Bab 24B : Being a Mother
Bab 24B : Being a Mother
Ini tidak baik-Sabrina pikir begitu. Di hadapannya ada kartu kredit milik Ezra yang seperti terlalu menyilaukan matanya.
"Jadi begi ... ni bentuk kartu kredit ya?" Bahkan Sabrina tergagap sambil mengamati benda tipis itu.
Sebelumnya dia hanya tahu tentang benda itu dari televisi, dan kata-kata orang. Dia tahu, begitu banyak orang mendambakan benda 'magis' itu, dan tentu dia juga paham ada banyak juga yang habis-habisan karena terlalu mendewakannya.
Refleks Sabrina menjatuhkan kartu itu dari pindaiannya. Jika Sabrina adalah orang yang rakus, bisa-bisa kartu itu sudah mengendalikannya, karena itu dia tidak senang tapi malah merasa ngeri. Beda kalau sampai kartu itu jatuh ke tangan Osa, maka benda itu tidak akan berguna dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam karena Osa akan membabatnya habis.
Ezra sudah memberi restu bahwa Sabrina bisa menggunakannya, namun sisi baik Sabrina mampu mengalahkan segala bisikan jahatnya. Jadi dia buka laci meja rias, dan dia taruh di sana. Kini Sabrina sedang bingung, apa yang harus dia lakukan. Dia bosan.
Sesuai dengan perkataan Osa sebelum mereka berdua berangkat ke sekolah, keduanya kini tengah menikmati vitamin D gratis yang Tuhan turunkan pagi ini.
Mereka memang hormat menghadap bendera, tapi tangan yang bebas sedang sibuk menyodorkan minuman kalengan dingin ke bibir mereka masing-masing.
"Seger...," ucap Osa, dia dihukum namun tidak pernah ada penyesalan yang terjadi.
Sayangnya Ezra yang dikenal baik hati oleh Sabrina itu mengangguk setuju. Sebelum menjalani hukuman, well terlalu mudah bagi Osa untuk mendapatkan kaki tangan yang mau-mau saja mengantarkan minuman atau cemilan.
"Sekarang gue laper ih," keluh Osa dari semalam.
Osa melirik lorong sekolah, dan dia bersiul dengan irama yang sudah ditetapkan. Tak berapa lama, seseorang yang memakai celemek warna-warni; nongol dari balik pilar dan dia celangak-celinguk memastikan bahwa situasi amana terkendali. Setelah yakin tidak ada yang mengawasi, orang itu berlari mendekati Osa dan Ezra sambil membawa plastik hitam kecil.
"Lemper gue datang!" Osa bersorak girang.
Lemper itu harganya cuma dua ribuan per biji, tapi sogokan untuk pegawai kantin itu bisa puluhan kali lipatnya. Osa tidak memikirkan, karena Ezra yang bakal bayar.
"Thank you," ucap Osa, akhirnya dia bisa sedikit kenyang.
Usai mendapatkan apa yang dia mau, Osa duduk bersila di lapangan dan Ezra sama saja. Akhirnya mereka berbagi makanan, dan masa bodoh hukuman.
"Ntar kalo lulus, gue bakal kangen banget sama lemper ayam ini," kata Osa dengan mulut yang mulai penuh.
Ezra sedang mengupas pembungkusnya. "Semua makanan aja lo kangenin."
"Lah iyalah, kan gue ke sekolah itu cuma buat makan." Dia mengakui tabiat buruknya.
"Sialan," kata Ezra yang jadi tersenyum.
Ezra cuma makan satu buah lemper, sebelum dia pilih tiduran menatap birunya langit dan mengehembuskan napas panjang.
"Ngomong-ngomong, nggak ada yang mau lo ceritain gitu ke gue," ucap Osa, usai memahami gelagat sahabatnya itu.
Ezra melirik. "Apa?"
"Itu. Soal si MaTi," kata Osa sekenanya.
"Paling juga dia tidur si hotel," tutur Ezra, "Kecuali kalo ada Nyokap di rumah, baru dia berani merajalela."
Osa tertawa kecil. "Gue nggak habis pikir dari dulu. Kenapa MaTi itu benci banget sama elo."
"Gue juga nggak tau." Ezra tampak pasrah, "Semakin hari, gue nggak tau dia itu beneran manusia atau cuma makhluk yang dikasih napas."
Osa mengangguk setuju. "Makanya gue panggil dia MaTi, biarpun dia punya nama bagus. Matthew."
"Tapi Os," kata Ezra yang mengubah posisi tidurnya jadi menyamping, "Gue baru tau pas kemaren. Kalo Mattew itu nggak dikirim ke Thailand, tapi dia ke Korea."
"Lah?" Osa makan lemper yang kelima, "Bagus dong kalo dia balik ke Korea."
"Iya sih," Ezra menggaruk kepalanya, "Tapi tetep aja aneh. Soalnya gini yah...."
Ezra hendak menyambung kalimatnya, tapi melihat cara makan Osa yang sampai membuat pipinya menggelembung semua, dia jadi tidak nafsu.
"Anjir," ucap Ezra, "Lain kali aja gue ceritain. Abisin aja lemper lo, sekalian tuh sama plastik dan daun pisangnya."
Osa bersyukur, Ezra tidak mengurangi porsi cemilannya.
~°°~
"Jadi Ibu tidak tahu ke mana Sabrina berada?" tanya kepala sekolah, yang sedang berhadapan dengan Mira-ibunya Sabrina.
Mira tampak pucat dan kedua tangannya gemetaran mecengkeram rok. Pipinya lebih menirus dari hari di mana Sabrina kabur dari rumah. Bagaimanapun seorang ibu akan sampai rela menukar nyawanya untuk kebahagiaan anaknya.
"Tidak," jawab Mira cepat, "Kalo begitu saya pamit saja," katanya buru-buru menyambar tas yang dia taruh di sampingnya.
Mira pergi meninggalkan kepala sekolah yang bahkan tidak sampai menyelesaikan kata-katanya. Dia ingin Mira melapor polisi, tapi wanita itu keburu pergi dengan seribu persen kecemasan merundung dirinya. Mira belum memberitahukan persoalan Sabrina yang hamil, dia takut kalau anaknya akan dikeluarkan sebelum Sabrina bisa menuntaskan sekolahnya.
Saat Ezra dan Osa memutuskan untuk kembali ke kelas karena hukuman mereka sudah selesai, Ezra melihat sepintas Mira yang melewati mereka, dan dia berhasil mengenalinya.
"Elo liatin siapa?" tanya Osa, menarik pandangan yang sama.
Ezra serius. "Ibunya Sabrina."
"Astaga." Osa mengigit jarinya. "Nggak lebih baik kalo kita balikkin Sabrina ke orang tuanya?"
Osa bertanya, namun setelah senyap beberapa saat, Ezra tidak menjawab, dia malah kembali meneruskan langkahnya menuju kelas.
"Eh si Kampret," dumel Osa, mengikutinya.
~••~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro