak enak? Apa ... apa?"
"Nggak ada alasan apa-apa. Gue emang nggak bisa bantu lo lebih lama lagi," ucap Ezra, "Sebenernya kemaren gue liat ortu lo di sekolah, dan emang gue pengin lo kembali ke rumah, dan gue nggak perlu urus elo lagi."
Raut wajah yang sudah pernah dia temukan; saat Sabrina dan pacarnya bertengkar, atau saat Sabrina menggandeng tangannya pergi dari rumah. Mulailah ekspresi itu, reaksi yang paling Ezra benci.
Kedua mata Sabrina berkaca-kaca, dan dia menahan diri dari isakan. Haruskah dia pergi?
"Gu ... gue paham," ucapnya, tertawa samar, "Sori kalo gue kelamaan tinggal di sini."
Sabrina mengembuskan napas perlahan, dia tidak bisa mencari alasan yang bagus untuk pertahanan. "Ba ... baju gue tinggal aja di sini. Nggak perlu pake koper-koperan."
Sabrina tidak bisa membawa barang-barang yang Ezra berikan semuanya, bukan karena dia tidak suka, tapi dia tidak bisa, karena semuanya memiliki kenangan.
"Bye, Zra," kata Sabrina, yang tidak berharap apa pun lagi, "Terima kasih buat selama ini." Dia sungguh mengatakannya dari dalam hati, namun senyum getir yang samar itu pun muncul mengiringinya.
Situasi yang canggung, dan saat Sabrina melewati bahu Ezra, kedua orang itu berharap bahwa semua ini tidak nyata. Ezra susah payah untuk tidak mencegah Sabrina pergi, biarpun rasa ingin melindunginya datang memuncak.
Hanya begitu saja?
Iya, hanya seperti itu cara Sabrina keluar dari rumah Ezra, di saat Osa yang berusaha tidak keluar dari kamar, karena dia sendiri pun mulai merasa tidak enak hati.
Ezra membeku di kamar Sabrina untuk beberapa saat sebelum koper di tangannya menjadi pelampiasan. Seharusnya dia masih bisa membantu Sabrina, setidaknya sampai dia rasa jika perempuan itu sudah nyaman dengan kenyataan bahwa menjadi anak SMA yang hamil di luar nikah itu tidaklah mudah.
Mata Ezra mengarungi keadaan kamar Sabrina, yang rapi, yang masih memiliki bau parfum teman sekolahnya tersebut.
Kamar kembali sepi, di tinggalkan si penghuni.
Sementara Ezra masih terpaku, hanya ada satu tempat bagi Sabrina untuk kembali.
~°°~
Osa terlihat bersalah tiap kali dia berpapasan dengan Ezra. Sudah berjam-jam mereka saling membisu dan wajah Ezra terlalu tidak enak untuk di pandang; campuran antara sedih, kesal dan amarah yang sewaktu-waktu mampu meledak.
"Apa emang nggak ada cara lain?" tanya Ezra, dia buka suara sendiri. Sedari tadi, meski di tangannya ada majalah otomotif, tapi otaknya sibuk mencari cara agar tidak perlu mengkhawatirkan Sabrina lagi.
Osa menghela napas. "Sepeduli itu ya elo sama Sabrina?" katanya, "Udah bagus dia pergi, kalo elo emang peduli."
Ezra menengok. "Liat kunci motor gue nggak?"
"Tiba-tiba kunci motor?" Osa menggeleng. "Mana gue tau. Emang gue penunggunya."
"Sialan," Ezra mendengus, menjatuhkan semua bantal; mencari tempat terakhir kalinya dia meletakkan kuncinya asal. "Dimana gue taronya?!"
Dia seperti tidak nyaman. Dia terus mencari, merasa seperti ada yang kurang darinya.
"Dimana, Sa? Masa lo nggak liat sih?!" tanya Ezra sekali lagi, dan jawaban Osa masih sama.
"Enggak! Emang lo mau ke mana sih?! Ribet amat perasaan!" tanya Osa yang akhirnya ikut mencari.
"Gue mau ke rumah Sabrina," jawab Ezra tanpa melihat bagaimana terkejutnya Osa sekarang.
"Apa?!" Osa kaget. "Ya ampun?! Ngapain?! Udah bener dia pulang ke rumah. Udah deh, nggak usah lo ganggu-ganggu lagi!"
"Gue nggak ganggu," balas Ezra, dia lihat kalau kunci motornya ada di rak bawah meja. "Gue cuma mau liat dia aja."
"Lo udah kesambet ya, Zra?!" Osa tidak mempercayai kalimat yang barusan Ezra ucapkan. "Cuci muka sana, siapa tau entar lo sembuh."
Namun Ezra hanya menganggap ucapan-ucapan sebagai angin lalu.
"Gue pergi dulu," kata Ezra, menyambar jaket milik Osa yang selalu tergeletak asal di manapun.
"Jaket gue woy!" seru Osa, mengejar Ezra untuk mendapatkan jaketnya, namun berakhir membonceng Ezra untuk menemaninya mendatangi rumah Sabrina.
Osa semakin yakin jika memang ada yang salah dengan Ezra Abinaya.
~••~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro